Arvino duduk di ruang kerjanya, matanya merah karena kurang tidur. Rapat dengan dewan direksi sudah selesai, tetapi pikirannya masih tertuju pada Kayla. Sejak kepergian istrinya, segalanya menjadi kacau. Ketika pintu diketuk, Reyhan masuk dengan jas formal, membawa berkas laporan.
"Vin, kita perlu membahas perkembangan saham di proyek resort itu," ujar Reyhan dengan tenang, meskipun di dalam dadanya ada kegelisahan. Arvino mengangguk lemah. "Iya, duduklah, aku sudah menyiapkan datanya." Namun, alih-alih membahas angka, strategi, dan target investor, Arvino terus gelisah. Dia berdiri dan berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya,jas yang sebelumnya rapi kini terbuka, dasinya longgar, dan wajahnya terlihat kusut. "Vin, mari kita mulai membahas proyek ini," kata Reyhan datar. Arvino tidak langsung menoleh, hanya menatap kosong ke luar jendela gedung tinggi. "Taruh saja di meja." Reyhan menghela napas dan berdiri, memperhatikan sahabatnya yang biasanya tenang dan penuh kendali, kini tampak kacau. "Kau bahkan tidak mau membuka filenya?" tanya Reyhan akhirnya. "Apa gunanya aku membaca angka itu ,jika rumahku sendiri berantakan?" balas Arvino dengan suara pecah. Reyhan terdiam. Ini akan sulit, pikirnya. "Aku pulang dua malam lalu," lanjut Arvino lirih."Dan Kayla sudah pergi. Begitu saja. Tak ada yang tersisa, kecuali surat yang menyakitkan." Reyhan menelan ludah. "Dia ... benar-benar tidak mengatakan apa-apa?" "Tidak!" Arvino membentak sambil memukul meja. "Dia hanya menulis kata-kata seolah aku monster. Dia bilang ingin menyelamatkan dirinya. Kau tahu apa artinya itu, Rey? Dia pergi karena aku gagal sebagai suami." Reyhan duduk kembali sambil menunduk. "Mungkin Kayla hanya butuh waktu untuk dirinya sendiri." "Waktu?" Arvino tertawa pahit. "Sejak awal aku sudah memberinya ruang. Dia tinggal di penthouse megah, tak pernah aku sentuh tanpa izinnya, semua kebutuhannya tercukupi. Apa itu masih kurang?" "Itu bukan ruang, Vin," Reyhan menatapnya tajam. "Itu penjara emas. Kau mengikatnya tapi tidak pernah benar-benar hadir." Arvino terdiam sejenak, lalu mendekat. "Kau berani sekali berkata begitu. Apa kau pikir aku tidak mencintainya?" "Jika kau benar-benar mencintainya," suara Reyhan meninggi, "kau tidak akan membiarkannya merasa sendirian, apalagi sampai merencanakan pertunangan dengan Casandra di depan publik!" Arvino tertegun. "Jangan ikut campur soal itu, Rey. Casandra adalah urusan bisnis." "Bisnis?" Reyhan mendengus. "Kau pikir perasaan Kayla bisa ditukar dengan kontrak perusahaan? Kau buta, Vin?" Arvino menatapnya dengan sorot tajam. "Jaga bicaramu. Aku sahabatmu, tapi jangan coba menilai sesuatu yang tidak kau ketahui." Reyhan berdiri lagi, kini suaranya tegas. "Aku tahu cukup,Vin. Aku melihat sendiri bagaimana Kayla selalu menunggu perhatianmu. Dia menatapmu, tapi kau sibuk dengan ponsel, dengan rapat, dengan Casandra. Jangan bilang kau tidak tahu!" Arvino terdiam, dadanya naik-turun, rahangnya mengeras. "Kau berbicara seolah kau lebih mengenalnya daripada aku." Hening. Kata-kata itu menggantung di udara, menambah ketegangan. Reyhan mengepalkan tangannya di samping tubuh. "Aku tidak bilang begitu. Aku hanya bicara sebagai sahabat. Kau sudah terlalu jauh membiarkan Kayla terluka." Arvino menunduk sejenak lalu mendekat, wajahnya penuh frustrasi. "Kau pikir aku tidak menyesal? Setiap malam aku dihantui wajahnya, Rey. Aku menghubungi semua kontak, mencarinya di hotel, bandara, apartemen. Tapi nihil! Aku gila, aku tidak tahu harus bagaimana lagi?" Tangis Arvino pecah, matanya memerah, dan Reyhan menatapnya dengan rasa iba. "Jika kau benar-benar mencintainya," ucap Reyhan dengan tenang, "kau harus siap jika suatu saat dia tidak kembali." Arvino menoleh dengan cepat dan marah. "Jangan pernah katakan begitu! Kayla akan kembali. Dia harus kembali." "Kenapa harus, Vin?" balas Reyhan dengan nada tajam. "Cinta bukan tentang memaksa. Jika dia memilih pergi, kau harus menerima kenyataan." "Kau bicara seolah kau tahu di mana dia. Apa benar begitu, Rey?" tanya Arvino sambil mendekat, suaranya dingin. Deg... Pertanyaan itu menusuk hati Reyhan, tetapi dia berusaha tetap tenang. "Aku tidak tahu," jawabnya singkat. Arvino menatapnya lama dengan penuh curiga. "Tatapanmu mengatakan hal lain." "Aku hanya tidak ingin kau semakin tersiksa. Itu saja," kata Reyhan sambil memalingkan wajahnya. "Katakan yang sebenarnya!" Arvino meninggi. "Jika kau tahu di mana Kayla, kau harus memberitahuku. Dia istriku, Rey, istriku!" Reyhan merasakan dadanya sesak. Dia teringat janji Kayla, ingat air matanya di kafe malam itu. "Jangan bilang Arvino kalau aku di sini, Rey. Aku mohon." "Aku tidak bisa," akhirnya Reyhan berkata pelan. "Tidak bisa ... atau tidak mau?" tanya Arvino dengan tatapan tajam. "Tidak bisa," ulang Reyhan. "Karena meskipun aku tahu, aku tidak berhak memutuskan untuknya. Kayla harus memilih sendiri kapan dia siap kembali padamu." "Kau pengkhianat, Rey!" teriak Arvino sambil menggebrak meja. "Jika menjaga rahasia seorang perempuan yang terluka disebut pengkhianat, maka biarlah aku jadi pengkhianat. Tapi setidaknya aku tidak menutup mata terhadap penderitaannya," sahut Reyhan sambil menahan emosi. Arvino terdiam. Kata-kata itu menghantamnya dengan keras. Matanya bergetar, dan tangannya mengepal. "Pergi," katanya lirih namun dingin. "Aku tidak ingin melihatmu sekarang." Reyhan menatapnya lama, lalu menghela napas. "Aku tetap sahabatmu, Vin. Tapi sampai kau benar-benar menyadari apa arti Kayla, aku tidak akan berpihak padamu." Dia pun berjalan keluar, meninggalkan Arvino sendirian. Arvino jatuh terduduk di kursi, menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Kenapa semua orang meninggalkanku?" gumamnya parau. "Kayla ... Kembalilah. Aku mohon." Sementara itu, dalam perjalanan pulang, Reyhan menatap kosong ke arah jalanan. Hatinya dipenuhi gejolak. Dia tahu telah memilih berpihak pada Kayla, tetapi konsekuensinya, dia baru saja mengkhianati persahabatan yang telah terjalin selama puluhan tahun. Dan jauh di dalam hatinya, ada perasaan lain yang mulai tumbuh, perasaan yang selama ini dia tekan habis-habisan. "Kayla ... Apa aku benar-benar bisa menjaga jarak darimu?""Kamu takut terluka lagi, bukan?" potong Bu Yuliana dengan lembut. "Ibu mengerti, Nak. Tapi jika kamu terus menghindar, luka itu tidak akan pernah sembuh." Arvino mengamati keduanya secara bergantian, jantungnya berdebar. Bu Yuliana mendekat ke putrinya dan menggenggam tangannya dengan lembut. "Kayla ... Ibu sudah berbicara dengan Arvino. Ibu tahu betapa menyesalnya dia. Ibu juga tahu kamu masih menyimpan perasaan itu di dalam hatimu. Kamu boleh menyangkal sekuat apapun, tapi mata seorang ibu tahu, Nak." Air mata Kayla mulai mengalir. "Ibu ... kenapa selalu berpihak padanya? Bukankah dulu Ibu yang paling kecewa padanya?" Bu Yuliana tersenyum kecil. "Ya, dulu Ibu kecewa. Tapi Ibu juga tahu bahwa manusia bisa berubah. Jika Tuhan saja membuka pintu maaf untuk hamba-Nya, mengapa kita tidak bisa, Nak?" Kayla menunduk, suaranya bergetar. "Aku tidak tahu, Bu ... aku hanya takut. Aku takut semua ini akan terulang lagi. Aku tidak sanggup kehilangan dia untuk kedua kalinya." Arvino yang m
Siang itu, di atas gedung tinggi tempat Kayla Ardana bekerja, suasana kantor sudah ramai sejak pagi. Karyawan berlalu-lalang membawa map, beberapa sedang berdiskusi di ruang rapat, sementara Kayla sendiri tengah memeriksa presentasi di ruangannya. Ia mengenakan kemeja putih dan rok hitam selutut, rambutnya diikat rapi, wajahnya tenang namun matanya tajam. Sejak berita pernikahannya dengan Arvino Mahendra tersebar, namanya semakin dikenal di dunia bisnis. Semua orang penasaran dengan wanita yang mampu membuat CEO besar itu membatalkan pertunangan publiknya. Namun di balik ketenangan itu, hatinya masih menyimpan luka. Ia berusaha tersenyum di depan orang lain, tetapi begitu pintu ruangannya tertutup, yang tersisa hanyalah kesunyian yang menyakitkan. Saat jarum jam menunjukkan pukul dua siang, terdengar ketukan pelan di pintu ruangannya. Tok ... tok ... tok. “Masuk,” kata Kayla tanpa mengalihkan pandangan dari laptop. Pintu terbuka perlahan. Langkah sepatu yang sangat ia kenal mend
Di tempat lain, sore itu terasa begitu damai di halaman rumah sederhana milik Bu Yuliana. Angin berhembus lembut dalam keheningan. Namun, ketenangan itu tiba-tiba terganggu oleh suara mobil mewah yang berhenti di depan pagar rumah. Dari balik kaca, seorang pria berjas hitam turun dengan langkah yang ragu, meskipun tekadnya kuat. Dialah Arvino Mahendra.Wajahnya tampak lelah, tetapi di matanya terpancar kesungguhan yang belum pernah dilihat Bu Yuliana sebelumnya. Setelah mengatur napas, Arvino melangkah menuju teras, menggenggam setangkai bunga mawar putih dan sekotak kecil yang disimpan di sakunya.Tok … tok … tok.“Permisi, Ibu …” suaranya terdengar pelan. “Bu ... Saya Arvino.”Bu Yuliana yang sedang menyapu halaman menoleh cepat. Tatapannya langsung berubah kaku saat melihat pria itu. Sapu di tangannya berhenti bergerak. “Arvino …?” ujarnya dengan nada dingin. “Apa yang kau lakukan di sini?”Arvino menunduk, lalu membungkuk sedikit dengan sikap sopan. “Saya tahu … saya tidak pantas
"Target aman. Subjek dilindungi dari jarak 50 meter," ujar seseorang melalui alat komunikasi kecil di telinganya. "Teruskan pengawasan secara diam-diam," suara Dion terdengar dari sambungan telepon. "Jika ada ancaman langsung, jangan ragu untuk bertindak. Tuan Arvino tidak ingin ada celah." Hari-hari berikutnya berlalu dengan cara yang tidak pernah disadari Kayla. Setiap kali ia menyeberang jalan, selalu ada seseorang di kerumunan yang mengawasinya dari jauh. Setiap kali ia pulang larut malam, mobil SUV hitam tanpa plat selalu berhenti dalam radius dua blok untuk memastikan ia sampai dengan selamat. Kayla mulai merasa aman tanpa mengetahui alasannya. Beberapa hari kemudian, di kantor pusat Mahendra Group, Arvino berdiri di balkon lantai atas. Ia berbicara dengan Dion sambil melihat foto-foto yang dikirim melalui ponsel. "Tuan,Laporan pengawasan minggu ini," kata Dion. "Ada percobaan intimidasi kecil dari orang Cassandra di hari pertama, tetapi kami berhasil mencegahnya. Se
Reyhan menatap punggung Kayla sejenak, kemudian berkata pelan, “Aku tahu ini bukan saat yang tepat. Tapi suatu hari nanti, aku ingin kau ingat bahwa ada seseorang yang mencintaimu dengan tulus, tanpa syarat, dan tanpa pamrih.” Tanpa menunggu jawaban, Reyhan berbalik dan berjalan menuju pintu. Sebelum keluar, ia berhenti sejenak dan menoleh sekali lagi. Kayla masih berdiri membelakangi, terdiam dalam air mata yang tak bisa ia sembunyikan. Saat pintu tertutup, Kayla akhirnya terjatuh di kursinya. Tangannya menutupi wajahnya, bahunya bergetar menahan tangis. “Maaf, Reyhan … hatiku belum siap. Dan mungkin, tidak akan pernah siap lagi.” Malam itu, setelah Reyhan pulang, Kayla berdiri sendirian di balkon. Angin malam menyapu rambutnya, membawa aroma hujan yang menggantung di udara. Ia menatap langit kota yang berkilauan. Dalam keheningan itu, pikirannya melayang pada dua nama yang kini mengisi hidupnya dengan cara yang berbeda,Arvino, masa lalu yang belum selesai, dan Reyhan, harapan y
Sore itu, Kayla masih duduk di ruang kerjanya, menatap kosong ke layar laptop yang sudah lama menyala namun tidak tersentuh. Kata-kata Arvino saat konferensi pers terus terngiang di pikirannya, seperti gema yang tak kunjung reda."Ya, benar. Kayla Ardana adalah istri saya."Ucapan itu seharusnya menjadi bukti cinta, tetapi bagi Kayla, justru menjadi beban. Ia bingung harus bersyukur atau merasa semakin terjebak dalam masa lalu yang belum selesai.Tiba-tiba, pintu ruangannya diketuk perlahan.“Masuk,” katanya pelan tanpa menoleh.Suara langkah kaki terdengar tenang dan hati-hati. Kayla sudah tahu siapa pemilik suara itu bahkan sebelum melihat wajahnya.“Kayla,” suara Reyhan terdengar dalam, seolah berusaha menenangkan badai yang bergolak di dalam dada wanita itu.Kayla menatapnya sekilas, lalu memaksakan senyum tipis. “Reyhan ? Aku kira kau sedang di luar kota.”Reyhan mendekat, meletakkan sebuah amplop di meja kerja Kayla, lalu duduk di hadapannya. Matanya menatap Kayla, bukan dengan