Share

Part 2: Kebiasaan Aneh

Malam pun tiba, tepatnya pukul 19:00, dan Eva berkali-kali menelpon Jeremi, tapi tak ada jawaban. Eva mondar-mandir di dalam kamarnya dengan perasaan marah.

'BUUKH!'

Eva melempar ponselnya ke dinding kamar sampai hancur.

Suasana keheningan malam di rumahnya semakin terasa. Tidak orang tua di rumah karena sibuk kerja membuat Eva semakin stres.

"Aaaakkk! Jeremi sialan!" cibir Eva sangat murka. Air matanya jatuh dan merenungkan sejenak pikirannya sambil duduk di atas ranjang kasurnya. "Dan, apa yang ku harapkan di rumah ini. Hancur semuanya." Ia mengambil tas dan pergi meninggalkan rumah orang tuanya.

***

Keesokan paginya. Eva yang masih tertidur pulas dalam keadaan terlentang, tidak merasa terganggu dengan suara kicauan burung Beo yang tergantung di atas balkon kamar yang ia tempati, dan yang pasti bukan rumah orang taunya. Rumah putih bertingkat dua nomor 51, kompleks mekar.

Eva terlihat begitu polos saat tertidur. Wajahnya yang cantik menutup tingkah emosionalnya yang begitu membara. Ia berbalik ke posisi kiri menghadap jendela yang memancarkan sinar matahari pagi.

Di sisi lain, Pak Erik membuka pintu rumahnya dengan membawa beberapa makanan di dalam plastik. Ia terlihat masih mengenakan baju kerja dan ia terlihat lelah. Ia menutup pintu dan menghela napas seraya menuju ruang dapur. Ia melihat gelas dan piring kotor terletak di atas pantri begitu saja.

"Dia sudah kembali." Pak Erik menggelengkan kelapanya sambil tersenyum. Kemudian, ia bergegas membersihkan gelas dan piring kotor tersebut.

Pak Erik memasuki rumah dan menaruh makanan di atas meja makan. Lalu, Pak Erik menuju kamarnya yang berada di samping tangga dan segera membersihkan diri setelah lembur semalaman.

Beberapa saat kemudian. Tiba-tiba, Eva bangun dari tempat tidurnya dalam keadaan matanya yang masih tertutup. Ia berjalan menuju ke arah pintu tanpa sadar.

Lalu, ia membuka pintu kamarnya dan berjalan menuruni tanpa melihat. Tubuhnya berjalan lurus, namun tak karuan.

Secara kebetulan Pak Erik keluar dari kamarnya sambil memegang koran dan berjalan menuju ruang sofa berhadapan dengan tangga rumah. Sontak ia kaget melihat Eva berjalan layaknya hantu tak bersuara menabrak dinding. Pak Erik dengan cepat berlari ke arah Eva, memutar balikkan badannya dan menuntunnya berjalan menuju sofa. Pak Erik memegang kedua bahu Eva dan menyuruhnya duduk.

Tak sanggup menghadapi tingkah aneh Eva, Pak Erik mengambil semprotan pembersih kaca dan menyemprot air tersebut ke wajahnya. Dalam seketika mata Eva terbuka lebar dalam sekejap dan memandang kosong tanpa berkedip.

"Aaaakkk! Hujan hujan hujan!" teriak Eva sangat keras.

"Hujan? Ambil payungnya dulu sana!" perintah Pak Erik.

Sontak Eva berdiri dari tempat duduknya dan mengambil payung di keranjang, di balik pintu.

"Hei, Hei. Taruh balik itu payung. Balik ke sini." Pak Erik mengayun tangannya menyuruh Eva kembali.

Sontak langkah Eva terhenti dan berpikir sejenak sambil menatap Erik menahan ketawa.

"Paman!" teriaknya sangat keras.

"Aduh! Paman bisa tuli kalau kau terus berteriak." Erik menutup kedua telinganya.

Eva kembali menghampiri Pak Erik di sofa. "Paman sih, pakai semprot orang segala lagi."

"Biar kau cepat sadar. Paman sudah berkali-kali ingatin kau untuk cuci kaki dulu sebelum tidur. Tapi, kau tak dengar." Pak Erik terlihat kesal.

Eva tertawa kecil. "Lupa. Maaf."

"Sudah salah minta maaf. Jangan selalu minta maaf, tapi ubah kebiasaan aneh kau itu. Kamu mau jadi hantu beneran? hah? Ini demi kebaikanmu juga," tambah Erik menasihati Eva yang begitu keras kepala.

"Oke, oke. Besok malam Eva akan lakukan seperti yang paman katakan. Janji," ucap Eva. Ia menatap pamannya sambil tersenyum. "Paman?"

"Apa lagi?" tanya Erik sambil bersandar sofa seraya menekan tombol televisi.

"Lapar." Eva memegang perutnya yang sudah keroncongan. Ia meminta Pak Erik buatkan sarapan untuknya.

"Lapar?"

"Iya. Dari kemarin aku belum makan," keluhnya menunjukkan wajah kasihan.

"Memang kamu mau sarapan apa?" tanya Erik.

"Roti bakar rasa daun bawang," jawabnya.

"Itu lagi?"

"Iya. Boleh 'kan? Please," pinta Eva memohon seraya menempelkan kedua tangannya.

"Ya sudah, paman buatkan. Padahal paman sudah beli nasi guri. Oke, baiklah. Roti bakar daun bawang." Erik berdiri dari tempat duduk dan bergegas menuju ke dapur.

Beberapa menit kemudian, setelah Eva dan Pak Erik menyelesaikan sarapannya, mereka langsung bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Eva mengenakan seragam sekolah, kemeja putih berlengan pendek, memakai dasi berwarna biru, dan rok biru dongker sepanjang lutut. Tak lupa, Eva menambahkan sedikit riasan di wajahnya agar terlihat lebih cantik.

"Eva!" panggil Pak Erik.

"Iya!" jawabnya yang sedikit terburu-buru.

Erik mengetok pintu kamar Eva. "Udah apa belum? Jangan terlalu tebal juga itu makeup. Kau itu anak sekolahan bukan model majalah!" kata Pak Erik dari balik pintu menasehati Eva.

"Paman ini jadul banget deh. Ini riasan anak zaman now!" jawab Eva seraya mengambil tas di atas meja belajar dan segera membuka pintu kamarnya.

"Wow!" ucap Eva saat melihat penampilan pamannya yang selalu keren dan rapi.

Pak Erik terlihat tampan mengenakan kemeja hitam dengan dasi berwarna biru, lengkap dengan celana hitam berbahan kain katun, dan sepatu formal.

"Ganteng 'kan?" tanya Pak Erik memuji diri sendiri sambil memutarkan tubuhnya.

"Sempurna! Mmmccuuah!" cium Eva di pipi kiri Pamannya. Lalu, ia menarik tangan Pak Erik keluar dari rumah.

"Eva! Jijik aku." Erik menghapus bekas bibir Eva di pipinya.

***

Cici, Raisa, dan Rena sedang sarapan di kantin sekolah di tempat Kak Yeyen, seorang wanita seksi juga genit. Ia bekerja sebagai asisten koki.

"Eva ke mana? kok nggak ikut kalian sarapan hari ini?" tanya Kak Yeyen yang sedang beristirahat sejenak sambil menemani Cici, Raisa dan Rena sarapan.

Kata Eva, "Dia hari ini sarapan di rumah."

"Rumah Pak Erik?" tanya Kak Yeyen lagi tersenyum malu saat bertanya tentang Pak Erik.

Cici, Raisa, dan Rena tertawa melihat tingkah genit Kak Yeyen.

"Sepertinya iya. Oh, ya. Gimana kalau Kak Yen jemput Pak Erik di parkiran hari ini? Pasti dia suka," ajak Cici, tapi ia sedang bercanda.

"Boleh," jawab Kak Yeyen bersemangat.

"Tidak boleh pergi!" sahut seorang lelaki berusia 40 tahun yang merupakan Koki utama, Dodi.

"Dodi? Sekali saja," pinta Kak Yeyen pada atasan.

"Ini waktunya jualan, bukan pacaran!" tegas Koki Dodi.

Cici, Raisa, dan Rena tertawa melihat tingkah lucu Kakak Yeyen dengan Koki Dodi.

"Kalian pasti berjodoh," ujar Cici asal menebaknya.

"Ogah!" jawab Kak Yen dan Koki Dodi serentak.

"Sabar ya, Kak. Lain kali saja Kak Yeyen ketemu Pak Erik. Kami mau masuk ke kelas dulu," sahut Raisa.

"Iya," jawab Kak Yeyen terlihat sedih.

***

Eva dan Pak Erik masih dalam perjalanan menuju sekolah. Eva yang sibuk memeriksa buku catatannya merasa tidak puas dengan tugas yang dikerjakannya tadi malam. Soal matematika dan rumus penyelesaian yang kurang tepat. Ia segera memperbaiki tugasnya tanpa mengganggu Pak Erik yang sedang mengemudi.

Beberapa menit kemudian, setelah mengerjakan tugas, ia mulai berpikir untuk mengusik pamannya itu yang sangat berhati-hati dalam mengendarai mobil BMW kesayangannya itu.

"Hmm. Paman?" panggilnya menatap curiga.

"Kenapa? Apa lagi sekarang?" tanya Pak Erik sedikit meliriknya. Ia sangat mengetahui sifat keponakannya, jika sudah memanggilnya pelan dan menatap curiga.

"Paman punya pacar, ya?" tanya Eva kontan.

Sontak Pak Erik sedikit terkejut dengan pertanyaan Eva yang tiba-tiba. "Pacar?"

"Iya."

"Ngaco kamu." Pak Erik mengelak dan tak ingin menjawab.

"Keliatan banget tahu." Eva tidak mempercayainya. Ia memindahkan pandangannya menatap ke arah depan. "Akhir-akhir ini paman aneh banget. Pulang pergi ke luar kota lagi. Memangnya paman ketemu sama siapa?" tanya Eva penasaran.

"Ada deh. Mau tahu aja kamu," jawab Pak Erik sambil tersenyum.

"Kok gitu sih. Pokoknya, Paman nggak boleh nikah dulu, sebelum Eva lulus sekolah," pinta Eva melarang Pak Erik.

"Iya, iya. Dulu 'kan paman udah janji. Sebelum keponakan paman ini lulus sekolah, paman akan jadi pengawal hidupnya sampai dewasa," ucap Erik tersenyum sembari mengelus rambut Eva yang panjang dan lembut itu.

Eva tertawa kecil yang menampakkan gigi rapinya. "Makasih, paman."

Beberapa menit kemudian, Eva dan Pak Erik tiba di sekolah. Mereka turun dari mobil kemudian menghampiri Cici, Raisa, dan Rena yang sudah menunggu halaman sekolah dekat dengan parkiran.

Saat Pak Erik dan Eva menghampiri mereka, Cici malah menatap Pak Erik dengan genit.

"Hai, paman tampan," sapa Cici menggerakkan tangannya berusaha menyentuh tangan Pak Erik.

"Et, et, et. Saya ini guru kamu, buka pacar kamu!" tegur Pak Erik menghindari muridnya itu tanpa senyuman.

Eva, Raisa, dan Rena menertawakan tingkah genit Cici yang semakin berani.

"Oh ya. Kali ini kalian jangan buat masalah lagi. Ingat, saya mengawasi kalian," lontar Pak Erik tegas.

"Siap, pak!" jawab mereka berempat dengan serentak.

"Bagus. Jadi siswa yang baik," pungkas Pak Erik bergegas pergi menuju ruang staf.

Eva, Cici, Raisa dan Rena saling tersenyum menatap Pak Erik dari belakang punggungnya sembari bertepuk tangan.

"Guru hebat!" teriak mereka memuji Pak Erik dengan serentak.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status