Share

Bab 2 Tawaran Menggiurkan

Author: yukitahepi
last update Last Updated: 2022-09-30 10:17:10

Esok harinya aku bangun kesiangan dalam keadaan badan seperti patah semua. Rupanya aku tertidur di dapur dalam kondisi duduk, sambil menggendong Yusril yang tertidur dalam gendongan karena kelelahan menangis. Dengan kilat kutunaikan shalat Subuh dan segera bersiap berjibaku di dapur.

“Lala mana sarapannya, Mas Doni udah lapar nih. Pake kesiangan segala.” Itu teriakan cempreng Yuni. 

Heran, buat suami yang LDR bukannya bikinin sendiri sarapan spesial malah sibuk teriak-teriak. Biasanya aku bangun jauh sebelum Subuh, shalat tahajud dan berdoa panjang menjadi kesenanganku. Aku biasa mengadukan segala hal yang memenuhi hatiku baik itu ketakutan mau pun harapan saat tahajid. Menyenangkan sekali berbisik-bisik dalam sepi, rasanya seperti curhat pada sahabat terpercaya. Dan setelahnya aku akan memiliki energi yang besar untuk melalui hari seberat apa pun. Makanya sedih sekali saat momen spesial itu terlewat.

Aku memotong sayuran sambil mencuci di mesin cuci. Kompor sebelah tengah memasak bubur untuk Mama. Sambil menunggu sayur matang aku beres-beres di tengah rumah. Ikan yang tengah dimarinasi sudah menunggu untuk digoreng. Rasanya aku ingin membalah diri dan memiliki tangan seribu.

“Lala … cepetaan doong. Lapaar niih!” Yuni kembali berteriak.

“Lelet amat sih ngapain aja dia?” Saudara kembarnya menimpali. Lalu mereka meneruskan gosipnya.

“Sebentar lagi … mau goreng ikan.”

Aku hanya menggelengkan kepala, dulu kadang aku mengajak mereka bekerja sama tapi tak pernah berhasil. Akhirnya dari pada cape hati mending cape fisik kukerjakan semuanya sendiri. Mama mertua suatu hari pernah bercerita, Mama dan Papa dulu orang berada dan mereka serba dilayani ART. Setelah tak memiliki ART pun semua pekerjaan rumah Mama yang mengerjakan dengan alasan tak mau membebani anak-anaknya. Walhasil semua anaknya manja dan serba ingin dilayani.

“Huuuhuuu … hiks hiks … huaaa ….” Itu suara Yusril terbangun. Kupikir biarlah ada Mas Agi ini. Aku meneruskan masak.

“Yusril bangun nih. Dia nggak mau sama aku.” Aku menghela napas dan menggendong anakku sambil menggoreng. Percuma saja berdebat. Aku meneruskan memasak dan melakukan pekerjaan lain sambil menggendong anak.

Beberapa saat kemudian Yani masuk dapur. Tumben, apa dia kasihan padaku? Syukurlah kalau begitu. “La, itu Mama bab, pengen cebok sekarang katanya udah nggak nyaman.” Ooh itu ternyata alasannya masuk dapur. Aku pura-pura tak mendengar, apa dia tak melihat bagaimana repotnya aku saat ini.

“Lala!” Yani berteriak di telingaku.

“Maaf, Yun. Ada apa? Aku lagi buru-buru nih katanya udah laper. Khawatir gosong bubur sama ikannya.” Kataku sambil membalik ikan dan mengaduk bubur.

“Sini Yusrilnya aku kasih ke Yuni. Masakan biar aku lanjutin. Kamu cebokin Mama aja.” Tumben. Aku segera menemui mama di kamarnya.

Rupanya kotoran Mama meluas karena sudah agak lama. Maka aku membereskan semuanya. Nyebokin Mama, menyeka seluruh badannya, membalur badannya dengan kayu putih supaya hangat dan wangi, juga mengganti seprei dan sarung bantal. Cukup lama aku di kamar Mama hingga terdengar ribut-ribut.

Asap membumbung tinggi di dapur dan masakanku gosong semua. Rupanya Yani yang berjanji meneruskan masakan malah meninggalkannya. Kami terbatuk-batuk. Yusril menangis keras.

“Lala … kamu mau bikin rumah kami kebakaran hah!”

“Kerjaan enggak pernah beres. Bikin sarapan aja sampe gosong!”

“Tanggungjawab kamu, beliin kami makanan pake uang kamu sendiri!”

Aku terduduk lemas menggelosor di lantai. Lelah jiwa raga secara bersamaan. Aku ini sebenarnya istri atau pembantu? Mas Agi tak membelaku sedikit pun saat saudara-saudaranya menyakitiku. Dia malah menatapku tajam seolah aku ini biang masalah. Katanya sabar itu tak ada batasnya, tapi sampai kapan aku harus bertahan dalam lelahnya jiwa raga?

Aku sungguh ikhlas melakukan seluruh pekerjaan rumah tangga di rumah ini. Tapi setidaknya perlalukan aku dengan manusiawi. Katanya seorang istri berkewajiban mengabdi dan mentaati semua perintah suaminya. Aku sudah berusaha melakukannya tanpa mengeluh. Lalu tak bolehkah aku berharap hakku sebagai istri dipenuhi, untuk mendapatkan nafkah lahir dan batin. Bukankah pembelaan, perlindungan, dan perasaan disayangi itu merupakan nafkah batin juga? 

Kapan pula suamiku akan memberiku uang belanja, agar memiliki harga diri karena tak terus menumpang makan pada sudara-saudaranya? Berapa lama lagi aku akan kuat bertahan, ataukah sudah saatnya aku menyerah pada keadaan? Aku merasa berjuang sendirian, tanpa teman berbagi karena suami susah diajak berdiskusi.

***

Sore hari adikku datang dengan menjinjing martabak manis kesukaanku. Sungguh ini merupakan oase di padang pasir. Aku mengajaknya berbincang di teras samping. Dia menatapku iba saat melihat mataku yang sembab. Hanya pada Lina aku bisa curhat. Ibu tak boleh tahu penderitaan anaknya ini.

“Teh Lala belum makan ya?” selidik Lina. Aku menghentikan kunyahanku dengan malu. Lina yang tengah menggendong Yusril mengusap-usap punggungku dengan lembut, membuat air mataku nyaris tumpah lagi.

“Teh, aku ada tawaran jadi TKW dari teman. Majikannya butuh sekali perawat, gajinya besar sekali. Aku pikir siapa tahu Teh Lala mau nyoba. Siapa tahu ini jalan keluar masalah Teteh.” Lina berkata hati-hati.

Aku terdiam. Di daerah kami memang sudah lumrah perempuan berangkat menjadi TKW. Tapi itu tak ada dalam rencana masa depanku. Bagaimana pula dengan Yusril yang masih sangat kecil? Tapi betul juga kata Lina mungkin saja ini solusi dari masalahku saat ini. Tak ada salahnya kalau aku mempertimbangkannya.

Aku tak mengira bila di kemudian hari jalan ini mengantarkan ku pada kehidupan yang sangat berbeda di kemudian hari.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Tetiimulyati
cape jadi Lala ...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pergi Jadi TKW Pulang Jadi Sultanah   Bab 138 Pesantren Gratis dari Suami Sultanku (TAMAT)

    “Aku enggak butuh tanah seluas ini, ya Habibi. Aku tahu uangmu tak berseri. Tapi jangan hamburkan untuk sesuatu yang sia-sia.” Suamiku mengusap-usap tanganku yang memegang lengannya.“Kalau aku tetap mau membelinya, gimana?” senyumnya dengan alis dinaik-turunkan untuk menggodaku.Ah, kadang-kadang sultan Arab ini nyebelin juga. Eh, tapi masa mau dibeliin tanah sepuluh hektar dibilang nyebelin. Tapi buat apa tanah seluas itu coba? Siapa yang mau ngurus?Aku menyimpan nomor ponsel yang tertera atas perintah suamiku tercinta sambil cemberut. Dia malah tertawa sambil mengecup bibirku dan membuat mataku melotot. Kan malu kalau ada orang yang melihat.“Bagaimana menurutmu bila di tempat ini kita bangun sebuah pesantren? Anak-anak akan belajar di sini dengan fasilitas yang baik tanpa dipungut bayaran sepeser pun?”Aku menatap matanya lekat. Itu adalah impian selintasku dulu sekali yang bahkan tak pernah berani kukatakan pada siapa pun. Impian yang muncul saat membaca tentang pesantren tahfidz

  • Pergi Jadi TKW Pulang Jadi Sultanah   Bab 137 Ratu Sehari, Istri Sultan Selamanya

    Setelah walimah kami memutuskan tinggal di rumah baru kami dengan status visa suami sebagai wisatawan. Setelah masa berlaku bisa hampir habis baru akan kami pikirkan rencana selanjutnya, apakah memperpanjang visa suami atau kami kembali ke kota Madinah. Beliau tak perlu khawatir dengan bisnisnya karena punya beberapa orang kepercayaan. Ada orang yang khusus mengelola hotel, juga ada yang khusus mengelola kebun kurma. Istilahnya mungkin bisnis jalan tapi ownernya jalan-jalan. Ibu, Lina dan Yusril senang sekali bisa berkumpul setiap hari setelah berpisah sekian lama. Rumah kami sekarang selalu hangat dengan kasih sayang dan gelak tawa.“Ucil senang sekali sekarang Ucil bisa main sama Bubu tiap hari. Sama Baba juga Ucil suka main kuda-kudaan.”Anakku selalu riang gembira. Berpindah-pindah dari pangkuanku, ke pangkuan ayah sambungnya, lalu ke pangkuan Ibu, juga ke pangkuan Lina. Dia seolah sedang memuaskan dirinya bermain bersama semua orang yang menyayanginya. Setiap waktu salat dia aka

  • Pergi Jadi TKW Pulang Jadi Sultanah   Bab 138 Bertemu Mantan Suami di Pelaminan

    Menjelang Ashar tamu masih berdatangan satu-satu. Tapi kami sudah terlalu lelah dan pamit masuk ke rumah untuk beristirahat. Di tenda luar dan ruang tamu masih ada Ibu dan Uwa yang bisa mewakili kami menerima tamu. Kecuali tamu spesial maka kami akan menemuinya sebentar.Saat masuk kamar mataku membola melihat ke arah tempat tidur kami. Besar sekali ukuran kasur ini. Lalu tiba-tiba aku menyadari sesuatu, suamiku yang berbadan lebih tinggi dari orang Indonesia pasti merasa tak nyaman saat tidur di kasurku. aku merasa bersalah tetapi dia tak protes. Subhanallah, manisnya suamiku."Ekhem, sudah tak sabar menunggu malam, ya Habibati? Lihat kasur terus." Sebuah suara dengan nada menggoda berbisik di telingaku membuat wajahku memerah. "Apaan sih, enggak kok. Aku hanya baru sadar kasur di kamarku kecil banget buatmu. Maaf ya, Habibi, aku kurang peka." Suamiku hanya tersenyum. Dia memang selalu tidur lebih akhir dan bangun lebih awal sehingga aku tak menyadarinya."Mari kubantu melepas baju

  • Pergi Jadi TKW Pulang Jadi Sultanah   Bab 137 Para Gadis yang Antre

    Akhirnya tiba juga hari ini. Menjadi ratu sehari dalam pernikahan kedua. Kami duduk di pelaminan yang didekorasi indah di halaman rumah kami yang luas. Aku mengenakan gaun pengantin putih cantik yang dikirim memakai cargo dari Arab sana. Suamiku yang gagah terlihat makin memesona dalam balutan baju pengantin warna putih senada dengan gaunku. Aku di-make up minimalis saja. Ibu dan Wak Endo duduk mendampingi kami. Yusril bergabung bersama kami sebentar tapi kemudian bosan dan memilih main bersama sepupunya."Istriku cantik sekali, Masya Allah. Inginnya kusembunyikan saja di kamar," komentar suamiku saat melihatku selesai didandani."Aku juga malu sekali buat duduk di pelaminan. Betul katamu, sebaiknya aku ngumpet di kamar.""Haha aku bercanda, ya Habibati. Kita harus tetap duduk untuk menyalami tamu. Seperti adat di sini. Lagi pula kelihatannya tamu-tamu di sini sopan-sopan pakaian dan perilakunya."Panggung hiburan berdiri kokoh di sebelah kanan gerbang. Siapa pun boleh ikut berpartisi

  • Pergi Jadi TKW Pulang Jadi Sultanah   Bab 136 Kehebohan di Dapur Ibu

    Hari ini merupakan salah satu hari paling bahagia dalam hidup Ibuku, dan melihat kebahagiaan beliau adalah salah satu kebahagiaan terbesarku. Sebenarnya aku malu bila harus dipajang lagi di pelaminan sebagai mempelai. Tetapi Ibu ingin berbagi kebahagiaan kami dengan seluruh warga kampung dan kerabat kami, maka aku pun memenuhi keinginannya dengan mengadakan walimah yang meriah untuk ukuran kami.Dua hari sebelum hari-H Alhamdulillah rumah baru kami sudah selesai dibangun dan siap digunakan untuk resepsi. Masjid kampung kami pun meski belum selesai dibangun tapi sudah nampak bangunan utuhnya yang megah. Sehingga kami tidak terlalu merasa bersalah bila memiliki rumah megah tapi masjid diabaikan.Kami memilih tidak memakai jasa catering, dan memberikan kesempatan pada para tetangga untuk berpartisifasi. Para tetangga pun dengan senang hati berkumpul di dapur Ibu untuk membantu memasak. Kue-kue tradisional yang lezat-lezat memenuhi ruang keluarga rumah kontrakan Ibu sejak malam. Sementara

  • Pergi Jadi TKW Pulang Jadi Sultanah   Bab 135 Bertemu Mantan Ipar Kembar

    Entah berapa lama aku terjebak di sini hingga tiba-tiba semua orang terdiam dan melihat ke arah yang sama. Aku yang tengah menunduk jadi bingung dan ikut melihat arah tatapan mereka.“Masya Allah Nabi Yusuf lewat.”“Masya Allah ada malaikat di kampung kita.”"Lihat punggungnya, jangan-jangan dia punya sayap."Pria macho dengan wajah ganteng itu kaget sebentar saat melihat gerombolan ibu-ibu, tapi kemudian dengan tenang melewati mereka. Tanpa memandang dan tanpa senyum hanya mengucapkan assalamualaikum dengan suara tegas penuh kharisma. Di Arab sana pasti tak pernah ditemuinya gerombolan ibu-ibu nangkring sore-sore. Aku geleng-geleng kepala saat para ABG putri diam-diam mengambil foto Mister Halim.Menjelang Jum'atan aku sudah siap berangkat bersama Lina menuju rumah mantan mertua. Mengantarkan kartu undangan sebagai alasanku untuk bersilaturahim dengan beliau. Sebenarnya aku kangen sekali dengan mantan mertua yang baik hati itu. Tapi hati selalu bimbang setiap mengingat kemungkinan aka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status