Beranda / Romansa / Perfect Love / Part 2: Kebiasaan Aneh

Share

Part 2: Kebiasaan Aneh

Penulis: Lia Mauliza
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-24 09:58:50

Malam pun tiba, tepatnya pukul 19:00, dan Eva berkali-kali menelpon Jeremi, tapi tak ada jawaban. Eva mondar-mandir di dalam kamarnya dengan perasaan marah.

'BUUKH!'

Eva melempar ponselnya ke dinding kamar sampai hancur.

Suasana keheningan malam di rumahnya semakin terasa. Tidak orang tua di rumah karena sibuk kerja membuat Eva semakin stres.

"Aaaakkk! Jeremi sialan!" cibir Eva sangat murka. Air matanya jatuh dan merenungkan sejenak pikirannya sambil duduk di atas ranjang kasurnya. "Dan, apa yang ku harapkan di rumah ini. Hancur semuanya." Ia mengambil tas dan pergi meninggalkan rumah orang tuanya.

***

Keesokan paginya. Eva yang masih tertidur pulas dalam keadaan terlentang, tidak merasa terganggu dengan suara kicauan burung Beo yang tergantung di atas balkon kamar yang ia tempati, dan yang pasti bukan rumah orang taunya. Rumah putih bertingkat dua nomor 51, kompleks mekar.

Eva terlihat begitu polos saat tertidur. Wajahnya yang cantik menutup tingkah emosionalnya yang begitu membara. Ia berbalik ke posisi kiri menghadap jendela yang memancarkan sinar matahari pagi.

Di sisi lain, Pak Erik membuka pintu rumahnya dengan membawa beberapa makanan di dalam plastik. Ia terlihat masih mengenakan baju kerja dan ia terlihat lelah. Ia menutup pintu dan menghela napas seraya menuju ruang dapur. Ia melihat gelas dan piring kotor terletak di atas pantri begitu saja.

"Dia sudah kembali." Pak Erik menggelengkan kelapanya sambil tersenyum. Kemudian, ia bergegas membersihkan gelas dan piring kotor tersebut.

Pak Erik memasuki rumah dan menaruh makanan di atas meja makan. Lalu, Pak Erik menuju kamarnya yang berada di samping tangga dan segera membersihkan diri setelah lembur semalaman.

Beberapa saat kemudian. Tiba-tiba, Eva bangun dari tempat tidurnya dalam keadaan matanya yang masih tertutup. Ia berjalan menuju ke arah pintu tanpa sadar.

Lalu, ia membuka pintu kamarnya dan berjalan menuruni tanpa melihat. Tubuhnya berjalan lurus, namun tak karuan.

Secara kebetulan Pak Erik keluar dari kamarnya sambil memegang koran dan berjalan menuju ruang sofa berhadapan dengan tangga rumah. Sontak ia kaget melihat Eva berjalan layaknya hantu tak bersuara menabrak dinding. Pak Erik dengan cepat berlari ke arah Eva, memutar balikkan badannya dan menuntunnya berjalan menuju sofa. Pak Erik memegang kedua bahu Eva dan menyuruhnya duduk.

Tak sanggup menghadapi tingkah aneh Eva, Pak Erik mengambil semprotan pembersih kaca dan menyemprot air tersebut ke wajahnya. Dalam seketika mata Eva terbuka lebar dalam sekejap dan memandang kosong tanpa berkedip.

"Aaaakkk! Hujan hujan hujan!" teriak Eva sangat keras.

"Hujan? Ambil payungnya dulu sana!" perintah Pak Erik.

Sontak Eva berdiri dari tempat duduknya dan mengambil payung di keranjang, di balik pintu.

"Hei, Hei. Taruh balik itu payung. Balik ke sini." Pak Erik mengayun tangannya menyuruh Eva kembali.

Sontak langkah Eva terhenti dan berpikir sejenak sambil menatap Erik menahan ketawa.

"Paman!" teriaknya sangat keras.

"Aduh! Paman bisa tuli kalau kau terus berteriak." Erik menutup kedua telinganya.

Eva kembali menghampiri Pak Erik di sofa. "Paman sih, pakai semprot orang segala lagi."

"Biar kau cepat sadar. Paman sudah berkali-kali ingatin kau untuk cuci kaki dulu sebelum tidur. Tapi, kau tak dengar." Pak Erik terlihat kesal.

Eva tertawa kecil. "Lupa. Maaf."

"Sudah salah minta maaf. Jangan selalu minta maaf, tapi ubah kebiasaan aneh kau itu. Kamu mau jadi hantu beneran? hah? Ini demi kebaikanmu juga," tambah Erik menasihati Eva yang begitu keras kepala.

"Oke, oke. Besok malam Eva akan lakukan seperti yang paman katakan. Janji," ucap Eva. Ia menatap pamannya sambil tersenyum. "Paman?"

"Apa lagi?" tanya Erik sambil bersandar sofa seraya menekan tombol televisi.

"Lapar." Eva memegang perutnya yang sudah keroncongan. Ia meminta Pak Erik buatkan sarapan untuknya.

"Lapar?"

"Iya. Dari kemarin aku belum makan," keluhnya menunjukkan wajah kasihan.

"Memang kamu mau sarapan apa?" tanya Erik.

"Roti bakar rasa daun bawang," jawabnya.

"Itu lagi?"

"Iya. Boleh 'kan? Please," pinta Eva memohon seraya menempelkan kedua tangannya.

"Ya sudah, paman buatkan. Padahal paman sudah beli nasi guri. Oke, baiklah. Roti bakar daun bawang." Erik berdiri dari tempat duduk dan bergegas menuju ke dapur.

Beberapa menit kemudian, setelah Eva dan Pak Erik menyelesaikan sarapannya, mereka langsung bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Eva mengenakan seragam sekolah, kemeja putih berlengan pendek, memakai dasi berwarna biru, dan rok biru dongker sepanjang lutut. Tak lupa, Eva menambahkan sedikit riasan di wajahnya agar terlihat lebih cantik.

"Eva!" panggil Pak Erik.

"Iya!" jawabnya yang sedikit terburu-buru.

Erik mengetok pintu kamar Eva. "Udah apa belum? Jangan terlalu tebal juga itu makeup. Kau itu anak sekolahan bukan model majalah!" kata Pak Erik dari balik pintu menasehati Eva.

"Paman ini jadul banget deh. Ini riasan anak zaman now!" jawab Eva seraya mengambil tas di atas meja belajar dan segera membuka pintu kamarnya.

"Wow!" ucap Eva saat melihat penampilan pamannya yang selalu keren dan rapi.

Pak Erik terlihat tampan mengenakan kemeja hitam dengan dasi berwarna biru, lengkap dengan celana hitam berbahan kain katun, dan sepatu formal.

"Ganteng 'kan?" tanya Pak Erik memuji diri sendiri sambil memutarkan tubuhnya.

"Sempurna! Mmmccuuah!" cium Eva di pipi kiri Pamannya. Lalu, ia menarik tangan Pak Erik keluar dari rumah.

"Eva! Jijik aku." Erik menghapus bekas bibir Eva di pipinya.

***

Cici, Raisa, dan Rena sedang sarapan di kantin sekolah di tempat Kak Yeyen, seorang wanita seksi juga genit. Ia bekerja sebagai asisten koki.

"Eva ke mana? kok nggak ikut kalian sarapan hari ini?" tanya Kak Yeyen yang sedang beristirahat sejenak sambil menemani Cici, Raisa dan Rena sarapan.

Kata Eva, "Dia hari ini sarapan di rumah."

"Rumah Pak Erik?" tanya Kak Yeyen lagi tersenyum malu saat bertanya tentang Pak Erik.

Cici, Raisa, dan Rena tertawa melihat tingkah genit Kak Yeyen.

"Sepertinya iya. Oh, ya. Gimana kalau Kak Yen jemput Pak Erik di parkiran hari ini? Pasti dia suka," ajak Cici, tapi ia sedang bercanda.

"Boleh," jawab Kak Yeyen bersemangat.

"Tidak boleh pergi!" sahut seorang lelaki berusia 40 tahun yang merupakan Koki utama, Dodi.

"Dodi? Sekali saja," pinta Kak Yeyen pada atasan.

"Ini waktunya jualan, bukan pacaran!" tegas Koki Dodi.

Cici, Raisa, dan Rena tertawa melihat tingkah lucu Kakak Yeyen dengan Koki Dodi.

"Kalian pasti berjodoh," ujar Cici asal menebaknya.

"Ogah!" jawab Kak Yen dan Koki Dodi serentak.

"Sabar ya, Kak. Lain kali saja Kak Yeyen ketemu Pak Erik. Kami mau masuk ke kelas dulu," sahut Raisa.

"Iya," jawab Kak Yeyen terlihat sedih.

***

Eva dan Pak Erik masih dalam perjalanan menuju sekolah. Eva yang sibuk memeriksa buku catatannya merasa tidak puas dengan tugas yang dikerjakannya tadi malam. Soal matematika dan rumus penyelesaian yang kurang tepat. Ia segera memperbaiki tugasnya tanpa mengganggu Pak Erik yang sedang mengemudi.

Beberapa menit kemudian, setelah mengerjakan tugas, ia mulai berpikir untuk mengusik pamannya itu yang sangat berhati-hati dalam mengendarai mobil BMW kesayangannya itu.

"Hmm. Paman?" panggilnya menatap curiga.

"Kenapa? Apa lagi sekarang?" tanya Pak Erik sedikit meliriknya. Ia sangat mengetahui sifat keponakannya, jika sudah memanggilnya pelan dan menatap curiga.

"Paman punya pacar, ya?" tanya Eva kontan.

Sontak Pak Erik sedikit terkejut dengan pertanyaan Eva yang tiba-tiba. "Pacar?"

"Iya."

"Ngaco kamu." Pak Erik mengelak dan tak ingin menjawab.

"Keliatan banget tahu." Eva tidak mempercayainya. Ia memindahkan pandangannya menatap ke arah depan. "Akhir-akhir ini paman aneh banget. Pulang pergi ke luar kota lagi. Memangnya paman ketemu sama siapa?" tanya Eva penasaran.

"Ada deh. Mau tahu aja kamu," jawab Pak Erik sambil tersenyum.

"Kok gitu sih. Pokoknya, Paman nggak boleh nikah dulu, sebelum Eva lulus sekolah," pinta Eva melarang Pak Erik.

"Iya, iya. Dulu 'kan paman udah janji. Sebelum keponakan paman ini lulus sekolah, paman akan jadi pengawal hidupnya sampai dewasa," ucap Erik tersenyum sembari mengelus rambut Eva yang panjang dan lembut itu.

Eva tertawa kecil yang menampakkan gigi rapinya. "Makasih, paman."

Beberapa menit kemudian, Eva dan Pak Erik tiba di sekolah. Mereka turun dari mobil kemudian menghampiri Cici, Raisa, dan Rena yang sudah menunggu halaman sekolah dekat dengan parkiran.

Saat Pak Erik dan Eva menghampiri mereka, Cici malah menatap Pak Erik dengan genit.

"Hai, paman tampan," sapa Cici menggerakkan tangannya berusaha menyentuh tangan Pak Erik.

"Et, et, et. Saya ini guru kamu, buka pacar kamu!" tegur Pak Erik menghindari muridnya itu tanpa senyuman.

Eva, Raisa, dan Rena menertawakan tingkah genit Cici yang semakin berani.

"Oh ya. Kali ini kalian jangan buat masalah lagi. Ingat, saya mengawasi kalian," lontar Pak Erik tegas.

"Siap, pak!" jawab mereka berempat dengan serentak.

"Bagus. Jadi siswa yang baik," pungkas Pak Erik bergegas pergi menuju ruang staf.

Eva, Cici, Raisa dan Rena saling tersenyum menatap Pak Erik dari belakang punggungnya sembari bertepuk tangan.

"Guru hebat!" teriak mereka memuji Pak Erik dengan serentak.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Perfect Love   113: Menua Bersama (End)

    Eva berjalan menuju ke rumah Rendra dengan membawa beberapa buku untuk belajar bersama. Tak henti-henti ia tersenyum saat membayangkan bahwa dirinya sudah menjadi pacar dari Rendra. 'Apa aku mimpi? Aku pacaran dengan musuhku sendiri' Sesampai di pintu rumah Rendra, ia melihat pintu rumah Rendra yang tidak tertutup. "Kok pintunya ke buka." Eva memegang besi pembuka pintu. "Tuan Muda, fokus selesaikan sekolah dulu. Saya akan membantu Anda untuk mencari keberadaannya. Kakak Tuan Muda itu orang yang kuat. Saya yakin dia baik-baik saja. Minggu depan saya akan kembali ke malang lagi," ujar Pati. Saat Eva mendengar pembicaraan Rendra dan Pati, ia langsung masuk dan menghampiri Rendra. "Kakak? Kau punya seorang Kakak, Ren?" tanya Eva. Sontak Rendra terkejut melihat Eva yang muncul tiba-tiba di depanya. Rendra berdiri dari tempat duduknya. "Eva. Bagaimana kau bisa masuk?" tanya Rendra. "Pintunya enggak ditutup. Aku pikir rumahmu ke malingan. Tapi, aku malah dengar suaramu dengan Mas P

  • Perfect Love   112: Janji Kita

    Eva berjalan menuju ke rumah Rendra dengan membawa beberapa buku untuk belajar bersama. Tak henti-henti ia tersenyum saat membayangkan bahwa dirinya sudah menjadi pacar dari Rendra. 'Apa aku mimpi? Aku pacaran dengan musuhku sendiri' Sesampai di pintu rumah Rendra, ia melihat pintu rumah Rendra yang tidak tertutup. "Kok pintunya ke buka." Eva memegang besi pembuka pintu. "Tuan Muda, fokus selesaikan sekolah dulu. Saya akan membantu Anda untuk mencari keberadaannya. Kakak Tuan Muda itu orang yang kuat. Saya yakin dia baik-baik saja. Minggu depan saya akan kembali ke malang lagi," ujar Pati. Saat Eva mendengar pembicaraan Rendra dan Pati, ia langsung masuk dan menghampiri Rendra. "Kakak? Kau punya seorang Kakak, Ren?" tanya Eva. Sontak Rendra terkejut melihat Eva yang muncul tiba-tiba di depanya. Rendra berdiri dari tempat duduknya. "Eva. Bagaimana kau bisa masuk?" tanya Rendra. "Pintunya enggak ditutup. Aku pikir rumahmu ke malingan. Tapi, aku malah dengar suaramu dengan Mas P

  • Perfect Love   111: Jalan Bahagia

    Sore harinya, Rendra bergegas meninggalkan rumah bersama pengawalnya, Pati. Perjalanan yang mereka tempuh terlihat cukup jauh. Rendra membawa beberapa makanan ringan untuk santapan mereka. "Kali ini, saya tidak mau gagal Mas. Jadi, kita harus berhati-hati," ujar Rendra yang duduk di belakang Pati. "Baik, Tuan Muda. Saya pastikan dia tidakkan tau," jawab Pati sambil menyetir dengan fokus. Rendra dan Pati pergi menggunakan mobil Jeep. Sedangkan di sisi lain, Eva terlihat begitu penasaran dengan Rendra yang buru-buru pergi. Untuk memastikannya, Eva menghampiri Rendra ke rumahnya. Eva menekan bel rumah Rendra. "Ting, tong, ting, tong." Eva menekannya berkali-kali. "Ren!" panggil Eva. Ia menekan bel kembali berulang kali. "Ren, ini aku Eva! Kamu ada di rumah 'kan?!" teriak Eva memastikan keberadaan Rendra. Eva menempelkan telinganya di pintu untuk mendengar suara Rendra di dalam rumah. Tapi, suara Rendra sama sekali tidak terdengar. "Berarti, Rendra memang tidak ada di rumah. Dia

  • Perfect Love   110: Ini Tempatku!

    Dengan jarak yang jauh menuju rumah sakit di Jakarta, Erik mengemudi dengan kecepatan tinggi. "Siapa yang berani culik keponakanku!" ujar Erik sangat marah. Kekhawatiran terlihat jelas di raut wajah Erik hingga membuatnya semakin marah kepada penculik itu. Rendra berlari menuju ruang IGD untuk melihat kondisi Eva. Tanpa memanggil namanya, Rendra langsung menggendong Eva dan menidurkannya di atas ranjang. Tapi, Eva malah bangun lagi dan duduk di atas ranjang. Rendra membiarkan Eva agar ia lebih tenang. "Penyakit apa itu. Aneh sekali," ujar salah satu pasien merasa ketakutan. "Tidur berjalan," ucap pasien lainnya. Suasana di IGD menjadi ricuh saat melihat penyakit Eva yang begitu langka. "Dia kerasukan, Ma. Aku takut," ujar salah satu pasien anak kecil yang memegang kuat tangan Ibunya. "Sudah, sudah. Kakak itu hanya sakit biasa," jawab Ibunya menenangkan sang anak. "Semuanya tenang. Dia hanya kelelahan saja," sahut Dokter menenangkan para pasien. Dokter dan tiga perawat mendek

  • Perfect Love   109: Aku Bisa Saja Tidak Memilih

    Sore harinya, Rendra bergegas meninggalkan rumah bersama pengawalnya, Pati. Perjalanan yang mereka tempuh terlihat cukup jauh. Rendra membawa beberapa makanan ringan untuk santapan mereka. "Kali ini, saya tidak mau gagal Mas. Jadi, kita harus berhati-hati," ujar Rendra yang duduk di belakang Pati. "Baik, Tuan Muda. Saya pastikan dia tidakkan tau," jawab Pati sambil menyetir dengan fokus. Rendra dan Pati pergi menggunakan mobil Jeep. Sedangkan di sisi lain, Eva terlihat begitu penasaran dengan Rendra yang buru-buru pergi. Untuk memastikannya, Eva menghampiri Rendra ke rumahnya. Eva menekan bel rumah Rendra. "Ting, tong, ting, tong." Eva menekannya berkali-kali. "Ren!" panggil Eva. Ia menekan bel kembali berulang kali. "Ren, ini aku Eva! Kamu ada di rumah 'kan?!" teriak Eva memastikan keberadaan Rendra. Eva menempelkan telinganya di pintu untuk mendengar suara Rendra di dalam rumah. Tapi, suara Rendra sama sekali tidak terdengar. "Berarti, Rendra memang tidak ada di rumah. Dia

  • Perfect Love   108: Seperti debu

    Erik terlihat khawatir pada Eva yang keluar tanpa memberitahukannya. Ia menelpon Eva berkali-kali, namun, nomornya tidak dapat di hubungi. "Kemana anak ini? Kenapa belum pulang juga," resahnya sambil mondar-mandir di depan teras. Eva, Cici, Raisa, dan Rena bergegas pergi dari karoke. Belum cukup untuk meredakan kekesalannya, ia mengajak ketiga sahabatnya itu untuk bermain game. "Kita lanjut main game," ajak Eva. "Main game?" tanya Raisa merasa heran dengan kelakuan aneh Eva. "Iya. Aku nggak mau pulang malam ini." Eva menolak untuk kembali ke rumah. Erik semakin gelisah dan khawatir terhadap Eva. "Oh ya, aku tanya sama Rendra saja, mungkin dia tahu Eva ada di mana," lanjut Erik menemui Rendra di rumahnya. Hanya berjalan beberapa langkah, Erik tiba di rumah Rendra. Rendra sedang menerima panggilan dari Pati. "Tuan Muda, saya sudah menemukan ID baru," ujar Pati di seberang ponsel. "Oke. Saya akan temui kamu besok," jawab Rendra mematikan panggilannya. Erik yang sudah tiba di

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status