Share

Perfect Mommy
Perfect Mommy
Penulis: Myafa

Dua Garis Merah

“Ini tidak mungkin.” Tubuh Cia lemas, hingga membuatnya duduk di lantai kamar mandi.  Netranya masih terus memandangi alat tes kehamilan yang menunjukan dua garis merah. Air matanya lolos begitu saja dari mata indahnya. Seketika isak tangis pun terdengar begitu menyayat hati. Merasakan sedih yang begitu luar biasa. 

“Aku tidak mau.” Hanya kalimat itu yang bisa diucapkan Cia. Akan tetapi, itu tidak dapat mengubah apa pun. Karena pada kenyataannya, dia benar-benar hamil. 

Hancur sudah hidup Cia ketika mendapati kenyataan jika dirinya hamil. Dia pikir hidup akan semanis kue yang dibuatnya selama ini. Namun, hidup tak semanis itu.  Kini, perjuangannya di negeri orang untuk menimba ilmu dan berakhir dengan bahagia, hanya tinggal angan belaka. Karena semua hancur seketika.

Membayangkan lulus kuliah dan merintis usaha bakery selalu menghiasi pikirannya selama ini. Tiga tahun sudah Felicia Amaya Julian menempuh pendidikan di salah satu universitas ‘culinary’ yang bercabang di London. Kelulusan pun sudah diraihnya sebulan yang lalu dan rencananya, satu minggu lagi, dia akan kembali ke Indonesia. 

Sayangnya, semua tidak sesuai dengan yang direncanakannya. Pulang dalam keadaan hamil, tidak masuk dalam daftar rencana Cia. Gadis dua puluh tiga tahun itu, kini bingung dengan apa yang harus dilakukannya. 

Di dalam kamar mandi, Cia duduk dengan melipat kakinya. Menyembunyikan wajahnya di antara dada dan kakinya. Air matanya tak henti menetes. Perasaannya kali ini benar-benar tidak karuan. Rasanya, Cia tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika keluarganya tahu akan hal ini. Bisa jadi mereka akan sangat kecewa. Padahal, mereka tidak henti-hentinya mengingatkan Cia untuk berhati-hati. 

Dengan sisa tenaga yang dimiliki, Cia bangkit. Mengayunkan langkahnya ke tempat tidur. Air matanya masih mengalir di wajah cantiknya. Belum surut sama sekali. 

Merebahkan tubuhnya di atas tempat, Cia meringkuk di atas tempat tidur. “Kenapa bisa seperti ini?” Pertanyaan itu yang terlintas di pikirannya. Tak bisa membayangkan kembali bagaimana semua kejadian ini menimpanya. 

***

Sebulan yang lalu. 

Angin berembus kencang menggoyangkan pepohonan. Daun-daun kering yang tertiup angin, berjatuhan ke jalanan dan memenuhi jalanan. Terlihat indah ketika mata memandang jalanan yang dipenuhi dengan dedaunan kering. 

Cia keluar dari rumah, mendapati pemandangan yang begitu indah di hadapannya, senyumnya merekah. Daun-daun yang berjatuhan itu menandakan jika sekarang sudah masuk musim gugur di London.  Namun, sayangnya musim gugur kali ini, tidak akan bisa dinikmati sepenuhnya, karena sebulan lagi dia akan kembali ke Indonesia.

Cia mengeratkan mantel yang dikenakannya. Tak memberikan celah udara dingin yang ingin menerobos masuk dan menerpa kulitnya. Senyuman manis mengembang di wajahnya. Tidak terasa sudah tiga tahun Cia tinggal di negara orang. Jauh dari keluarga demi mengejar cita-citanya. 

Rencananya, setelah lulus, Cia akan melanjutkan usaha kue yang dirintis sang nenek. Membuka cabang lebih banyak lagi dan memperluas usaha sang nenek yang selama ini hanya kue saja. 

Cia mengayunkan langkahnya. Menuju ke salah satu halte yang terdekat dengan rumah yang selama ini ditempatinya. Tinggal di negara kerajaan Inggris itu membuatnya benar-benar mandiri. Ke mana-mana dia pergi sendiri menggunakan bus umum yang tersedia. 

Siang ini Cia bersiap untuk menghadiri acara pesta yang kelulusan yang diadakan teman-temannya. Sebelum pergi ke pesta tersebut, Cia menyempatkan diri untuk pergi ke kantor Sebastian Noah-pria yang selama ini mengisi relung hatinya. 

Selama ini, Cia mencintai dalam diam pria yang menjadi teman kakak iparnya itu. Noah sudah memiliki kekasih, sehingga tidak mungkin bagi Cia untuk menjalin hubungan dengan Noah. 

Sengaja Cia pergi ke kantor Noah untuk memberikan hadiah perpisahan. Paling tidak, itu akan menjadi kenang-kenangan untuk Noah. 

Di dalam bus double decker, Cia memandangi jalanan yang dilalui. Bangunan-bangunan kuno yang dilihatnya, tampak begitu indah. Seolah menjelaskan bagaimana peninggalan sejarah begitu dihargai, dijaga dan dirawat. 

Selalu, saja Cia tak hentinya mengagumi tempat yang menjadi tempat tinggalnya sekarang ini. Itulah yang membuatnya begitu antusias ketika memilih London sebagai tempat kuliah, tiga tahun yang lalu. 

Bus sampai di halte dekat kantor Noah. Cia turun dan berjalan kaki untuk mencapai kantor Noah. Dulu saat awal datang ke London, dia sering sekali datang ke kantor Noah untuk mengantarkan kue, tetapi sayangnya, setelah mengetahui Noah memiliki kekasih, dia memilih untuk tidak mendatangi Noah. Menjauh perlahan dari pria itu.  

Setelah bertemu dengan resepsionis di kantor Noah, Cia diarahkan untuk langsung ke ruangan Noah. Tidak perlu ditanya lagi, dia sudah sangat hapal di mana ruangan Noah. Jadi, dengan cepat dia ke ruangan pria dua puluh delapan tahun itu. 

Sekretaris Noah yang menyambutnya langsung mengantarkannya ke ruangan Noah. Dengan senyuman manis di wajahnya, Cia pun berterima kasih. 

“Hai, Kak,” sapa Cia saat masuk ke ruangan Noah. Dilihatnya, pria tampan dengan mata biru itu terlihat duduk manis di kursinya. 

“Ada angin apa kamu ke sini?” Noah berdiri seraya mengancingkan jas yang melekat pada tubuhnya. Menghampiri Cia yang masih berdiri di depan pintu. 

“Aku ingin memberikanmu sesuatu.” Cia membuka tasnya untuk mengambil hadiah yang disiapkannya untuk Noah.

“Duduklah dulu!” perintah Noah. Langkahnya, terus diayunkan menuju ke sofa di ruangannya. Kemudian, mendudukkan tubuhnya perlahan di sofa yang berbahan kulit berwarna navy, sesuai dengan warna kesukaannya itu.

Cia mengurungkan niatnya untuk mengambil hadiahnya. Sesuai dengan permintaan Noah, dia duduk di sofa yang sama dengan Noah. Tak butuh waktu lama, Cia kembali mengambil hadiah untuk Noah. 

“Ini,” ucap Cia seraya menyerahkan kotak kecil berbentuk persegi panjang. Kotak berwarna biru navy itu dibungkus dengan pita putih yang cantik. 

“Apa ini?” tanya Noah seraya menerima kotak tersebut. 

“Itu, hadiah perpisahan dari aku untuk Kakak.” 

Noah yang hendak membuka kado itu langsung menghentikan gerakannya. Sejenak mencerna ucapan Cia. Sampai akhirnya, dia mengingat jika Cia sudah menyelesaikan pendidikannya dan berniat kembali ke tanah airnya. 

“Apa ini sebagai tanda jika kita tidak akan bertemu lagi?” tanya Noah menyindir. 

“Bukan begitu, Kak. Ini hanya sekedar hadiah karena aku akan kembali. Bukan tanda seperti yang Kak Noah bilang.” Cia memutar bola matanya malas ketika melihat pria di depannya itu menyindirnya.

“Baiklah.” Noah membuka kotak dan mendapati sebuah bolpoin berwarna navy bertuliskan ‘Sebastian Noah’. Senyum terbit di wajah Noah ketika melihat hadiah indah dari Cia. “Terima kasih,” ucapnya. 

“Sama-sama,” jawab Cia.  Usai menjawab, dia merapikan tasnya. Kegiatan hari ini masih akan panjang karena dia harus ke rumah temannya untuk merayakan kelulusannya. 

“Kamu sudah akan kembali?” tanya Noah yang mendapati Cia sudah akan pergi. 

“Iya, aku harus ke rumah temanku karena akan merayakan kelulusanku.” Cia berdiri dan bersiap untuk pergi. 

“Sampai malam?” tanya Noah ingin tahu. 

“Tidak, sore aku sudah pulang,” jawab Cia seraya menyelempangkan tasnya ke bahunya.

“Kalau begitu aku pergi dulu.” Cia berlalu sambil melambaikan tangannya. Ponselnya sedari tadi sudah bergetar. Sudah bisa ditebak jika itu adalah teman-temannya yang memintanya untuk segera datang. 

“Cia …,” panggil Noah. 

“Jangan dekat-dekat dengan pria asing.” Sambil membuka pintu, Cia mengatakan apa yang sering dikatakan oleh Noah. Kalimat itu sudah diingatnya dengan baik karena Noah selalu mengatakannya. “Aku akan ingat,” ucapnya. Berlalu keluar dari ruangan Noah. 

“Dasar!” ucap Noah menggelengkan kepalanya. Netranya kembali pada hadiah yang diberikan oleh Cia.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Agustina Ery
agaknya bagus
goodnovel comment avatar
Tiah Sutiah
mampir thor
goodnovel comment avatar
Myafa
Terima kasih
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status