Sinar matahari yang menerobos masuk melalui celah gorden, membuat Cia yang sedang menikmati tidurnya-mengerjap. Mata indahnya yang dihiasi bulu mata lentik-berkedip berkali-kali untuk menyadarkan dirinya.
Saat kesadarannya mulai terkumpul, Cia menyadari jika dia tidak sedang berada di kamarnya. Langit-langit kamar yang berwarna putih polos berbeda sekali dengan yang berada di rumah kediaman Maxton.Selama ini, Cia tinggal di rumah kediaman Maxton. Keluarga Maxton sudah seperti keluarganya sendiri. Jika telisik lebih dalam, hubungan keluarganya dengan keluarga Maxton cukup jauh. Papanya-Felix Julian berteman dengan Bryan Adion. Kakak dari Bryan Adion yaitu Selly Adion menikah dengan Regan Alvaro Maxton. Dari hubungan itulah, akhirnya Cia bisa dekat dengan keluarga Maxton. Selama ini, Cia tinggal bersama dengan anak dari Bryan Adion-teman papanya, yaitu Nolan Fabian Adion. Mereka sama-sama kuliah di London, hanya berbeda universitas.Cia mencoba berkali-kali mengerjap. Menyakinkan mungkin saja dia sedang bermimpi. Namun, sayangnya saat matanya mengerjap beberapa kali, dia menyadari jika dia sedang tidak bermimpi. Semua furniture di dalam kamar jelas-jelas bukan miliknya. “Di mana ini?” gumamnya seraya berusaha bangkit dari tempat tidur. Namun, baru saja dia mengangkat kepalanya, dia merasa kepalanya pusing sekali. Cia kembali menjatuhkan kepalanya ke bantal. Merasakan lebih dalam rasa pusing yang menderanya. Matanya kembali terpejam. Memikirkan apa yang menyebabkan dirinya merasa pusing. “Sial, aku mabuk semalam!” umpatnya ketika mengingat apa yang membuatnya sekarang pusing. Tak tahan merasakan pusing, Cia berusaha untuk memijat kepalanya. Tangannya bergerak mengarah ke kepala. Mengapai pelipisnya. Sejenak Cia merasakan ada yang aneh. Selimut yang dipakainya terasa jelas di kulit tangannya. Seolah tangannya tanpa penghalang sama sekali. Padahal jelas-jelas, Cia ingat jika kemarin, dia memakai baju berlengan panjang. Harusnya gesekan antara selimut dengan tangannya, tidak akan langsung terasa.Merasakan lebih dalam, Cia mendapati jika seluruh kulitnya menempel dengan selimut yang dipakainya. Perasaan berdebar seketika menyelimuti hatinya. Merasa takut jika pikirannya yang menduga jika saat ini dia tidak memakai sehelai benang pun adalah benar. Untuk meyakinkan semua itu, Cia berusaha membuka sedikit selimut dan melihat ke dalam. Mata indahnya langsung membulat sempurna ketika melihat pemandangan tubuhnya tanpa sehelai benang pun. “Apa yang terjadi?” tanyanya bingung. Rasanya sakit kepala yang menderanya bertambah berlipat-lipat ganda saat itu juga.Cia mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi kemarin malam. Namun, sayangnya dia tidak ingat sama sekali. Terakhir yang dia ingat adalah ketika temannya memberikan minuman dan dia mabuk. Sejak itu, dia tidak mengingat apa-apa lagi. Dengan memaksakan dirinya, Cia bangun. Mengabaikan sakit kepala yang mendera. Namun, baru saja dia menggerakkan pinggulnya untuk berangsur bangun, terasa ada yang sakit antara dua pangkal pahanya.“Kenapa sakit?” tanyanya bermonolog. Dia terkejut ketika merasakan sakit di area vitalnya.“Tidak mungkin.” Air mata Cia lolos begitu saja dari mata indahnya. Menduga jika dia barus saja melakukan hubungan suami istri. “Tidak mungkin.” Dia masih berusaha tetap mengelak apa yang terjadi pada dirinya. Dengan keyakinan yang masih kuat, Cia berusaha bangun. Walaupun terasa perih di bawah sana, dia berusaha untuk tetap kuat. Saat berada di posisi duduk dengan kaki yang menjuntai ke lantai, Cia melihat bajunya yang berceceran di lantai. Mantel, baju panjangnya, celananya dan serta pakaian dalamnya tergeletak di lantai. Membuat perasaan Cia semakin tak karuan. Untuk saat ini, dia memilih mengabaikan semua yang dikenakannya. Yang harus dilakukannya sekarang adalah mengecek sesuatu di balik selimut yang dipakainya. Sambil menarik selimut untuk menutupi tubuhnya, Cia berusaha untuk berdiri dari tempat tidur. Perlahan, Cia menarik selimut yang membungkusnya seraya berbalik untuk melihat sesuatu yang akan menjadi jawaban atas pertanyaannya. Selimut yang ditarik Cia, perlahan mulai turun dari tempat tidur ke lantai. Memperlihatkan apa yang dicari Cia sedari tadi.“Tidak mungkin.” Tangisnya pecah ketika mendapati noda merah di atas tempat tidur. Tubuhnya seketika lemas ketika mendapati hal itu. Menjatuhkan tubuhnya ke lantai, Cia mengeratkan selimut yang membungkusnya. Pandangannya masih tertuju pada noda merah yang terdapat di seprei warna putih di hadapannya. Cia berusaha keras mengingat dengan siapa dirinya semalam pergi. Paling tidak itu adalah jawaban dengan siapa semalam dia melakukan hubungan suami istri. Sayangnya tidak ada kepingan ingatan yang diingatnya sama sekali. Seolah semua ingatnya itu musna seketika dari isi kepalanya, hingga tak tersisa sama sekali untuk diingat. Mendapati kebodohannya itu, dia semakin menangis. Menyalahkan dirinya sendiri yang tidak bisa berhati-hati. Padahal harusnya dia sadar jika tidak terbiasa untuk minum dan harusnya tetap teguh menolak saat temannya memberikannya. Cia terus menangis. Meratapi semua yang terjadi padanya. Kini mahkota kehormatannya sudah hilang, dan yang lebih parah, dia tidak tahu siapa pria yang sudah tega melakukan hal itu padanya. Cukup lama Cia menangis. Hingga akhirnya dia tersadar untuk mencari tahu dengan siapa semalam dirinya pergi dari rumah temannya itu. Paling tidak, hal itu dapat membantunya menemukan jawaban siapa pria yang melakukannya padanya. Cia mengedarkan pandangannya. Mencari tasnya untuk mengambil ponselnya. Tas berada di dekat nakas, tak jauh dari tempatnya berada. Dengan cepat, dia mengambilnya. Seluruh isi tak dikeluarkan, agar dengan segera mendapatkan ponselnya. Ketika ponselnya didapat, Cia langsung berusaha menghubungi temannya. Cukup lama Cia menunggu, hingga akhirnya suara dari seberang sana terdengar. “Tessa, semalam aku pulang dengan siapa?” tanyanya lirih. “Semalam kamu pulang dengan Ken. Apa kamu tidak ingat? Oh … iya, kamu mabuk, pasti kamu tidak ingat.” Terdengar suara temannya dari sambungan telepon tertawa. Cia menjatuhkan ponselnya. Akhirnya, dia menemukan jawaban atas pertanyaan dengan siapa dirinya melakukan hubungan suami istri. “Kenapa kamu tega, Ken?” Air mata Cia kembali mengalir di pipi putihnya. Bagaimana Ken mendekatinya selama ini, membuat Cia yakin Ken tega melakukan semua itu karena dirinya tidak membalas cintanya. Mengingat semua itu, ingin sekali Cia marah, tetapi rasanya percuma karena kini kesuciannya sudah direnggut begitu saja oleh pria itu. Cia menghentikan tangisnya. Kali ini, dia harus mempertanyakan ini langsung dengan Ken. Dia ingin tanya kenapa pria itu begitu tega dengannya. Kembali dia mengambil ponselnya yang jatuh. Kemudian mencari nomor Ken untuk menghubungi pria itu. Sialnya, nomor Ken tidak dapat dihubungi. Hal itu membuat Cia semakin kacau. Tak mau usahanya sia-sia, Cia mencoba menghubungi teman satu flat dengan Ken. Paling tidak ada harapan kecil untuknya. “Deren, di mana Ken?” Cia tanpa berbasa-basi langsung bertanya pada teman Ken. “Ken?” tanya Darren memastikan. “Dia pergi ke Korea tadi pagi.” Untuk kedua kalinya, Cia menjatuhkan ponselnya. Hancur sudah harapan Cia untuk bertanya langsung pada Ken. Karena ternyata pria itu sudah meninggalkan London.Menyandarkan kepalanya di tepian tempat tidur, Cia menangis. Meratapi nasibnya yang begitu naas.Isak tangis masih terdengar di dalam kamar. Namun, sayangnya tidak bisa mengembalikan semua yang ada sudah terjadi. Menyadari jika semua sudah tak bisa kembali lagi, Cia menghentikan tangisnya. Meraih pakaiannya dan memakainya. Netranya tak berkedip ketika melihat sekujur tubuhnya dipenuhi tanda merah. Entah apa saja yang dilakukan pria itu saat dia tidak sadar, Cia benar-benar tidak tahu.Dengan sekuat tenaganya, Cia berusaha untuk pulang. Sambil menahan perih di tubuhnya dan di hatinya, dia keluar dari hotel. Pandangannya menunduk agar orang tak melihat wajahnya yang baru saja menangis.Keluar dari hotel, Cia mencari halte bus terdekat. Satu tempat yang ditujunya adalah kediaman Maxton. Sepanjang jalan, Cia hanya melamun. Pikirannya kosong ketika mendapati semua yang terjadi dalam hidupnya serasa mimpi. Tak ada harapan yang bisa digantungkan lagi. Mungkin jika terluka, masih dia bisa menahannya, tetapi melukai orang tuanya. Rasanya,
Bian yang bingung pun akhirnya menghubungi kakak iparnya-sekaligus kakak dari Cia. Paling tidak dia bisa mendapatkan saran apa yang harus dilakukannya. Di ruang keluarga, Bian mengusap ponselnya. Menghubungi kakak iparnya. “Kenapa menghubungi kakak iparmu? Apa kamu lebih merindukannya dari pada aku?” El dari sambungan telepon menggoda adiknya. “Untuk apa aku merindukanmu. Aku lebih merindukan kakak ipar dan si kembar dari pada kamu.” El terdengar tertawa. “Ini.” Terdengar suaranya yang tampak memberikan ponsel pada istrinya. “Hai, Bi, ada apa?” Freya terdengar ceria sekali. Mendengar sedari tadi suaminya menggoda sang adik. “Hai, Kak.” Bian terdengar ceria. “Kak, ada yang aku ingin bicarakan tentang Kak Cia.” Suara Bian mulai serius. Tak seperti awal berbicara dengan kakak iparnya. Freya terdiam. “Sepertinya penting?” tebak Freya. “Tiga hari ini Kak Cia tidak keluar kamar. Tadi mencoba membuka pintu secara paksa.
“Kak Cia,” teriak Bian yang terkejut saat membuka pintu kamar. Dia yang melihat Cia sedang memegangi pecahan gelas langsung berlari masuk ke kamar Cia. Saat sampai di pinggir tempat tidur, dia meletakkan makanan yang dibawanya dan bergegas mencegah Cia yang sedang ingin memotong nadinya. “Biarkan aku, Bi,” ucapnya menangis. Berusaha keras untuk melepaskan tangannya yang dicengkeram oleh Bian. “Jangan gila, Kak. Apa begini caramu menghadapi hidup?” tanyanya. Tangannya terus berusaha menghalau Cia yang berusaha memotong nadinya. Bian berusaha keras untuk melepas pecahan gelas yang berada di tangan Cia. Setelah bersusah payah, akhirnya Bian dapat melepaskan pecahan gelas tersebut. Namun, tangan Cia sudah tergores sedikit. “Hidupku sudah tidak berarti lagi, Bi.” Air mata Cia mengalir deras dari mata indahnya. Merasa dirinya hancur setelah mendapati jika dia akhirnya hamil. Sedari tadi dia memikirkan bagaimana menghadapinya, dan mati adalah ja
El memegangi bahu Freya. Saat istrinya menatapnya, dia memberikan isyarat untuk tidak menekan Cia. Dalam waktu ini, Cia adalah orang yang paling terluka. Jika orang-orang dekatnya ikut menekan, pastinya akan membuat mentalnya lebih hancur. Freya pun langsung memeluk adiknya. Merasa bersalah dengan apa yang baru saja dilakukannya. Cia pun hanya bisa menangis di dalam pelukan kakaknya. Kali ini dia tidak bisa memaksa Cia untuk menceritakan lebih dalam lagi dengan apa yang terjadi padanya. Memilih membiarkan Cia lebih tenang dulu. El menatap Bian dengan tajam. Dia berdiri dan keluar dari kamar Cia. Bian tahu jika kakaknya memberikan isyarat dari sorot matanya untuk ikut dia keluar. Akhirnya, dia pun mengikuti sang kakak keluar dari kamar. “Bagaimana bisa kamu tidak tahu jika Cia hamil?” El langsung melayangkan pertanyaan tajam padanya. “Aku benar-benar tidak tahu, Kak.” Memang itu yang terjadi. Dia memang tidak tahu sama sekal
Cia masih sangat terpukul dengan apa yang terjadi padanya. Freya yang ingin mengorek lebih dalam, kesulitan dalam hal ini. El hanya bisa pasrah menunggu karena dia tidak akan dapat memulai usaha pencarian jika Cia tidak mengatakannya.“Aku akan pergi ke tempat Noah. Kabari jika kamu sudah dapatkan hotel mana yang ditempati Cia waktu itu.” El mendaratkan kecupan di dahi Freya. Dari sejak datang ke London, El belum bertemu dengan Noah. Dia pun sama ingin sekali memukul temannya itu karena tidak menjaga adiknya dengan baik. “Baiklah, aku kabari jika Cia mau menceritakan di mana hotel tempatnya dulu menginap.” Sejauh ini Freya masih mengali informasi pelan-pelan. Tak mau terlalu memaksakan karena takut Cia kembali terpuruk. Untuk saat ini Cia sudah mau makan dan mulaimendengarkannya. Jadi tidak mau Freya kembali membangkitkan ingatan Cia yang buruk.El pergi dengan menaiki bus menuju ke kantor Noah. Sepanjang jalan, dia memikirkan bag
Belum banyak yang berubah dari Cia. Dia masih diam dan sesekali menangis. Freya berusaha keras menenangkan. Sesekali menyelipkan dukungan jika kini Cia akan memiliki anak. Bujuk rayu Freya pun berhasil membuat Cia mau makan. Namun, tidak mengubah kesedihan yang dirasakannya. “Menjadi ibu adalah hal yang paling membahagiakan. Terlepas apa yang terjadi pada orang tua mereka. Mereka lahir dengan keadaan suci. Tanpa dosa sama sekali,” ucap Freya di sela-sela Cia makan. “Jika mereka bisa memilih, mereka akan memilih dilahirkan di rahim ibu yang mau menerima mereka dengan suka cita. Bukan mereka yang menolak kehadiran mereka.” Cia terdiam sambil menunduk. Kalimat itu terdengar seperti kalimat sindiran yang dilontarkan sang kakak. Karena selama ini, dia tidak mau anak yang dikandungnya.“Jika semua calon ibu menerima dengan lapang anak yang dikandungnya, terlepas apa yang terjadi. Aku rasa tidak akan ada wanita yang menggugurkan an
El dan Noah sampai di rumah. Rumah tampak sepi. Tak ada seseorang pun di rumah. Mereka tahu ke mana orang-orang itu pergi. Bian sedang di kampus, sedangkan Freya menemani Cia di kamar. “Mau soda?” tanya El.“Boleh.” Noah menatap sejenak pada El dan kembali menatap di mana kamar Cia berada. Sambil mendudukkan tubuhnya, pandangannya tak teralih sama sekali. “Ini.” El memberikan minuman soda pada Noah. Noah menerima minuman dan membukanya. Walaupun tadi sempat minum, tetapi tenggorokannya masih terasa haus. Satu kaleng soda langsung habis saat Noah meminumnya. “Sepertinya kamu haus.” “Biasanya musim gugur tidak akan sepanas ini. Namun, entah kenapa terasa panas.” El hanya tersenyum melihat temannya. “Kalian sudah kembali.” Suara Freya terdengar saat keluar dari kamar. Dia bergegas menghampiri suaminya. Tangannya yang langsung melepas gagang pintu, membuat pintu tidak s
Malam ini El dan Freya bersiap membawa Cia untuk pulang ke Indonesia. Mereka berdua tidak dapat meninggalkan anak-anak mereka lama-lama. Lagi pula, lebih aman jika Cia berada di dekat keluarganya. “Tidak mungkin kita membawa Cia pulang langsung ke rumah mama dan papa.” Freya sadar harus menjelaskan pelan-pelan pada papanya. “Sementara Cia akan tinggal di rumah kita, sampai kita bisa menjelaskan pelan-pelan pada papa.” El harus mencari waktu yang pas untuk mengatakan pada mertuanya itu. Freya mengangguk. Merasa apa yang dikatakan suaminya ada benarnya. Jika rumahnya yang paling aman dari pada tempat lain. “Aku masih heran melihat Noah yang tiba-tiba ingin bertanggung jawab.” Sampai detik ini, Freya masih memikirkan hal itu. El tersenyum. Kemarin, setelah kejadian di mana Noah menawarkan diri, dia masih menyempatkan diri mengobrol dengan temannya itu. “Apa yang membuatmu ingin menawarkan diri? Bu