Share

Perempuan Terlarang
Perempuan Terlarang
Penulis: athena_vivian

Bab 1 Prolog

"Keluar dari sini, sekarang! Aku tak ingin melihatmu apalagi anakmu ada di dalam rumah ini! Melihatnya saja sudah buatku jijik, apalagi jika aku harus menyentuhnya! Pergi!!"

Suara hardikan keras keluar dari mulut seorang pria pada seorang wanita di atas kursi roda yang tengah menggendong bayi yang masih berwarna merah. Dengan menahan tangisnya, sang wanita yang tak lain adalah istri dari pria tersebut berkali-kali memohon dengan iba dan penuh harap agar sang suami mau menerima sang bayi yang tak berdosa dan tak mengerti apa pun juga.

"Mas, aku mohon biar bagaimana pun juga, anak ini adalah darah dagingmu, bagaimana bisa Mas memperlakukan anak sendiri seperti ini?" lirih sang istri sambil memeluk sang buah hati yang tertidur pulas di atas pangkuannya.

"Heh, perempuan pembawa sial! Asal kamu tahu, ya menyesal aku telah menikahkan kamu dan putraku satu-satunya! Dan asal kamu tahu, Farid ini adalah penerus perusahaan keluarga, jadi wajar jika ia merasa malu harus memiliki istri yang cacat dan anak yang tak normal seperti anak pada umumnya!" hardik sang ibu mertua tak kalah kejamnya.

"Bu, saya mohon ... tak apa jika saya harus pergi dari rumah ini, tapi saya mohon ... tolong biarkan Alena tinggal dan dekat dengan ayahnya, saya mohon, Bu ..." wanita cantik yang duduk di atas kursi roda itu kembali meminta lirih pada sang mertua yang terlihat sangat emosi dan juga suami yang masih terkejut dengan bentuk fisik sang buah hati.

"Danisa, kupikir setelah menikah denganmu aku akan menjadi laki-laki seutuhnya! Laki-laki yang bisa membawa serta-merta istri dan anaknya kepada kerabat lainnya, membanggakan keluarga kecil mereka, tapi ternyata kau tak ubahnya perempuan pembawa sial bagi keluarga Khaidir! Aku benar-benar menyesal kenapa aku bisa jatuh hati padamu dan menolongmu kala itu! Harusnya kau kubiarkan mati kedinginan saat berteduh di depan etalase butikku!" kesal Farid, sang suami yang semakin tak terbendung emosinya.

"M--Mas, kenapa---kenapa kamu tega bicara begitu? Jadi sekarang, kamu baru menyesali semuanya? Setelah aku tak lagi sempurna secara fisik? Setelah kau tahu anak kita 'berbeda' dari anak-anak lainnya, baru kau berkata begitu?"

Danisa tiba-tiba memegang tangan sang suami dengan salah satu tangannya, "Apa yang kau lakukan! Lepas! Lepaskan aku, dasar perempuan gila!" hardik dan umpatnya seraya melepaskan genggaman tangan Danisa.

"Heh, lepaskan anakku, perempuan terlarang! Perempuan pembawa sial! Jangan sampai anakku tertular nasib sialmu! Sekarang cepat pergi dari sini! Bawa pergi juga anakmu! Aku tak 'kan pernah menganggap anak itu bagian dari keluarga Khaidir, sampai kapan pun!" 

Akhirnya, dengan berat hati, Danisa beserta sang buah hati tercinta pergi meninggalkan kediaman sang suami di tengah udara dingin dan malam yamg pekat. Seakan tahu apa yang sedang dirasakan oleh sang bunda, Alena, sang buah hati tercinta masih tampak terlelap tidur dalam dekapan hangat Danida fi atas kursi roda.

"Nduk, sabar ya, Sayang ... Bunda minta maaf karena kesalahan Bunda kamu harus menanggung akibatnya. Maafkan Bunda, ya, Sayang ...." Lirih suara dan pada akhirnya tangisnya pun pecah di antara malam yang dingin dan sunyi.

Tak memiliki tempat lain, Danisa akhirnya pulang menuju kediaman kedua orang tuanya, berharap ada api kehangatan bagi mereka berdua yang telah diusir dari kediaman dan kehidupan suami sekaligus ayah bagi buah hati mereka satu-satunya. Tanpa terasa, taksi yang membawa Danisa beserta sang buah hati berhenti di sebuah rumah bergaya joglo yang cukup besar dan megah. Rumah yang terkesan 'kuno' itu masih tampak terang di bagian dalam. Sang supir yang membantu Danisa turun dari mobilnya segera membunyikan bel pintu rumah kediaman Baskoro Atmodjoyo. Beberapa kali dentingan bel berbunyi, namun tak jua seseorang menyapa dan membukakan pintu pagar.

"Tidak apa-apa, Pak. Terima kasih, banyak atas bantuannya. Saya bisa sendiri, Pak." Ucap Danisa tersenyum ramah.

"Ndak apa-apa, Mbak. Saya kasihan melihat Mbak dan anaknya yang sepertinya sangat kelelahan. Biar saya coba sekali lagi, ya, Mbak." Sang supir taksi itu pun akhirnya membunyikan bel sekali lagi dan tiba-tiba ....

"Apa kamu ga tahu ini sudah jam berapa, hah!"

Teriakan suara yang cukup keras mengagetkan Danisa dan sang supir taksi yang langsung menyembunyikan tangannya di belakang badannya.

"A---anu, Pak ... minta maaf, bukan maksud Danisa untuk membuat gaduh," ucap Danisa menundukkan kepalanya dan mendekap erat sang buah hati.

"Maaf, Pak, sebelumnya. Saya hanya membantu Mbak ini untuk membunyikan bel karena sepertinya mereka berdua sangat kelelahan." Sang supir mencoba memberikan penjelasan pada sosok kepala keluarga Atmodjoyo.

Dengan lirikan tajam dan wajah yang tak bersahabat, Baskoro dengan dingin dan lantang berkata, "Lalu, apa masih belum selesai? Bukankah pintu sudah kubuka? Silakan pergi kalau begitu!" Ucap Baskoro seakan mengusir secara tak langsung sang supir taksi baik hati itu.

"Baik, Pak. Permisi. Mbak, permisi." Ucap sang supir tersenyum ramah.

"Terima kasih, Pak, sudah membantu saya." Balas Danisa tersenyum ramah.

Akhirnya, tak lama kemudian tinggalah Danisa dan sang ayah yang berdiri tegak layaknya sebuah benteng kokoh di tepi laut yang curam, dengan melipat kedua tangannya ke depan dada, sang ayah kemudian berkata, "Masih punya muka kau datang ke rumah ini? Mana suamimu?"

Danisa hanya menundukkan kepala sambil melihat Alena yang masih tertidur pulas di tengah udara malam yang dingin kota Jogja.

"Siapa, Pak yang datang malam-malam begini?" Sang bunda, Nyonya Baskoro Atmodjoyo segera menghampiri sang suami dan betapa terkejutna dia ketika mengetahui bahwa Danisa dan sang cucu tengah berada di luar rumah.

"Pak! Kenapa ndak disuruh masuk Danisa? Ini sudah malam dan udara sangat dingin. Mesakne bayinya," sang bunda kemudian segera bergegas menghampiri keduanya dan mendorong kursi roda yang diduduki oleh Danisa.

"Hanya malam ini mereka boleh berada di sini! Esok, mereka harus segera angkat kaki dari rumah ini!" Ucap Baskoro melirik tajam ke arah Danisa dan sang buah hati.

"Tapi, Pak ...."

"Terima kasih, Pak, Bapak masih mau berkenan menerima saya dan Alena di rumah ini," balas Danisa dengan suara lirih.

"Bapak hanya tak ingin dicap sebagai orang tua yang tak memiliki hati dan perasaan! Dan perlu kau ingat, Danisa, Bapak melakukan ini bukan demi kau atau anakmu!" Baskoro langsung membalikkan badannya dan berjalan kembali ke kamarnya.

Danisa berusaha tegar dan tersenyum mendengar pernyataan sang ayah. Dengan menahan tangis, Danisa memandang wajah sang bunda yang terlihat sedikit tirus. "Apa Ibu baik-baik saja? Kenapa sekarang Ibu terlihat kurus?" tangan Danisa mengusap wajah sang bunda 

"Ibu baik-baik saja, Nduk. Ayo, kita masuk dulu. Kasian anakmu, dia pasti kedinginan." Senyum sang bunda.

"Ibu buatkan teh hangat dengan lemon kesukaanmu dulu, ya, Dan." Sang bunda kemudian segera bergegas menuju dapur untuk membuatkan teh hangat kesukaan Danisa.

"Dia kembali! Ngapain, sih wanita pembawa sial itu datang lagi ke rumah ini! Bikin malu aja! Apa kata orang-orang coba kalo tahu muka anaknya itu kaya ....hiiyyyy!" dengus Anya yang mengintip Danisa di balik kamarnya.

"Danisa, ini tehmu, Nduk." 

"Matur nuwun, Bu. Maaf, Danisa sudah buat repot keluarga malam-malam begini," ucapnya sambil tersenyum.

"Kamu ngmgong apa, sih, Dan. Siapa yang direpotkan? Ibu ndak merasa direpotkan, justru Ibu---Ibu ...." Tanpa sadar, Danisa mendengar isak tangis suara sang bunda.

"I---Ibu? Kenapa menangis? Ada apa?" tanya Danisa terkejut dan sang bunda langsung memeluk Danisa erat.

"Maaf, maafkan Ibu, Sayang. Jika tahu keadaannya akan seperti ini, Ibu tak akan izinkan kamu menikah dengan pria dari keluarga Khaidir itu." Isak tangis sang bunda memecah kesunyian ruang keluarga Baskoro.

"Itu .... sudah takdir, Bu. Danisa tak menyalahkan Ibu, Bapak, atau siapapun di rumah ini. Danisa sudah siap, kok Bu atas segala konsekuensi yang harus Danisa jalani." Senyum sang putri.

Tak ada kata lain selain pelukan hangat dari seorang ibu yang berusaha menenangkan pikiran dan mental seorang anak yang tengah didera prahara dalam hidupnya. Danisa pun seolah tak bisa lagi menahan air matanya dan dalam sekejap, seluruh tembok pertahanannya pun runtuh di hadapan sang bunda.

"Maafkan Danisa yang belum bisa membahagiakan Bapak dan Ibu. Maafkan Danisa jika selama ini ...."

"Ssstt, sudah--sudah, Nduk. Yang berlalu biarlah berlalu, sekarang kamu sudah di rumah. Ingat, kamu saat ini bukanlah kamu yang dulu. Alena saat ini membutuhkanmu, kamu harus kuat, Dan." Peluk erat sang bunda.

"Istirahatlah, Nduk. Kamu pasti sangat lelah. Alena juga sangat lelap di kamarmu." tambah sang bunda tersenyum.

"Terima kasih, Bu sudah mau menampung Danisa dan Alena."

Sang bunda hanya mengangguk dan mengecup kening sang putri sulung sambil berurai air mata.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Chira
good ...... i like the cerita
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status