LOGINDua tahun kemudian ... Di Sekolah Internasional, pagi itu, kelas 2B sudah dipenuhi suara riuh anak-anak. Namun, di sudut ruangan, seorang anak laki-laki tampan dengan tatapan datar duduk diam sambil membaca buku gambar, Arvino Kayden Mahendra. Wajahnya seperti biasa dingin, tak terjangkau, dan sulit ditebak. Sementara itu, Zahra Putri Azzahra masuk kelas perlahan, jilbab putihnya tampak rapi, langkahnya kecil dan tenang seperti biasanya. Dia selalu duduk di paling depan, dekat jendela. Kayden sekilas mengangkat wajahnya. Sangat cepat, hanya satu detik. Tapi cukup untuk membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Hanya satu orang yang menyaksikannya. Siapa lagi kalau bukan Adeline, orang yang selalu memperhatikan Kayden. Ia langsung mengerutkan dahi sambil melipat tangan di dada. “Tuh kan, Kayden …” gumamnya tajam. Beberapa saat kemudian, guru masuk kelas, membawa lembar kegiatan. “Anak-anak, kita mulai belajar ya. Siapkan buku temanya,” seru Bu Nisa sambil menatap seluruh kelas. S
“Oke. Dengar ya semua.” Suaranya tegas namun tetap lembut. “Kayden memang terlihat dingin, iya. Tapi papa yakin dia selalu sayang kita semua, termasuk kamu, Adeline. Kayden sayang kamu dan semua juga sayang kamu. Cuma, kamu tidak boleh minta perhatian yang berlebihan dengan marah-marah dan mendorong orang.” ucap Arvino akhirnya mengangkat suara. Reyhan menatap putrinya. “Sayang, kamu punya hati yang baik. Papa tahu. Tapi jika kamu terus manja dan sombong, orang-orang akan menjauh. Termasuk Kayden.” Adeline menatap Kayden, matanya mulai memerah. “Kayden, jadi … kamu tidak suka aku, ya?” Kayden menjawab dengan jujur, “Aku tidak suka kamu yang selalu memaksa. Tapi kalau kamu baik … aku mau main.” Semua orang dewasa di sana saling memandang. Itu adalah jawaban yang sangat dewasa untuk anak berusia lima tahun. Adeline terisak. “Berarti ... kalau aku minta maaf, kamu mau main sama aku?” Kayden menatap Kiara terlebih dahulu. “Minta maafnya ke Kiara dulu. Bukan aku.” Adeline menoleh pe
Lima tahun kemudian, suasana halaman belakang Mahendra Residence sore itu ramai oleh suara anak-anak. Udara sejuk di kota itu dipenuhi dengan aroma bunga kamboja yang baru disiram. Namun, di tengah keramaian itu, ada seorang anak laki-laki yang duduk tenang di bawah pohon mangga, membaca buku tentang dinosaurus kesukaannya Kayden Mahendra, lima tahun, dengan wajah tenang dan dingin seperti biasa. Tidak jauh dari situ, Adeline Wiratama, yang berusia empat tahun, melompat-lompat sambil memanggil. “Kaydeeen! Ayo main sama Adeline!” suaranya manja, nyaring, dan sedikit memaksa. Kayden tidak menoleh. Ia hanya membalik halaman bukunya. Kiara, adik Kayden dan putri kedua Kayla–Arvino, berdiri tidak jauh, memegang boneka kelinci yang sudah usang. Usianya baru tiga tahun, wajahnya manis, tetapi selalu terlihat sedikit minder ketika Adeline ada di dekatnya. Adeline mendekati Kayden dengan cemberut. “Kenapa sih kamu terus baca? Main sama aku, Kayden. Sekarang!” Kayden menghela napas
Singkat cerita, tujuh bulan kemudian, suara tangis bayi terdengar lembut di ruang bersalin. Suara itu seperti melodi baru yang mengisi hati semua orang di luar. Rani terbaring lemah di ranjang, wajahnya masih pucat tetapi tersenyum bahagia. Di sampingnya, Reyhan menatap bayi mereka dengan mata berkaca-kaca. “Sayang, dia sangat cantik,” kata Reyhan dengan suara serak, tangannya bergetar saat menyentuh pipi mungil itu. Rani tersenyum lembut. “Mirip kamu, lihat lesung pipinya.” Reyhan tertawa kecil, “Kamu bohong. Hidungnya jelas mirip hidungmu, manis sekali.” Pintu kamar terbuka. Arvino dan Kayla masuk terlebih dahulu, tatapan mereka langsung tertuju pada bayi mungil yang dibedong rapi. “Ya ampun, cantik sekali,” ucap Kayla sambil menempelkan tangan di dada, terharu. Arvino mendekat, membawa bayi gendongannya sendiri, Arviano Kayden Mahendra, yang kini berusia sepuluh bulan. Bocah itu menatap penasaran pada bayi di ranjang. “Ini dia calon kakak sekaligus calon bodyguard mas
Momen emosional itu belum berakhir ketika pintu ruangan diketuk dan dibuka perlahan. Reyhan dan Rani muncul. Wajah Reyhan dipenuhi senyum bangga, sementara Rani terlihat membawa bingkisan besar. “Vin! Kay! selamat ya … akhirnya lahir juga!” Reyhan langsung mendekat. “MasyaAllah, tampan sekali. Kamu hebat Kay, kamu sangat kuat …," Rani ikut tersenyum lebar. “Terima kasih Ran ... Oh iya, aku senang akhirnya kalian datang juga,” ucap Kayla sambil tersenyum. Reyhan menatap bayi itu dengan mata berbinar. “Bro, serius … itu keponakan gue?” Arvino mengangkat alis. “Iya, mau siapa lagi?” Reyhan mendekat. “Astaga … tampan banget! Baru lahir saja sudah ganteng begini, pasti bakal jadi rebutan anak-anak dari TK sampai kampus.” Kayla tertawa pelan. “Kamu ini Rey, baru lahir sudah diproyeksikan jadi idola.” Rani maju, matanya terlihat sangat berbinar. “Bolehkah aku lihat lebih dekat?” Arvino mengangguk dan mengizinkan. Rani menatap bayi kecil itu dengan perasaan campur aduk antar
“Selamat, Tuan Reyhan.” Dokter memutar layar USG ke arahnya. “Ini adalah kantung kehamilan. Usianya sekitar enam minggu.” Reyhan terdiam, dan dokter tersenyum lebih lebar. “Sekali lagi selamat, Anda akan menjadi seorang ayah.” Deg ... Reyhan langsung menutup mulutnya dengan tangan. “Alhamdulillah …!” ujarnya spontan, matanya berkaca-kaca. “Alhamdulillah, akhirnya tidak sia-sia!” Dokter mengerutkan dahi. “Maaf … tidak sia-sia apa ya?” Reyhan tersadar. “Ah! Maksud saya … tidak sia-sia kami selalu berdoa, Dok. Tuhan mengabulkan doa kami …” Reyhan mengusap wajahnya, merasa malu sekaligus bahagia. Dokter tertawa kecil. “Ah, baiklah. Jadi, bolehkah saya panggilkan istri Anda? Dia perlu tahu juga, bukan?” Reyhan cepat mengangkat tangan. “Jangan! Maksud saya … biar saya yang memberitahu. Saya ingin melihat ekspresinya.” “Baiklah,” jawab dokter. Reyhan kembali masuk ke ruangan, berusaha terlihat tenang. Padahal wajahnya bersinar seperti lampu jalan. Rani mencibir bingung.







