Cia mengayunkan langkahnya dengan penuh semangat menuju rumah temannya. Kali ini mereka akan berpesta. Mereka akan kembali ke negara masing-masing setelah lulus kuliah, jadi perpisahan ini akan menjadi sangat spesial.
Di rumah temannya, sudah banyak berkumpul teman-teman Cia yang lain. Semua teman menunggu Cia yang sedari tadi tak kunjung datang. Mereka semua pun memasak tanpa Cia. Cia yang datang langsung disambut riuh teman-temannya. Mereka memprotes Cia yang datang terlambat. Namun, gadis cantik itu mengabaikannya.“Cia, tinggal kamu yang buat cupcake!” teriak seorang teman. “Iya-iya.” Cia tak mau jadi bulan-bulanan teman-temannya. Dia langsung berlalu ke dapur. Rumah temannya memang memiliki peralatan memasak yang lengkap. Cia sering sekali memasak di rumah temannya. Belajar bersama dengan teman-temannya. Dengan cekatan, Cia membuat cupcake. Teman-teman Cia begitu menyukai cupcake buatan Cia. Rasanya selalu pas di lidah mereka. Cia yang memang menyukai makanan-makanan manis itu tak pernah keberatan ketika teman-temannya meminta membuatnya. Cia berkutat dengan tepung dan bahan lainnya. Mencampur dan membuat adonan kue untuk segera dipanggang. “Butuh bantuan?” tanya Ken. Pria keturunan Korea itu menghampiri Cia. Melihat Cia yang sendirian di dapur, dia tak melepas kesempatan menghampiri gadis cantik yang membuatnya selalu terpesona itu. Cia mengalihkan pandangannya ketika mendengar suara. “Tidak perlu. Aku bisa melakukannya sendiri,” ucapnya tersenyum. Tangannya bergerak terus untuk memindahkan adonan ke paper cup. “Baiklah.” Ken memilih untuk menunggu Cia dan duduk manis di pantry. Memerhatikan gadis cantik di depannya yang sedang asyik membuat kuenya. Cia hanya tersenyum tipis ketika Ken masih menunggunya membuat kue. Dia sadar betul jika menaruh hati padanya. Sejak awal bertemu dengan pria itu di kampus. Pria itu terus mendekatinya. Sayangnya, pesan dari kakak dan papanya selalu melekat di kepalanya. Harus berhati-hati dengan pria asing. Pesan itu membuat Cia akhirnya memutuskan untuk tidak menjalin hubungan dengan pria mana pun. Termasuk menyimpan perasaan cintanya pada Noah yang terpatri di hatinya. “Kapan kamu akan kembali ke Indonesia?” tanya Ken. “Aku akan kembali sebulan lagi. Karena masih ada beberapa yang harus aku urus,” jawab Cia. Adonan yang sudah terisi ke dalam paper cup dimasukkan ke oven. Sambil menunggu, dia membuat icing untuk hiasan cupcake-nya.“Kamu kembali kapan?” tanya Cia sambil tangannya yang terus bergerak membuat adonan icing.“Besok aku akan kembali,” jawabnya. Cia terkejut. Kemudian mengalihkan pandangannya pada Ken. “Besok?” tanyanya memastikan. “Iya, besok. Karena itu aku ingin hari ini menjadi spesial untukku sebelum aku kembali.” “Berarti kamu tidak boleh melewatkan pesta ini.” “Iya, terutama denganmu.” Cia hanya tersenyum tipis. Ucapan Ken memang menjurus ke arah perasaannya. Namun, Cia yang merasakan jika tidak ada cinta, hanya menanggapi dingin saja. Kue yang dipanggang dalam oven-matang. Cia membuat hiasan kue dengan icing yang dibuatnya. Ken membantu Cia untuk membuat hiasan di kuenya. Menghias dengan icing yang dibuat Cia. Pesta dimulai, semua teman-teman Cia bersama-sama menikmati pesta. Menikmati hidangan makan yang sudah disiapkan. Berkumpul dengan para koki, pastinya sangat menyenangkan. Karena makanan melimpah ruah dengan segala jenis. “Semoga saat kita bertemu kembali. Kita sudah menjadi chef hebat.” Seorang teman mengangkat gelas berisi wine. “Cia, kamu harus coba ini,” bisik seorang teman. “Aku tidak mau.” Walaupun wine tidak memabukkan, Cia tidak mau meminumnya “Ayolah, kamu selalu menolak. Ini terakhir kita berkumpul. Kamu masih saja kuno.” “Minumlah sedikit.” Ken yang ada di sebelahnya ikut menimpali. Kali ini Cia tidak bisa menolak. Merasa jika ini terakhir kali berkumpul dengan teman-temannya. Jadi kapan lagi dia akan minum. Dengan berat hati, Cia ikut meminum minuman yang dituang di gelasnya. Semua teman-temannya mengangkat gelas dan bersulang. Hal yang sama pun dilakukan Cia. Sampai akhirnya, dia meminumnya. Rasa pahit manis yang terasa di lidahnya. Membuat Cia meringis ketika merasakan itu. Mereka kembali mengobrol, menceritakan apa yang akan mereka lakukan setelah kembali ke negara mereka masing-masing. Suasana begitu seru ketika impian-impian mereka diucapkan. Malam semakin larut. Pesta semakin semarak. Semua bernyanyi bersama-sama. Benar-benar mereka semua bersenang-senang. Menikmati pesta malam itu. Beberapa botol whisky yang dibawa oleh salah seorang teman membuat satu persatu teman Cia mabuk. Kehidupan yang bebas memang membuat mereka semua ikut larut di dalamnya.“Minumlah sedikit, Cia.” Teman Cia memaksa untuk Cia meminumnya. Menyodorkan minuman ke mulut Cia. Gelas yang berada di depan mulut Cia pun tak bisa dielakkan. Perlahan dia meneguk minuman itu. Kali ini, Cia salah. Jika tadi dia meminum wine dan dia tidak mabuk. Kali ini, whisky yang diminumnya membuatnya langsung mabuk.Dalam keadaan mabuk, teman-teman Cia justru memberikan kembali minuman pada Cia. Membuat gadis cantik itu semakin mabuk. Ken yang melihat Cia terus minum langsung menghampirinya. “Cia, cukup,” ucapnya seraya mengambil gelas. “Dia tidak terbiasa minum, kenapa dipaksa!” Ken benar-benar kesal. Jelas-jelas Cia tidak bisa minum. “Cia.” Ken mencoba menyadarkan Cia. Cia menatap Ken. Cukup lama dia menatap pria itu. “Kamu mirip Ken,” ucapnya tertawa. Ken sudah menduga jika Cia sudah mabuk. “Ayo, aku akan antar kamu pulang.” Ken berusaha untuk membopong tubuh Cia. “Aku akan antar Cia pulang dulu,” ucapnya pada teman-temannya. Tubuh Cia yang lemas karena mabuk, membuat tubuh gadis itu terasa berat. Ken yang memapah Cia merasa cukup kesulitan. Ken membawa Cia keluar dari rumah temannya. “Kamu seperti Ken.” Cia masih melantur. Ken mengabaikan Cia yang terus berbicara. Memilih terus memapah Cia keluar dari rumah temannya. “Apa kamu tahu, jika Ken itu menyukai aku?” tanya Cia pada Ken. Dia tidak sadar jika yang diajak bicara adalah Ken. Ken terkesiap. Cia yang menoleh membuatnya dapat melihat wajah cantik Cia dari dekat. Sudah tiga tahun, Ken menaruh hati pada Cia. “Oh … ya? Lalu apa kamu menyukainya?” tanyanya seraya tersenyum ketika Cia membicarakan dirinya. “Tidak, aku tidak menyukainya.” Ken menahan sesaknya. Selama ini dia sudah berusaha untuk meluluhkan hati Cia. Namun, gadis itu tetap saja tidak menaruh hati padanya. “Lalu kamu menyukai siapa?” “Aku menyukai Kak ….” Baru saja Cia ingin menjawab, tetapi tubuhnya lemas. Seketika dia tidak sadarkan diri. “Dia pingsan,” ucap Ken ketika mendapati Cia yang sudah tak sadarkan diri. Tepat di depan rumah teman mereka, Ken memikirkan ke mana dia akan mengantar Cia. Selama ini, Cia tidak mau diantar oleh teman-teman prianya. Dia selalu beralasan jika kakaknya melarangnya bersama dengan para pria. Sebagai teman, dia menghargai semua keinginan Cia. “Ke mana aku harus membawanya?” gumamnya sambil memikirkan ke mana dia akan membawa Cia.Sinar matahari yang menerobos masuk melalui celah gorden, membuat Cia yang sedang menikmati tidurnya-mengerjap. Mata indahnya yang dihiasi bulu mata lentik-berkedip berkali-kali untuk menyadarkan dirinya. Saat kesadarannya mulai terkumpul, Cia menyadari jika dia tidak sedang berada di kamarnya. Langit-langit kamar yang berwarna putih polos berbeda sekali dengan yang berada di rumah kediaman Maxton.Selama ini, Cia tinggal di rumah kediaman Maxton. Keluarga Maxton sudah seperti keluarganya sendiri. Jika telisik lebih dalam, hubungan keluarganya dengan keluarga Maxton cukup jauh. Papanya-Felix Julian berteman dengan Bryan Adion. Kakak dari Bryan Adion yaitu Selly Adion menikah dengan Regan Alvaro Maxton. Dari hubungan itulah, akhirnya Cia bisa dekat dengan keluarga Maxton. Selama ini, Cia tinggal bersama dengan anak dari Bryan Adion-teman papanya, yaitu Nolan Fabian Adion. Mereka sama-sama kuliah di London, hanya berbeda universitas.Cia mencoba berkali-kal
Isak tangis masih terdengar di dalam kamar. Namun, sayangnya tidak bisa mengembalikan semua yang ada sudah terjadi. Menyadari jika semua sudah tak bisa kembali lagi, Cia menghentikan tangisnya. Meraih pakaiannya dan memakainya. Netranya tak berkedip ketika melihat sekujur tubuhnya dipenuhi tanda merah. Entah apa saja yang dilakukan pria itu saat dia tidak sadar, Cia benar-benar tidak tahu.Dengan sekuat tenaganya, Cia berusaha untuk pulang. Sambil menahan perih di tubuhnya dan di hatinya, dia keluar dari hotel. Pandangannya menunduk agar orang tak melihat wajahnya yang baru saja menangis.Keluar dari hotel, Cia mencari halte bus terdekat. Satu tempat yang ditujunya adalah kediaman Maxton. Sepanjang jalan, Cia hanya melamun. Pikirannya kosong ketika mendapati semua yang terjadi dalam hidupnya serasa mimpi. Tak ada harapan yang bisa digantungkan lagi. Mungkin jika terluka, masih dia bisa menahannya, tetapi melukai orang tuanya. Rasanya,
Bian yang bingung pun akhirnya menghubungi kakak iparnya-sekaligus kakak dari Cia. Paling tidak dia bisa mendapatkan saran apa yang harus dilakukannya. Di ruang keluarga, Bian mengusap ponselnya. Menghubungi kakak iparnya. “Kenapa menghubungi kakak iparmu? Apa kamu lebih merindukannya dari pada aku?” El dari sambungan telepon menggoda adiknya. “Untuk apa aku merindukanmu. Aku lebih merindukan kakak ipar dan si kembar dari pada kamu.” El terdengar tertawa. “Ini.” Terdengar suaranya yang tampak memberikan ponsel pada istrinya. “Hai, Bi, ada apa?” Freya terdengar ceria sekali. Mendengar sedari tadi suaminya menggoda sang adik. “Hai, Kak.” Bian terdengar ceria. “Kak, ada yang aku ingin bicarakan tentang Kak Cia.” Suara Bian mulai serius. Tak seperti awal berbicara dengan kakak iparnya. Freya terdiam. “Sepertinya penting?” tebak Freya. “Tiga hari ini Kak Cia tidak keluar kamar. Tadi mencoba membuka pintu secara paksa.
“Kak Cia,” teriak Bian yang terkejut saat membuka pintu kamar. Dia yang melihat Cia sedang memegangi pecahan gelas langsung berlari masuk ke kamar Cia. Saat sampai di pinggir tempat tidur, dia meletakkan makanan yang dibawanya dan bergegas mencegah Cia yang sedang ingin memotong nadinya. “Biarkan aku, Bi,” ucapnya menangis. Berusaha keras untuk melepaskan tangannya yang dicengkeram oleh Bian. “Jangan gila, Kak. Apa begini caramu menghadapi hidup?” tanyanya. Tangannya terus berusaha menghalau Cia yang berusaha memotong nadinya. Bian berusaha keras untuk melepas pecahan gelas yang berada di tangan Cia. Setelah bersusah payah, akhirnya Bian dapat melepaskan pecahan gelas tersebut. Namun, tangan Cia sudah tergores sedikit. “Hidupku sudah tidak berarti lagi, Bi.” Air mata Cia mengalir deras dari mata indahnya. Merasa dirinya hancur setelah mendapati jika dia akhirnya hamil. Sedari tadi dia memikirkan bagaimana menghadapinya, dan mati adalah ja
El memegangi bahu Freya. Saat istrinya menatapnya, dia memberikan isyarat untuk tidak menekan Cia. Dalam waktu ini, Cia adalah orang yang paling terluka. Jika orang-orang dekatnya ikut menekan, pastinya akan membuat mentalnya lebih hancur. Freya pun langsung memeluk adiknya. Merasa bersalah dengan apa yang baru saja dilakukannya. Cia pun hanya bisa menangis di dalam pelukan kakaknya. Kali ini dia tidak bisa memaksa Cia untuk menceritakan lebih dalam lagi dengan apa yang terjadi padanya. Memilih membiarkan Cia lebih tenang dulu. El menatap Bian dengan tajam. Dia berdiri dan keluar dari kamar Cia. Bian tahu jika kakaknya memberikan isyarat dari sorot matanya untuk ikut dia keluar. Akhirnya, dia pun mengikuti sang kakak keluar dari kamar. “Bagaimana bisa kamu tidak tahu jika Cia hamil?” El langsung melayangkan pertanyaan tajam padanya. “Aku benar-benar tidak tahu, Kak.” Memang itu yang terjadi. Dia memang tidak tahu sama sekal
Cia masih sangat terpukul dengan apa yang terjadi padanya. Freya yang ingin mengorek lebih dalam, kesulitan dalam hal ini. El hanya bisa pasrah menunggu karena dia tidak akan dapat memulai usaha pencarian jika Cia tidak mengatakannya.“Aku akan pergi ke tempat Noah. Kabari jika kamu sudah dapatkan hotel mana yang ditempati Cia waktu itu.” El mendaratkan kecupan di dahi Freya. Dari sejak datang ke London, El belum bertemu dengan Noah. Dia pun sama ingin sekali memukul temannya itu karena tidak menjaga adiknya dengan baik. “Baiklah, aku kabari jika Cia mau menceritakan di mana hotel tempatnya dulu menginap.” Sejauh ini Freya masih mengali informasi pelan-pelan. Tak mau terlalu memaksakan karena takut Cia kembali terpuruk. Untuk saat ini Cia sudah mau makan dan mulaimendengarkannya. Jadi tidak mau Freya kembali membangkitkan ingatan Cia yang buruk.El pergi dengan menaiki bus menuju ke kantor Noah. Sepanjang jalan, dia memikirkan bag
Belum banyak yang berubah dari Cia. Dia masih diam dan sesekali menangis. Freya berusaha keras menenangkan. Sesekali menyelipkan dukungan jika kini Cia akan memiliki anak. Bujuk rayu Freya pun berhasil membuat Cia mau makan. Namun, tidak mengubah kesedihan yang dirasakannya. “Menjadi ibu adalah hal yang paling membahagiakan. Terlepas apa yang terjadi pada orang tua mereka. Mereka lahir dengan keadaan suci. Tanpa dosa sama sekali,” ucap Freya di sela-sela Cia makan. “Jika mereka bisa memilih, mereka akan memilih dilahirkan di rahim ibu yang mau menerima mereka dengan suka cita. Bukan mereka yang menolak kehadiran mereka.” Cia terdiam sambil menunduk. Kalimat itu terdengar seperti kalimat sindiran yang dilontarkan sang kakak. Karena selama ini, dia tidak mau anak yang dikandungnya.“Jika semua calon ibu menerima dengan lapang anak yang dikandungnya, terlepas apa yang terjadi. Aku rasa tidak akan ada wanita yang menggugurkan an
El dan Noah sampai di rumah. Rumah tampak sepi. Tak ada seseorang pun di rumah. Mereka tahu ke mana orang-orang itu pergi. Bian sedang di kampus, sedangkan Freya menemani Cia di kamar. “Mau soda?” tanya El.“Boleh.” Noah menatap sejenak pada El dan kembali menatap di mana kamar Cia berada. Sambil mendudukkan tubuhnya, pandangannya tak teralih sama sekali. “Ini.” El memberikan minuman soda pada Noah. Noah menerima minuman dan membukanya. Walaupun tadi sempat minum, tetapi tenggorokannya masih terasa haus. Satu kaleng soda langsung habis saat Noah meminumnya. “Sepertinya kamu haus.” “Biasanya musim gugur tidak akan sepanas ini. Namun, entah kenapa terasa panas.” El hanya tersenyum melihat temannya. “Kalian sudah kembali.” Suara Freya terdengar saat keluar dari kamar. Dia bergegas menghampiri suaminya. Tangannya yang langsung melepas gagang pintu, membuat pintu tidak s