Share

Part 3: Siswa nakal

Eva, Cici, Raisa, dan Rena berjalan di atas koridor sekolah menuju ruangan. Kehadiran mereka di sekolah membuat semua siswa-siswi bersemangat.

Kata Kak Yen, "Hari ini Sindi masuk ke sekolah."

Eva tersenyum sinis. "Belum jera juga itu anak."

Saat mereka hampir tiba di ruangan, tiba-tiba seorang siswi meminta pertolongan kepada Eva.

"Kak Eva! Kak Rena! Tolong kami!" teriak siswi itu sambil berlari menghampiri Eva.

Eva, Cici, Raisa, dan Rena memalingkan badan ke arah siswi itu.

"Ada apa?" tanya Eva.

"Tolong kami, kak. Temanku dibuli sama Kak Sindi!" ucap siswi itu kesal.

"lagi-lagi Sindi buat ulah." Rena sangat kesal mendengar Sindi kembali memukul para siswa.

Eva menatap ketiga sahabatnya itu seraya saling mengangguk dan pergi menghampiri siswa yang kena bulian oleh siswa-siswi nakal.

***

Seorang siswi berkacamata besar mendapatkan memar di wajahnya akibat kena pukul.

"Berlutut bodoh!" bentak seorang siswi berwajah judes terlihat begitu angkuh.

Siswa itu berlutut tepat di hadapannya sambil memohon ampun.

"Ampun, kak! Ampun!" mohon siswi itu ketakutan.

Siswi itu menempelkan kedua tangannya pada siswa jahat itu yang bernama Sindi Arkasha. Ia terkenal sebagai siswi pemberontak di sekolah dan ia juga mantan pacar Jeremi.

Sindi berdiri di depan siswa itu bersama lima temannya.

"Dia minta maaf, Sin," ucap salah satu temannya dan tertawa.

Siswa itu menangis ketakutan. "Jangan pukul aku, kak."

"Diam!" teriak Sindi. Sindi mendekati siswa itu dan menjambak rambutnya.

"Aaakkkh! Sakit!" teriak siswi itu kesakitan berusaha melepaskan tangan Sindi dari rambutnya.

"Sakit? Makanya jadi orang jangan lemah. Aku sudah bilang jangan ikut campur urusan kami, tapi kau malah sok hebat menantang kami." Sindi menghentakkan kepala siswi dan melepaskan tangannya.

Siswi itu terlihat sangat marah pada Sindi. "Lihat saja, Kak Eva akan menghajar kalian lagi."

Saat mendengar nama Eva, kemarahan Sindi semakin menggebu-gebu. Ia menggenggam kedua telapak tangannya dengan geram.

"Kamu sebut nama siapa tadi? Hauh!" teriak Sindi murka memegang kencang kerah baju siswi itu.

"Wah, parah! Kita pukul saja dia!" sahut teman-temannya.

"Kalian memang pengecut!" kata siswi itu begitu kesal. Ia tidak peduli jika harus dipukul lagi oleh Sindi.

Tak tanggung-tanggung Sindi langsung menonjok wajah siswi itu dan mengeluarkan darah di samping kelopak matanya.

"Aaaakkkh!" teriak siswi itu lagi ketakutan.

Namun, Sindi memiliki pribadi yang sangat cerdik dan pandai bersandiwara. Ia hendak memukul siswi itu lagi, dan Eva pun datang bersama ketiga sahabatnya untuk menolong siswi itu.

"Sindi!!!" teriak Eva menghentikan langkah sambil memberikan tatapan tajam.

Sindi menoleh ke arah Eva serentak bersama ke lima teman-temannya. Ia tersenyum sinis ke arah dan menghela napas berat yang terdengar menantang.

"Kamu memang nggak pernah jera ya, Sin?" tanya Eva sangat kesal.

"Bukan urusan kamu!" balas Sindi.

"Dasar perempuan tak tau diri. Lepaskan dia!" suruh Eva.

Eva, Cici, Raisa, dan Rena berusaha mendekat ke arah siswa itu.

"Jangan mendekat!" teriak Sindi.

Teman-teman Sindi mencoba menghalangi mereka. Cici, Raisa, dan Rena kompak ingin memberikan pelajaran pada kelompok Sindi. Sedangkan Eva, ke arag mendekat siswi itu untuk menolongnya.

"Tolong saya kak!" pinta siswa itu menangis.

"Jangan berani kau mendekat!" teriak Sindi lagi berusaha menghalanginya.

Geram melihat tingkah laku Sindi yang sangat jahat, Eva langsung menonjok Sindi tanpa berpikir panjang. Eva menonjok Sindi dua kali di wajahnya hingga ia terjatuh ke lantai.

Di sisi lain, Cici, Raisa, dan Rena menghajar teman-temannya sampai kapok dan meyerah. Kemudian, mereka langsung pergi menghampiri Sindi yang sudah terjatuh.

"Sindi!" teriak mereka.

Eva menghampiri siswi itu yang menangis tersedu-sedu karena ketakutan. "Sudah, kamu jangan nangis lagi. Kamu sudah aman bersama kami"

Siswi itu melihat ke arah Sindi yang mengeluarkan darah di wajahnya.

"Tapi, dia ...," tunjuk siswi ke arah Sindi.

"Sudah, kamu tidak perlu memikirkan hal ini. Kamu hanya perlu bersaksi, jika kepala sekolah menghukum kami, oke?"

"Baik kak," jawab siswa itu mengangguk.

***

Jeremi bersama Tim Merah sedang latihan basket di lapangan. Jeremi merebut bola dari lawan dan memasukkan ke dalam ring dari jarak jauh. Tepukan tangan dari siswa-siswi yang mengidolakan Jeremi terdengar begitu semarak sambil berteriak memanggil namanya.

"Jeremi, semangat!" teriak seorang gadis yang berdiri di luar garis lapangan.

"Andai saja dia jadi pacarku," ujar salah satu siswi begitu mengagumi Jeremi.

Saat Jeremi melanjutkan latihannya, tiba-tiba salah satu temannya bernama Diyo sambil berlari menghampirinya.

"Je!" panggil Diyo menghentikan langkah di depan Jeremi seraya mengatur napasnya yang terengah-engah.

Jeremi menghentikan latihannya dan memalingkan badannya ke arah Diyo.

"Ada apa? tanya Jeremi.

"E-Eva! Eva sama Sindi bertengkar lagi!" ujar Diyo menatap Jeremi serius.

"Apa?!"

Sontak Jeremi terkejut dan menjatuhkan bola basket dari tanganya ke lantai, dan bergegas pergi menyusul Eva dan Sindi di atap gedung sekolah yang sedang bertengkar hebat.

***

Pak Erik menerima panggilan dari kakak perempuannya bernama Nia seperti yang tertulis di ponselnya.

"Iya, kak," jawab Pak Erik keluar dari ruang staf guru.

Pak Erik berdiri di luar ruangan untuk menerima panggilan.

"Gimana keadaannya?" tanya wanita paruh baya itu dari seberang ponsel.

"Dia baik-baik saja," jawab Pak Erik menghela napas lelah. "Hanya saja, jika dia buat masalah lagi, Erik nggak sanggup."

"Kakak mohon sama kamu, tolong jagain Eva sekali lagi sampai dia lulus sekolah. kakak janji, akan jemput dia kembali. Kamu tahu 'kan, dia akan ikut kemana pun kamu pergi." Suara wanita itu terdengar lesu.

Nia Sukma Negara adalah Ibu kandung Eva. Ia sosok ibu yang sibuk bekerja dan jarang berada di rumah. Eva selalu pergi meninggalkan rumah dan menetap di rumah pamannya karena ia tidak ingin sendirian. Tapi, ia begitu menyayangi anaknya, Eva.

"Aku tahu, kak. Aku akan jaga dia dengan baik asalkan Kakak jangan paksa aku untuk menikah. Jangan kirimkan aku gambar wanita manapun, oke? Eva juga melarang aku, jangan menikah dulu sebelum dia lulus sekolah." Erik memberikan alasan yang tepat untuk menolak perjodohan dari kakaknya itu.

"Kamu itu adik aku. Pastinya, Kakak khawatir sama kamu. Jangan karena Eva, kamu korbankan hidup kamu untuknya. Jadi, kamu pikir baik-baik, ya." Mama Nia sangat mengkhawatirkan Pak Erik yang belum juga menikah.

"Iya, kak. Tapi, pokoknya jangan kirimkan gambar mereka lagi," kata Erik sekali lagi untuk mengingatkan kakaknya.

"Iya. Ya sudah, Mba harus pergi. Sebentar lagi akan siaran," ucap Mama Nia yang ingin mengakhiri panggilan.

"Baik, kak. Selamat bekerja. Salam buat Mas Sukma, ya." Pak Erik menitipkan salam pada Kakak iparnya.

"Baik. Titip Eva," pungkas Mama Nia mengakhiri panggilan.

***

"Eva!" teriak Jeremi menatap Eva penuh amarah.

"Jeremi? Aku ...,"

Eva terdiam saat memerhatikan raut wajah Jeremi yang begitu kesal padanya.

Sindi kembali bersandiwara dengan menjatuhkan tubuhnya ke lantai seolah-olah ia begitu kesakitan dengan pukulan Eva.

"Jeremi." Sindi memanggil Jeremi dengan suara lembut.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status