Retta masuk ke kamar sang papa. Kamar presidential suite itu begitu terasa dingin sekali ketika keheningan melingkup. Lebih lagi Papa Sean yang melayangkan tatapan tajam begitu menghujam. Retta sudah menduga jika papanya pasti akan sangat murka dengan apa yang baru saja terjadi.
Papa Sean mengusap wajahnya kasar. Dia berusaha keras untuk mencerna dengan baik keadaan yang ada. Mama Stela yang berada di sebelahnya pun berusaha untuk menenangkan. Shera yang berada di samping sang adik pun tak kalah takut. Papanya tidak pernah marah, tetapi kali ini wajah sang papa begitu mengerikan.
“Apa ini janji yang kamu berikan pada Papa, Retta? Kamu sendiri yang memilih pria itu, tetapi kamu sampai tidak tahu jika pria itu sudah menikah? Apa kamu tidak bisa mencari tahu dulu latar belakangnya sebelum menjalin hubungan?” Akhirnya suara Papa terdengar. Bersama dengan kekecewaan yang begitu teramat besar.
“Maaf, Pa.” Retta hanya bisa menangis. Dia harus mengabaikan rasa sakit di dalam hatinya untuk kali ini. Karena hal yang terpenting kali ini adalah meminta maaf pada papanya.
“Apa setelah maaf semua selesai? Kamu tahu bukan acara pernikahan tinggal besok dan kamu bilang maaf begitu saja.” Papa Sean benar-benar frustrasi kali ini. Besok akan ada banyak orang yang datang. Orang-orang penting. Mereka semua sudah bersiap untuk acara besok dan jika sampai semua gagal, mau ditaruh mana muka seorang Sean Alexander.
“Sayang, sabar. Kita pikirkan baik-baik solusinya.” Mama Stella berusaha untuk menenangkan suaminya. Dia tahu bagaimana kacaunya suaminya kali ini.
Papa Sean menjatuhkan tubuhnya di sofa. Rasanya sudah tidak dapat memikirkan solusi lagi mengingat pernikahan tinggal besok. Orang-orang sedang dalam perjalanan ke pulau dewata. Beberapa juga sudah ada yang datang dan menginap di hotel. Bagaimana bisa dia membatalkan begitu saja.
“Iya, Pa. Tenang dulu. Kita cari solusinya.” Shera tidak tega pada sang papa. Namun, lebih tidak tega adalah melihat adiknya yang begitu terluka. Dia hanya bisa membawa sang adik ke dalam pelukannya.
“Bawa adikmu ke kamarnya.” Mama Stella memberikan perintah pada Shera.
Shera pun membawa Retta ke dalam kamarnya. Sepanjang perjalanan Retta terus menangis. Dia benar-benar kecewa dengan yang terjadi di dalam hidupnya. Dia pikir hidup akan indah yang dibayangkan, tetapi nyatanya tak seindah itu. Padahal pernikahannya tinggal di depan mata. Sayangnya, semua hancur seketika.
Shera membantu Retta untuk duduk. “Segala hal bisa saja terjadi, jadi jangan menyalahkan diri.” Dulu Shera pun juga pernah mengalaminya. Pertunangannya gagal, walaupun akhirnya takdir membawa calon suaminya kembali padanya.
“Tapi, aku begitu bodoh hingga tidak tahu jika dia pria beristri.” Retta menangis. Dia menyalahkan dirinya kenapa harus jatuh pada pria yang salah.
“Aku rasa pria-pria sekarang tidak terlihat sudah punya istri dan anak.” Shera mengingat bagaimana suaminya masih tampak seperti itu.
“Lalu bagaimana dengan papa?” Retta teramat takut dengan sang papa. Dia tahu jika ini pasti pukulan berat untuk sang papa.
“Dengar, semua sudah berantakan, jadi kamu harus bertanggung jawab penuh atas semua ini. Jadi apa pun keputusan papa, kamu harus setuju.” Shera sendiri tidak tahu apa yang akan terjadi. Dia juga tidak punya solusi untuk masalah adiknya kali ini.
“Aku akan bertanggung jawab penuh dengan semuanya.” Retta sadar jika memang itu yang harus dilakukaknya. Tak mau membuat sang papa kecewa lagi.
“Baiklah, sekarang tenangkan dirimu dan rapikan penampilanmu.” Shera melihat rambut sang adik sudah mirip singa karena aksi jambak-menjambak tadi. Belum lagi baju Retta sempat terkoyak karena telah ditarik oleh istri Gerald.
Shera keluar dari kamar Retta. Menemui sang papa yang masih diam memikirkan apa yang harus dilakukannya untuk menyelamatkan nama baiknya. Tepat saat itu, Al-suami Shera datang. Kali ini suaminya itu tidak membawa serta dua anaknya. Ternyata anaknya sedang bersama dengan Rylan dan Lora.
“Sebenarnya apa yang terjadi?” Al yang dikabari Rylan jika ada pertengkaran antara Retta dan calon suaminya langsung bergegas menghampiri keluarga istrinya itu.
“Gerald sudah menikah,” jawab Shera.
Al yang mendengar akan hal itu begitu terkejut. Dia tidak menyangka jika pria yang akan menikahi adik iparnya itu sudah menikah. Walaupun sering mendengar dari istrinya jika keluarga tidak suka, Al tidak menyangka akan seperti ini jadinya.
“Lalu bagaimana dengan pernikahannya besok?” Satu hal yang dipikirkan Al adalah hal itu.
“Itulah yang sedang dipikirkan.” Suara Shera tampak tidak bersemangat.
“Jika pernikahannya dibatalkan dan kita mengganti semua akomodasi dari tamu undangan bagaimana?” Mama Stella pun memberikan ide.
Dahi Papa Sean berkerut dalam. Bukan seberapa uang yang harus dia keluarga, tetapi untuk menyampaikan hal itu bagaimana caranya. “Apa maksudmu kita hubungi satu-satu dan memberikan kompensasi pada mereka layaknya pembatalan pesawat terbang?” tanyanya.
“Iya, semacam itu.” Mama Stella tersenyum malu ketika idenya terlihat tidak bagus untuk suaminya.
“Tapi, cara itu yang mungkin bisa kita pakai, Pa.” Shera pun tampak setuju dengan ide sang mama. Dari pada membuat orang-orang kecewa karena sudah datang ke pernikahan.
“Lalu kita akan jadi santapan pencari berita?” tanya Papa Sean. “Di koran-koran bisnis akan tertera, ‘anak pengusaha hotel Sean Wijaya tidak jadi melangsungkan pernikahan’, apa begitu maksudmu?” Papa Sean menaikkan satu oktaf suaranya.
Shera menelan salivanya. Merasa yang dikatakan papanya ada benarnya. Jika ada kabar seperti itu pasti harga sahamnya juga akan menurun, akan berdampak pada banyak hal di perusahaannya. “Lalu bagaimana?” tanyanya lirih.
Semua keluarga dalam dilema sekali. Mereka tidak tahu harus berbuat apa untuk menyelamatkan nama baik keluarga.
Di saat keluarga sedang membahas akan hal itu, dari kamar Retta mendengar pembicaraan keluarganya. Rasanya sesak sekali ketika mendapati keluarganya. Dia merasa bersalah sekali ketika harus membuat keluarganya kalang kabut seperti ini.
Retta menutup kembali pintu kamarnya. Rasanya, sesak yang dirasakan semakin bertambah. Satu hal yang membuat Retta kecewa adalah kenyataan dia telah ditipu selama setahun. Dia pikir tidak bertemunya mereka berdua karena kesibukan masing-masing bekerja, tetapi ternyata Gerald tidak sibuk bekerja melainkan sibuk dengan keluarganya sendiri. Jika mungkin dia tahu Gerald sudah memiliki istri, dia tidak akan senekad itu.
Di luar, mereka semua masih memikirkan cara bagaimana mengantasi masalah yang sedang terjadi. Pernikahan yang gagal pasti akan jadi berita heboh dan akan membuat malu.
“Bagaimana jika pernikahan tetap dilaksanakan?” Al pun memberikan ide. Dia berpikir mungkin akan jauh lebih baik jika pernikahan tetap dilanjutkan.
“Dilanjutkan bagaimana maksud kamu?” Shera yang mendengar ide sang suami pun menyanggahnya. “Kamu tahu sendiri jika calon suami Retta tidak ada.”
“Kita cari calon pengantin pria saja.”
“Jangan bercanda, Al. Kita mau cari di mana dalam waktu sehari? Kamu pikir ini sulap.” Mama Stella pun tak kalah kesal dengan cucunya. Bisa-bisanya menantunya memberikan ide konyol.Al menelan salivanya, dia tahu memang itu sesuatu yang mustahil. Dia bukan sedang mencari barang dan bisa ditemui begitu saja di supermarket dalam waktu singkat.“Mungkin ide kamu bisa juga. Lebih baik kita carikan saja pria untuk Retta menikah.” Papa Sean pun setuju dengan ide yang diberikan Al.“Pa, jangan memaksakan jika pada akhirnya kita justru salah pilih menantu.” Shera pun memberikan peringatan pada sang papa. Sudah cukup adiknya yang salah pilih, jangan sampai salah pilih lagi. Kebahagiaan Retta yang akan dipertaruhkan.“Ach … Papa jadi pusing.” Papa Sean memegangi kepalanya. Merasa jika sangat pusing dengan apa yang harus dilakukannya untuk menyelamatkan semuanya. Ini bukan perkara kecil.Tepat saat mereka sedang asyik sedang memikirkan solusi dari masalah yang dihadapi, suara ketukan pintu terde
Al menemui Noah di kamarnya. Dia ingin meminta pria dua anak itu untuk ikut menemui mertuanya. Kamar Noah yang berada di lantai bawah membuatnya harus naik lift ke sana. Tepat di depan kamar, Al mengetuk pintu. “Ada apa Al ke sini?” Noah sedikit terkejut ketika Al berada di depan kamarnya. “Papa Sean ingin bertemu denganmu.” Al pun menyampaikan niatnya. “Aku?” tanya Noah menunjuk ke arahnya.“Iya, kamu. Ada yang ingin dibicarakan.”Sebenarnya Noah bingung dengan niat papa mertua Al, tetapi dia ingin tahu untuk apa. Terlebih lagi tadi dia dengar jika ada keributan antara Retta dengan calon suaminya. Ach … mungkin papa mertua Al sedang membutuhkan bantuan. Jadi dia memanggilnya. Itulah yang dipikir Noah. “Baiklah, aku bilang Cia dulu jika aku akan keluar.” Noah masuk ke kamar lebih dulu. Berpamitan dengan istrinya.Bersama dengan Al, Noah langsung menuju ke kamar Papa Sean. Di sana sudah ada Shera juga serta mama dan papanya. Mereka tampak sekali menunggu dirinya.“Silakan
“Tadi orang tua Retta mengatakan jika pernikahannya akan dibatalkan.” Noah memulai pembicaraannya dengan adiknya. Rylan sudah menebak hal itu yang akan terjadi, mengingat tadi terjadi pertengkaran hebat. Namun, kenapa kakaknya bicara begitu serius padanya, membuatnya keheranan. “Aku sudah tahu alasannya pernikahan batal.”“Bagus jika kamu sudah tahu, jadi tidak terlalu sulit untukmu memahami apa yang akan aku jelaskan.” Noah merasa tidak perlu susah payah menjelaskan. Rylan menautkan alisnya. Merasa bingung kenapa kakaknya bicara seperti itu. Padahal jelas-jelas. “Memang kamu ingin menjelaskan apa?” tanyanya. “Aku ingin menjelaskan jika orang tua Retta meminta kamu untuk menikah dengan Retta.” Noah akhirnya mengatakan apa yang disampaikan oleh keluarga Retta. Rylan membulatkan matanya ketika mendengar apa yang diucapkan oleh kakaknya itu. “Maksudnya pernikahan tetap akan dilanjutkan dan tidak jadi dibatalkan?” tanyanya memastikan. “Iya, tetap dilanjutkan dengan pengantin pria ya
Retta mengerjap. Perlahan dia membuka matanya yang terasa berat. Semalam Retta menangis. Jadi matanya terasa begitu sulit untuk dibuka. Semalam dia juga mengurung diri di dalam kamar. Dia masih meratapi semua yang terjadi padanya. Retta semakin terisak ketika mengingat hari ini adalah pernikahannya. Sungguh menyesakkan mengingat akan hal itu. Suara pintu terbuka, Retta yang berada dalam selimut mengintip sedikit dari balik selimut. Namun, dahinya berkerut dalam ketika melihat siapa dan apa yang dibawa. Dengan segera Retta membuka lebar selimutnya. Berangsur bangun dari tidurnya. “Kenapa gaun itu Kakak bawa ke sini?” Retta kesal sekali melihat gaun pernikahannya. Jika dulu dia begitu menyukai gaun itu, sekarang tidak. Dia membenci gaun itu karena mengingatkan rasa sakit yang sedang dirasakan. Retta sadar jika dia sendiri yang memilih gaun pernikahan itu. Gaun itu benar-benar sesuai dengan keinginannya. Gaun dengan potongan pendek itu sengaja dipilihnya mengingat jika pernikahan diadak
Retta melihat wajahnya dari pantulan cermin. Dulu bayangan bahagia selalu melintas di kepalanya, tetapi sekarang ketika berada dalam posisi yang sama dengan bayangannya, tak terlihat rasa bahagia sama sekali. Terlebih lagi harus menikah dengan Rylan. Pria yang tidak pernah dibayangkannya sebelumnya. Sekali pun tidak bisa menikah dengan kekasihnya, dia berharap bukan Rylan yang menikah dengannya, tetapi semua sudah jadi keputusan keluarga. Apalagi semua sudah menjadi konsekuensi dirinya yang memilih Gerald dan menyebabkan kegagalan dalam pernikahannya. Penata rias selesai merias wajah Retta, dia meminta Retta untuk mengganti gaunnya. Karena dia akan merapikan langsung gaun dan veil di rambut Retta. Dengan malas, Retta berangsur bangun. Bersiap untuk mengganti pakaiannya dengan gaun pernikahan. Gaun itu terlihat begitu cantik di tubuhnya. Membuat Retta mengagumi dirinya sendiri. Namun, tetap saja tak membuat Retta bahagia begitu saja. Pintu kamar dibuka, Mama Stella melihat sang put
Semua tamu undangan memberikan ucapan selamat. Retta tidak bisa tersenyum sama sekali. Bagaimana bisa dirinya tersenyum ketika hatinya tidak merasa bahagia sama sekali. Rylan melihat jelas wajah Retta. Dia tahu jika istrinya itu tidak akan senang dengan pernikahan. Namun, bukan Rylan jika tidak bisa mengubah semua itu. “Tersenyumlah, orang akan mengira kamu terpaksa menikah.” Suara Rylan sedikit berbisik. Dia tidak menoleh sama sekali ketika berbicara. Pandangannya lurus ke arah depan. Melihat tamu tang satu persatu datang menghampirinya. Retta mendengus kesal. “Memang aku terpaksa.” “Tapi, bukan aku yang memaksa bukan?” ledek Rylan.Retta benar-benar semakin kesal. Bisa-bisanya Rylan meledeknya. Hal itu membuat suasana hatinya semakin kacau. Rylan masih melihat jelas Retta yang begitu kesal. Tidak menyangka jika Retta masih dengan posisi kesalnya. “Pejamkan matamu. Bayangkan jika ini adalah mimpi terindah yang kamu sedang rasakan. Maka kebahagiaan akan menghampirimu.” Rylan kali
Retta masih terkesiap dengan apa yang diucapkan Rylan. Membuat cucu untuk papanya berarti jika mereka akan melakukan hubungan suami istri. “Tidak-tidak.” Retta menggeleng. Dia tidak akan pernah melakukan hal itu. Bagaimana bisa dia melakukan hal itu dengan orang yang tidak dicintainya. Retta dengan kesal masuk ke kamar. Dia mengangkat gaunnya agar langkahnya tidak terhalang. “Kenapa kamu mengatakan seperti itu?” tanyanya. “Karena itu alasan yang tepat.” Rylan dengan tenangnya menjawab akan hal itu. Tangannya bergerak membuka jas dan membuangnya ke sofa. “Tepat bagaimana? Jelas itu tidak tepat.” Retta tidak terima dengan alasan yang diberikan oleh Rylan. “Lalu aku harus memberikan alasan apa?” Rylan melonggarkan ikatan dasi. Kemudian melepas ikatan itu dari kerah kemejanya. Tak hanya disitu, dia bergerak melepaskan kancing lengannya, sambil langkahnya diayunkan menghampiri Retta. Retta memundurkan tubuhnya seiring langkah Rylan yang maju. “Ka-kamu bisa alasan saja aku bosan,” j
Rylan menangkis bantal hingga tidak mengenai wajahnya. Tawanya terdengar menggema diisi kamar. Retta yang melihat bantal tidak dapat dipakai lagi, dia memilih untuk memukul dengan tangannya. Dia melampiaskan kekesalannya. Namun, Rylan berusaha untuk mencekal Rylan. Retta yang meronta justru membuat tubuhnya terjatuh di tempat tidur. Membuat tubuh Rylan berada di atas. Untuk sejenak mereka beradu pandang. Rylan masih mencekal tangan Retta. Berusaha untuk menghentikan istrinya itu memukulnya. Namun, jarak yang begitu dekat dengan Retta membuatnya begitu berdebar-debar. Apalagi tubuhnya menempel di tubuh Retta. Untuk sesat mereka terbuai dengan pandangan mereka. Membuat mereka berada dalam pikiran masing-masing. Rylan memikirkan betapa cantiknya ketika dilihat dari dekat. Tidak salah jika memang dirinya begitu tergila-gila. Di saat Rylan memikirkan kecantikan Retta, Retta sendiri justru memikirkan begitu menyebalkannya Rylan. “Lepaskan aku!” Akhirnya suara Retta terdengar juga. Tidak