Home / Rumah Tangga / Pergi Jadi TKW Pulang Jadi Sultanah / Bab 1 Pasutri Tak Punya Kamar Pribadi

Share

Pergi Jadi TKW Pulang Jadi Sultanah
Pergi Jadi TKW Pulang Jadi Sultanah
Author: yukitahepi

Bab 1 Pasutri Tak Punya Kamar Pribadi

Author: yukitahepi
last update Last Updated: 2022-09-30 05:13:45

Teriakan Mas Doni membangunkan seisi rumah. Yuni murka melihat suaminya membungkuk kesakitan sambil memegang barang pusakanya, sementara di depannya tanpa sadar aku masih memasang kuda-kuda.

“Apa yang kamu lakukan pada Mas Doni?” teriak Yuni.

“Wanita itu merayuku dan saat kutolak dia menendang pedangku,” lelaki tak ada akhlak itu memfitnahku membuat semua orang melotot tak percaya. Dia pasti takut ketahuan belangnya.

Kontan saja Yuni menyerangku sambil mengumpat. Segala penghuni kebun binatang diabsen.

“Fitnah, itu fitnah. Aku tak pernah menggodanya justru dia yang ingin berbuat kurang ajar padaku.” Aku membela diri sambil tangan sibuk menangkis tangan Yuni yang ingin menjambak rambutku.

“Mas Doni yang gagah dan ganteng tak mungkin tertarik sama kamu yang kucel dan buruk rupa,” sergahnya.

Yuni dibantu Yani sibuk menghujatku hingga mengabaikan suaminya yang kesakitan.

“Secepatnya kamu keluar dari rumah ini, muak aku lihat muka kamu yang sok polos itu!” Yuni menunjuk mukaku. Percuma aku membela diri bagaimana pun dia lebih membela suaminya.

Aku tak pernah menyangka akan mendapat musibah seperti ini. Namun nampaknya ada hikmah besar di balik musibah ini, yakni bisa keluar dari rumah yang telah lama ingin kutinggalkan. Semua berawal semenjak Mas Agi terkena PHK.

***

Rasanya pinggang dan pundakku mau patah. Menggendong Yusril sementara dia meronta-ronta dan suaranya serak karena menangis terus. Padahal seharian ini aku sama sekali tak bisa istirahat karena mengerjakan pekerjaan rumah dan melayani semua orang di rumah ini. Tak bisakah mereka membiarkan kami tidur?

"Lala itu anakmu suruh diem dong, berisik banget. Lagi seru-serunya nih jadi nggak konsen."

Yuni mendelik marah karena acara kompetisi dangdut kesukaannya terganggu tangisan anakku.

"Heran deh, ngurus anak satu aja segitu repotnya. Apa susahnya dikasih ASI nanti juga tidur sendiri." Itu suara Yani adik kembar Yuni. Kakak adik sama aja tak punya empati. Padahal mereka tahu Yusril hanya ingin nyaman tidur di kasur yang harus di gelar di depan televisi.

Sudah delapan bulan suamiku kena PHK dan selama itu pula kami menumpang di rumah mertua, tanpa kamar. Aku dan balitaku selalu tidur di depan televisi sementara suamiku sesekali tidur bersama kami dan sesekali di sofa. Di rumah ini ada tiga kamar, satu di tempati oleh Mama dan dua lagi ditempati ipar kembar. Usia mereka hanya selisih setahun di bawah Mas Agi, sehingga saling memanggil nama.

Selama ini aku tak merasa keberatan tidur di tengah rumah, toh tak ada laki-laki selain suamiku.

"Yusril pengen mimi sambil tidur di kasur, Ni. Dia nggak nyaman digendong terus dari tadi." Aku mencoba menjelaskan dengan sabar.

"Ya tinggal ke kamar aja apa susahnya. Memangnya tak punya kamar?" Itu suara suaminya Yuni. Pagi tadi dia pulang dari tempat kerjanya di negara tetangga. Katanya libur sebulan. Kedatangannya menambah kesibukanku sekaligus membuatku malu untuk tidur di tengah rumah seperti biasa.

"Dia kan nggak punya kamar, Mas. Biasa tidur depan televisi. Kasihan memang kismin hihihi ...." Dengan tak punya perasaan Yuni terkikik menertawakan kemalanganku.

"Memangnya Agi belum punya kerjaan lagi ya sampe nggak kuat ngontrak rumah?" tanya suami Yuni lagi. Tak sadar diri kalau mereka pun numpang hidup di rumah ini.

Mereka lalu mengomentari status pengangguran Mas Agi tanpa merasa khawatir menyinggung perasaannya. “Aku kan sarjana, nggak mungkin lah mau kerja serabutan, harus kantoran dong. Kalau cuma kerja tak jelas sih banyak yang nawarin.” Mas Agi yang biasanya diam saja berkilah dengan jengkel.

"Sini kamu." Mas Agi menyeret tanganku ke dapur. Sakit sekali. Wajahnya merah padam.

"Gara-gara kamu enggak becus ngurus anak yang nangis, mereka jadi bawa-bawa statusku yang pengangguran. Makanya jadi istri itu yang pinter. Sana ajak keluar biar reda tangisnya." Selesai melampiaskan amarahnya Mas Agi meninggalkanku begitu saja. Biasanya suamiku tak pernah sekasar ini, sepertinya harga dirinya terusik.

Tanganku sakit tapi hatiku lebih sakit lagi. Untung Mama sudah tidur sehingga tak perlu mendengar adu mulut di ruang tengah.

Selalu saja aku yang disalahkan. Kenapa mereka tak memiliki empati sedikit saja. Jika tak kasihan padaku setidaknya kasihan pada balitaku. Apa mereka tak mengerti sedikit saja kelelahanku mengurus rumah dan melayani mereka seharian. Mungkin karena hatiku yang gelisah anakku pun ikut rewel.

“Cup cup cup … sudah dong nangisnya, Sayang. Bobo ya, Nak.” Aku terus menepuk-nepuk pantat balitaku sambil mengayun-ayunnya.

Aku sudah membujuk Mas Agi agar sementara waktu ada suami Yuni kami numpang di rumah orang tuaku dulu. Di rumahku hanya ada ibu dan adikku Lina. Mereka pasti akan senang menerima kami. Tapi Mas Agi menolak dengan segala alasan, yang intinya aku bisa menebak adik-adiknya tak mau merawat Mama yang stroke.

“Kalau kamu tak mau ikut numpang di rumah Ibu, setidaknya izinkan aku sama Yusril numpang di sana,” pintaku dengan nada memelas, berharap akan membuatnya kasihan.

“Sekali tidak tetap tidak. Ngeyel banget sih. Istri itu tugasnya nurut apa kata suami.”

Aku mencebikan bibir. Ingin sekali kusindir, tugas suami itu ngasih nafkah lahir batin yang bener.

Orang lain mungkin bingung, bagaimana sepasang suami istri tak memiliki kamar tidur sendiri. Tapi itulah yang terjadi pada kami. Mas Agi tak peduli seberapa sering aku membujuk untuk tinggal di rumah ibuku, dan mengutarakan ketidaknyamanan harus tidur tergeletak begitu saja di depan televisi.

Lalu bagaimana dengan nafkah batin? Bisa dibilang aku tak pernah mendapatkannya selama tinggal di rumah ini. Jika Mas Agi sedang ingin menyalurkan hasratnya ia akan menunggu sepi di siang hari dan melakukannya tak lebih dari lima menit. Apa yang diharapkan seorang istri dari waktu lima menit? Tak ada perasaan disayangi, dihormati, dibutuhkan, atau dicintai.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pergi Jadi TKW Pulang Jadi Sultanah   Bab 138 Pesantren Gratis dari Suami Sultanku (TAMAT)

    “Aku enggak butuh tanah seluas ini, ya Habibi. Aku tahu uangmu tak berseri. Tapi jangan hamburkan untuk sesuatu yang sia-sia.” Suamiku mengusap-usap tanganku yang memegang lengannya.“Kalau aku tetap mau membelinya, gimana?” senyumnya dengan alis dinaik-turunkan untuk menggodaku.Ah, kadang-kadang sultan Arab ini nyebelin juga. Eh, tapi masa mau dibeliin tanah sepuluh hektar dibilang nyebelin. Tapi buat apa tanah seluas itu coba? Siapa yang mau ngurus?Aku menyimpan nomor ponsel yang tertera atas perintah suamiku tercinta sambil cemberut. Dia malah tertawa sambil mengecup bibirku dan membuat mataku melotot. Kan malu kalau ada orang yang melihat.“Bagaimana menurutmu bila di tempat ini kita bangun sebuah pesantren? Anak-anak akan belajar di sini dengan fasilitas yang baik tanpa dipungut bayaran sepeser pun?”Aku menatap matanya lekat. Itu adalah impian selintasku dulu sekali yang bahkan tak pernah berani kukatakan pada siapa pun. Impian yang muncul saat membaca tentang pesantren tahfidz

  • Pergi Jadi TKW Pulang Jadi Sultanah   Bab 137 Ratu Sehari, Istri Sultan Selamanya

    Setelah walimah kami memutuskan tinggal di rumah baru kami dengan status visa suami sebagai wisatawan. Setelah masa berlaku bisa hampir habis baru akan kami pikirkan rencana selanjutnya, apakah memperpanjang visa suami atau kami kembali ke kota Madinah. Beliau tak perlu khawatir dengan bisnisnya karena punya beberapa orang kepercayaan. Ada orang yang khusus mengelola hotel, juga ada yang khusus mengelola kebun kurma. Istilahnya mungkin bisnis jalan tapi ownernya jalan-jalan. Ibu, Lina dan Yusril senang sekali bisa berkumpul setiap hari setelah berpisah sekian lama. Rumah kami sekarang selalu hangat dengan kasih sayang dan gelak tawa.“Ucil senang sekali sekarang Ucil bisa main sama Bubu tiap hari. Sama Baba juga Ucil suka main kuda-kudaan.”Anakku selalu riang gembira. Berpindah-pindah dari pangkuanku, ke pangkuan ayah sambungnya, lalu ke pangkuan Ibu, juga ke pangkuan Lina. Dia seolah sedang memuaskan dirinya bermain bersama semua orang yang menyayanginya. Setiap waktu salat dia aka

  • Pergi Jadi TKW Pulang Jadi Sultanah   Bab 138 Bertemu Mantan Suami di Pelaminan

    Menjelang Ashar tamu masih berdatangan satu-satu. Tapi kami sudah terlalu lelah dan pamit masuk ke rumah untuk beristirahat. Di tenda luar dan ruang tamu masih ada Ibu dan Uwa yang bisa mewakili kami menerima tamu. Kecuali tamu spesial maka kami akan menemuinya sebentar.Saat masuk kamar mataku membola melihat ke arah tempat tidur kami. Besar sekali ukuran kasur ini. Lalu tiba-tiba aku menyadari sesuatu, suamiku yang berbadan lebih tinggi dari orang Indonesia pasti merasa tak nyaman saat tidur di kasurku. aku merasa bersalah tetapi dia tak protes. Subhanallah, manisnya suamiku."Ekhem, sudah tak sabar menunggu malam, ya Habibati? Lihat kasur terus." Sebuah suara dengan nada menggoda berbisik di telingaku membuat wajahku memerah. "Apaan sih, enggak kok. Aku hanya baru sadar kasur di kamarku kecil banget buatmu. Maaf ya, Habibi, aku kurang peka." Suamiku hanya tersenyum. Dia memang selalu tidur lebih akhir dan bangun lebih awal sehingga aku tak menyadarinya."Mari kubantu melepas baju

  • Pergi Jadi TKW Pulang Jadi Sultanah   Bab 137 Para Gadis yang Antre

    Akhirnya tiba juga hari ini. Menjadi ratu sehari dalam pernikahan kedua. Kami duduk di pelaminan yang didekorasi indah di halaman rumah kami yang luas. Aku mengenakan gaun pengantin putih cantik yang dikirim memakai cargo dari Arab sana. Suamiku yang gagah terlihat makin memesona dalam balutan baju pengantin warna putih senada dengan gaunku. Aku di-make up minimalis saja. Ibu dan Wak Endo duduk mendampingi kami. Yusril bergabung bersama kami sebentar tapi kemudian bosan dan memilih main bersama sepupunya."Istriku cantik sekali, Masya Allah. Inginnya kusembunyikan saja di kamar," komentar suamiku saat melihatku selesai didandani."Aku juga malu sekali buat duduk di pelaminan. Betul katamu, sebaiknya aku ngumpet di kamar.""Haha aku bercanda, ya Habibati. Kita harus tetap duduk untuk menyalami tamu. Seperti adat di sini. Lagi pula kelihatannya tamu-tamu di sini sopan-sopan pakaian dan perilakunya."Panggung hiburan berdiri kokoh di sebelah kanan gerbang. Siapa pun boleh ikut berpartisi

  • Pergi Jadi TKW Pulang Jadi Sultanah   Bab 136 Kehebohan di Dapur Ibu

    Hari ini merupakan salah satu hari paling bahagia dalam hidup Ibuku, dan melihat kebahagiaan beliau adalah salah satu kebahagiaan terbesarku. Sebenarnya aku malu bila harus dipajang lagi di pelaminan sebagai mempelai. Tetapi Ibu ingin berbagi kebahagiaan kami dengan seluruh warga kampung dan kerabat kami, maka aku pun memenuhi keinginannya dengan mengadakan walimah yang meriah untuk ukuran kami.Dua hari sebelum hari-H Alhamdulillah rumah baru kami sudah selesai dibangun dan siap digunakan untuk resepsi. Masjid kampung kami pun meski belum selesai dibangun tapi sudah nampak bangunan utuhnya yang megah. Sehingga kami tidak terlalu merasa bersalah bila memiliki rumah megah tapi masjid diabaikan.Kami memilih tidak memakai jasa catering, dan memberikan kesempatan pada para tetangga untuk berpartisifasi. Para tetangga pun dengan senang hati berkumpul di dapur Ibu untuk membantu memasak. Kue-kue tradisional yang lezat-lezat memenuhi ruang keluarga rumah kontrakan Ibu sejak malam. Sementara

  • Pergi Jadi TKW Pulang Jadi Sultanah   Bab 135 Bertemu Mantan Ipar Kembar

    Entah berapa lama aku terjebak di sini hingga tiba-tiba semua orang terdiam dan melihat ke arah yang sama. Aku yang tengah menunduk jadi bingung dan ikut melihat arah tatapan mereka.“Masya Allah Nabi Yusuf lewat.”“Masya Allah ada malaikat di kampung kita.”"Lihat punggungnya, jangan-jangan dia punya sayap."Pria macho dengan wajah ganteng itu kaget sebentar saat melihat gerombolan ibu-ibu, tapi kemudian dengan tenang melewati mereka. Tanpa memandang dan tanpa senyum hanya mengucapkan assalamualaikum dengan suara tegas penuh kharisma. Di Arab sana pasti tak pernah ditemuinya gerombolan ibu-ibu nangkring sore-sore. Aku geleng-geleng kepala saat para ABG putri diam-diam mengambil foto Mister Halim.Menjelang Jum'atan aku sudah siap berangkat bersama Lina menuju rumah mantan mertua. Mengantarkan kartu undangan sebagai alasanku untuk bersilaturahim dengan beliau. Sebenarnya aku kangen sekali dengan mantan mertua yang baik hati itu. Tapi hati selalu bimbang setiap mengingat kemungkinan aka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status