Apa yang diucapkan wanita itu seketika membuat Retta melepaskan cengkeramannya. Dia begitu terkejut dengan yang didengarnya. Suami orang? Retta mengulang apa yang dikatakan oleh wanita itu padanya. Jelas jika yang dimaksud adalah calon suaminya. Tidak mungkin orang lain. Karena wanita itu menyerangnya karena calon suaminya.
Di saat Retta sudah melepas cengkeraman, Rylan memberikan kode pada calon suami Retta untuk berusaha melepaskan cengkeraman wanita yang diketahui adalah istri pria itu.
Pria itu pun melakukannya. Hingga akhirnya sang istri melepaskan cengkeraman di rambut Retta.
Mereka berdua sudah begitu kacau. Rambut sudah bak singa karena aksi jambak-jambakan. Jika wanita yang diketahui adalah istri calon suami Retta sudah menangis sejak tadi, Retta baru menangis sekarang. Dia begitu kecewa mendengar kenyataan pahit baru saja.
“Apa benar jika dia istrimu?” Retta menatap calon suaminya. Mencoba memastikan apa yang didengarnya benar.
“Apa kamu tidak mengerti apa yang aku katakan tadi jika kamu itu perebut suami orang?” tanya wanita itu dengan nada menyindir. “Jelas-jelas kalimat itu menjelaskan jika dia sudah menikah!” tegasnya kembali sambil menunjuk calon suami Retta.
Retta memilih mengabaikan wanita yang mengaku sebagai istri calon suaminya itu. Dia memilih untuk menatap pria yang dicintainya itu. Memastikan pada calon suaminya itu. Dia masih berharap jika calon suaminya menyangkalnya dan mengatakan jika perempuan yang datang itu hanya mengada-ada saja. Sayangnya, tidak ada jawaban dari calon suaminya. Pria itu menutup rapat mulutnya.
“Hai, apa kamu dengar pertanyaan Retta? Apa dia istrimu?” Rylan menjadi ikut kesal. Pria pengecut yang ada di depannya benar-benar menyebalkan. Bukan segera menjawab agar semua masalah selesai. Justru pria itu diam saja. Ingin rasanya dia melayangkan bogem mentah, tetapi dia tidak punya hak apa-apa. Dia bukan siapa-siapa Retta.
“Apa kalian berdua tidak dengar tadi aku bilang apa?” Wanita bergegas mengambil sesuatu di tasnya. Ternyata yang dia keluarkan adalah buku nikah miliknya. “Lihat ini, dia adalah suamiku.” Dia menunjukkan buku nikah miliknya..
Retta dan Rylan mengalihkan pandangan pada buku nikah yang ditunjukkan oleh wanita tersebut. Mereka berdua melihat foto calon suami Retta terpampang di buku nikah. Retta juga melihat jika nama calon suaminya itu terpampang jelas. Semua tertulis dan terlihat jelas. Jadi semua benar adanya jika calon suaminya sudah menikah. Karena bukti yang dibawa sang istri sudah sangat valid.
“Wah … ternyata kamu suami orang.” Rylan menggeleng kepala heran. Bisa-bisanya pria yang akan dinikahi oleh wanita yang dicintainya itu adalah suami orang. Mungkin ini adalah anugerah untuknya, mengingat sejak tadi dia mendoakan Retta batal menikah.
Berbanding terbalik dengan Rylan yang merasa kenyataan yang ada adalah anugerah, Retta yang mengetahui jika calon suaminya adalah suami orang, merasa jika semua ini adalah sebuah bencana. Bagaimana bisa dirinya terkecoh selama ini. Tidak mengetahui jika pria yang dipacarinya setahun ini adalah suami orang. Hati Retta hancur berkeping-keping mendengar kenyataan pahit ini.
“Kenapa kamu lakukan ini? Padahal kita akan menikah besok.” Retta menangis. Impiannya seketika hancur. Menikah dengan orang yang dicintainya ternyata tidak membuat Retta mendapatkan kebahagiaan. Karena pada kenyataannya orang yang dicintainya adalah suami orang.
“Retta, aku bisa jelaskan!” Pria itu masih berusaha meraih tangan Retta.
“Apa kamu gila ingin menjelaskan pada wanita ini?” Wanita itu berusaha menarik tubuh suaminya. “Apa kamu sadar jika kamu punya anak? Setega ini kamu ingin menikah dengan wanita ini.” Istri pria itu langsung memukul bertubi-tubi. Meluapkan kekesalannya. Dia juga sama kecewanya dengan suaminya.
Retta semakin kecewa ketika tidak hanya sudah menikah, tetapi calon suaminya itu punya anak. Sungguh ironi ketika dia tidak mengetahui hal itu.
Adegan dramatis itu begitu menyita perhatian banyak orang. Calon suami Retta terus saja dipukuli oleh sang istri, sedangkan Retta hanya bisa menangis. Rylan yang tidak tega, berusaha untuk menenangkan Retta. Memegangi bahu Retta. Dia yakin sekali jika Retta sedang sangat rapuh sekali.
“Security, usir mereka.” Di saat adegan itu terjadi, terdengar suara sesorang. Papa Sean yang sedaru radu berdiri menyaksikan adegan anaknya tadi langsung memanggil petugas keamanan hotel. Papa Sean yang dihubungi Shera langsung menuju ke lobi untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Alangkah terkejutnya dia ketika melihat seorang wanita menunjukkan buku nikah.
Retta yang mendengar suara papanya, langsung menoleh ke sumber suara. Memastikan di mana keberadaan sang papa. Dilihatnya sang papa berdiri tegak berjarak satu meter dari tempatnya berdiri. Terlihat matanya berapi-api ketika memerintahkan petugas keamanan untuk membawa calon suaminya. Dia sudah menebak jika papanya pasti mendengar semua yang baru saja terjadi.
Di sana ada sang mama dan kakaknya yang berdiri di samping sang papa. Mereka memandangi Retta dan dua orang di depannya.
Petugas keamanan langsung menarik paksa calon suami Retta dan istrinya. Meminta mereka untuk keluar dari hotel. Retta hanya bisa pasrah ketika itu adalah titah dari sang papa.
“Retta, aku bisa jelaskan semua ini.” Pria itu masih terus berusaha membujuk Retta.
“Tidak ada yang perlu dijelaskan. Semua sudah jelas. Kamu sudah membohongi aku, dan kamu masih berani untuk menjelaskan!” Satu tamparan melayang di pipi pria itu. “Enyahlah dari hidupku. Jangan pernah kamu menunjukan dirimu padaku lagi!” Retta membuang wajahnya. Tak mau melihat pria itu lagi. Dia terlampau sakit hati dengan kebohongan yang diperbuat.
“Retta.” Pria itu masih memanggil. “Aku bisa jelaskan.” Dia yang ditarik oleh petugas keamanan terus berusaha untuk memanggil calon istrinya.
Retta hanya bisa menangis meratapi keadaannya kali ini. Jelas-jelas ini adalah sesuatu yang membuatnya malu sekaligus sakit.
“Semua yang di sini, tidak ada yang boleh menceritakan kepada orang luar. Jika kalian ketahuan menceritakan apa yang baru saja terjadi, aku akan melakukan tindakan hukum pada kalian. Apa yang terjadi baru saja, anggap saja tidak pernah terjadi.” Suara Papa Sean menggelegar di keheningan lobi karena orang-orang hanya diam menyaksikan drama yang baru saja terjadi.
Semua orang yang mendengar akan hal itu mengangguk. Terutama para karyawan. Mereka tidak akan berani menceritakan hal ini pada orang lain karena tahu konsekuensi yang ditanggung akan berat.
“Shera, bawa adikmu ke kamar!” Papa Sean memerintahkan Shera untuk menghampiri adiknya. Tak menunggu lama Papa Sean berbalik. Diikuti oleh istrinya.
Shera yang diperintahkan papanya membawa adiknya, langsung menghampiri adiknya. Rylan yang sedari tadi memegangi bahu Retta langsung melepaskannya. Memberikan ruang untuk Shera membawa adiknya.
“Terima kasih, Rylan.” Shera tersenyum pada Rylan. Dia tahu jika pria itu yang tadi melerai pertikaian.
“Sama-sama.” Rylan tersenyum.
Shera segera membawa Retta ke kamarnya. Retta hanya bisa pasrah ketika kakaknya membawanya pergi. Dia sudah menebak jika papanya pasti akan sangat murka setelah kejadian ini.
Retta tidak bisa membayangkan juga, apa yang akan terjadi besok. Pernikahannya akan diadakan besok, sedangkan pengantin pria sudah tidak ada.
Retta masuk ke kamar sang papa. Kamar presidential suite itu begitu terasa dingin sekali ketika keheningan melingkup. Lebih lagi Papa Sean yang melayangkan tatapan tajam begitu menghujam. Retta sudah menduga jika papanya pasti akan sangat murka dengan apa yang baru saja terjadi.Papa Sean mengusap wajahnya kasar. Dia berusaha keras untuk mencerna dengan baik keadaan yang ada. Mama Stela yang berada di sebelahnya pun berusaha untuk menenangkan. Shera yang berada di samping sang adik pun tak kalah takut. Papanya tidak pernah marah, tetapi kali ini wajah sang papa begitu mengerikan.“Apa ini janji yang kamu berikan pada Papa, Retta? Kamu sendiri yang memilih pria itu, tetapi kamu sampai tidak tahu jika pria itu sudah menikah? Apa kamu tidak bisa mencari tahu dulu latar belakangnya sebelum menjalin hubungan?” Akhirnya suara Papa terdengar. Bersama dengan kekecewaan yang begitu teramat besar.“Maaf, Pa.” Retta hanya bisa menangis. Dia harus mengabaikan rasa sakit di dalam hatinya untuk kal
“Jangan bercanda, Al. Kita mau cari di mana dalam waktu sehari? Kamu pikir ini sulap.” Mama Stella pun tak kalah kesal dengan cucunya. Bisa-bisanya menantunya memberikan ide konyol.Al menelan salivanya, dia tahu memang itu sesuatu yang mustahil. Dia bukan sedang mencari barang dan bisa ditemui begitu saja di supermarket dalam waktu singkat.“Mungkin ide kamu bisa juga. Lebih baik kita carikan saja pria untuk Retta menikah.” Papa Sean pun setuju dengan ide yang diberikan Al.“Pa, jangan memaksakan jika pada akhirnya kita justru salah pilih menantu.” Shera pun memberikan peringatan pada sang papa. Sudah cukup adiknya yang salah pilih, jangan sampai salah pilih lagi. Kebahagiaan Retta yang akan dipertaruhkan.“Ach … Papa jadi pusing.” Papa Sean memegangi kepalanya. Merasa jika sangat pusing dengan apa yang harus dilakukannya untuk menyelamatkan semuanya. Ini bukan perkara kecil.Tepat saat mereka sedang asyik sedang memikirkan solusi dari masalah yang dihadapi, suara ketukan pintu terde
Al menemui Noah di kamarnya. Dia ingin meminta pria dua anak itu untuk ikut menemui mertuanya. Kamar Noah yang berada di lantai bawah membuatnya harus naik lift ke sana. Tepat di depan kamar, Al mengetuk pintu. “Ada apa Al ke sini?” Noah sedikit terkejut ketika Al berada di depan kamarnya. “Papa Sean ingin bertemu denganmu.” Al pun menyampaikan niatnya. “Aku?” tanya Noah menunjuk ke arahnya.“Iya, kamu. Ada yang ingin dibicarakan.”Sebenarnya Noah bingung dengan niat papa mertua Al, tetapi dia ingin tahu untuk apa. Terlebih lagi tadi dia dengar jika ada keributan antara Retta dengan calon suaminya. Ach … mungkin papa mertua Al sedang membutuhkan bantuan. Jadi dia memanggilnya. Itulah yang dipikir Noah. “Baiklah, aku bilang Cia dulu jika aku akan keluar.” Noah masuk ke kamar lebih dulu. Berpamitan dengan istrinya.Bersama dengan Al, Noah langsung menuju ke kamar Papa Sean. Di sana sudah ada Shera juga serta mama dan papanya. Mereka tampak sekali menunggu dirinya.“Silakan
“Tadi orang tua Retta mengatakan jika pernikahannya akan dibatalkan.” Noah memulai pembicaraannya dengan adiknya. Rylan sudah menebak hal itu yang akan terjadi, mengingat tadi terjadi pertengkaran hebat. Namun, kenapa kakaknya bicara begitu serius padanya, membuatnya keheranan. “Aku sudah tahu alasannya pernikahan batal.”“Bagus jika kamu sudah tahu, jadi tidak terlalu sulit untukmu memahami apa yang akan aku jelaskan.” Noah merasa tidak perlu susah payah menjelaskan. Rylan menautkan alisnya. Merasa bingung kenapa kakaknya bicara seperti itu. Padahal jelas-jelas. “Memang kamu ingin menjelaskan apa?” tanyanya. “Aku ingin menjelaskan jika orang tua Retta meminta kamu untuk menikah dengan Retta.” Noah akhirnya mengatakan apa yang disampaikan oleh keluarga Retta. Rylan membulatkan matanya ketika mendengar apa yang diucapkan oleh kakaknya itu. “Maksudnya pernikahan tetap akan dilanjutkan dan tidak jadi dibatalkan?” tanyanya memastikan. “Iya, tetap dilanjutkan dengan pengantin pria ya
Retta mengerjap. Perlahan dia membuka matanya yang terasa berat. Semalam Retta menangis. Jadi matanya terasa begitu sulit untuk dibuka. Semalam dia juga mengurung diri di dalam kamar. Dia masih meratapi semua yang terjadi padanya. Retta semakin terisak ketika mengingat hari ini adalah pernikahannya. Sungguh menyesakkan mengingat akan hal itu. Suara pintu terbuka, Retta yang berada dalam selimut mengintip sedikit dari balik selimut. Namun, dahinya berkerut dalam ketika melihat siapa dan apa yang dibawa. Dengan segera Retta membuka lebar selimutnya. Berangsur bangun dari tidurnya. “Kenapa gaun itu Kakak bawa ke sini?” Retta kesal sekali melihat gaun pernikahannya. Jika dulu dia begitu menyukai gaun itu, sekarang tidak. Dia membenci gaun itu karena mengingatkan rasa sakit yang sedang dirasakan. Retta sadar jika dia sendiri yang memilih gaun pernikahan itu. Gaun itu benar-benar sesuai dengan keinginannya. Gaun dengan potongan pendek itu sengaja dipilihnya mengingat jika pernikahan diadak
Retta melihat wajahnya dari pantulan cermin. Dulu bayangan bahagia selalu melintas di kepalanya, tetapi sekarang ketika berada dalam posisi yang sama dengan bayangannya, tak terlihat rasa bahagia sama sekali. Terlebih lagi harus menikah dengan Rylan. Pria yang tidak pernah dibayangkannya sebelumnya. Sekali pun tidak bisa menikah dengan kekasihnya, dia berharap bukan Rylan yang menikah dengannya, tetapi semua sudah jadi keputusan keluarga. Apalagi semua sudah menjadi konsekuensi dirinya yang memilih Gerald dan menyebabkan kegagalan dalam pernikahannya. Penata rias selesai merias wajah Retta, dia meminta Retta untuk mengganti gaunnya. Karena dia akan merapikan langsung gaun dan veil di rambut Retta. Dengan malas, Retta berangsur bangun. Bersiap untuk mengganti pakaiannya dengan gaun pernikahan. Gaun itu terlihat begitu cantik di tubuhnya. Membuat Retta mengagumi dirinya sendiri. Namun, tetap saja tak membuat Retta bahagia begitu saja. Pintu kamar dibuka, Mama Stella melihat sang put
Semua tamu undangan memberikan ucapan selamat. Retta tidak bisa tersenyum sama sekali. Bagaimana bisa dirinya tersenyum ketika hatinya tidak merasa bahagia sama sekali. Rylan melihat jelas wajah Retta. Dia tahu jika istrinya itu tidak akan senang dengan pernikahan. Namun, bukan Rylan jika tidak bisa mengubah semua itu. “Tersenyumlah, orang akan mengira kamu terpaksa menikah.” Suara Rylan sedikit berbisik. Dia tidak menoleh sama sekali ketika berbicara. Pandangannya lurus ke arah depan. Melihat tamu tang satu persatu datang menghampirinya. Retta mendengus kesal. “Memang aku terpaksa.” “Tapi, bukan aku yang memaksa bukan?” ledek Rylan.Retta benar-benar semakin kesal. Bisa-bisanya Rylan meledeknya. Hal itu membuat suasana hatinya semakin kacau. Rylan masih melihat jelas Retta yang begitu kesal. Tidak menyangka jika Retta masih dengan posisi kesalnya. “Pejamkan matamu. Bayangkan jika ini adalah mimpi terindah yang kamu sedang rasakan. Maka kebahagiaan akan menghampirimu.” Rylan kali
Retta masih terkesiap dengan apa yang diucapkan Rylan. Membuat cucu untuk papanya berarti jika mereka akan melakukan hubungan suami istri. “Tidak-tidak.” Retta menggeleng. Dia tidak akan pernah melakukan hal itu. Bagaimana bisa dia melakukan hal itu dengan orang yang tidak dicintainya. Retta dengan kesal masuk ke kamar. Dia mengangkat gaunnya agar langkahnya tidak terhalang. “Kenapa kamu mengatakan seperti itu?” tanyanya. “Karena itu alasan yang tepat.” Rylan dengan tenangnya menjawab akan hal itu. Tangannya bergerak membuka jas dan membuangnya ke sofa. “Tepat bagaimana? Jelas itu tidak tepat.” Retta tidak terima dengan alasan yang diberikan oleh Rylan. “Lalu aku harus memberikan alasan apa?” Rylan melonggarkan ikatan dasi. Kemudian melepas ikatan itu dari kerah kemejanya. Tak hanya disitu, dia bergerak melepaskan kancing lengannya, sambil langkahnya diayunkan menghampiri Retta. Retta memundurkan tubuhnya seiring langkah Rylan yang maju. “Ka-kamu bisa alasan saja aku bosan,” j