Home / Rumah Tangga / Perempuan Yang Kalian Remehkan / Pagi Yang Tak Lagi Hangat

Share

Pagi Yang Tak Lagi Hangat

Author: Queenara
last update Last Updated: 2025-10-09 13:38:46

Pagi itu terasa begitu tenang. Udara masih lembap, langit belum sepenuhnya terang, dan suara azan Subuh menggema dari kejauhan, bersahut-sahutan dari masjid ke masjid. Freya membuka matanya perlahan. Cahaya lampu tidur yang temaram memantul di wajahnya yang tampak masih letih karena malam sebelumnya ia menangis diam-diam.

Meski bukan seorang muslim, suara azan selalu memberinya rasa damai. Ada ketenangan yang tak bisa dijelaskan setiap kali lantunan itu terdengar, seolah menjadi panggilan lembut untuk memulai hari dengan hati yang bersih.

Ia menoleh pelan ke arah suaminya. Arga masih terlelap, napasnya berat, wajahnya tampak lesu bahkan dalam tidur. Freya memperhatikan garis wajah itu lama sekali—wajah yang dulu selalu membuatnya jatuh cinta berkali-kali. Namun kini, ada sesuatu yang berbeda. Ada jarak yang dingin, ada dinding yang tak kasatmata di antara mereka.

Kemarin malam, kata-kata Arga masih terngiang jelas di telinganya—tajam, menyakitkan, dan tak termaafkan. Tapi Freya memilih diam. Ia tahu, suaminya sedang tertekan. Arga sedang tidak baik-baik saja. Dan cinta... cinta sering kali berarti menahan diri untuk tidak menambah luka orang yang kita sayang, bahkan ketika hati sendiri hancur berkeping.

Freya menghela napas panjang. Ia duduk di tepi ranjang, menatap wajah Arga yang terlihat begitu lelah. “Aku tahu kamu lagi kesulitan...” bisiknya nyaris tak terdengar, “tapi aku nggak akan pergi. Aku di sini.”

Ia tersenyum samar, meskipun matanya mulai berair lagi. Dengan lembut, ia menyibak poni yang menutupi dahi Arga, lalu berdiri perlahan agar tidak membangunkannya.

Langkahnya menuju dapur terasa seperti ritual harapan kecil. Ia menyalakan lampu, mengambil celemek yang tergantung di dinding, dan mulai menyiapkan bahan-bahan. Di meja dapur, Freya menatap bahan-bahan sederhana yang ada: telur, sosis, roti, sedikit sayuran.

“Setidaknya aku masih bisa buat sarapan favoritmu,” gumamnya lirih sambil tersenyum getir.

Ia mulai bekerja. Suara minyak panas berdesis pelan ketika ia memasukkan telur ke wajan. Aroma harum mulai memenuhi udara, berpadu dengan cahaya matahari pagi yang perlahan menembus tirai dapur. Dalam kesunyian itu, Freya merasa sedikit tenang. Tangannya sibuk, tapi pikirannya penuh kenangan—tentang masa-masa awal mereka dulu.

Tentang saat Arga masih berjuang merintis usahanya, meskipun Arga berasal dari keluarga kaya. . Arga sering berkata kalau Freya adalah keberuntungannya, motivasinya untuk bangkit setiap kali gagal. Tapi sekarang… kata-kata itu hanya tinggal kenangan.

Freya menunduk, menahan air mata yang hampir jatuh ke adonan roti. “Kamu berubah, ga” ucapnya lirih, “tapi aku tetap sama. Aku masih orang yang dulu selalu percaya sama kamu.”

Setelah selesai memasak, Freya menata sarapan di meja makan. Ia bahkan menyeduh kopi hitam—pahit, seperti yang Arga suka. Lalu ia berdiri memandangi meja yang rapi itu sambil berbisik,

“Semoga pagi ini sedikit meringankan bebanmu.”

Ia menatap ke arah kamar, berharap Arga segera bangun dan tersenyum walau sedikit. Ia tahu, cinta bukan hanya soal kata-kata indah, tapi juga kesabaran tanpa batas, bahkan ketika yang kita tunggu tak kunjung menoleh pada kita.

Pagi itu, Freya menyiapkan segalanya bukan hanya karena cinta… tapi juga karena tekad untuk tetap menjadi cahaya kecil dalam hidup seseorang yang perlahan kehilangan arah.

***

Langit sudah mulai terang ketika langkah kaki berat terdengar dari arah kamar. Freya yang tengah menuang kopi ke dalam cangkir menoleh pelan. Arga keluar dengan rambut acak-acakan, mata sembab, dan wajah tanpa ekspresi.

Ia bahkan tidak menatap Freya ketika berjalan menuju meja makan.

“Selamat pagi, mas,” ucap Freya pelan, mencoba mencairkan suasana. Suaranya lembut, nyaris bergetar, tapi tetap ia paksa terdengar ceria.

Arga hanya menggumam kecil, lebih mirip helaan napas daripada jawaban. Ia duduk, menarik kursi, lalu menatap piring sarapan di depannya—telur mata sapi, sosis goreng, roti panggang, dan secangkir kopi hitam yang masih mengepulkan asap.

Freya duduk di hadapannya.

“Aku buatkan makanan kesukaanmu,” ujarnya dengan senyum tipis. “Kamu pasti belum makan sejak kemarin malam, kan?”

Arga tidak menanggapi. Ia hanya menatap sarapan itu, lalu mengambil sendok dengan gerakan kaku.

Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Hanya suara piring yang saling beradu pelan dan detak jam dinding yang terdengar.

Freya menatapnya lama. Di dalam diam itu, ia ingin mengatakan banyak hal. Bahwa ia tahu Arga sedang tertekan karena karyawan yang mengkhianati perusahaannya. Bahwa ia mengerti betapa keras suaminya bekerja membangun segalanya dari nol. Bahwa ia masih percaya Arga akan bisa melewati semua ini. Tapi ia menahan diri, menunggu waktu yang tepat.

Ketika Arga mulai meneguk kopinya, Freya memberanikan diri.

“Mas,” ujarnya lembut, “aku tahu kamu lagi banyak pikiran. Tapi kamu nggak sendiri, ya? Aku di sini. Aku bakal bantu apa pun yang aku bisa.”

Arga menghentikan gerakannya sejenak. Tatapannya kosong, lalu pelan-pelan ia meletakkan cangkirnya.

“Bantu?” suaranya datar, tanpa emosi. “Kamu bisa bantu apa, Freya?”

Nada itu tajam, tapi bukan marah. Lebih seperti rasa putus asa yang disembunyikan dalam sarkasme.

Freya tersenyum tipis, meskipun hatinya tercekat. “Aku mungkin nggak bisa bantu banyak. Tapi aku bisa dengerin kamu. Aku bisa nemenin kamu lewat masa susah ini.”

Arga mendengus pelan. “Aku nggak butuh ditemani. Aku butuh solusi.”

Ia menunduk, menatap meja seolah sedang menghitung kesalahannya satu per satu. “Perusahaan bisa bangkrut, Freya. Semua kerja keras selama bertahun-tahun bisa hilang cuma karena satu orang bodoh yang aku percaya.”

Freya menggenggam tangannya di atas meja.

“Mas Arga…” panggilnya lembut, “semua orang pernah salah percaya. Tapi itu bukan akhir dari segalanya. Kamu pernah mulai dari nol dulu, kan? Kalau dulu kamu bisa, sekarang juga bisa.”

Namun tangan yang ia coba genggam justru ditarik perlahan. Arga mengusap wajahnya, menghela napas panjang.

“Kamu nggak ngerti, Freya…” katanya dengan suara rendah. “Sekarang beda. Aku udah nggak punya tenaga buat mulai lagi. Aku capek.”

Freya terdiam. Kata-kata itu menohok jantungnya lebih dalam daripada bentakan semalam.

Ia tahu Arga tidak bermaksud melukai, tapi kalimat itu tetap membuat dadanya sesak.

Meskipun begitu, ia menahan diri. Ia tidak boleh menangis sekarang. Tidak di depan suaminya yang sedang rapuh.

Ia tersenyum lembut, meski air mata hampir menetes. “Kalau kamu capek, istirahat dulu, Mas. Aku nggak akan ninggalin kamu. Aku janji.”

Suara Freya nyaris bergetar, tapi ia menatap Arga dengan mata penuh keyakinan.

Arga menatap balik sekilas, lalu memalingkan pandangannya ke arah jendela.

“Kenapa kamu masih di sini, Freya?” tanyanya tiba-tiba. “Kenapa kamu nggak pergi aja, kayak orang lain?”

Pertanyaan itu menggantung di udara. Sunyi. Dingin.

Freya menarik napas panjang, lalu menjawab dengan senyum yang sangat lembut—senyum yang menutupi luka di hatinya.

“Karena aku cinta kamu, Mas. Aku bukan cuma istri di saat bahagia, aku juga mau jadi istri di saat kamu jatuh.”

Arga tak menjawab. Ia hanya menatap kosong ke luar jendela, ke arah langit yang mulai terang.

Sementara Freya diam di tempatnya, menatap punggung suaminya dengan hati yang perlahan retak.

Ia tahu, cinta saja mungkin tidak cukup untuk menghangatkan hati yang sedang beku. Tapi ia juga tahu… cinta yang tulus tidak akan menyerah secepat itu.

Pagi itu, dua orang yang dulu saling mencintai duduk di meja makan yang sama, tapi terasa seperti dunia mereka sudah terpisah jauh.

Namun di hati Freya, tekadnya tetap sama: ia akan bertahan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perempuan Yang Kalian Remehkan   Langkah Pertama

    Matahari siang bersinar terik ketika Freya turun dari bus kota di depan sebuah kawasan industri sederhana di pinggiran kota. Udara bercampur debu dan aroma kain dari pabrik-pabrik garmen yang berjejer di kiri kanan jalan. Ia menatap sekeliling dengan napas panjang—ada rasa gugup, tapi juga semangat yang menyalakan nyali kecil di dadanya.Di tangannya tergenggam tas jinjing berisi buku catatan, ponsel, dan map plastik berisi beberapa lembar uang tunai. Uang itu bukan jumlah yang kecil, hasil dari simpanan yang ia kumpulkan bertahun-tahun—dan kini, semuanya ia pertaruhkan untuk satu kata: berani.“Freya!”Sebuah suara ceria memanggil dari arah gerbang pabrik. Seorang wanita berambut sebahu melambaikan tangan. Wajahnya cerah, dengan senyum lebar yang selalu menenangkan.Talita.Freya langsung tersenyum, perasaannya sedikit tenang.Mereka berpelukan sebentar, saling melepas rindu.“Aduh, Fre, akhirnya kita ketemu juga! Kamu kelihatan makin anggun aja. Pantes Arga betah,” canda Talita.Fre

  • Perempuan Yang Kalian Remehkan   Langkah Kecil Menuju Harapan

    Malam itu, rumah terasa sunyi. Lampu ruang tamu menyala redup, memantulkan cahaya hangat di wajah Freya yang termenung di depan meja. Di depannya terbuka sebuah buku tabungan, beberapa lembar slip bank, dan sebuah amplop berwarna krem yang sudah agak kusam di tepinya.Amplop itu dulunya disimpan di dalam laci kecil meja rias, terselip di antara pernak-pernik masa lalu — surat cinta pendek dari Arga, potret pernikahan mereka, dan selembar kartu ucapan bertuliskan tulisan tangan suaminya:> “Untuk istriku yang paling sabar, semoga hadiah kecil ini bisa kamu pakai sesuka hati. Aku ingin kamu bahagia.”Freya mengusap tulisan itu pelan. Sudah lama Arga tak lagi menulis kata sehangat itu padanya.Dulu, di awal pernikahan, Arga sering memberinya hadiah tanpa alasan. Uang untuk membeli apa pun yang ia mau, katanya. Tapi Freya jarang menggunakannya. Ia lebih memilih menyimpannya—entah kenapa, ada naluri yang membuatnya berpikir bahwa suatu hari nanti uang itu akan berguna.Dan malam ini, ketik

  • Perempuan Yang Kalian Remehkan   Pagi Yang Tak Lagi Hangat

    Pagi itu terasa begitu tenang. Udara masih lembap, langit belum sepenuhnya terang, dan suara azan Subuh menggema dari kejauhan, bersahut-sahutan dari masjid ke masjid. Freya membuka matanya perlahan. Cahaya lampu tidur yang temaram memantul di wajahnya yang tampak masih letih karena malam sebelumnya ia menangis diam-diam. Meski bukan seorang muslim, suara azan selalu memberinya rasa damai. Ada ketenangan yang tak bisa dijelaskan setiap kali lantunan itu terdengar, seolah menjadi panggilan lembut untuk memulai hari dengan hati yang bersih. Ia menoleh pelan ke arah suaminya. Arga masih terlelap, napasnya berat, wajahnya tampak lesu bahkan dalam tidur. Freya memperhatikan garis wajah itu lama sekali—wajah yang dulu selalu membuatnya jatuh cinta berkali-kali. Namun kini, ada sesuatu yang berbeda. Ada jarak yang dingin, ada dinding yang tak kasatmata di antara mereka. Kemarin malam, kata-kata Arga masih terngiang jelas di telinganya—tajam, menyakitkan, dan tak termaafkan. Tapi Freya mem

  • Perempuan Yang Kalian Remehkan   Kata-Kata Yang Menyayat

    Pintu kamar berderit pelan. Arga masuk dengan langkah gontai, dasi sudah terlepas, wajahnya kusut penuh beban. Matanya merah, entah karena lelah atau terlalu banyak menahan emosi seharian.Freya yang masih duduk di tepi ranjang tersentak. Cepat-cepat ia menyeka pipinya dengan punggung tangan, menyembunyikan sisa air mata. Ia tidak ingin Arga tahu betapa hancurnya hatinya setelah ucapan ibu mertuanya tadi.“Ga…” panggilnya pelan, penuh hati-hati.Arga tidak menjawab. Ia hanya menjatuhkan tubuhnya ke sofa di sudut kamar, menghela napas panjang seakan dunia menindih bahunya.Freya menatapnya penuh iba. Ada dorongan kuat dalam hatinya untuk mendekat, untuk setidaknya membuat suaminya merasa lebih ringan. Ia tahu, Arga sedang dalam tekanan besar.Dengan langkah ragu, Freya bangkit lalu duduk di samping suaminya. Tangannya terulur, menyentuh lembut lengan Arga. “Kamu pasti capek banget. Aku tahu ini berat buatmu. Tapi kamu nggak sendirian, Ga. Aku di sini…” suaranya lirih, tulus, berusaha m

  • Perempuan Yang Kalian Remehkan   Retakan Di Atas Singgasana

    Malam itu, rumah terasa lengang. Arga baru pulang larut, wajahnya lelah dan dingin, langsung masuk kamar tanpa banyak bicara. Freya hanya bisa menatap punggung suaminya dengan perasaan hampa. Kata-kata yang dulu menumbuhkan luka kini berubah menjadi penguat tekad. Kalau aku terus diam, aku akan selamanya diremehkan. Begitu Arga terlelap, Freya mengambil ponselnya. Ia membuka daftar kontak dan menemukan nama yang sudah lama tak ia hubungi: Talita. Sahabat SMA-nya yang dulu selalu ceria, kini bekerja di sebuah pabrik garmen dan punya usaha kecil-kecilan berjualan online. Freya ragu sejenak, tapi akhirnya ia menekan tombol panggil. “Freya? Ya ampun, akhirnya kamu telepon juga!” suara Talita terdengar riang di ujung sana. “Aku sempat mikir kamu udah lupa sama aku, setelah nikah dengan pria mapan.” Freya tersenyum kecut. “Mana mungkin aku lupa, Tal. Justru aku butuh kamu sekarang.” “Lho? Ada apa? Suaramu serius sekali,” tanya Talita penasaran. Freya menarik napas panjang. “Aku… ingin

  • Perempuan Yang Kalian Remehkan   Arisan Para Nyonya

    Akhir pekan itu, restoran mewah di pusat kota dipenuhi suara gelak tawa dan obrolan riuh. Ruang VIP yang biasanya digunakan untuk jamuan bisnis, kali ini dikuasai oleh sekumpulan wanita anggun bergaun elegan—para sosialita yang terbiasa hidup dalam kemewahan. Di salah satu sudut meja panjang itu, Ny. Ratna, ibu Arga, duduk dengan postur tegap dan senyum penuh percaya diri. Hari ini adalah jadwal arisan bulanan yang selalu ia nantikan. Selain sebagai ajang berkumpul, arisan ini juga menjadi arena terselubung untuk pamer status, kekayaan, dan tentu saja, menantu. “Ah, Mariam, kamu bawa menantumu ya?” tanya salah satu nyonya dengan suara manis yang penuh kepura-puraan. Seorang wanita paruh baya tersenyum lebar sambil merangkul bahu seorang perempuan muda cantik yang duduk di sebelahnya. “Iya dong! Kenalin, ini Livia, istri anak sulungku. Dia dokter spesialis kandungan. Baru buka klinik sendiri bulan lalu.” “Ohhh…” serempak para nyonya bersuara kagum. “Luar biasa!” sahut nyonya lain.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status