Richard tidak pernah menghabiskan waktu lama seperti sekarang ini hanya untuk membasuh tubuhnya. Sudah hampir satu jam dan lelaki itu belum juga kembali dari kamar mandi. Kyra menanti di tepian ranjang dengan perasaan was-was. Dia memangku kedua tangan, jemarinya saling meremas. Pandangan mata Kyra gelisah menunggu pintu kamar terbuka lagi. Sekali-sekali Kyra melirik tespek yang dia letakkan di atas nakas, berdampingan dengan buket gardenia pemberian Richard beberapa saat lalu.
“Apa Richard marah? Mungkinkah dia tidak senang.” Kyra menerka-nerka apa yang Richard rasakan setelah mendapat kabar kehamilannya. Sebab, ekspresi Richard tadi sedikit sulit untuk diterjemahkan.
Kyra kembali menggigit bibir tebal bagian bawahnya ketika pintu kamar terbuka, menampilkan Richard dengan rambut yang masih basah dan tetesan air berjatuhan. Kyra beranjak mendekati Richard, berdiri tepat di hadapan lelaki yang lebih tinggi darinya itu .
“Kau … tidak suka, ya?” terka Kyra, sendu menghias wajah ayunya.
Richard bergeming.
“Maafkan aku ….”
Perlahan kepala Kyra tertunduk. Sejak awal dia memang tidak berani berharap terlalu banyak atas semua ini.
“Apa aku harus—” Ucapan Kyra tersebut tidak tuntas. Sebab, jemari Richard tanggap menegakkan kembali wajah cantik wanita itu.
Sejurus kemudian Richard menyungging senyum, menimbulkan cekungan dalam pada pipi kirinya. Sangat tampan.
“Aku bahagia,” ujar Richard tulus. “Terima kasih, Sayang.”
“Be—benarkah?” Kyra bertanya untuk memastikan, tentang pengakuan Richard barusan.
Richard mengangguk pasti, tatapannya menyiratkan tidak ada sedikit pun ragu di sana. Lantas Richard kembali melayangkan kecupan pada kening Kyra. Begitu lama. Seolah tengah menyuarakan kebahagiaan yang teramat dalam.
Tadi Richard memang sempat terkejut saat mendapat kabar bahagia dari Kyra yang sangat tiba-tiba. Akan tetapi, ketika air dingin mengguyur sekujur tubuhnya, Richard menyadari satu hal. Bahwa kehamilan Kyra bukanlah kesalahan. Tidak dipungkiri, Richard juga menginginkan hal itu terjadi.
Seketika semua kecemasan Kyra buyar begitu saja. Ragu yang sempat menyusup, musnah dengan ketulusan yang Richard tunjukkan. Kyra tahu, Richard adalah lelaki taat. Richard tidak pernah mengingkari janji yang telah diucapkan. Apa pun itu.
“Ah, iya … hari ini ulang tahunmu. Seharusnya aku yang memberi kejutan untukmu, tapi justru kau yang memberiku hadiah istimewa. Selamat ulang tahun, Sayang.” Richard berbinar kala mengucapkan kalimat panjang lebar itu.
Kyra menyimpul senyuman paling manis dan bahagia. “Terima kasih. Kau sudah mengucapkannya ribuan kali sejak tadi malam.”
“Tapi ….“ Richard memasang tampang sedih. “Aku hanya memberimu bunga. Sedangkan kau memberiku segalanya. Bagaimana kalau kita makan di luar untuk merayakan kegembiraan ini?” tawarnya kemudian.
“Di … luar?” Kyra membeo, seolah-olah pendengerannya menjadi bermasalah.
Anggukan Richard membuktikan kalau Kyra tidak salah dengar. Akan tetapi, perempuan itu dengan cepat menggeleng. Memberikan opsi lain untuk menikmati makan malam di rumah saja.
“Aku akan memasak pasta kesukaanmu saja,” ucap Kyra, menjauhkan diri dari pelukan Richard.
Richard dengan segera menahan pergerakan tubuh Kyra dan kembali memeluk pinggangnya.
“Hari ini kau berulang tahun, jadi aku yang akan memasak untukmu, Sayangku,” sergah Richard.
Semburat merah jambu tidak pelak menghias di kedua pipi Kyra. Lelakinya itu sungguh pandai sekali membuat hati Kyra melambung tinggi hanya bermodalkan bualan manis. Kyra selalu lemah jika Richard sudah berlaku seperti itu.
“Tapi, kau pasti lelah. Biar aku saja yang memasak.” Kyra menolak dengan hati-hati. Dia tahu kesibukan Richard di kantor menguras banyak energy.
Sayang sekali, Richard Parker tidak suka mendapat bantahan saat bersama Kyra.
“Aku akan menjadi koki andal malam ini. Kau hanya perlu duduk menunggu, Sayang,” ucap Richard lagi.
Pada akhirnya, Kyra hanya bisa pasrah ketika Richard menuntun ke dapur dan memintanya duduk di salah satu kursi untuk menunggu.
“Duduklah dengan manis, aku akan menyajikan hidangan paling istimewa untukmu.” Lagi-lagi Richard memberi kecupan pada kening Kyra, seolah dia tidak pernah bosan melakukan kegiatan berulang tersebut.
Menuruti titah lelaki terkasih, Kyra duduk menopang dagu dengan kedua lengan bertumpu pada meja. Dia memandangi lelaki bertubuh jangkung itu memasang celemek untuk melindungi kaus hitam lengan pendek yang dikenakan. Lantas berdiri menghadap kompor, membelakangi Kyra. Richard begitu sibuk dengan bahan masakan serta peralatan dapur.
Suara pisau beradu dengan tatakan saat Richard mencincang dan mengiris berbagai bahan, mengiringi perbincangan ringan yang dilakukan olehnya bersama Kyra. Saling bertukar cerita soal kegiatan selama lima hari ke belakang, juga hal-hal lain yang mereka rencanakan.
Beberapa menit setelah berkutat dengan segala piranti memasak, Richard menyendok kuah sup dan terburu-buru membawanya kepada Kyra untuk dicicipi.
“Bagaimana rasanya?” tanya Richard antusias
Kyra mencecap kuah sup tersebut, mencerna rasa yang menyentuh lidah kemudian berujar, “Ini sempurna!”
Seringai bangga terlukis pada bibir tebal si lelaki. Meskipun sudah sangat jarang memasak, nyatanya keahlian Richard yang satu itu masih lumayan mumpuni.
Richard kembali berbalik menuju kompor, mengaduk sup beberapa kali untuk menyempurnakan masakannya, kemudian mematikan nyala api. Dengan hati-hati Richard memindahkan sup ke dalam mangkuk dan menghidangkan ke hadapan Kyra.
Sup rumput laut dengan aroma menggiurkan tersaji apik di meja makan. Menurut tradisi di sebuah negara, sup rumput laut itu sangat cocok untuk merayakan hari kelahiran, karena dipercaya sebagai harapan agar memiliki umur yang panjang.
“Terima kasih telah lahir di dunia ini, Sayang,” ucap Richard bahagia.
Genggaman telapak besar pada tangan kanan Kyra itu dibalas dengan belaian lembut jemari kiri.
“Terima kasih telah hadir dalam hidupku,” balas Kyra.
Richard menggunakan tangan kanan untuk menyendok sup, sementara tangan kiri tetap menggenggam jemari Kyra. Bibir tebal Richard membulat, meniupkan angin untuk mendinginkan sup sebelum disuapkan pada Kyra. Richard melakukan itu dengan telaten, berulang-ulang kali.
“Kau juga harus memakan ini.” Kyra mengambil alih sendok dari tangan Richard dan berganti menyuapinya.
Tentu saja Richard tidak menolak. Dia tidak hanya suka memperlakukan Kyra dengan manis, tetapi suka juga diperlakukan manis oleh wanita terkasihnya.
“Sayang … apa kau sudah ke dokter?” tanya Richard setelah menelan sup yang disuapkan oleh Kyra.
Kyra menggeleng seraya mengunyah nasi dan rumput laut. Jangankan pergi ke dokter, dia saja butuh ribuan kali untuk meyakinkan diri bahwa kehamilannya benar nyata terjadi.
“Kalau begitu besok kita akan pergi ke dokter bersama,” gagas Richard.
Kyra terkesiap tidak percaya, “Pe—pergi bersama?”
“Hm.” Richard mengangguk tanpa ragu. “Aku juga ingin mengetahui bagaimana keadaan bayi kita di dalam sana,” imbuh Richard sambil melirik pada perut Kyra yang masih sangat datar.
Garis bibir tebal Kyra tidak kuasa untuk tak melengkung ke atas. Rasanya begitu menyenangkan saat mendengar sebutan yang Richard berikan pada janin dalam kandungannya.
Bayi kita.
Itu indah bukan?
Anugerah yang menggenapkan kesempurnaan hidup Kyra bersama Richard.
-To be continued-
Kyra meneguk habis segelas air minum setelah menyelesaikan satu mangkuk sup rumput laut dengan disuapi oleh Richard. Lelaki di hadapannya itu tersenyum gemas saat Kyra berserdawa.“Ma—af, tidak sengaja,” lirih Kyra, biasanya dia tidak melakukan hal sekonyol itu.“Tidak masalah, Sayang. Itu berarti kau menikmati sup buatanku, ‘kan?” timpal Richard, senyuman masih bertahan pada bibir tebalnya.“Hm … Sangat nikmat. Kalau saja aku belum kenyang, aku ingin minta dibuatkan lagi.” Kyra tidak membual soal rasa masakan yang dibuat oleh Richard, itu benar-benar nikmat.“Masih ada banyak hari untuk kita lalui bersama, Sayang. Aku akan lebih sering memasak untukmu,” ucap Richard.Richard lantas membenahi piranti makan.“Biar aku saja yang mencuci.” Kyra menahan mangkuk yang akan Richard bawa ke wastafel.Biasanya memang Kyra yang memasak dan mencuci piring bekas mereka
Roda Mercedes-Benz AMG G65 yang Richard kemudikan, berhenti melaju tepat di depan sebuah rumah mungil dengan cat biru. Kyra segera melepas kaitan sabuk pengaman dan membuka mobil pintu. Langkah pendeknya terlihat begitu ringan menapaki halaman yang tidak terlalu luas, berhias jejeran krisan aneka warna.Richard tersenyum gemas melihat tingkah Kyra tersebut. Richard mengikuti di belakang.Ketika sampai di depan pintu, uluran tangan Kyra yang hendak mengetuk, urung dan turun kembali ke samping badan. Dia lantas berbalik dengan wajah menunduk. Tingkat kepercayaan diri Kyra menurun drastis, nyalinya menjadi ciut hanya untuk menemui ibu sendiri.”Kita pulang saja,” ajak Kyra lirih.”Ada apa, Sayang?” Richard menatap Kyra dengan heran.Beberapa detik yang lalu, Kyra tampak begitu bersemangat. Akan tetapi, tiba-tiba menjadi lesu seperti ini. Richard yakin ada sesuatu yang mengganggu pikiran Kyra hingga berubah secara mendadak.
Kyra melepaskan diri dari pelukan Richard. Dia mengurai langkah tanpa tenaga menuju ke arah Nyonya Amber. Richard menatap waspada lalu tersentak ketika Kyra tiba-tiba menekuk kedua lutut, dan bersimpuh di hadapan Nyonya Amber.“Ibu ….“ Suara Kyra terdengar begitu nelangsa.Richard masih menahan diri untuk tidak menarik Kyra dari posisi berlututnya. Mungkin saja apa yang dilakukan oleh Kyra saat ini, bisa
Dua pasang mata yang sama-sama bulat itu masih saling menatap satu sama lain dalam keheningan. Richard senantiasa menunggu Kyra membuka bibir tebalnya untuk bertutur kata, mengucapkan permohonan yang dia maksud beberapa saat lalu. Meskipun Richard diliputi perasaan was-was, tetapi laki-laki itu berusaha untuk tetap tenang. Richard tidak mau menunjukkan ekspresi gelisah di hadapan Kyra yang juga sedang dilanda gundah akibat perlakuan dan penolakan dari Nyonya Amber.Sementara itu, Kyra tetap bergeming. Dia membungkam mulut rapat-rapat setelah mengucapkan dua kata terakhir yang sengaja dia beri jeda. Bukan maksud Kyra mengulur-ulur waktu. Dia hanya sedang mempertimbangkan berbagai macam risiko yang akan terjadi jika keinginan terpendamnya selama ini diungkapkan sekarang juga.Beberapa hal bisa saja terjadi kepada hubungan Richard dan Kyra. Kemungkinan paling buruk yang Kyra dapatkan adalah kehilangan Richard, meskipun dia sangat tahu bahwa Richard tidak akan mungkin mele
Setelah dua hari selama akhir pekan lalu menetap di South East menemani Kyra, Richard kembali ke Midtwon untuk menjalankan aktivitasnya di kota itu. Sebagai anak tunggal dari Keluarga Parker, tentu saja bukan hal aneh jika Richard dilimpahi tanggung jawab atas keberlangsungan perusahaan milik sang ayah.“Kau sudah pulang, Nak?” Nyonya Parker menyapa kedatangan Richard di rumah mereka.Laki-laki itu hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan sang ibu.“Sudah sarapan?” tanya Nyonya Parker lagi.Richard kembali memberi jawaban berupa anggukan. Sebelum kembali ke Midtown, Richard lebih dulu menikmati makan paginya bersama Kyra.“Rich!” seru Tuan Parker memanggil dari ruang keluarga.“Iya, Ayah?” sahut Richard sambil menoleh ke arah laki-laki itu.“Bisa ikut ayah sebentar? Ada yang perlu ayah bicarakan denganmu.” Tuan Parker tidak menunggu persetujuan dari Richard meskipun d
“Halo, Rich!” sapa sebuah suara melalui panggilan telepon.Richard menyalakan pelantang suara pada layar telepon genggam dan membiarkannya tergeletak di atas meja. Suara si penelepon menggema di ruang kerja berukuran 3 X 3 meter persegi tersebut. Sementara itu, kedua tangan Richard sibuk membolak-balik berkas yang sedang diperiksa olehnya.“Kau sedang di mana, Rich?” Suara yang sama kembali terdengar.“Di kantor.” Richard menjawab dengan singkat.Ada jeda beberapa saat. Baik Richard maupun wanita di seberang sambungan telepon itu sama-sama terdiam. Kedua manik mata Richard terus saja sibuk bergulir dari kiri ke kanan untuk membaca setiap kalimat yang tertera pada lembaran kontrak kerja.“Kapan kau akan pulang ke rumah, Rich?” tanya si penelepon lagi.Richard tidak langsung menjawab. Ada ragu yang menyelusup dalam dada dan itu membuatnya enggan untuk memberikan janji tanpa kepastian atas pertany
Ponsel Richard berdering untuk yang ke sekian kali. Semula dia sempat mengabaikan panggilan yang masuk berurut-turut itu. Akan tetapi, kali ini Richard serta-merta menggeser ikon gagang telepon berwarna hijau untuk menerimanya. “Halo, Sayang!” sapa Richard dengan suara riang. Meskipun penat tengah menyerang, nyatanya mendengar suara wanita terkasihnya bisa menjadi suntikan semangat bagi Richard. “Eum ....” Kyra terdengar ragu-ragu untuk berbicara. “Apa terjadi sesuatu?” tebak Richard, keraguan Kyra sering kali menjadi pertanda akan hal yang kurang baik. “Tidak ada,” jawab Kyra lugas. “Lalu?” “Hanya rindu,” ucap Kyra dengan suara lirih. Richard tersenyum, penatnya musnah bersama pengakuan Kyra yang manis barusan. Selama ini, Richard yang sering kali mengumbar kata cinta juga rindu, sedangkan Kyra hanya menimpali kalimat-kalimat yang Richard ucapkan. “Kenapa kau diam?” Kyra merasa diabaikan. “Aku senang karena kau
Bab IXPenolakan Nyonya Amber terhadap dirinya adalah hal yang sangat menyakitkan bagi Kyra. Ditambah lagi, perempuan yang dulu selalu memberikan perlindungan terhadap Kyra, saat ini memilih menghindari tatapannya. Bahkan Nyonya Amber menepis dengan kasar genggaman tangan Kyra.“Ibu ....” Kyra memanggil dengan lirih, sarat akan rasa putus asa. Dia tidak tahu harus bagaimana lagi untuk meluluhkan hati Nyonya Amber dan mendapatkan satu kata maaf dari perempuan itu. "Kumohon ... jangan seperti ini."Nyonya Amber bergeming, tidak menanggapi panggilan dari Kyra yang nelangsa. Tanpa berminat sedikit pun untuk mengurai kata-kata, Nyonya Amber membawa langkah kakinya pergi dari hadapan Kyra.“Ibu ... maafkan, aku.” Ucapan tulus Kyra tersapu oleh angin, karena dia hanya bisa menatap sendu pada punggung Nyonya Amber yang perlahan-lahan mulai menjauh.Genangan cairan bening di kedua pelupuk mata bulat Kyra, menelan habis hasratnya un