Share

Part 4: Saling mengancam

"Apa lagi sekarang? Hah? Kamu pukul dia?" tanya Jeremi dengan nada menuduh.

"Je. A-aku ...,"

"Diam! Aku tidak mau mendengar penjelasan bodoh kamu itu. Sudah kedua kalinya kamu pukul Sindi. Kenapa nggak sekalian jadi petinju, hah?"

Jeremi memarahi Eva di depan teman-temannya. Walaupun Eva bersalah sudah memukul Sindi, tapi ia memiliki alasan kuat untuk memberi pengajaran pada siswa seperti Sindi. Tapi, Jeremi tidak mau mendengar apa pun alasan itu.

"Mereka yang pukul Sindi, Je. Mereka juga menghajar kami!" sahut teman Sindi mengadu pada Jeremi agar Eva semakin terpojok.

"Kamu baik-baik saja, Sin?" tanya Jeremi memeriksa luka di bagian wajah Sindi.

"Wajah dan tanganku sangat sakit, Je. Tolong bawa kau ke rumah sakit. Aku sudah nggak kuat," keluh Sindi sambil menangis untuk menarik perhatian Jeremi.

"Drama! Jangan percaya sama dia, Je!" kata Eva geram melihat tingkah Sindi yang selalu saja bersandiwara di depan kekasihnya itu. Ia menarik lengan Jeremi untuk pergi bersamanya.

"Lepaskan aku!" bentak Jeremi menghentakkan tangan Eva.

Sontak Eva terkejut mendengar suara bentakan Jeremi padanya. Ia tercengang kaget karena sebelum ini Jeremi belum pernah membentaknya seperti itu.

"Je! Kamu nggak percaya sama aku?" tanya Eva mulai kesal.

"Aku memang sama sekali tidak percaya sama kamu, setelah apa yang telah kamu lakukan!" jawab Jeremi lantang menunjukkan ke wajahnya. Ia kembali pada Sindi. "Ayo Sin, aku bawa kamu ke rumah sakit."

"Aku nggak bisa berdiri, Je. Kakiku juga sakit." Sindi mulai berulah.

"Ya sudah, aku gendong kamu saja." Jeremi bergegas menggerakkan tangannya dan mengendong Sindi.

"Jeremi!" panggil Eva geram yang begitu percaya pada Sindi.

Tanpa peduli Jeremi langsung mengangkat Sindi turun dari atap sekolah dan membawanya ke rumah sakit.

Eva begitu marah melihat perlakuan baik Jeremi kepada Sindi. Eva merasakan Jeremi sudah tidak menghargai cintanya lagi. Eva sangat marah dan pergi meninggalkan Cici, Raisa, dan Rena di atap sekolah.

"Eva?" panggil Cici yang paham akan perasaan Eva.

"Ci, tunggu." Rena menghalanginya.

"Kenapa? Kita harus mengejar Eva," kata Cici khawatir.

"Biarkan Eva pergi untuk menenangkan pikirannya," jawab Rena.

"Iya, Ci. Sepertinya Eva akan pergi ke tempat yang biasa dia singgah untuk menenangkan pikirannya," tambah Raisa.

Mereka pun memutuskan untuk tidak menegejar Eva dan terlebih dahulu membantu siswi yang sedang kesakitan turun dari atap.

***

Pak Erik sedang membereskan buku-buku tugas siswa yang tergeletak di atas mejanya. Lalu, tiba-tiba seorang guru wanita menghampiri Erik.

"Pak Erik?" panggil guru itu.

"Iya Bu, kenapa?" tanya Erik sembari melanjutkan pekerjaannya.

"Eva kembali bertengkar dengan Sindi di atap. Kali ini, cukup parah," ujar guru itu terlihat cemas.

Pak Erik terdiam sejenak. Lalu, ia bergegas mengambil tasnya dan pergi menyusul Eva ke atap.

***

Pendaratan Maskapai Garuda Indonesia dari New York, tiba di bandara Soekarno Hatta pada pukul 12:45 WIB. Setelah turun dari pesawat, Rendra menuju lobby bandara seraya mendorong koper. Ia keluar dari bandara dan berhenti sejenak mencari sebuah mobil.

Tak lama kemudian, mobil van berwarna hitam tiba tepat di depannya. Seorang pria dewasa berusia 35 tahun, turun dari mobil dan menghampiri Rendra.

"Tuan Rendra Leunard Pratama?" tanya pria itu untuk memastikan orangnya.

"Yes, i am Rendra. Bisa kita berangkat sekarang?"

"Oke, tentu." Pria itu tersenyum ke arahnya sambil mengambil koper Rendra dan memasukkannya ke dalam bagasi.

Sedangkan Rendra langsung menaiki mobil kursi baris kedua. Lalu, Ia mengambil ponsel di saku jaketnya dan mengirim sebuah pesan untuk 'Daddy' seperti yang tertulis di ponsel.

'Dad. Rendra sudah tiba di Indonesia. Daddy jaga diri dan Rendra akan baik-baik saja di sini. See you, Daddy'

*New York*

"Tuan, apa perlu saya susul Tuan Muda ke Indonesia?" tanya seorang pria paruh baya kepada seorang pria lebih tua darinya dan sedang membaca chat dari 'Rendra'

Pak Sem berumur 45 tahun, merupakan asisten pribadi Daddy Leunard, ayah kandung Rendra yang sudah lama menetap di New York.

"Jangan dulu. Biarkan saja dia hidup mandiri dan lebih banyak bergaul dengan orang lain. Mungkin dia tak akan terbiasa dengan kehidupan di Indonseia, tapi percayalah, dia akan menjadi seorang pria yang lebih ramah daripada sebelumnya," ucap Daddy Leunard.

"Baik, Tuan. Saya akan menyuruh Pati untuk menjaganya dengan baik," kata Pak Sem akan memerhatikan keselamatan Rendra di Indonesia.

***

Seharian penuh Erik mencari keberadaan Eva, tapi tidak ditemukan. Ia memilih kembali untuk ke rumah dan akan mencari lagi setelah membersihkan dirinya. Apalagi langit sudah mulai gelap dan tubuhnya semakin lelah.

'Kreek'

Suara pintu rumah saat Pak Erik membuka dan menutup pintunya kembali.

Eva memalingkan wajahnya ke kiri tersenyum ke arah pamannya. Ia terlihat sedang asyik nonton drama korea sambil ngemil keripik kentang balado dengan air soda.

Hai, Paman," sapa Eva dengan raut wajah senang seperti tidak memiliki masalah apa pun.

Sontak Pak Erik menyeringai heran saat melihat keponakannya itu terlihat gembira setelah menimbulkan masalah di sekolah.

"Eva!" teriaknya cukup keras hingga Eva kaget ketakutan.

***

Keesokan paginya, Pak Erik menghadap kepala sekolah atas perbuatan keponakannya dengan rasa malu.

"Sebagai perwakilan sekolah, saya meminta Anda untuk menjenguk Sindi di rumah sakit dan sampaikan permohonan maaf. Tapi, kamu harus kumpulkan bukti siapa yang bersalah dalam hal ini." Kepala Sekolah berharap permasalahan ini tidak menimbulkan keributan yang panjang.

"Baiklah. Saya akan menemui mereka ke rumah sakit." Pak Erik sanggup melakukannya untuk Eva.

Beberapa saat kemudian, Pak Erik pergi ke rumah sakit menemui Sindi dan orang tuanya. Sesampai di ruang kamar pasien 'Anggrek', Sindi ditemani oleh kedua orang tuanya juga Jeremi yang begitu setia menemaninya.

"Sebagai guru, saya minta maaf atas kelalaian saya dan pihak sekolah karena tidak belum bisa mendidik siswa-siswi kami dengan baik. Dan, saya juga minta maaf sebagai wali dari keponakan saya Eva, karena sudah memukul anak Bapak dan Ibu. Tapi, pihak sekolah akan menghukum siswa-siswi yang sudah membuat keributan, termasuk Sindi," ucap Pak Erik jelas tanpa basa-basi pada kedua orang tua Sindi. Sedangkan Sindi sendiri tak bisa berkutik terbarik di atas ranjang yang sesekali menatap Jeremi di sampingnya. Pak Erik bersikap seperti itu karena ia tahu bukan hanya Eva yang bersalah dalam hal ini.

"Saya tidak terima permohonan maaf Anda. Saya mau Anda, bawa keponakan Anda itu kesini, dan suruh dia berlutut di hadapan anak saya. Saya tidak mau tahu, dia sudah buat anak saya terluka." Ibu Sindi menolaknya dan menyuruh Eva untuk menemui mereka dengan permintaan yang sangat keterlaluan.

"Iya. Bawa dia sekarang juga untuk berlutut di hadapan anak saya!" tambah Ayah Sindi marah-marah. Ia mendekati Pak Erik seraya memberikan tatapan menanatang. "Dia keponakan Anda, 'kan? Ini kedua kalinya keponakan Anda menghajar anak saya. Saya tidak ingin permintaan maaf Anda. Jika, keponakan Anda tidak ke sini, saya akan menuntutnya."

Erik sangat geram melihat perkataan kasar kedua orang tuanya itu. Tak tahu sopan santun. Namun, Erik tetap berusaha sabar dan mendengar pendapat mereka sampai akhir.

"Sekali lagi saya minta maaf, ibu, bapak," ucap Erik sekali lagi.

Jeremi hanya berdiam diri dan tak membela Eva sama sekali. Ia hanya peduli kepada Sindi, padahal mereka sudah putus sejak lama. Ia percaya dengan perkataan manis Sindi dan mengabaikan Eva.

"Saya terluka parah, pak," sahut Sindi mulai mengecoh.

"Saya akan membayar semua perawatan rumah sakit kamu, tapi syaratnya kamu harus menarik tuntutan terhadap Eva," pinta Pak Erik baik-baik.

"Oh, tidak bisa. Saya akan coploskan keponakan kamu ke dalam penjara!" ancam Ibu Sindi.

"Oke. Tapi dia harus keluar dari sekolah itu!" kata Sindi lagi memberikan Eva kesempatan.

"Tidak bisa! Saya tidak setuju. Sayang, kamu jangan terlalu jadi anak yang baik. Kamu bisa mati karena ulah anak sialan itu!" cibir ibunya sangat kasar.

Pak Erik sangat murka mendengar mereka yang begitu menghina Eva tanpa tahu asal usul permasalahannya.

Mungkin, Eva tidak bermaksud seperti itu, Tante, Om. Dia nggak sengaja. Jangan tuntut dia ya, Om," sahut Jeremi yang tiba-tiba membela Eva.

"Cukup!" teriak Pak Erik sangat geram. Ia menggenggam besi ranjang Sindi dengan kuat. "Kalian tidak bisa menghina keponakan saya seperti itu. Kamu, Sindi!" tunjuk Pak Erik.

"Kenapa dengan anak saya." Ibu Sindi berusaha menyingkirkan Pak Erik dengan menarik tangannya keluar.

Pak Erik menghentakkan tangan wanita itu dan hampir terjatuh. Ia begitu kuat dengan tubuhnya yang kekar.

"Anda akan menyesal!" ancam Pak Erik dengan suara menekan tapi tidak terlalu besar.

"Maksud kamu apa? Kamu ancam anak saya?" tanya Ayah Sindi.

"Keponakan saya itu, tidak bodoh seperti anak kalian!" balas Erik dengan kasar dan menatap Jeremi dengan tatapan tajam.

"Saya tetap akan tuntut dia!" kata Ayah Sindi kembali menantang Pak Erik.

"Saya tidak takut dengan tuntutan kalian. Saya bisa mengeluarkan Sindi dari sekolah, sekaligus saya coblos kan dia ke dalam penjara. Camkan itu!" ancam Pak Erik lagi tanpa ragu sedikit pun dan pergi meninggalkan mereka dengan amarah yang membara.

"Kurang ajar!" sahut ayah Sindi sangat murka.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status