Share

Bab 2 Pemuda Kampung

"Rambutnya hitam legam bak mutiara Tahiti, kulitnya sawo matang seakan siap dimakan, tubuhnya tinggi semampai bak model luar negeri, gayanya anggun bak putri keraton, wajahnya ayu ... seperti orang Jawa pada umumnya ...."

"Kamu itu sedang ngomongin sopo, tho? Kok aku ga mudeng (mengerti), yo?" tanya Diaz, salah satu pemuda tampan  dusun tempatnya tinggal.

"Moso kamu ndak ngerti, Nyo. Kuwi, lho si ayu ...." ucapnya seraya malu-malu dan tersenyum.

"Ayu? Ayu sopo? Ayu Wandira?" sahut Sinyo, teman satu kampus Diaz dan pemuda yang katanya tampangnya ga kalah sama Nicholas Saputra.

"Hush! Ngawur ae, bukan Ayu Wandira. Kui, putri dari Bapak Baskoro, pengusaha pakan ternak pindahan seko Jakarta," terang Diaz sambil memajukan bibirnya.

"Oalah ... mbok ngomong ket mau. Aku yo ndak ngerti, tho. Nek kui ho oh. Pancen josss tenan. Ga ada yang ngalahin ayuneeeee." tambah Sinyo mengacungkan dua jempol ibu jarinya.

"Tapi, aku rodo piye yoooo arep kenalan sama dia," Diaz mengelus-elus dagunya seraya berpikir keras.

"Piye ... piye opo? Ga ngerti aku sama maksudmu." Sinyo bersiap akan meninggalkan Diaz yang aslinya memang selalu berperilaku tak jelas.

"E ... e ... e ... mau kemana kamu, Nyo? durung rampung iki aku ngomong, maen bleng (pergi) ae!" sedikit kesal Diaz sambil menahan pergelangan tangan Sinyo.

"Mulih (pulang)! Wetengku ngeleh (perutku lapar)." Sinyo yang tak mempedulikan kegundahan sahabatnya itu dengan tenangnya meninggalkan sahabatnya yang masih saja duduk termenung di pinggir kali.

"Hai," suara seorang wanita tiba-tiba menyapa Diaz dari arah belakang. Sontak, Diaz yang hanya seorang diri itupun langsung bergidik ngeri dan bergumam, "Demit (setan) po, yo ..."

"Diaz!!" seru wanita itu memanggil namanya dengan kencang.

"Duh, Gustiiiiiii (Ya, Tuhannnn), opo iki (apa ini)?" ucapnya sambil memejamkan mata.

"Heh! Dipanggil dari tadi ga denger-denger juga, ya! Lagi ngapain loe?"

Diaz masih bergeming dan memejamkan matanya.

"Nape sih nih orang?" gumam wanita itu yang akhirnya duduk di sebelah Diaz dan melihat dari dekat apa yang sedang pria tampan itu lakukan.

"WOYYYYY!!!" wanita itu memukul bahu Diaz lumayan kencang dan berteriak dekat telinganya membuat Diaz sontak membuka mata dan menoleh ke arah kanannya.

"Hehhhhhh, kamu tho Anyelir. Kirain aku sapa," sahut Diaz mengusap-usap dadanya.

"Emang loe pikir siapa tadi yang nyapa loe? Setan?" sahut Anyelir, adik kandung Raquela Danisa Baskoro.

"Heheheheh," balas Diaz sengaja menunjukkan ekspresi wajah jeleknya.

Diaz Asmadibrata, pemuda berusia 23 tahun, mahasiswa jurusan tekhnik sipil di salag satu universitas negeri ternama, terkenal, dan paling susah untuk dimasuki di Jogjakarta. Penampilannya yang terkadang seperti anak jalanan sering dipandang sebelah mata oleh banyak orang, rambut sebahu, kulit sawo matang, jambang di sebelah kana kiri serta alas kaki yang sering menggunakan sandal jepit, membuatnya jauh dari kata anak orang kaya. Namun sebenarnya, Diaz adalah pewaris tunggal perusahaan frozen food yang cukup terkenal dan paling besar di Jogjakarta. Ibunya yang telah lama meninggal dan sang ayah yang jarang pulang, membuat Diaz merasa kesepian dan hanya Sinyo sahabat yang bisa dekat dengan Diaz. Maklum, Diaz adalah tipe orang yang introvert dan tak mudah percaya dengan orang lain karena itulah, dia boleh dibilang sangat selektif dalam memilih teman.

"Kamu ...." Diaz melihat wanita tomboy berkaos oblong warna krem dan ketiak yang tiada ditutupi.

"Kenapa? Gue cantik, ya? Makasih. Everybody says like that," ucap Anya, panggilan Anyelir dengan penuh percaya diri.

"Bu--bukan. Tapi, itu ... apa kamu ndak takut masuk angin?" tanya Diaz sambil menunjuk kaos Anya yang tipis dan terbuka di bagian ketiak.

"Kenapa? Ada apa emang ama kaos gue?" bingung Anya.

"Lha, wong ketek (ketiak) mu terbuka gitu ... apa takut ndak masuk angin nanti. Di sini tu angine guede dan kenceng. Nanti kalo kamu masuk angin bisa-bisa dikerokin, lho," kelakar Diaz.

"Hahhhhhhhhhh ..." Anya hanya geleng-geleng kepala melihat ucapan dan tingkah laku pemuda kampung namun tampan itu. Mata Anya tak pernah lepas dari netra coklat terang dan senyum manis yang mengembang di bibir pria yang katanya anti wanita dan anti pacaran itu.

"Mmmm, Diaz ... loe ... loe ...."

"Ya, aku apa?" sahut Diaz penasaran.

"Hmmmm, ga jadi, ah. Gue malu."

"Isin (malu)? Lha, piye (lho, gimana)?" tanya Diaz makin penasaran.

"Loe udah punya cewek belom?" tembak Anya langsung ke inti.

Diaz sempat terkejut mendengar pertanyaan Anya. Sesuatu yang selama ini sangat ia hindari dan tak ingin menjawabnya.

"Hmmm ... mmmm ... itu, anu ..." gugup Diaz.

"Ya? Itu ... anu ... apa?" tanya balik Anya penasaran.

"Aku sama sekali belum kepikiran ke arah sana. Aku hanya ingin fokus ke kuliahku dan ingin melanjutkan S2 ke Jerman. Apa kamu ndak punya impian, Anya? Apa kamu hanya ingin mentok di S1?" 

Anya langsung bergeming. Bukan penolakan gombalan atau rayuan gombalan yang ia terima, tapi seperti ia sedang berhadapan dengan seorang guru yang tengah memberikan mata pelajaran PPKn di depan kelas. Kesal, Anya langsung diam dan memainkan air dengan kakinya.

"Lho, An ... kok meneng (diam)? Apa aku salah ngucap, yo?" tanya Diaz langsung tak enak hati dan melihat ekspresi wajah Anya yang muram.

"Ah, en--enggak, ga papa, kok. Gue bae-bae aja. Btw, gue balik dulu ya ... udah mau magrib. Kagak bae perawan masih kluyuran mau magrib-magrib." Ucap Anya berdiri dari duduknya diselingi senyum kikuk. Kakinya segera diangkat dari sungai yang ada di dekat rumahnya dan langsung melangkah pergi meninggalkan Diaz. 

"An!! Oy, An!!" panggil Diaz dengan kencang.

Anya menghentikan langkahnya. Dia membalikkan badannya dan berpikir Diaz akan menahannya, sambil tersenyum gembira, Anya membalas panggilan Diaz, "Ya, ada apa?"

"Itu ... anu ... salam ya buat kakakmu, Danisa. Udah lama banget aku mau kenalan sama dia," senyum Diaz malu-malu kucing.

Deg!!!

Sontak senyum yang awalnya ditunjukkan oleh Anya, berubah menjadi ekspresi masam dan muram serta tatapan tajam yang ditujukan ke Diaz. Dengan nada dingin dan ketus, Anya berkata, "Loe 'kan punya mulut! Napa ga loe pake mulut loe buat ngomong ke dia sendiri!"

"Lho, kok kamu marah, tho? Wajar 'kan kalo aku mau kenalan dengan tetangga baruku. Apa itu salah?" tanya Diaz yang belum mengerti sama sekali dengan ekspresi yang ditunjukkan Anya.

"Ih, ni cowok! Dodol banget, sih! Apa gue kurang marah, ya!?" gumam Anya geram.

"Dahlah! Gue mau pulang, bentar lagi magrib!" Anya memalingkan tubuhnya dan meninggalkan pria jawa itu dengan wajah masamnya.

"Kok malah nesu (marah), tho? Memangnya aku salah, ya cuma mau kenalan aja?" Diaz hanya menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal dan tak memusingkan perkataan tetangganya itu. Tak lama berselang, senja telah menunjukkan warna kemerahan yang indah di ufuk barat. Netra coklat itu memandang ciptaan Illahi dengan senyum manis dan wajah yang penuh harapan. "Seandainya kamu ada di sini, Diana ... kamu pasti akan senang melihat warna jingga saat sang baskara (matahari) mulai menampakkan redupnya." Diaz hanya menghela napas, menikmati semilir angin sore hari sambil menikmati kesendirian di tengah hamparan sawah nan hijau berteman lembayung baskara.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status