LOGINLima tahun kemudian, suasana halaman belakang Mahendra Residence sore itu ramai oleh suara anak-anak. Udara sejuk di kota itu dipenuhi dengan aroma bunga kamboja yang baru disiram. Namun, di tengah keramaian itu, ada seorang anak laki-laki yang duduk tenang di bawah pohon mangga, membaca buku tentang dinosaurus kesukaannya Kayden Mahendra, lima tahun, dengan wajah tenang dan dingin seperti biasa. Tidak jauh dari situ, Adeline Wiratama, yang berusia empat tahun, melompat-lompat sambil memanggil. “Kaydeeen! Ayo main sama Adeline!” suaranya manja, nyaring, dan sedikit memaksa. Kayden tidak menoleh. Ia hanya membalik halaman bukunya. Kiara, adik Kayden dan putri kedua Kayla–Arvino, berdiri tidak jauh, memegang boneka kelinci yang sudah usang. Usianya baru tiga tahun, wajahnya manis, tetapi selalu terlihat sedikit minder ketika Adeline ada di dekatnya. Adeline mendekati Kayden dengan cemberut. “Kenapa sih kamu terus baca? Main sama aku, Kayden. Sekarang!” Kayden menghela napas
Singkat cerita, tujuh bulan kemudian, suara tangis bayi terdengar lembut di ruang bersalin. Suara itu seperti melodi baru yang mengisi hati semua orang di luar. Rani terbaring lemah di ranjang, wajahnya masih pucat tetapi tersenyum bahagia. Di sampingnya, Reyhan menatap bayi mereka dengan mata berkaca-kaca. “Sayang, dia sangat cantik,” kata Reyhan dengan suara serak, tangannya bergetar saat menyentuh pipi mungil itu. Rani tersenyum lembut. “Mirip kamu, lihat lesung pipinya.” Reyhan tertawa kecil, “Kamu bohong. Hidungnya jelas mirip hidungmu, manis sekali.” Pintu kamar terbuka. Arvino dan Kayla masuk terlebih dahulu, tatapan mereka langsung tertuju pada bayi mungil yang dibedong rapi. “Ya ampun, cantik sekali,” ucap Kayla sambil menempelkan tangan di dada, terharu. Arvino mendekat, membawa bayi gendongannya sendiri, Arviano Kayden Mahendra, yang kini berusia sepuluh bulan. Bocah itu menatap penasaran pada bayi di ranjang. “Ini dia calon kakak sekaligus calon bodyguard mas
Momen emosional itu belum berakhir ketika pintu ruangan diketuk dan dibuka perlahan. Reyhan dan Rani muncul. Wajah Reyhan dipenuhi senyum bangga, sementara Rani terlihat membawa bingkisan besar. “Vin! Kay! selamat ya … akhirnya lahir juga!” Reyhan langsung mendekat. “MasyaAllah, tampan sekali. Kamu hebat Kay, kamu sangat kuat …," Rani ikut tersenyum lebar. “Terima kasih Ran ... Oh iya, aku senang akhirnya kalian datang juga,” ucap Kayla sambil tersenyum. Reyhan menatap bayi itu dengan mata berbinar. “Bro, serius … itu keponakan gue?” Arvino mengangkat alis. “Iya, mau siapa lagi?” Reyhan mendekat. “Astaga … tampan banget! Baru lahir saja sudah ganteng begini, pasti bakal jadi rebutan anak-anak dari TK sampai kampus.” Kayla tertawa pelan. “Kamu ini Rey, baru lahir sudah diproyeksikan jadi idola.” Rani maju, matanya terlihat sangat berbinar. “Bolehkah aku lihat lebih dekat?” Arvino mengangguk dan mengizinkan. Rani menatap bayi kecil itu dengan perasaan campur aduk antar
“Selamat, Tuan Reyhan.” Dokter memutar layar USG ke arahnya. “Ini adalah kantung kehamilan. Usianya sekitar enam minggu.” Reyhan terdiam, dan dokter tersenyum lebih lebar. “Sekali lagi selamat, Anda akan menjadi seorang ayah.” Deg ... Reyhan langsung menutup mulutnya dengan tangan. “Alhamdulillah …!” ujarnya spontan, matanya berkaca-kaca. “Alhamdulillah, akhirnya tidak sia-sia!” Dokter mengerutkan dahi. “Maaf … tidak sia-sia apa ya?” Reyhan tersadar. “Ah! Maksud saya … tidak sia-sia kami selalu berdoa, Dok. Tuhan mengabulkan doa kami …” Reyhan mengusap wajahnya, merasa malu sekaligus bahagia. Dokter tertawa kecil. “Ah, baiklah. Jadi, bolehkah saya panggilkan istri Anda? Dia perlu tahu juga, bukan?” Reyhan cepat mengangkat tangan. “Jangan! Maksud saya … biar saya yang memberitahu. Saya ingin melihat ekspresinya.” “Baiklah,” jawab dokter. Reyhan kembali masuk ke ruangan, berusaha terlihat tenang. Padahal wajahnya bersinar seperti lampu jalan. Rani mencibir bingung.
Sementara itu di jakarta, ruang bersalin malam itu dipenuhi dengan cahaya putih yang terang. Di luar, hujan rintik-rintik turun seolah ikut merasakan ketegangan suasana. Kayla terbaring di ranjang persalinan, wajahnya tampak pucat, napasnya terengah-engah, dan tangannya menggenggam erat tangan Bu Yuliana. Bu Yuliana berdiri di samping kepala Kayla, mengusap rambut menantunya dengan penuh kasih sayang. “Sayang, tarik napas pelan-pelan … buang perlahan, kamu harus kuat, Nak,” ucapnya dengan suara bergetar. Kayla berusaha tersenyum meskipun merasakan sakit. “Ibu sakit sekali …” katanya sambil terisak, air mata mengalir di pipinya. “Aku tahu, Nak … Ibu di sini, Ibu tidak akan meninggalkanmu.” Bu Yuliana mengecup kening Kayla, suaranya pecah. Para perawat terus mempersiapkan alat, sementara dokter mengamati monitor. “Kontraksinya semakin kuat. Kita sudah dekat, Bu. Mohon bantuannya untuk terus menenangkan pasien.” Bu Yuliana mengangguk cepat. “Iya, Dok …” “BU … sakit! Sakit, Bu
Dua bulan kemudian, pada pagi hari, Kayla duduk di sofa sambil mengusap perutnya. Tiba-tiba wajahnya menjadi tegang sangat tegang. “A-akh …” Tangan Kayla mencengkeram sandaran sofa dengan kuat. Arvino yang baru keluar dari kamar sambil membawa sarapan langsung panik melihat wajah istrinya yang pucat. “Sayang, Kamu Kenapa?!” Kayla menunduk sambil terengah-engah. “Vin … perutku sakit … ini sangat sakit.” Arvino segera menjatuhkan nampan sarapan karena panik. “Kayla! Oke-oke, sebentar! Napas, sayang, napas!” Kayla menggeleng keras. “Aku … aku tidak bisa bernapas, Vin, sakitnya datang dan pergi tapi lebih kuat dan lebih sakit dari sebelumnya ...” Arvino langsung memeluk bahunya, hampir gemetar. “Itu kontraksi yang nyata, Kay! Kita harus ke rumah sakit!” Kayla hampir menangis. “Vin, aku takut … aku sangat takut.” Arvino meletakkan dahinya di dahi Kayla. “Aku di sini. Kamu tidak akan sendirian. Aku janji, aku juga akan telepon ibu.” “Kumohon jangan tinggalkan aku







