Share

Perfect Love
Perfect Love
Author: Lia Mauliza

Part 1: Ratu Sekolah

Para siswa-siswi SMA 1 Angkasa Jakarta berbaris di halaman sekolah dengan rapi dan tertib. Lima guru laki-laki dan wanita sedang menduduki meja di atas podium. Tepat pada hari senin, pihak sekolah akan mengumumkan juara umum siswa berprestasi pada semester satu tahun 2014. Pihak sekolah juga sudah menyiapkan penghargaan berupa piala dan sertifikat.

Kepala sekolah menaiki podium untuk memberikan nasihat kepada para siswa-siswi agar terus meningkatkan prestasi dan mematuhi aturan sekolah. Lalu, di lanjutkan oleh salah satu guru laki-laki bernama Anton yang akan mengumumkan nama siswa tersebut.

"Kali ini pasti dia lagi," ujar salah satu siswi berkacamata di barisan terakhir dengan raut wajah cemberut.

"Eva! Eva! Eva!" seru siswa-siswi serentak.

"Semua siswa diharapkan tenang. Bapak akan mengumumkan salah satu nama murid yang akan menerima penghargaan pada semester ini," ujar Pak Anton menggunakan mikrofon berdiri di atas mimbar podium. Lalu, Pak Anton membuka lembar kertas yang terlipat rapi dan sejenak memerhatikannya. "Siswa yang mendapatkan juara umum pada semester ini adalah Eva Gricia Sukma Negara!" sebut Pak Anton dengan suara lantang.

Semua guru dan siswa-siswi memberikan tepuk tangan yang meriah pada siswa berprestasi.

"Silahkan naik ke podium, Eva." Pak Anton mengakhiri permbicaraannya dan turun dari mimbar.

Eva yang berdiri di barisan ketiga sebelah kiri tersenyum bahagia mendengar namanya di sebut untuk kesekian kalinya

"Eva. Cepat naik ke podium!" teriak salah satu siswi berambut keriting di samping kanannya bernama Cici. Ia memiliki kepribadian yang genit dan rusuh.

"Selamat ya, Ev," ucap siswi lainnya di samping kirinya, bernama Raisa, gadis manis memiliki suara merdu.

Seorang siswi di baris kedua memalingkan wajahnya pada Eva dan memberikan jempol dengan wajah datar. Gadis bernama Rena ini terlihat tomboi dan pandai bela diri.

Eva memberikan jempol kembali pada ketiga sahabatnya Cici, Raisa dan Rena sambil tersenyum. Kemudian, Eva berjalan menuju podium. Eva menghadap seorang guru wanita untuk diberikan satu piala, rapor dan sertifikat untuknya.

"Terima kasih, Bu," ucap Eva pada seorang guru itu sambil bersalaman.

"Sama-sama. Belajar lagi dengan giat," ucap guru itu sambil tersenyum.

"Baik, Bu." Eva membalasnya dengan senyuman.

Setelah menerima penghargaan itu, Eva memperlihatkan penghargaannya kepada teman-teman. Eva menghela napas lega setelah berusaha begitu gigih untuk menjadi siswa yang berprestasi. Lalu, Eva menaiki mimbar untuk membacakan visi dan misi sekolah seperti biasa yang dilakukan oleh siswa-siswi sebelumnya.

"Eva!" teriak seorang siswa dari barisan kanan paling terakhir. Ia tersenyum dan melambaikan piala ke arah siswa bermata sipit itu.

"Dia pasti akan buat masalah lagi," ucap Cici menghela napas kesal.

"Kamu memang paling terbaik! Aku sayang sama kamu!" tambah siswa itu lagi.

"Jeremi! Ada kepala sekolah di depan," tegur teman di sampingnya.

Ia tak peduli dengan kehadiran kepala sekolah. Jeremi, sosok siswa nakal, tapi keren. Ia ahli dalam bermain basket dan mendapatkan kepercayaan menjadi kapten dalam Tim Merah dengan julukan tim Koko ganteng.

Sontak semua guru merasa kesal dengan tingkah Jeremi yang tak sopan. Kepala sekolah diri dari tempat duduknya dan menatap Jeremi tajam. Jeremi terdiam dan menundukkan kepala.

Eva tersenyum mendengar pujian dari kekasihnya itu.

"Terima kasih, Sayang. Aku juga sangat menyayangimu!" balas Eva masih menggunakan mikrofon.

"Hhhuuu! So sweet!" teriak siswa-siswi serentak.

Sontak seorang guru laki-laki berwajah tampan dan bertubuh tinggi juga tegap, berdiri dari tempat duduknya dan mendekati Eva.

"Eva!" tegur salah guru itu. Ia menarik tangan Eva turun dari mimbar podium.

"Paman!" ucap Eva berusaha melepaskan tangannya.

"Di sini, saya bukan pamanmu," ucap guru itu tegas. Guru membawa Eva kembali turun dari podium. "Buat malu saja dia."

"I love you, paman," ucap Eva dengan suara manja dan kembali ke barisan.

"Dia berani karena ada Pak Erik," kata siswi berkacamata di barisan tadi yang begitu membenci Eva.

Beberapa menit kemudian. Guru tampan tadi menghadap kepala sekolah di ruangannya. Bapak Hardi sangat terlihat sangat kecewa kepada siswa-siswi yang selalu membuat keributan di sekolah apa lagi bermesraan yang tak semestinya dilakukan anak sekolah.

"Bapak Erik Harris. Tolong nasehati keponakan bapak. Ini sudah kelewatan."

"Sekali lagi saya minta maaf, pak. Setelah ini saya akan memberikan peringatan dan nasehat kepada Eva, juga Jeremi, ucap Pak Erik merasa bersalah.

"Baiklah. Kamu boleh keluar." Pak Hardi mengakhiri pembicaraan.

Erik Harris merupakan paman kandung Eva yang berusia 33 tahun, dan berprofesi sebagai guru Matematika dan Sosial. Di mata siswa-siswi ia seorang guru yang sangat bijak dan tegas.

***

Sekolah Horace Maan, New York. Seorang siswa terbaik memutuskan pindah sekolah ke negara asalnya, Indonesia. Rendra Leunard Pratama, sosok siswa tampan, cerdas, tapi cuek. Sekarang, ia berdiri di depan gedung sekolah bersama seorang gadis cantik yang menunjukkan raut wajah sedih.

"Are you really going?" tanya gadis itu.

"Yes. I was right to go!" jawab Rendra jelas tanpa basa basi.

"Okay. Take care," ucap gadis itu tetap tersenyum.

Tak tunggu lama, Rendra memberikan senyuman tipis pada gadis bule itu dan pergi meninggalkannya. Rendra terus berjalan tanpa menoleh. Ia menatap lurus seolah-olah tersirat perasaan dendam di hatinya. Namun, ia tetap bersikap tenang dan memberikan sedikit senyum di ujung sudut bibirnya.

'Hidup memang tak ada yang sempurna. Namun, hidup akan sempurna jika sudah mendapatkan restunya'

***

"Sayang?" panggil Eva menyandarkan kepalanya di atas bahu Jeremi. Mereka berada di kursi barisan terakhir.

"Iya. Kenapa, Sayang? tanya Jeremi asyik bermain game di ponselnya.

"Nanti malam kita nonton bareng, yuk?" ajak Eva.

"Nonton lagi?

Sontak Jeremi kaget menghentikan tembakan pada gamenya. Raut wajahnya menunjukkan rasa tidak nyaman dengan ajakan Eva.

"Iya, nonton. Kenapa? Apa alasan kamu lagi?" tanya Eva kesal dan mengangkat kepalanya dari bahu Jeremi.

"Nggak. Tapi, bukannya baru kemarin kamu habis ajak aku nonton bareng? Sekarang kita mau pergi nonton lagi? Aku bosan." Jeremi menolak ajakan Eva.

"Oh. Jadi, ingkar janji kemarin malam, kamu bosan? tanya Eva mulai kesal Eva.

Jeremi melanjutkan bermain game dan seolah-olah ia tak ingin peduli.

Eva menyeringai heran dengan sikap Jeremi. Ia berdiri dari tempat duduk dan ingin segera pergi meninggalkan Jeremi.

Jeremi melirik ke arah Eva sambil tersenyum bercanda dan menarik tangan Eva menahannya pergi. "Aku cuma bercanda kok, Sayang." Ia menatap Eva dengan tatapan halus penuh godaan. "Aku janji, nanti malam aku jemput kamu dan kita nonton bareng di bioskop, oke?"

Eva masih terdiam dan hanya menatap Jeremi tanpa senyuman. "Bohong."

"Aku janji. Aku nggak bohong. Udah dong marahnya." Jeremi hendak memeluk Eva.

"Eh. Kamu nggak boleh peluk aku gitu aja, ini sekolah, " tolak Eva menghindar.

"Ya udah. Kamu nggak marah lagi 'kan?" tanya Jeremi masih meyakinkannya.

"Asalkan kamu tepati janjimu. Aku nggak akan marah." Eva masih sedikit jual mahal.

"Siap, Ratuku!" Jeremi mengangkat tangannya ke dahi dan memberikan senyuman pada kekasihnya itu.

Di sisi lain, Cici, Raisa dan Rena berdiri di samping meja guru sambil memerhatikan kemesraan Eva dan Jeremi. Mereka bertiga menunjukkan wajah kesal dan geram akan sikap Jeremi yang terlalu palsu, jika diperhatikan. Tapi, Eva tidak sadar akan hal itu.

"Aku harap mereka bisa putus," kata Cici.

"Eum. Aku juga nggak suka," lanjut Raisa.

"Nanti malam Eva akan putusin dia," tambah Rena begitu yakin.

Sontak Cici dan Raisa kaget mendengar perkataan Rena yang terdengar sembarangan dan mereka tak percaya akan perkataannya.

"Eva, Jeremi! Ikut bapak sekarang!" perintah Erik tiba-tiba muncul dan membuat semua siswa-siswi kelas 2 A terkejut.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
menarik nih ceritanya.. pengen follow akun sosmed nya tp ga ketemu :( boleh kasih tau gaa?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status