Share

Kata-Kata Yang Menyayat

Author: Queenara
last update Last Updated: 2025-09-26 15:38:09

Pintu kamar berderit pelan. Arga masuk dengan langkah gontai, dasi sudah terlepas, wajahnya kusut penuh beban. Matanya merah, entah karena lelah atau terlalu banyak menahan emosi seharian.

Freya yang masih duduk di tepi ranjang tersentak. Cepat-cepat ia menyeka pipinya dengan punggung tangan, menyembunyikan sisa air mata. Ia tidak ingin Arga tahu betapa hancurnya hatinya setelah ucapan ibu mertuanya tadi.

“Ga…” panggilnya pelan, penuh hati-hati.

Arga tidak menjawab. Ia hanya menjatuhkan tubuhnya ke sofa di sudut kamar, menghela napas panjang seakan dunia menindih bahunya.

Freya menatapnya penuh iba. Ada dorongan kuat dalam hatinya untuk mendekat, untuk setidaknya membuat suaminya merasa lebih ringan. Ia tahu, Arga sedang dalam tekanan besar.

Dengan langkah ragu, Freya bangkit lalu duduk di samping suaminya. Tangannya terulur, menyentuh lembut lengan Arga. “Kamu pasti capek banget. Aku tahu ini berat buatmu. Tapi kamu nggak sendirian, Ga. Aku di sini…” suaranya lirih, tulus, berusaha menenangkan.

Namun bukannya terhibur, Arga justru mengibaskan tangannya kasar, menyingkirkan sentuhan itu. “Jangan sok pengertian, Freya!” bentaknya.

Freya terperanjat. Matanya membesar, seolah dadanya dipukul keras.

Arga berdiri, menatapnya dengan sorot mata tajam penuh amarah yang tak seharusnya diarahkan pada istrinya. “Kamu nggak ngerti apa-apa! Kamu nggak tahu rasanya punya tanggung jawab sebesar ini! Semua orang menatap aku, menunggu aku jatuh. Dan kamu? Kamu cuma bisa duduk manis di rumah, berharap semuanya beres dengan sendirinya!”

“Arga…” suara Freya tercekat.

Tapi Arga tidak berhenti. Kata-katanya semakin menusuk. “Kalau saja aku menikah dengan perempuan yang punya latar belakang keluarga jelas, kaya raya, mungkin aku nggak akan seperti ini sekarang. Aku nggak akan dipermalukan di depan orang tuaku. Aku nggak akan sendirian menanggung beban ini!”

Kata-kata itu melesat seperti pisau, menghunjam tepat di dada Freya. Ia membeku, pandangannya kabur oleh genangan air mata yang kembali jatuh.

Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar tidak dihargai oleh pria yang dulu ia percaya akan melindunginya. Semua luka dari hinaan keluarga Arga, kini bertambah dengan tusukan dari suaminya sendiri.

Freya menunduk, bibirnya bergetar, namun ia tidak berkata apa-apa. Hanya diam, membiarkan tangisnya pecah dalam kesunyian.

Arga yang masih berdiri dengan napas memburu akhirnya terdiam, tapi ego membuatnya enggan meminta maaf. Ia memilih berbalik, meninggalkan Freya yang terisak sendirian di kamar.

Dan di malam itu, untuk kesekian kalinya, hati Freya retak oleh orang yang seharusnya paling melindunginya.

***

(POV Freya)

Aku duduk membatu di tepi ranjang. Kata-kata Arga terus terngiang-ngiang di kepalaku, berulang-ulang seperti bisikan setan yang tidak mau pergi.

"Kalau saja aku menikah dengan perempuan dari keluarga kaya, mungkin aku nggak akan seperti ini sekarang."

Jantungku serasa diremas. Nafasku pendek, mataku panas, dan butiran air mata jatuh tanpa bisa aku hentikan. Bukan hanya kata-katanya, tapi tatapan dingin penuh amarah itu. Tatapan yang membuatku merasa kecil, tidak berarti apa-apa.

Aku menatap jemariku sendiri. Tangan yang kurus dan pucat ini, tangan yang setiap hari berusaha menyajikan makanan untuknya, merapikan rumah agar ia nyaman, merawatnya ketika ia pulang dalam keadaan lelah. Apa semua itu tidak cukup? Apakah semua pengorbananku selama ini tidak ada artinya hanya karena aku tidak lahir dari keluarga kaya?

Hatiku sakit. Sangat sakit. Rasanya seperti ditusuk berulang kali. Aku ingin marah, ingin menjerit di hadapan Arga dan keluarganya, ingin berkata bahwa aku bukan boneka yang bisa mereka hina sesuka hati.

Tapi suaraku tercekat. Seakan tenggorokanku terkunci rapat. Yang keluar hanya isak pelan yang teredam oleh bantal.

Aku menatap bayangan wajahku di cermin kamar. Mata sembab, pipi basah, rambut berantakan. Perempuan ini… perempuan dalam cermin itu… sudah tidak bisa lagi terus-menerus diam.

Aku sadar, aku tidak akan pernah bisa membuat mereka menghargai aku dengan cara lama: dengan hanya menunggu. Tidak. Aku harus membuktikan sesuatu.

Air mataku berhenti perlahan. Rasa sakit itu berubah menjadi bara kecil di dadaku. Bara yang semakin lama semakin menyala.

“Baiklah,” bisikku pada diri sendiri. “Kalau mereka menganggap aku hanya beban, aku akan buktikan bahwa aku bisa berdiri di atas kakiku sendiri. Aku akan buktikan kalau aku lebih dari sekadar menantu miskin yang mereka hina.”

Aku menghela napas panjang, menutup mata. Luka ini terlalu dalam, tapi justru dari luka inilah aku menemukan keberanian. Keberanian untuk memulai jalan baru, jalan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.

Dan kali ini, aku tidak akan lagi meminta izin siapa pun.

***

Hari itu langit sore berwarna keemasan. Di ruang keluarga rumah besar keluarga Baskara, aroma teh melati bercampur dengan wangi kue-kue mahal memenuhi udara. Nyonya Ratna duduk anggun di kursi empuk, ditemani beberapa sahabat sosialitanya. Mereka adalah wanita-wanita kelas atas yang terbiasa berbalut perhiasan berkilau, dengan topik pembicaraan yang selalu sama: siapa yang sukses, siapa yang gagal, dan siapa yang harus dijadikan bahan gosip berikutnya.

Gelak tawa meledak ketika salah satu dari mereka, Bu Mira, menirukan gaya bicara menantunya yang manja. “Bayangkan saja, setiap kali belanja, dia bilang, Mama, yang ini terlalu murah.”

Tawa semakin pecah. Namun di tengah canda itu, Bu Sinta—wanita berambut pirang tua yang dikenal paling haus gosip—tiba-tiba mencondongkan tubuhnya. Suaranya dikecilkan, seolah ingin memberikan kabar paling panas di meja itu.

“Eh, kalian sudah dengar berita terbaru? Ini masih hangat sekali.”

Semua kepala serempak menoleh. Nyonya Ratna mengangkat alisnya, sedikit tidak sabar. “Apa lagi, Sin? Kau selalu saja datang dengan cerita-cerita aneh.”

Bu Sinta tersenyum penuh kemenangan. “Kali ini bukan cerita aneh. Ini fakta. Eveline Surya—iya, Eveline, putri tunggal keluarga Surya yang kaya raya itu—akhirnya bercerai dari suaminya.”

Hening. Seolah waktu berhenti sesaat.

Nyonya Ratna merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Tangannya yang sedang memegang cangkir teh tiba-tiba terasa berat. “Apa kau bilang? Eveline… bercerai?”

“Benar sekali,” sahut Bu Sinta cepat, matanya berbinar. “Aku dengar langsung dari salah satu kerabatnya. Pernikahannya memang sudah lama bermasalah. Suaminya selingkuh dengan wanita lebih muda. Akhirnya, Eveline memilih pisah. Dan sekarang… dia single lagi.”

Bisik-bisik kecil mulai terdengar di meja itu. Beberapa nyonya menutup mulutnya dengan kipas sambil saling pandang penuh arti.

“Eveline itu…” kata Bu Mira dengan nada kagum, “Cantik, pintar, elegan. Dan tentu saja, kaya raya. Semua orang tahu dia dulu begitu tergila-gila pada Arga. Kalau bukan karena Arga bersikeras menikahi Freya, anakmu itu, Ratna, pasti sekarang Eveline sudah jadi menantumu.”

Kata-kata itu membuat perut Nyonya Ratna terasa perih. Senyum tipis terpaksa ia ukir, meski di dalam dadanya bergolak rasa kesal bercampur penyesalan. Ia mengingat jelas masa lalu itu—bagaimana Eveline yang sempurna datang, menawarkan cinta dan status. Tapi Arga… oh, Arga malah memilih seorang Freya. Gadis miskin tanpa harta, tanpa nama, tanpa apa pun yang bisa dibanggakan.

“Bayangkan saja, kalau Arga bersama Eveline,” lanjut Bu Sinta dengan nada penuh sindiran halus, “mungkin masalah keuangan keluarga kalian sekarang tidak akan separah ini. Eveline bisa jadi penyelamat. Sekarang dia kembali single, Ratna. Itu… kesempatan.”

Kalimat itu menusuk.

Nyonya Ratna terdiam cukup lama. Teman-temannya kembali bercanda, membicarakan hal-hal lain, tapi pikirannya tak lagi di sana. Ia hanya mendengar satu kata yang berulang kali menggema di telinganya: Eveline.

Sore itu, setelah semua tamunya pamit, rumah besar itu menjadi sunyi. Nyonya Ratna duduk di kursi ruang tamu, tatapannya kosong menembus jendela besar yang menghadap taman. Cangkir teh yang tadi ia pegang kini dingin, tak lagi tersentuh.

Tangannya mengetuk pelan meja kayu, berulang-ulang, mengikuti irama hatinya yang tak tenang. Ia mengingat kembali wajah Eveline yang anggun, caranya berbicara dengan penuh wibawa, serta status keluarganya yang berpengaruh besar di dunia bisnis. Eveline adalah menantu impian. Menantu yang bisa menjadi sandaran ketika badai menghantam keluarga.

“Eveline… sekarang single lagi,” gumamnya lirih. Senyum samar muncul di wajahnya. Senyum yang penuh arti, senyum seorang wanita yang baru saja menemukan secercah harapan.

Arga sedang goyah. Perusahaannya diguncang masalah besar. Tuan Baskara pun mulai kesulitan menahan laju kerugian di perusahaan keluarga. Dan di saat genting inilah, Eveline kembali hadir. Bukankah itu seperti takdir yang memberi kesempatan kedua?

Nyonya Ratna bersandar di kursi, matanya berkilat. “Mungkin inilah waktunya untuk memperbaiki kesalahan tiga tahun lalu,” bisiknya pada diri sendiri.

Ia sudah tahu apa yang harus dilakukan. Dan sayangnya, itu berarti semakin menyingkirkan Freya dari kehidupan putranya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perempuan Yang Kalian Remehkan   pilihan Yang Menyakitkan

    Malam Itu Hujan turun tipis. Udara terasa lembab. Lampu-lampu jalan terlihat redup di balik kaca. Freya membungkuk, satu tangan memegang ujung meja, satu tangan menekan perutnya yang seperti diremas dari dalam. > “Ah—” Sebuah erangan kecil lolos. Tidak keras, tapi jelas penuh rasa sakit. Talita yang sedang melipat pakaian-pakaian pesanan berhenti seketika. > “Freya? Kamu kenapa? Mukamu pucat banget.” Freya mencoba tersenyum, senyum yang terlalu dipaksa. > “Cuma… sakit perut biasa. Mungkin masuk angin.” Namun tepat setelah itu rasa nyeri datang lebih kuat, membuat lututnya hampir goyah. Talita memegang bahunya, suaranya panik: > “Ini bukan masuk angin! Kamu bahkan nggak bisa berdiri tegak! Kita ke rumah sakit sekarang!” Freya menggeleng pelan, menahan sakit sambil menarik napas pendek-pendek. > “Tunggu… Telepon Arga dulu. Dia harus tahu…” Talita mengambil ponsel Freya dan menekan panggilan. Nada berdering. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Tidak diangkat. Talita mencoba

  • Perempuan Yang Kalian Remehkan   Desas Desus Yang Nyata

    Kabar itu tidak langsung meledak besar. Namun seperti bara kecil yang tertiup angin, gosip itu merayap pelan, menembus sela-sela percakapan kantor, komunitas sosialita, hingga media online yang haus sensasi. Awalnya hanya sebuah foto: Arga dan Eveline terlihat keluar dari sebuah hotel konferensi di Bandung. Foto itu sebetulnya bersih—mereka menjaga jarak yang sopan. Namun ekspresi mereka terlalu nyaman untuk sekadar rekan kerja. Lalu muncul foto lain. Arga tertawa lepas saat Eveline menyentuh lengannya. Foto itu diambil candid, tanpa kesadaran mereka. Sebuah momen yang seharusnya hanya milik udara dan waktu, kini menjadi konsumsi publik. > “CEO muda Arga Pratama terlihat semakin dekat dengan putri tunggal pengusaha tekstil, Eveline Prawira. Apakah ini pertanda adanya hubungan spesial?” - GossipStar ID > “Istri? Tidak terlihat dalam lingkaran sosial Arga belakangan ini.” - HypeDaily Media Tagar mulai bermunculan. #ArgaEveline #PasanganSempurna #FuturePowerCouple T

  • Perempuan Yang Kalian Remehkan   Retakan Yang Semakin Besar

    Malam turun perlahan di langit Jakarta.Hujan rintik-rintik mengguyur kaca jendela, menimbulkan bunyi ritmis yang biasanya menenangkan, namun malam ini justru terasa seperti jarum yang menekan dada Freya.Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam ketika suara pintu utama terbuka.Freya menatap dari ruang tamu — wajahnya datar, bukan lagi senyum lembut seperti biasanya. Ia menunggu suara langkah yang sudah begitu ia kenal itu.Arga masuk dengan jas masih melekat di bahu, dasi longgar, dan wajah lelah yang tak berusaha disembunyikan. Hujan membuat rambutnya sedikit basah.Ia bahkan tidak menatap ke arah Freya. Langsung menuju dapur, membuka kulkas, mengambil air mineral, lalu meneguknya dalam sekali minum.Suasana di antara mereka hening.Begitu hening hingga suara detak jam dinding terdengar seperti palu kecil yang memukul waktu.Freya akhirnya berdiri. Di tangannya masih ada amplop berisi foto-foto yang tadi diberikan oleh Ny. Ratna. Ia berjalan perlahan, langkahnya tenang, tapi mata

  • Perempuan Yang Kalian Remehkan   Yang Tidak Pernah Diiinginkan

    Langit siang tampak cerah, tapi suasana di rumah itu terasa dingin.Freya baru saja selesai membereskan sisa sarapan Arga. Di meja makan masih tercium samar aroma kopi hitam dan roti panggang — kebiasaan pagi yang ia jaga dengan hati-hati, meski sering diabaikan.Ia baru saja hendak menjemput paket pesanan dari kurir ketika suara klakson mobil terdengar di halaman.Nada klakson itu khas — dua kali, cepat dan pendek.Freya terdiam sejenak.Ia tahu suara itu.Beberapa detik kemudian, suara langkah sepatu berhak terdengar di lantai marmer. Dan di ambang pintu ruang tamu, berdirilah Ny. Ratna Malik, dengan busana elegan warna krem dan tas bermerek menggantung di lengannya.> “Selamat siang, Freya,” sapanya datar, dengan nada yang tidak mengandung kehangatan sedikit pun. “Kau sendirian?”Freya menelan ludah, berusaha menjaga sopan santun.> “Iya, Bu. Arga sudah berangkat ke kantor.”Ny. Ratna melangkah masuk tanpa diminta. Tatapannya langsung jatuh pada beberapa tumpukan pakaian dan kardus

  • Perempuan Yang Kalian Remehkan   Jamuan Yang Mengubah Segala nya

    Restoran mewah di pusat kota malam itu berkilau dengan cahaya hangat. Meja panjang di tengah ruangan sudah tertata rapi, lengkap dengan lilin aromatik, bunga segar, dan deretan hidangan berkelas. Di sisi kanan duduk keluarga Malik — Tuan Baskara, Ny. Ratna, dan Arga yang datang dengan jas gelapnya. Di sisi lain, keluarga Surya — keluarga Eveline — menyambut dengan senyum ramah. Suasana awalnya hangat, diwarnai pembicaraan ringan tentang bisnis dan kerja sama kedua perusahaan: Malik Group dan Surya Kapital Group, yang belakangan semakin erat. Eveline duduk anggun di sebelah ayahnya, mengenakan gaun pastel lembut yang membuatnya tampak bersinar. Tatapan matanya sering kali jatuh pada Arga — lembut, penuh rasa kagum. Sementara Arga, berusaha bersikap profesional, meski senyum sopannya tak bisa sepenuhnya menyembunyikan kelelahan batinnya. Di sisi lain meja, Ny. Ratna tampak bersinar malam itu — bukan karena kebahagiaan tulus, melainkan karena ambisi yang sejak lama ia simpan. > “Rasa

  • Perempuan Yang Kalian Remehkan   Hati Yang Semakin Menjauh

    Waktu berjalan begitu cepat. Musim hujan datang dan pergi, namun jarak antara Arga dan Freya tak juga mencair. Kini, Malik Group telah resmi menjalin kerja sama besar dengan Surya Kapital Group, perusahaan milik keluarga Eveline. Dalam beberapa bulan terakhir, nama Eveline sering terdengar di ruang kerja Arga, di rapat, bahkan di berita bisnis nasional. Ia menjadi wajah baru yang membawa napas segar bagi banyak proyek Malik Group yang sempat goyah. Dan di balik semua keberhasilan itu, kedekatan Arga dan Eveline semakin tak terelakkan. Mereka sering bepergian bersama — rapat di luar kota, kunjungan ke proyek, dan menghadiri konferensi bisnis di hotel-hotel besar. Di awal, semua terasa profesional. Namun perlahan, batas antara urusan pekerjaan dan keakraban pribadi menjadi kabur. Sore itu, di lobi hotel bintang lima di Bandung, Arga dan Eveline berdiri berdampingan menunggu kendaraan yang akan menjemput mereka. Eveline mengenakan blazer krem dan rok pensil yang elegan, semen

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status