Share

Pergi Jadi TKW Pulang Jadi Sultanah
Pergi Jadi TKW Pulang Jadi Sultanah
Penulis: yukitahepi

Bab 1 Pasutri Tak Punya Kamar Pribadi

Teriakan Mas Doni membangunkan seisi rumah. Yuni murka melihat suaminya membungkuk kesakitan sambil memegang barang pusakanya, sementara di depannya tanpa sadar aku masih memasang kuda-kuda.

“Apa yang kamu lakukan pada Mas Doni?” teriak Yuni.

“Wanita itu merayuku dan saat kutolak dia menendang pedangku,” lelaki tak ada akhlak itu memfitnahku membuat semua orang melotot tak percaya. Dia pasti takut ketahuan belangnya.

Kontan saja Yuni menyerangku sambil mengumpat. Segala penghuni kebun binatang diabsen.

“Fitnah, itu fitnah. Aku tak pernah menggodanya justru dia yang ingin berbuat kurang ajar padaku.” Aku membela diri sambil tangan sibuk menangkis tangan Yuni yang ingin menjambak rambutku.

“Mas Doni yang gagah dan ganteng tak mungkin tertarik sama kamu yang kucel dan buruk rupa,” sergahnya.

Yuni dibantu Yani sibuk menghujatku hingga mengabaikan suaminya yang kesakitan.

“Secepatnya kamu keluar dari rumah ini, muak aku lihat muka kamu yang sok polos itu!” Yuni menunjuk mukaku. Percuma aku membela diri bagaimana pun dia lebih membela suaminya.

Aku tak pernah menyangka akan mendapat musibah seperti ini. Namun nampaknya ada hikmah besar di balik musibah ini, yakni bisa keluar dari rumah yang telah lama ingin kutinggalkan. Semua berawal semenjak Mas Agi terkena PHK.

***

Rasanya pinggang dan pundakku mau patah. Menggendong Yusril sementara dia meronta-ronta dan suaranya serak karena menangis terus. Padahal seharian ini aku sama sekali tak bisa istirahat karena mengerjakan pekerjaan rumah dan melayani semua orang di rumah ini. Tak bisakah mereka membiarkan kami tidur?

"Lala itu anakmu suruh diem dong, berisik banget. Lagi seru-serunya nih jadi nggak konsen."

Yuni mendelik marah karena acara kompetisi dangdut kesukaannya terganggu tangisan anakku.

"Heran deh, ngurus anak satu aja segitu repotnya. Apa susahnya dikasih ASI nanti juga tidur sendiri." Itu suara Yani adik kembar Yuni. Kakak adik sama aja tak punya empati. Padahal mereka tahu Yusril hanya ingin nyaman tidur di kasur yang harus di gelar di depan televisi.

Sudah delapan bulan suamiku kena PHK dan selama itu pula kami menumpang di rumah mertua, tanpa kamar. Aku dan balitaku selalu tidur di depan televisi sementara suamiku sesekali tidur bersama kami dan sesekali di sofa. Di rumah ini ada tiga kamar, satu di tempati oleh Mama dan dua lagi ditempati ipar kembar. Usia mereka hanya selisih setahun di bawah Mas Agi, sehingga saling memanggil nama.

Selama ini aku tak merasa keberatan tidur di tengah rumah, toh tak ada laki-laki selain suamiku.

"Yusril pengen mimi sambil tidur di kasur, Ni. Dia nggak nyaman digendong terus dari tadi." Aku mencoba menjelaskan dengan sabar.

"Ya tinggal ke kamar aja apa susahnya. Memangnya tak punya kamar?" Itu suara suaminya Yuni. Pagi tadi dia pulang dari tempat kerjanya di negara tetangga. Katanya libur sebulan. Kedatangannya menambah kesibukanku sekaligus membuatku malu untuk tidur di tengah rumah seperti biasa.

"Dia kan nggak punya kamar, Mas. Biasa tidur depan televisi. Kasihan memang kismin hihihi ...." Dengan tak punya perasaan Yuni terkikik menertawakan kemalanganku.

"Memangnya Agi belum punya kerjaan lagi ya sampe nggak kuat ngontrak rumah?" tanya suami Yuni lagi. Tak sadar diri kalau mereka pun numpang hidup di rumah ini.

Mereka lalu mengomentari status pengangguran Mas Agi tanpa merasa khawatir menyinggung perasaannya. “Aku kan sarjana, nggak mungkin lah mau kerja serabutan, harus kantoran dong. Kalau cuma kerja tak jelas sih banyak yang nawarin.” Mas Agi yang biasanya diam saja berkilah dengan jengkel.

"Sini kamu." Mas Agi menyeret tanganku ke dapur. Sakit sekali. Wajahnya merah padam.

"Gara-gara kamu enggak becus ngurus anak yang nangis, mereka jadi bawa-bawa statusku yang pengangguran. Makanya jadi istri itu yang pinter. Sana ajak keluar biar reda tangisnya." Selesai melampiaskan amarahnya Mas Agi meninggalkanku begitu saja. Biasanya suamiku tak pernah sekasar ini, sepertinya harga dirinya terusik.

Tanganku sakit tapi hatiku lebih sakit lagi. Untung Mama sudah tidur sehingga tak perlu mendengar adu mulut di ruang tengah.

Selalu saja aku yang disalahkan. Kenapa mereka tak memiliki empati sedikit saja. Jika tak kasihan padaku setidaknya kasihan pada balitaku. Apa mereka tak mengerti sedikit saja kelelahanku mengurus rumah dan melayani mereka seharian. Mungkin karena hatiku yang gelisah anakku pun ikut rewel.

“Cup cup cup … sudah dong nangisnya, Sayang. Bobo ya, Nak.” Aku terus menepuk-nepuk pantat balitaku sambil mengayun-ayunnya.

Aku sudah membujuk Mas Agi agar sementara waktu ada suami Yuni kami numpang di rumah orang tuaku dulu. Di rumahku hanya ada ibu dan adikku Lina. Mereka pasti akan senang menerima kami. Tapi Mas Agi menolak dengan segala alasan, yang intinya aku bisa menebak adik-adiknya tak mau merawat Mama yang stroke.

“Kalau kamu tak mau ikut numpang di rumah Ibu, setidaknya izinkan aku sama Yusril numpang di sana,” pintaku dengan nada memelas, berharap akan membuatnya kasihan.

“Sekali tidak tetap tidak. Ngeyel banget sih. Istri itu tugasnya nurut apa kata suami.”

Aku mencebikan bibir. Ingin sekali kusindir, tugas suami itu ngasih nafkah lahir batin yang bener.

Orang lain mungkin bingung, bagaimana sepasang suami istri tak memiliki kamar tidur sendiri. Tapi itulah yang terjadi pada kami. Mas Agi tak peduli seberapa sering aku membujuk untuk tinggal di rumah ibuku, dan mengutarakan ketidaknyamanan harus tidur tergeletak begitu saja di depan televisi.

Lalu bagaimana dengan nafkah batin? Bisa dibilang aku tak pernah mendapatkannya selama tinggal di rumah ini. Jika Mas Agi sedang ingin menyalurkan hasratnya ia akan menunggu sepi di siang hari dan melakukannya tak lebih dari lima menit. Apa yang diharapkan seorang istri dari waktu lima menit? Tak ada perasaan disayangi, dihormati, dibutuhkan, atau dicintai.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status