Langit-langit kamar adalah satu-satunya objek yang tengah Merza pandangi saat ini. Dia cukup gelisah dengan perkataan Regan sore tadi. Memintanya untuk jangan menjauh, padahal sikapnya sendiri saja sudah tak mengenakkan.
Sejujurnya Merza tidak ingin pindah ke kampus lain, dia sudah nyaman dengan kampusnya yang sekarang. Namun jika tidak begitu, dia tidak akan bisa melupakan Regan. Dan itu akan melukai hatinya sendiri.
Merza mendengus kasar, dia bangkit dari kasurnya lalu beringsut turun untuk mengambil sesuatu di bawah nakas.
Ada satu kotak berukuran sedang yang didalamnya terdapat satu bingkai foto Regan dan juga dirinya. Tetapi, itu bukanlah foto sepasang kekasih yang saling melempar senyum, melainkan foto Merza yang tengah bersandar di pundak Regan sembari tersenyum m
"Kamu di mana?"Melva melihat sekelilingnya, namundiatidak bisa melihat apapun, karena tidak ada penerang di ruangan ini."Aku..aku nggak tau ada di mana, tapi..tapi tadi aku sempet liat banyak mobil rongsokan di depan, terus..terus di sini,"Melva bersuara pelan, kedua tangannya gemetar mengenggam ponsel, dia was-was jika nanti orang itu datang lagi."Di sini--,"Brak!Pintu kayu yang berada di hadapan Melva terbuka lebar karena ditendang oleh seseorang. Melva tidak dapat melihat wajahnya karena orang itu mengenakan topeng.
Perkataan Arlen beberapa detik yang lalu berhasil membuat Merza tertegun. Dia bingung harus menjawab apa karena memang pertanyaan seperti ini tak pernah dia pikir sebelumnya.Bagaimana mungkin Arlen masih menyukainya? Mereka putus sudah beberapa tahun yang lalu.Melihat Merza diam tanpa berkata apapun, itu sudah menjadi jawaban yang cukup jelas bagi Arlen. Jika benar, diantara mereka hanya perasaan Arlen saja yang masih sama.Ini memang kesalahannya, andai dia tidak mabuk pada malam itu, mungkin hubungan mereka masih bertahan sampai sekarang."Lupain pertanyaan gue tadi. Nggak perlu lo jawab," kata Arlen, mengalihkan perhatian Merza yang semula melihat ke arah lain.
Regan memarkirkan motornya di garasi rumah, pertanda jika malam ini dia tidak akan mengeluarkan kendaraan roda dua itu lagi. Dan setelahnya melangkahkan kaki menyusuri ruang tamu, namun saat hendak menginjak anak tangga, langkahnya mendadak terhenti.Dia mendesah frustrasi, pikiran dan perasaannya tengah berkecamuk saat ini. Sebenarnya dia tahu jika Merza bodoh, cewek itu gegabah, dia suka melakukan sesuatu tanpa berpikir panjang terlebih dahulu. Dan kemarin, sudah tahu jika sendirian di rumah dia bahkan lupa mengunci pintu.Namun kini dia mencoba untuk tidak peduli, seharusnya memang dari awal seperti ini. Dia tidak usah mengenal Merza lebih dalam, dan tak perlu membantunya untuk terlepas dari Arlen yang waktu itu terus menganggunya.Dan jika itu dia lakukan, dia mungki
Langit-langit kamar adalah satu-satunya objek yang tengah Merza pandangi saat ini. Dia cukup gelisah dengan perkataan Regan sore tadi. Memintanya untuk jangan menjauh, padahal sikapnya sendiri saja sudah tak mengenakkan.Sejujurnya Merza tidak ingin pindah ke kampus lain, dia sudah nyaman dengan kampusnya yang sekarang. Namun jika tidak begitu, dia tidak akan bisa melupakan Regan. Dan itu akan melukai hatinya sendiri.Merza mendengus kasar, dia bangkit dari kasurnya lalu beringsut turun untuk mengambil sesuatu di bawah nakas.Ada satu kotak berukuran sedang yang didalamnya terdapat satu bingkai foto Regan dan juga dirinya. Tetapi, itu bukanlah foto sepasang kekasih yang saling melempar senyum, melainkan foto Merza yang tengah bersandar di pundak Regan sembari tersenyum m
Sudah lama dia terdiam memikirkan banyak hal yang baginya itu mustahil. Terutama sekali tentang kejadian tadi malam, di mana ada telepon misterius dan suara teriakan orang minta tolong, bagi Merza suara itu tidak asing. Seperti suara Melva, namun, bagaimana bisa?Jika Merza ingat-ingat lagi, suara itu terdengar seperti rekaman, lalu apakah orang yang meneleponnya kemarin itu orang iseng? Yang ingin menakut-nakutinya?Atau mungkin, menjebaknya?Dan atau mungkin lagi, Melva meninggal bukan karena kecelakaan?Ah, itu lebih tidak mungkin lagi. Jelas-jelas dia melihat sendiri Melva tewas di dalam mobilnya yang menabrak pohon besar di pinggir jalan.Merza mengusap dahinya, bukan karena telepon misterius itu saja yang menganggu pikirannya, melainkan orang yang mengetuk pintu rumahnya kemarin malam.Siapa mereka? Jika orang iseng, itu terlalu berlebihan. Sampai-sampai meninggalkan bercak darah di teras rumah Merza. Untung saja kemarin Regan datang, jika tidak, orang itu bisa saja benar-benar
Selama diperjalanan menuju rumah, tangan kiri Merza selalu menggengam ponsel, sedangkan tangan satunya lagi fokus mengendalikan kemudi mobil. Pesan dari nomor Kakaknya itu berhasil membuat pikirannya berkecamuk.Siapa yang mengirim pesan itu?Tidak mungkin Melva, karena Merza jelas melihat Kakaknya itu dimakamkan. Dan tidak mungkin dia hidup lagi, kan? Haha, itu sangat konyol. Tampaknya Merza terlalu sering menonton horor, jadi wajar jika pikirannya kini mengarah ke sana.Lalu, apakah ini orang iseng yang mencuri ponsel Melva lalu menakut-nakuti Merza melalui pesannya tadi? Itu bisa saja. Tapi, siapa dia?Saat sedang memikirkan itu tiba-tiba saja mobil Merza berhenti, dia mencoba menghidupkan kembali, tapi tidak ber