MasukPagi itu terasa begitu tenang. Udara masih lembap, langit belum sepenuhnya terang, dan suara azan Subuh menggema dari kejauhan, bersahut-sahutan dari masjid ke masjid. Freya membuka matanya perlahan. Cahaya lampu tidur yang temaram memantul di wajahnya yang tampak masih letih karena malam sebelumnya ia menangis diam-diam.
Meski bukan seorang muslim, suara azan selalu memberinya rasa damai. Ada ketenangan yang tak bisa dijelaskan setiap kali lantunan itu terdengar, seolah menjadi panggilan lembut untuk memulai hari dengan hati yang bersih. Ia menoleh pelan ke arah suaminya. Arga masih terlelap, napasnya berat, wajahnya tampak lesu bahkan dalam tidur. Freya memperhatikan garis wajah itu lama sekali—wajah yang dulu selalu membuatnya jatuh cinta berkali-kali. Namun kini, ada sesuatu yang berbeda. Ada jarak yang dingin, ada dinding yang tak kasatmata di antara mereka. Kemarin malam, kata-kata Arga masih terngiang jelas di telinganya—tajam, menyakitkan, dan tak termaafkan. Tapi Freya memilih diam. Ia tahu, suaminya sedang tertekan. Arga sedang tidak baik-baik saja. Dan cinta... cinta sering kali berarti menahan diri untuk tidak menambah luka orang yang kita sayang, bahkan ketika hati sendiri hancur berkeping. Freya menghela napas panjang. Ia duduk di tepi ranjang, menatap wajah Arga yang terlihat begitu lelah. “Aku tahu kamu lagi kesulitan...” bisiknya nyaris tak terdengar, “tapi aku nggak akan pergi. Aku di sini.” Ia tersenyum samar, meskipun matanya mulai berair lagi. Dengan lembut, ia menyibak poni yang menutupi dahi Arga, lalu berdiri perlahan agar tidak membangunkannya. Langkahnya menuju dapur terasa seperti ritual harapan kecil. Ia menyalakan lampu, mengambil celemek yang tergantung di dinding, dan mulai menyiapkan bahan-bahan. Di meja dapur, Freya menatap bahan-bahan sederhana yang ada: telur, sosis, roti, sedikit sayuran. “Setidaknya aku masih bisa buat sarapan favoritmu,” gumamnya lirih sambil tersenyum getir. Ia mulai bekerja. Suara minyak panas berdesis pelan ketika ia memasukkan telur ke wajan. Aroma harum mulai memenuhi udara, berpadu dengan cahaya matahari pagi yang perlahan menembus tirai dapur. Dalam kesunyian itu, Freya merasa sedikit tenang. Tangannya sibuk, tapi pikirannya penuh kenangan—tentang masa-masa awal mereka dulu. Tentang saat Arga masih berjuang merintis usahanya, meskipun Arga berasal dari keluarga kaya. . Arga sering berkata kalau Freya adalah keberuntungannya, motivasinya untuk bangkit setiap kali gagal. Tapi sekarang… kata-kata itu hanya tinggal kenangan. Freya menunduk, menahan air mata yang hampir jatuh ke adonan roti. “Kamu berubah, ga” ucapnya lirih, “tapi aku tetap sama. Aku masih orang yang dulu selalu percaya sama kamu.” Setelah selesai memasak, Freya menata sarapan di meja makan. Ia bahkan menyeduh kopi hitam—pahit, seperti yang Arga suka. Lalu ia berdiri memandangi meja yang rapi itu sambil berbisik, “Semoga pagi ini sedikit meringankan bebanmu.” Ia menatap ke arah kamar, berharap Arga segera bangun dan tersenyum walau sedikit. Ia tahu, cinta bukan hanya soal kata-kata indah, tapi juga kesabaran tanpa batas, bahkan ketika yang kita tunggu tak kunjung menoleh pada kita. Pagi itu, Freya menyiapkan segalanya bukan hanya karena cinta… tapi juga karena tekad untuk tetap menjadi cahaya kecil dalam hidup seseorang yang perlahan kehilangan arah. *** Langit sudah mulai terang ketika langkah kaki berat terdengar dari arah kamar. Freya yang tengah menuang kopi ke dalam cangkir menoleh pelan. Arga keluar dengan rambut acak-acakan, mata sembab, dan wajah tanpa ekspresi. Ia bahkan tidak menatap Freya ketika berjalan menuju meja makan. “Selamat pagi, mas,” ucap Freya pelan, mencoba mencairkan suasana. Suaranya lembut, nyaris bergetar, tapi tetap ia paksa terdengar ceria. Arga hanya menggumam kecil, lebih mirip helaan napas daripada jawaban. Ia duduk, menarik kursi, lalu menatap piring sarapan di depannya—telur mata sapi, sosis goreng, roti panggang, dan secangkir kopi hitam yang masih mengepulkan asap. Freya duduk di hadapannya. “Aku buatkan makanan kesukaanmu,” ujarnya dengan senyum tipis. “Kamu pasti belum makan sejak kemarin malam, kan?” Arga tidak menanggapi. Ia hanya menatap sarapan itu, lalu mengambil sendok dengan gerakan kaku. Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Hanya suara piring yang saling beradu pelan dan detak jam dinding yang terdengar. Freya menatapnya lama. Di dalam diam itu, ia ingin mengatakan banyak hal. Bahwa ia tahu Arga sedang tertekan karena karyawan yang mengkhianati perusahaannya. Bahwa ia mengerti betapa keras suaminya bekerja membangun segalanya dari nol. Bahwa ia masih percaya Arga akan bisa melewati semua ini. Tapi ia menahan diri, menunggu waktu yang tepat. Ketika Arga mulai meneguk kopinya, Freya memberanikan diri. “Mas,” ujarnya lembut, “aku tahu kamu lagi banyak pikiran. Tapi kamu nggak sendiri, ya? Aku di sini. Aku bakal bantu apa pun yang aku bisa.” Arga menghentikan gerakannya sejenak. Tatapannya kosong, lalu pelan-pelan ia meletakkan cangkirnya. “Bantu?” suaranya datar, tanpa emosi. “Kamu bisa bantu apa, Freya?” Nada itu tajam, tapi bukan marah. Lebih seperti rasa putus asa yang disembunyikan dalam sarkasme. Freya tersenyum tipis, meskipun hatinya tercekat. “Aku mungkin nggak bisa bantu banyak. Tapi aku bisa dengerin kamu. Aku bisa nemenin kamu lewat masa susah ini.” Arga mendengus pelan. “Aku nggak butuh ditemani. Aku butuh solusi.” Ia menunduk, menatap meja seolah sedang menghitung kesalahannya satu per satu. “Perusahaan bisa bangkrut, Freya. Semua kerja keras selama bertahun-tahun bisa hilang cuma karena satu orang bodoh yang aku percaya.” Freya menggenggam tangannya di atas meja. “Mas Arga…” panggilnya lembut, “semua orang pernah salah percaya. Tapi itu bukan akhir dari segalanya. Kamu pernah mulai dari nol dulu, kan? Kalau dulu kamu bisa, sekarang juga bisa.” Namun tangan yang ia coba genggam justru ditarik perlahan. Arga mengusap wajahnya, menghela napas panjang. “Kamu nggak ngerti, Freya…” katanya dengan suara rendah. “Sekarang beda. Aku udah nggak punya tenaga buat mulai lagi. Aku capek.” Freya terdiam. Kata-kata itu menohok jantungnya lebih dalam daripada bentakan semalam. Ia tahu Arga tidak bermaksud melukai, tapi kalimat itu tetap membuat dadanya sesak. Meskipun begitu, ia menahan diri. Ia tidak boleh menangis sekarang. Tidak di depan suaminya yang sedang rapuh. Ia tersenyum lembut, meski air mata hampir menetes. “Kalau kamu capek, istirahat dulu, Mas. Aku nggak akan ninggalin kamu. Aku janji.” Suara Freya nyaris bergetar, tapi ia menatap Arga dengan mata penuh keyakinan. Arga menatap balik sekilas, lalu memalingkan pandangannya ke arah jendela. “Kenapa kamu masih di sini, Freya?” tanyanya tiba-tiba. “Kenapa kamu nggak pergi aja, kayak orang lain?” Pertanyaan itu menggantung di udara. Sunyi. Dingin. Freya menarik napas panjang, lalu menjawab dengan senyum yang sangat lembut—senyum yang menutupi luka di hatinya. “Karena aku cinta kamu, Mas. Aku bukan cuma istri di saat bahagia, aku juga mau jadi istri di saat kamu jatuh.” Arga tak menjawab. Ia hanya menatap kosong ke luar jendela, ke arah langit yang mulai terang. Sementara Freya diam di tempatnya, menatap punggung suaminya dengan hati yang perlahan retak. Ia tahu, cinta saja mungkin tidak cukup untuk menghangatkan hati yang sedang beku. Tapi ia juga tahu… cinta yang tulus tidak akan menyerah secepat itu. Pagi itu, dua orang yang dulu saling mencintai duduk di meja makan yang sama, tapi terasa seperti dunia mereka sudah terpisah jauh. Namun di hati Freya, tekadnya tetap sama: ia akan bertahan.Malam Itu Hujan turun tipis. Udara terasa lembab. Lampu-lampu jalan terlihat redup di balik kaca. Freya membungkuk, satu tangan memegang ujung meja, satu tangan menekan perutnya yang seperti diremas dari dalam. > “Ah—” Sebuah erangan kecil lolos. Tidak keras, tapi jelas penuh rasa sakit. Talita yang sedang melipat pakaian-pakaian pesanan berhenti seketika. > “Freya? Kamu kenapa? Mukamu pucat banget.” Freya mencoba tersenyum, senyum yang terlalu dipaksa. > “Cuma… sakit perut biasa. Mungkin masuk angin.” Namun tepat setelah itu rasa nyeri datang lebih kuat, membuat lututnya hampir goyah. Talita memegang bahunya, suaranya panik: > “Ini bukan masuk angin! Kamu bahkan nggak bisa berdiri tegak! Kita ke rumah sakit sekarang!” Freya menggeleng pelan, menahan sakit sambil menarik napas pendek-pendek. > “Tunggu… Telepon Arga dulu. Dia harus tahu…” Talita mengambil ponsel Freya dan menekan panggilan. Nada berdering. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Tidak diangkat. Talita mencoba
Kabar itu tidak langsung meledak besar. Namun seperti bara kecil yang tertiup angin, gosip itu merayap pelan, menembus sela-sela percakapan kantor, komunitas sosialita, hingga media online yang haus sensasi. Awalnya hanya sebuah foto: Arga dan Eveline terlihat keluar dari sebuah hotel konferensi di Bandung. Foto itu sebetulnya bersih—mereka menjaga jarak yang sopan. Namun ekspresi mereka terlalu nyaman untuk sekadar rekan kerja. Lalu muncul foto lain. Arga tertawa lepas saat Eveline menyentuh lengannya. Foto itu diambil candid, tanpa kesadaran mereka. Sebuah momen yang seharusnya hanya milik udara dan waktu, kini menjadi konsumsi publik. > “CEO muda Arga Pratama terlihat semakin dekat dengan putri tunggal pengusaha tekstil, Eveline Prawira. Apakah ini pertanda adanya hubungan spesial?” - GossipStar ID > “Istri? Tidak terlihat dalam lingkaran sosial Arga belakangan ini.” - HypeDaily Media Tagar mulai bermunculan. #ArgaEveline #PasanganSempurna #FuturePowerCouple T
Malam turun perlahan di langit Jakarta.Hujan rintik-rintik mengguyur kaca jendela, menimbulkan bunyi ritmis yang biasanya menenangkan, namun malam ini justru terasa seperti jarum yang menekan dada Freya.Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam ketika suara pintu utama terbuka.Freya menatap dari ruang tamu — wajahnya datar, bukan lagi senyum lembut seperti biasanya. Ia menunggu suara langkah yang sudah begitu ia kenal itu.Arga masuk dengan jas masih melekat di bahu, dasi longgar, dan wajah lelah yang tak berusaha disembunyikan. Hujan membuat rambutnya sedikit basah.Ia bahkan tidak menatap ke arah Freya. Langsung menuju dapur, membuka kulkas, mengambil air mineral, lalu meneguknya dalam sekali minum.Suasana di antara mereka hening.Begitu hening hingga suara detak jam dinding terdengar seperti palu kecil yang memukul waktu.Freya akhirnya berdiri. Di tangannya masih ada amplop berisi foto-foto yang tadi diberikan oleh Ny. Ratna. Ia berjalan perlahan, langkahnya tenang, tapi mata
Langit siang tampak cerah, tapi suasana di rumah itu terasa dingin.Freya baru saja selesai membereskan sisa sarapan Arga. Di meja makan masih tercium samar aroma kopi hitam dan roti panggang — kebiasaan pagi yang ia jaga dengan hati-hati, meski sering diabaikan.Ia baru saja hendak menjemput paket pesanan dari kurir ketika suara klakson mobil terdengar di halaman.Nada klakson itu khas — dua kali, cepat dan pendek.Freya terdiam sejenak.Ia tahu suara itu.Beberapa detik kemudian, suara langkah sepatu berhak terdengar di lantai marmer. Dan di ambang pintu ruang tamu, berdirilah Ny. Ratna Malik, dengan busana elegan warna krem dan tas bermerek menggantung di lengannya.> “Selamat siang, Freya,” sapanya datar, dengan nada yang tidak mengandung kehangatan sedikit pun. “Kau sendirian?”Freya menelan ludah, berusaha menjaga sopan santun.> “Iya, Bu. Arga sudah berangkat ke kantor.”Ny. Ratna melangkah masuk tanpa diminta. Tatapannya langsung jatuh pada beberapa tumpukan pakaian dan kardus
Restoran mewah di pusat kota malam itu berkilau dengan cahaya hangat. Meja panjang di tengah ruangan sudah tertata rapi, lengkap dengan lilin aromatik, bunga segar, dan deretan hidangan berkelas. Di sisi kanan duduk keluarga Malik — Tuan Baskara, Ny. Ratna, dan Arga yang datang dengan jas gelapnya. Di sisi lain, keluarga Surya — keluarga Eveline — menyambut dengan senyum ramah. Suasana awalnya hangat, diwarnai pembicaraan ringan tentang bisnis dan kerja sama kedua perusahaan: Malik Group dan Surya Kapital Group, yang belakangan semakin erat. Eveline duduk anggun di sebelah ayahnya, mengenakan gaun pastel lembut yang membuatnya tampak bersinar. Tatapan matanya sering kali jatuh pada Arga — lembut, penuh rasa kagum. Sementara Arga, berusaha bersikap profesional, meski senyum sopannya tak bisa sepenuhnya menyembunyikan kelelahan batinnya. Di sisi lain meja, Ny. Ratna tampak bersinar malam itu — bukan karena kebahagiaan tulus, melainkan karena ambisi yang sejak lama ia simpan. > “Rasa
Waktu berjalan begitu cepat. Musim hujan datang dan pergi, namun jarak antara Arga dan Freya tak juga mencair. Kini, Malik Group telah resmi menjalin kerja sama besar dengan Surya Kapital Group, perusahaan milik keluarga Eveline. Dalam beberapa bulan terakhir, nama Eveline sering terdengar di ruang kerja Arga, di rapat, bahkan di berita bisnis nasional. Ia menjadi wajah baru yang membawa napas segar bagi banyak proyek Malik Group yang sempat goyah. Dan di balik semua keberhasilan itu, kedekatan Arga dan Eveline semakin tak terelakkan. Mereka sering bepergian bersama — rapat di luar kota, kunjungan ke proyek, dan menghadiri konferensi bisnis di hotel-hotel besar. Di awal, semua terasa profesional. Namun perlahan, batas antara urusan pekerjaan dan keakraban pribadi menjadi kabur. Sore itu, di lobi hotel bintang lima di Bandung, Arga dan Eveline berdiri berdampingan menunggu kendaraan yang akan menjemput mereka. Eveline mengenakan blazer krem dan rok pensil yang elegan, semen







