Part 10"Mana kutahu, kali aja jatuh. Jangan tuduh aku sembarangan, Mas!" pungkas Wulan. Ia tampak kesal. Ah, harusnya aku tak menuduhnya begitu. Bodoh! Akhir-akhir ini dia jadi gampang tersulut emosi.Aku menghela nafas dalam, menatap wajah Wulan yang tampak tidak bersalah."Ya, maafkan aku, Wulan, aku tak bermaksud menuduhmu. Tolong kalau pas kamu bersih-bersih dan nemu kartu ATM-nya, simpankan dulu ya.""Iya Mas.""Ya sudah aku berangkat dulu. Paling lama satu jam aku balik lagi. Dan kamu harus siap-siap ya, biar nanti langsung berangkat," ujarku.Aku merutuk pada diri sendiri. Sial! Bisa-bisanya kartu ATM hilang. Tapi aku tak mungkin terus menerus menuduh Wulan di sana. Memang akulah yang ceroboh.Wulan mengangguk lagi. Gegas akupun pergi karena aku yakin Melinda pasti tengah menunggu kabar dariku. Sengaja aku tak menghubunginya lebih dulu. Selama di rumah aku meminimalisir pegang HP, takut Wulan tambah curiga. Mobil yang kukemudikan membelah jalan raya. Suasana pagi weekend cuku
Part 11"Rambutmu masih basah juga bau shampo, kamu habis keramas lagi ya, Mas? Terus ini bekas bibir siapa di pipimu?"Deg deg deg, jantungku berpacu dengan cepat. Sial, Melinda membuatku jadi tersudut begini. Kacau kalau Wulan tahu semuanya. "Anu Dek, ini ... ini tadi rambutku kena kotoran jadi aku mandi lagi." Suara di tenggorokan terasa tersendat, aku bingung mesti jawab apa."Oh, kotoran yang nikmat ya, Mas?" sindirnya lagi seraya menatapku tajam. Aku memalingkan wajah, tak berani menatapnya. Nada dering di ponsel menghenyakkan kami, lebih tepatnya membantuku keluar dari ketegangan.Kutatap layar ponsel. Farah, deretan huruf yang tertera di sana."Vicall dari Farah, aku angkat dulu ya, Dek," ujarku. Lega rasanya, adikku telah menyelamatkanku meski sementara waktu.Aku mengangkat panggilan videonya, terlihat Farah dengan senyuman yang manis."Mas, ini ibu mau bicara," ucapnya. Tak lama gambar ibu sudah berada dibalik layar ponsel."Bu, lagi apa? Kabar ibu sehat?" tanyaku ramah.
Part 12Aku menatap punggung lelaki itu yang pergi menuju mobilnya. Secepat kilat kendaraan roda empat itu melesat meninggalkan rumah. Kuyakin kali ini Mas Damar pergi ke rumah wanita itu.Selagi Amanda masih tidur dan Raffa tengah bermain, aku membersihkan rumah. Kutemukan barang yang ia cari di bawah tempat tidur. Kartu ATM miliknya. Dasar ceroboh. Aku jadi penasaran berapa saldo yang ia punya di tabungan.Selama ini, selama aku jadi istrinya, aku tak pernah tahu berapa gaji dan uang suamiku. Ia hanya menjatahku 4 juta rupiah saja untuk kebutuhan kami selama sebulan. Aku memang tak pernah protes dengan pemberiannya, toh bila aku kekurangan uang, dia memberiku lagi tanpa banyak bicara.Kutatap bayi mungilku yang sesekali bersuara karena kaget. Selesai beres-beres, gegas aku menggendong Amanda. Nekad, aku membawa Amanda dan Raffa pergi ke gerai ATM terdekat."Lho, Mbak Wulan mau kemana bawa anak-anak?" tanya Mbak Rasti. Ia langsung berjalan menghampiriku."Mau ke ATM sebentar, Mbak, c
Part 13[Mas, malam ini menginaplah di rumah. Aku dah siapkan ramuan khusus untukmu biar kamu kuat][Ramuan apa, Sayang?] Balas Mas Damar.[Ramuan biar kamu kuat dan bisa berkali-kali] balasan dari Melinda seraya disertai emoticon love dan cium.Cih! Rasanya ingin muntah melihat percakapan mereka berdua. Menjijikan. Tenang, Wulan, kamu harus tenang. Tak boleh gegabah dan marah-marah sebelum mengumpulkan bukti.[Beneran nih? Kamu gak capek, Mel?][Buat lelaki tercinta apa sih yang enggak] balas Melinda lagi. [Baiklah, nanti aku otw jam 8][Oke sayang, aku tunggu]Oh jadi kau mau pergi lagi ke rumahnya, Mas? Padahal kau bilang tidak akan ke sana. Baru digoda saja seperti itu langsung luluh. Kenapa ya si Melinda getol banget, apa ada maksud tertentu darinya? Apakah karena uang? Ya, pasti karena uang. Tak mungkin dia mendekati suamiku karena tak ada maunya. Mustahil.Kubuatkan teh manis untuk Mas Damar, tak lupa kucampur obat tidur agar dia tak bisa kemana-mana. Ada untungnya juga aku be
Part 14Pov MelindaKulempar ponsel itu di atas ranjang. Berkali-kali menghela nafas kesal. Kesal karena janji Mas Damar tak ditepati. Padahal aku sudah susah payah dandan cantik dan menggoda seperti ini. Tapi nyatanya dia tak datang. Ia justru lebih memilih istrinya yang kampungan itu.Aarrrggghh! Geramku kesal seraya mengacak-acak rambut yang sudah rapi. Siang tadi melakukan perawatan rambut dan tubuh di salon. Bisa bayangkan tampilanku saat ini begitu sempurna, wangi dan mempesona. Tapi ... Mas Damar justru mengacuhkanku? Bahkan banyak pesan dan panggilanku yang tak diresponnya. Menyebalkan!Sampai tengah malam nyatanya ia tak datang. Rencanaku gagal dan berakhir sia-sia. Akhirnya aku menuliskan pesan ancaman untuknya. Agar dia tak main-main lagi denganku. Mas Damar, kau sudah masuk ke dalam duniaku, jadi tak boleh terlepas lagi.Sial! Semua ini terpaksa aku lakukan. Ya karena sebuah alasan, aku menjadi orang ketiga dalam rumah tangga seseorang. Terlebih dia adalah mantan pacarku d
Part 15Pov Melinda"Mel, sudah lama aku tak bertemu dengan Lola. Bisakah dia ikut bersamaku untuk dua hari saja?""Ayah, aku kangen sama ayah. Bunda apa aku boleh ikut ayah?" tanya putriku dengan polos. Enam tahun lebih saat ini usianya, dia mengenal ayahnya karena sedari bayi dia lebih dekat dengannya. Dari gantiin dia popok, memandikan bahkan menyuapi makan. Belum lagi saat di kampung Mas Tanto selalu menghubungi Lola menanyakan kabar. Aku yang sebenarnya malas menanggapi. Sesekali Mas Tanto kirim uang jajan untuk Lola tapi ya nominalnya sedikit. "Ya dibawa saja. Tapi ingat cuma dua hari saja. Kamu harus mengembalikannya padaku!" tukasku ketus."Baiklah, Mel. Kamu tinggal dimana sekarang?""Nanti kuberi tahu kalau sudah dua hari. Atau kita ketemuan di cafe.""Ya, baiklah. Ayo sayang kita pergi ke tempat tinggal ayah. Salim dulu sama bunda.""Bunda, Lola sama ayah dulu ya. Bunda jangan marah-marah terus.""Iya sayang.""Dadah bunda ..."Lola melambaikan tangan ke arahku. Sengaja
Part 16"Kenapa dia harus tinggal di sini? Memangnya kenapa? Ini ada apa, Mas?""Wulan, tolong jangan salah paham dulu. Dengarkan penjelasan kami, jangan setengah-setengah menyimpulkannya," ujar ibu lagi.Hah! Aku benar-benar tak mengerti dengan drama keluarga suamiku bersama pelakor itu. Mengagumkan sekali! Sungguh tak tahu malu. Oke, mari kita ikuti alurnya dulu."Ya, baiklah.""Jadi begini, Nak, Melinda ini sedang kesulitan ekonomi. Dia butuh pekerjaan untuk sementara ini, Nak."Kulirik ke arah Melinda, matanya membulat mendengar ucapan ibu mertua."Terus apa hubungannya denganku? Kenapa harus datang kesini? Lowongan pekerjaan banyak, kantor banyak, rumah makan banyak, kenapa datangnya ke rumah kami, Bu?Ibu mertua tersenyum."Iya, karena ibu tahu kamu ini kan habis melahirkan, repot mengurus dua anak yang masih kecil-kecil, kamu pasti butuh bantuan tenaga. Nah, menurut ibu, biarkan Melinda bekerja disini dulu sebagai asisten rumah tangga," jawab ibu mertua lagi makin membuat Melin
Part 17"Kenapa sih, Mas, panik banget kayak ada apa aja. Kalau khawatir samperin saja sono kali aja ada ular masuk ke kamarnya!""Ah, ya gak mungkin Dek. Dah tidur aja kamu jangan berpikiran macem-macem," kilah Mas Damar."Aneh aja sih soalnya, tengah malam telepon ada perlu apa coba? Kalau bukan ada maksud tertentu. Kau harus ingat ini baik-baik, Mas, Melinda mungkin teman kamu, tapi dia juga seorang wanita. Dia datang kesini sendiri untuk meminta pekerjaan jadi pembantu. Kamu tidak boleh mengistimewakannya. Aku tidak suka dengan caramu yang seperti ini, Mas.""Iya, Dek. Maaf."Ia kembali berbaring dan meletakkan ponselnya lagi. Tapi rupanya mereka tetap curi-curi waktu buat saling berbalas pesan saat aku tertidur.[Maaf Mel, aku gak mungkin menemuimu. Nanti Wulan bisa curiga] chat dari Mas Damar.[Menyebalkan sekali, meski dekat tapi kita tetap jauh. Aku ada ide, Mas] balas Melinda. [Ide apa?][Bagaimana kalau tiap malam kau buat istrimu tidur lebih cepat. Saat kau pergi ke kantor