“Jangan bercanda, Al. Kita mau cari di mana dalam waktu sehari? Kamu pikir ini sulap.” Mama Stella pun tak kalah kesal dengan cucunya. Bisa-bisanya menantunya memberikan ide konyol.
Al menelan salivanya, dia tahu memang itu sesuatu yang mustahil. Dia bukan sedang mencari barang dan bisa ditemui begitu saja di supermarket dalam waktu singkat.
“Mungkin ide kamu bisa juga. Lebih baik kita carikan saja pria untuk Retta menikah.” Papa Sean pun setuju dengan ide yang diberikan Al.
“Pa, jangan memaksakan jika pada akhirnya kita justru salah pilih menantu.” Shera pun memberikan peringatan pada sang papa. Sudah cukup adiknya yang salah pilih, jangan sampai salah pilih lagi. Kebahagiaan Retta yang akan dipertaruhkan.
“Ach … Papa jadi pusing.” Papa Sean memegangi kepalanya. Merasa jika sangat pusing dengan apa yang harus dilakukannya untuk menyelamatkan semuanya. Ini bukan perkara kecil.
Tepat saat mereka sedang asyik sedang memikirkan solusi dari masalah yang dihadapi, suara ketukan pintu terdengar. Semua mengalihkan pandangan pada pintu. Shera langsung bergerak berdiri. Menuju ke pintu untuk mengetahui siapa yang berada di balik pintu. Saat membuka pintu, dia melihat Rylan di sana.
“Hai, Kak, anak-anak meminta untuk diantarkan pulang.” Rylan yang sedari tadi menjaga anak-anak mengantarkan anak Shera.
“Terima kasih.” Shera tersenyum. Dia mengulurkan tangan pada anak-anaknya yang kini sudah berusia enam tahun itu. Mengajak mereka untuk masuk ke kamar. “Aku harap mereka tidak merepotkanmu.”
“Tentu saja tidak, mereka anak-anak yang pintar jadi tidak merepotkan.” Rylan yang sudah terbiasa dengan anak-anak dari kakaknya. Jadi sudah tidak bingung ketika harus menjaga anak kecil.
“Siapa Shera?” Suara Papa Sean terdengar dari dalam.
Shera memiringkan tubuhnya. Memperlihatkan tubuh Rylan yang terhalang oleh tubuhnya. Papa Sean melihat Rylan, walaupun baru beberapa kali bertemu dengan Rylan, dia cukup hapal dengan pria itu. Terlebih lagi, tadi Papa Sean sempat melihat Rylan yang membantu Retta yang sedang bertarung dengan istri Gerald.
Rylan yang melihat keluarga Retta menganggukkan kepalanya. Menyapa mereka semua dengan sopan. Senyum manis miliknya tersimpul di sudut bibirnya.
Papa Sean langsung menatap Al. Kedua pria itu saling menatap. Keduanya pun memikirkan hal yang sama. Yaitu tentang calon suami Retta. Mungkin Rylan bisa jadi solusi untuk masalah yang sedang mereka hadapi. Siapa tahu Rylan bisa jadi kandidat untuk calon suami Retta.
“Masuklah, Nak. Bergabung dengan kami yang sedang mengobrol.” Papa Sean pun memberikan kode pada Rylan dengan tangannya.
Rylan terkesiap. Mengobrol? Rasanya aneh jika keluarga Retta sedang asyik mengobrol setelah kejadian besar tadi. Apa mungkin mereka tidak sedang marah dan mencari solusi masalah yang terjadi? Pikiran Rylan dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan itu.
“Ayo, masuk.” Shera tidak mengerti kenapa papanya justru membiarkan Rylan masuk. Padahal mereka sedang dalam pembahasan yang sangat penting. Apa pun alasannya, mereka sudah terlanjut mengundang Rylan masuk, itu artinya mau tidak mau Shera mempersilakan.
Rylan masuk dan duduk di sofa bersama dengan Papa Sean dan Al. Dia merasa canggung sekali ketika tahu jika sebenarnya situasi tidak senyaman itu, karena keluarga di depannya sedang tertimpa musibah.
“Terima kasih sudah membantu Retta tadi.” Papa Sean memulai pembicaraan.
“Tidak apa-apa, Pak. Sama-sama. Kebetulan saja saya tadi mau mengantarkan anak-anak berenang.” Rylan menganggukkan sedikit kepalanya. Jika tadi dia tidak mengantarkan keponakannya yang berenang, mungkin tidak akan bisa membantu Retta.
“Kamu baru datang hari ini, Rylan.” Al menatap Rylan. Dia bicara agar lebih santai. Karena terlihat begitu tegang sekali pembicaraan antara Rylan dan mertuanya.
“Iya, tadinya aku ingin menemui Kak Noah, tetapi dia ternyata ke sini.” Rylan mengatakan apa adanya. “Maaf, jika aku jadi tamu tidak diundang.” Rylan tersenyum, merasa tidak enak.
“Kamu adalah adik menantu Felix, jadi kamu masih bagian dari kelurga kami. Mungkin kami yang minta maaf karena tidak menungundangmu secara langsung.” Papa Sean merasa melihat Rylan mendapatkan peluang untuk menyelamatkan masalah yang dihadapi keluarganya.
Rylan hanya mengangguk saja seraya mengulas senyumnya.
“Kamu bekerja di mana?” Papa Sean ingin tahu banyak tentang Rylan siapa tahu bisa untuk bahan pertimbangan.
Shera yang mengambilkan minum dan meletakkan di atas meja merasa bingung untuk apa papanya itu menanyakan hal-hal itu pada Rylan. Padahal mereka sedang membahas hal penting.
“Saya, kerja di perusahaan keluarga. Kebetulan bergerak di bidang properti.”
Papa Sean menganggukkan kepala. Mengerti dengan yang dijelaskan oleh Rylan.
“Keluarga Asher pemilik beberapa hotel dan apartemen juga di London, Pa.” Al pun menambahi. “Rencananya, Rylan akan membuat apartemen juga di sini bekerja sama dengan Noah dan El.” Al cukup mengenal sepak terjang Rylan dalam bisnis.
Papa Sean pun memerhatikan penjelasan Al dengan saksama. “Apa kamu punya kekasih?” tanyanya tanpa berbasa-basi.
“Pa.” Shera memperingatkan papanya.
Rylan sebenarnya cukup terkejut dengan pertanyaan itu. Namun, dari tatapan Papa Sean, dia ingin sekali jawaban. “Tidak apa-apa, Kak.” Rylan tersenyum canggung pada Shera. “Terakhir punya kekasih dua tahun yang lalu. Kak Noah meminta untuk fokus meneruskan bisnis jadi saya tidak punya kekasih.” Rylan mengulas senyum ketika menceritakan.
“Tapi, di luar negeri bukannya seks bebas sering terjadi. Apa kamu juga melakukan hal itu?”
Semua orang menatap Papa Sean yang menanyakan hal frontal seperti itu. Mereka semua merasa tidak enak dengan pertanyaan itu.
Rylan tersenyum. “Tidak munafik jika hal itu sering terjadi di luar negeri. Bersyukur papa mengajarkan saya untuk menghargai wanita. Jadi untuk melakukan seks bebas, saya belum pernah, tetapi jika sekadar ciuman, saya rasa itu hal wajar dilakukan sepasang kekasih.” Rylan tidak memungkiri jika kehidupan di luar negeri begitu bebas. Dia juga sering melihat kakaknya-Noah bersama para wanita di jamannya. Kakaknya itu pernah berpesan. Jangan mencobanya jika kamu tidak ingin berakhir kecanduan.
Ada perasaan lega melingkupi perasaan Papa Sean. Entah kenapa dia suka dengan Rylan. Tidak masalah jika hanya sekadar ciuman. Itu masih batasan wajar.
“Sudah sejauh mana perencanaan apartemen?” Al pun mengalihkan pembicaraan agar tidak terpatok pada hal pribadi. Tak mau Rylan tidak nyaman dengan pertanyaan mertuanya.
Rylan menjelaskan secara detail prosesnya. Dari apa yang dijelaskan Papa Sean dan Al mengerti. Cara Rylan menjelaskan cukup mengganggumkan bagi Papa Sean. Hal itu membuat Rylan punya poin lebih di matanya.
Usai mengobrol sebentar, Rylan berpamitan. Papa Sean mengatakan jika dia senang bertemu dengan Rylan. Rylan pun juga senang bertemu dengan Papa Retta.
“Al, panggil Noah ke sini. Aku ingin bicara.” Papa Sean menatap sang menantu. Dia ingin bertemu dengan kakak dari Rylan. Menanyakan hal-hal terkait dengan Rylan, sebelum akhirnya mengambil keputusan.
“Baik, Pa.” Al mengangguk mengerti dan bergegas ke kamar Noah yang berada di satu lantai dengannya.
“Baiklah, tarik napas dan embuskan sambil berusaha mengejan.” Dr. Lyra kembali memberikan pengertian pada Retta. Retta menarik napas dan mengembuskannya sambil berusaha mengejan. “Uch ....” “Tarik napas dan embuskan kembali.” Dr. Lyra kembali memberikan aba-aba. Retta kembali mengambil napas dan mengembuskannya. “Uch ....”“Uch ....” Dia berusaha untuk mengejan. Retta benar-benar merasakan seluruh tulangnya patah. Rasanya benar-benar menyakitkan sekali. Dia benar-benar baru tahu jika menjadi seorang ibu bukan suatu yang mudah. “Ayo, Sayang.” Rylan berusaha memberikan semangat pada sang istri. “Uch ....” Retta terus berusaha mengejan. Dia mencengkeram erat lengan Rylan. Melampiaskan rasa sakitnya dengan menancapkan kuku-kukunya di lengan sang suami. Rylan mengabaikan apa yang dilakukan sang istri. Baginya rasa sakit itu tidak sebanding dengan yang dirasakan oleh sang istri. “Kepalanya sudah mulai kelihatan. Sedikit lagi, Re.” Dr. Lyra pun memberitahu posisi bayi. “Ayo, Sayang.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya Shera. “Perut aku sakit, Kak,” keluh Retta. “Tadi dia sudah mengeluhkan sakit.” Ghea pun menjelaskan pembicaraan tadi dengan Retta. “Ada apa?” tanya para ibu yang panik. “Perut Retta sakit, Ma.” Shera menatap sang mama mertua. Mama Stella dan Mama Ella pun langsung mendekat pada Retta. Mama Stella memegangi lengan Retta bersama dengan Shera. “Sebaiknya kita segera ke Rumah sakit saja.” Mommy Selly pun memberikan ide. Tidak mau terjadi apa-apa pada Retta. “Frey, Ghe, hubungi para suami.” Mommy Shea memberikan perintah pada Freya. Mereka sangat butuh bantuan. “Bilang kita menunggu di lobi.” “Baik, Mom.” Freya dan Ghea mengangguk. Mereka langsung bergerak menghubungi para pria. Ghea menghubungi Daddy Bryan, sedangkan Freya menghubungi El. Para pria yang berada di area bermain yang dihubungi pun seketika panik. Mereka yang menunggu anak-anak bermain pun langsung menghentikan permainan anak-anak. Mereka langsung membawa anak-anak untuk ke mobil. Rylan
Rylan menjemput papa, mama, dan kakaknya ke Bandara. Mereka semua sengaja datang jauh-jauh untuk menunggu Retta yang akan melahirkan. Usia kandungan Retta sudah mencapai sembilan bulan. Sudah hampir waktunya melahirkan. Hal itu tentu saja membuat semua keluarga siap siaga untuk menjaga Retta. Papa Darwin dan Mama Ella tak mau ketinggalan. Mereka juga ingin menemani proses yang akan dilalui oleh Retta. Noah dan Cia pun tak mau kalah. Mereka juga ingin melihat keponakan mereka. Selain itu memang Cia ada beberapa hal yang harus dikerjakan di toko kue miliknya. Beberapa bulan sekali memang Cia pulang. Dia akan memberikan resep untuk produk-produk baru di tokonya. Dia akan mengajari langsung pegawai di tokonya. Mobil Rylan sampai di rumah. Tadi dia ke Bandara dengan El. El menjemput Cia dan Noah, sedangkan Rylan menjemput papa dan mamanya. Papa dan mamanya akan menginap di tempatnya, sedangkan Cia dan Noah akan ke rumah Papa Felix dan Mama Chika. Saat sampai di rumah Mama Ella dan Papa
Retta mengerjap ketika merasakan perutnya tiba-tiba lapar. Saat membuka matanya, dia melihat sang suami yang masih tertidur. Retta mengalihkan pandangannya pada jam dinding yang berada di kamarnya. Dilihatnya waktu menunjukan jam satu malam. Artinya sudah dini hari. Perut Retta yang begitu lapar membuat Retta akhirnya membangunkan sang suami. “Sayang.” Retta Menggoyang-goyangkan tubuh sang suami. Retta mengerjap ketika merasakan tubuhnya digoyangkan. Saat membuka matanya, dia melihat dilihatnya sang istri yang sudah bangun. “Kamu bangun?” tanya Rylan. “Iya, aku lapar.” Retta memberikan alasannya bangun. “Kamu mau makan, Sayang?” Rylan langsung berangsur bangun. Mendudukkan tubuhnya sambil menatap sang istri yang masih merebakkan tubuhnya. “Iya,” ucap Retta. “Kamu mau makan apa?” Rylan tidak mau sampai sang istri kelaparan. Retta memikirkan apa yang dia inginkan malam-malam seperti ini. “Aku mau burger.” Dia pun menyampaikan apa yang diinginkannya. Rylan berpikir jika is
Dua minggu sudah Retta dan Rylan menikmati babymoon. Mereka sangat puas menikmati waktu di kota kelahiran Rylan. Retta benar-benar disunguhkan keindahan London dengan cara yang berbeda oleh Rylan. Makan malam ditempat spesial, kuliner di street food London, berkunjung ke museum, pergi ke taman bunga yang begitu indah di musim semi. Dua minggu benar-benar dimanfaatkan Rylan dan Retta. Hari ini mereka akan pulang. Kembali ke tanah air tercinta Indonesia. Dua minggu bersama, tentu saja membuat Mama Ella berat melepaskan putra dan menantunya. “Mama akan ke sana menjelang kelahiran.” Mama Ella membelai lembut pipi sang menantu. “Iya, Ma.” Retta begitu terharu jika memang benar sang mama mertua akan datang. Pastinya akan sangat bahagia sekali baginya bisa ditemani kedua orang tua Rylan di saat melahirkan. “Jaga Retta baik-baik.” Mama Ella menatap Rylan. Dia berharap sang putra bisa menjaga kandungan sang istri. "Tentu, Ma.” Rylan mengangguk. “Hati-hati di jalan.” Papa Darwin meme
Pagi ini Rylan mengajak Retta untuk pergi ke toko kue milik Cia. Mereka ingin menikmati makanan yang ada di toko milik Cia. Rylan dan Retta sengaja memilih untuk menaiki bus. Bus tingkat yang terkenal di London itu selalu menarik untuk dicoba. Bus yang melawati jalanan kota London, menampilkan deretan bangunan-bangunan dari kota Ratu Elisabeth tersebut. Bangunan kuno yang tertata rapi begitu menarik sekali. Membuat mata begitu dimanjakan.Mereka sampai di halte pemberhentian. Mereka harus berjalan lagi ketika menuju ke toko milik Cia. Saat sampai di sana, penampilan toko hampir sama dengan toko-toko sebelahnya. Menampilkan bangunan kuno yang ekstetik. Saat masuk mereka disuguhi dengan interior khas Eropa. Kue-kue yang berjajar di etalase begitu menggugah selera sekali. Pengunjung yang datang pun cukup ramai. Beberapa menikmati makan kue di bangku-bangku yang berada di luar. Ada pun juga yang di dalam, yaitu berada di lantai dua. “Hai, kalian sudah datang.” Cia yang melihat adik-adik