LOGINSekali lagi Rani menutup matanya untuk memastikan bahwa keputusan yang diambilnya kali ini tidak salah. “Baiklah … aku setuju.” Reyhan menatap istrinya dengan terkejut dan lega. “Tapi …” Rani melanjutkan. “Sebelum itu, kita perlu berbicara dengan Kayla dan Arvino.” Reyhan mengangguk. “Kamu benar, sayang. Sebagai sahabat dan orang tua Kayden, kita harus meminta pendapat mereka …” --- Keesokan harinya, pada hari Minggu seperti biasa, mereka berkumpul di rumah mewah milik Arvino. Kayla dan Arvino duduk berhadapan dengan Rani dan Reyhan. Suasana terasa tegang dan penuh kehati-hatian. “Jadi …” Reyhan mulai berbicara. “Aku ingin berbicara dengan jujur.” Kayla menggenggam tangan Arvino, penasaran menunggu apa yang akan disampaikan Reyhan. “Adeline akan kami kirim ke luar negeri.” Kayla terdiam, sementara Arvino mengangkat alisnya. “Untuk sementara,” lanjut Reyhan. “Dia akan tinggal bersama orang tuaku di sana.” Rani menunduk. “Kami khawatir … sifat posesif Adeline sudah menggangg
Mobil keluarga Mahendra baru saja berhenti di depan rumah. Begitu pintu dibuka, Kayden langsung turun tanpa menunggu siapa pun. Langkahnya cepat, wajahnya datar, dan tatapannya kosong seolah menahan beban berat di dadanya. “Bang Kayden!” seru Kiara Suara kecilnya terdengar dari dalam rumah. Anak perempuan itu berlari kecil ke arah pintu dengan senyum lebar. “Bang! Kiara tadi nggak sekolah! Temenin Kiara main ya!” Biasanya, Kayden akan berhenti, menggendong adiknya, atau setidaknya mengelus kepalanya. Namun kali ini tidak. Kayden berjalan lurus melewati Kiara. “Bang?” suara Kiara mengecil. Ia berbalik, menatap punggung abangnya yang menaiki tangga tanpa menoleh. “Bang Kayden …?” Pintu kamar Kayden ditutup pelan. Bukan dibanting, justru itu yang membuat perasaan semakin berat. Kiara berdiri terpaku, matanya berkaca-kaca. Kayla yang baru masuk rumah langsung menghampiri putrinya. “Sayang … kenapa?” “Bang Kayden nggak mau main sama Kiara …” ucap Kiara lirih. Kayla meng
Beberapa saat kemudian, Adeline mengintip dari tangga. Dari balik rambut panjangnya, matanya yang kecil menatap kedua orang tuanya dengan sedih.“Mama ... Papa, pokoknya Adeline tidak mau Kayden diambil orang.”Suara itu pelan namun penuh ketakutan. Rani segera berdiri, mendekati putrinya, lalu memeluknya.“Sayang kamu tidak kehilangan siapa pun. Tapi kamu tidak boleh memaksa orang untuk selalu ada di sampingmu!”Adeline kembali menangis. “Tapi Kayden milik Adeline ...”Reyhan mendekat dan berlutut agar sejajar dengannya. “Sayang, dengar Papa. Tidak ada manusia yang bisa dimiliki sepenuhnya... bahkan Papa dan Mama pun bukan ‘milik’ kamu.”Adeline menggeleng keras. “Tapi Adeline takut kalau Kayden suka Zahra ...”Rani mengusap pipinya. “Kalau memang Kayden suka seseorang, itu bukan salahmu. Kamu harus belajar untuk menerima dan tetap mencintainya sebagai teman.”Adeline menunduk sambil menangis dalam pelukan ibunya. Dalam hati kecilnya, rasa takut itu semakin dalam dan gelap.Sementar
Sepulang dari sekolah, suasana di rumah keluarga Mahendra terasa lebih tenang. Hanya terdengar suara langkah kecil Kayden yang naik ke kamarnya. Kali ini, ia bahkan tidak melirik Kiara yang sedang bermain puzzle di ruang tengah. “Wah ... Tumben dia tidak menyapa? Ada apa? Kayden pulang langsung masuk kamar?” tanya Arvino yang baru saja melepas dasi, masih mengenakan kemeja kantor. Kayla yang baru menaruh tas kecil Kiara di sofa langsung menghela napas panjang. “Tadi di depan sekolah ... Adeline tiba-tiba cemburu lagi. Dia tidak mau Kayden berteman dengan siapa pun, terutama Zahra. Lalu dia menangis dan ngambek, membuat Kayden semakin malas melihatnya.” Arvino terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. “Ha ha ... pesona putra kita ternyata luar biasa, ya. Baru kelas dua SD sudah jadi rebutan perempuan. Mirip siapa, ya?” Kayla memelototkan mata sambil mencubit pinggang suaminya. “Mirip siapa?! Kamu bangga? Ini masalah, Vin!” “Aduh ... sakit, sayang. Aku cuma bercanda. Tapi ya lucu juga.
Beberapa jam setelah pelajaran berakhir, semua murid bersiap untuk pulang. Di gerbang sekolah, banyak orang tua yang menunggu.Kayden sedang menunggu ibunya, Kayla, yang sedikit terlambat. Zahra duduk tidak jauh, menunggu ayahnya.Adeline berdiri dengan tangan di pinggang, mengawasi mereka seperti seorang detektif.Zahra tersenyum sopan saat melihat Kayden menoleh ke arahnya. “Kamu belum dijemput juga?”“Iya, sepertinya Mama telat,” jawab Kayden singkat.Zahra mengangguk. “Ayahku juga. Biasanya jam segini …”Adeline langsung menyela. “Jangan ngobrol berdua! Nanti orang-orang salah paham!”Kayden mendesis. “Deline ...”Tiba-tiba Zahra batuk kecil. Kayden segera merogoh tasnya dan mengeluarkan botol minum.“Minum.”Zahra tertegun. “T-Tidak apa-apa… aku ...”“Ambil,” ucap Kayden tegas.Zahra meminum sedikit, lalu mengembalikan botol dengan wajah memerah.”Bang Kay ... kenapa minuman kamu kasih dia!” teriak Adeline sambil melotot ke arah Zahra.Zahra langsung panik. “Bukan! Bukan! Aku cum
Dua tahun kemudian ... Di Sekolah Internasional, pagi itu, kelas 2B sudah dipenuhi suara riuh anak-anak. Namun, di sudut ruangan, seorang anak laki-laki tampan dengan tatapan datar duduk diam sambil membaca buku gambar, Arvino Kayden Mahendra. Wajahnya seperti biasa dingin, tak terjangkau, dan sulit ditebak. Sementara itu, Zahra Putri Azzahra masuk kelas perlahan, jilbab putihnya tampak rapi, langkahnya kecil dan tenang seperti biasanya. Dia selalu duduk di paling depan, dekat jendela. Kayden sekilas mengangkat wajahnya. Sangat cepat, hanya satu detik. Tapi cukup untuk membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Hanya satu orang yang menyaksikannya. Siapa lagi kalau bukan Adeline, orang yang selalu memperhatikan Kayden. Ia langsung mengerutkan dahi sambil melipat tangan di dada. “Tuh kan, Kayden …” gumamnya tajam. Beberapa saat kemudian, guru masuk kelas, membawa lembar kegiatan. “Anak-anak, kita mulai belajar ya. Siapkan buku temanya,” seru Bu Nisa sambil menatap seluruh kelas. S







