Apa yang kamu rasakan saat bisa menjadi pacar seorang lelaki yang kamu cintai? Pasti bahagia, bukan? Dan itulah yang Merza rasakan. Awalnya dia begitu bahagia karena bisa berpacaran dengan Regan, dan tak peduli dengan sikap dingin cowok itu padanya. Walau pada kenyataannya, Regan memiliki alasan tersendiri mengapa dia mau berpacaran dengan Merza. Bukan karena mencintainya, melainkan karena seseorang didalam masa lalunya. Orang itu adalah Melva, sosok gadis yang masih Regan cintai hingga kini, sekaligus Kakak kandung Merza sendiri. Yang telah meninggal, karena dibunuh. ---- "Jika aku dan kamu terlalu FANA. Mengapa semesta mempertemukan kita?" - P e r i s h a b l e -
Ver más"Regan!"
"Woi!"
"Elah, kuping lo budeg, ya?!"
"REGANN!"
Teriakan gadis yang kini tengah berada di area parkiran kampus itu mengundang perhatian beberapa mahasiswa yang kebetulan berada di sana.
Merza menekuk wajahnya dengan mata memandang punggung seorang cowok yang berjalan tanpa menoleh ke arahnya itu .
Dia yakin seratus persen jika suara yang dia keluarkan tadi sudah cukup kuat untuk didengar oleh pemilik telinga normal.
Kesal karena diabaikan, dia pun berlari kecil mensejajarkan langkahnya pada cowok tinggi itu.
"Ck, pantesan aja nggak kedengeran," decak Merza kala melihat sepasang earphone yang menempel di telinga Regan.
Tanpa mengatakan apapun Merza langsung mencabut benda itu hingga membuat Regan berhenti melangkah. Dia menoleh ke samping, memperlihatkan wajah Merza yang menatapnya kesal.
"Kenapa muka lo gitu?"
Merza mendengkus keras, "Gue kesel sama lo! Dipanggil dari tadi juga."
Regan mengambil alih earphone-nya yang berada di tangan Merza, lalu memasukkannya ke dalam saku celana.
"Ya sorry, nggak denger."
Merza mencebik, dia berjalan mendahului Regan. Pagi-pagi dia sudah dibuat kesal, Merza begitu mengasihani dirinya sendiri, mengapa bisa menyukai cowok modelan seperti Regan ini.
Ganteng sih ganteng, tapi sayang sikapnya begitu menyebalkan hingga membuat Merza menahan kesal setiap hari.
"Gitu aja ngambek. Gue 'kan udah minta maaf," ucap Regan yang kini berjalan di samping Merza.
Namun gadis itu diam, seolah tidak mendengar.
"Di maafin nggak?"
Merza bergeming. Dia tetap melangkah tanpa menoleh sedikitpun pada Regan. Biarkan saja dia tahu bagaimana rasanya diabaikan.
"Za."
Tapi tunggu, mengapa panggilan itu membuat hati Merza berbunga? Oh tidak, dia tidak boleh goyah.
"Merza."
Sial, kenapa Regan harus bersuara dengan nada seperti itu? Tolong hargai hati Merza, dia tidak kuat jika akhirnya seperti ini.
"Lo beneran marah?"
Merza melipat kedua tangannya di depan dada, dia tetap mengayunkan kaki menuju kelasnya yang terletak di depan sana.
"Yaudah," putus Regan sembari berjalan berbelok, karena mereka berdua tidak berada di fakultas yang sama.
Merza berbalik, lalu membulatkan sedikit mulutnya tak percaya. Dasar cowok tidak peka! Bukannya berusaha untuk meminta maaf dia malah pergi begitu saja.
Lagi-lagi Merza hanya bisa menyabarkan hati. Karena ini bukan pertama kalinya. Namun tetap saja, Merza kan juga ingin memiliki pasangan seperti teman-temannya, yang bisa diajak untuk bercerita, jalan-jalan, foto-foto, bukan malah dicuekin dan bertengkar!
"Oke, sabar. Ini resiko punya pacar yang hatinya kedaluwarsa."
****
Kelas Merza baru saja usai, setelah Dosen mereka keluar dari kelas, saat itu juga Merza menjatuhkan kepalanya ke atas meja. Dia benar-benar tidak bersemangat hari ini, tidak seperti hari- hari biasanya.
"Etdah muka lo masem amat, kantin yuk?" ajak Ghea yang kini berdiri di samping Merza, dia menyengol lengan gadis itu hingga Merza berdecak kesal.
"Lagi males, lo aja deh," katanya lesu.
"Yakin nggak mau ikut? Biasanya lo semangat kalo mau ke kantin, apalagi bakal ketemu doi," ucap Ghea, karena dia sudah tahu betul bagaimana Merza jika sudah bertemu Regan.
Memang gadis itu tidak terlalu memperlihatkannya di depan cowok itu, namun Merza selalu bercerita dengannya, tentang bahagianya dia bisa berada di samping Regan.
"Buat hari ini nggak, gue males ketemu dia."
Ghea menghela napas panjang. Dia menarik satu kursi yang berada di dekatnya lalu duduk disamping Merza.
"Kenapa lagi dia?"
Merza menarik napas pelan, dia menegakkan tubuhnya. "Lo punya pacar, kan Ghe? Gimana dia sama lo?"
Gadis berambut sebahu itu lantas berpikir, "Baik, perhatian, romantis juga. Kita udah pacaran sejak SMA, jadi ya udah saling percaya aja," jawaban Ghea membuat Merza iri. Dia juga ingin memiliki pasangan seperti itu.
Mengapa dalam hal percintaan Merza selalu tersakiti?
"Enak ya, semoga lo berdua langgeng," balas Merza, wajahnya terlihat begitu lesu hingga Ghea ingin tertawa melihatnya. Namun dia tahan, takut Merza akan kesal.
"Amin. Yaudah, mau ke kantin nggak nih?"
Merza bergerak dari tempatnya, dia berdiri lalu melangkah keluar kelas bersama Ghea.
Semoga saja dia tidak bertemu Regan, karena kalau iya, bisa-bisa dia tidak akan berselera makan. Dia sedang marah dengan cowok itu, jadi untuk hari ini dia berharap untuk tidak bertemu Regan.
"Permisi," suara asing itu menghentikan langkah Merza dan Ghea yang sedang berjalan di koridor kampus.
"Ya, Pak?" Merza membalas karena Bapak yang tidak Merza kenal itu melihat ke arahnya.
"Ini, ada titipan dari seseorang," ucap Bapak kurir itu seraya memberikan sebuket bunga pada Merza.
Gadis itu menerimanya dengan wajah bingung, dia ingin menanyakan siapa orang itu, namun Bapak kurir tadi sudah pergi.
"Lo ada mesen bunga?" tanya Ghea, dan mendapat gelengan dari Merza.
Gadis itu melihat ada sebuah note berwarna pink yang terdapat di dalam buket itu, dia lantas meraihnya lalu membaca tulisan di sana.
Maaf
Bibir Merza berkedut ingin tersenyum lebar. Satu kata yang tertulis di sana sudah menjawab siapa yang memberikannya bunga.
Melihat perubahan mimik wajah temannya itu Ghea pun sudah bisa menebak bunga itu dari siapa.
"Dih apaan coba, dia pikir gue seneng gitu?" ucap Merza, dia ingin tetap kesal, namun mengapa pipinya memanas?
"Halah basi! Nggak seneng tapi lo senyam-senyum," ledek Ghea sembari menggelengkan kepalanya.
Merza menarik sudut bibirnya melihat bunga itu, dia mengedarkan pandangan, mencari keberadaan seseorang, tapi tampaknya dia tidak berada di sekitar sini.
"Za, gue pergi duluan ya! Males jadi obat nyamuk!" pamit Ghea lalu pergi dari sana. Merza menatap kepergiannya dengan sebelah alis terangkat. Jadi nyamuk bagaimana? Jelas-jelas tidak ada Regan di sini.
Namun detik berikutnya, Merza merasakan ada tangan yang mengusap rambutnya, dia sontak menoleh ke samping, ada Regan yang tersenyum kecil padanya.
"Gimana? Dimaafin nggak?"
Merza berdecih pelan, dia mengalihkan wajah, anggap saja dia masih kesal agar Regan tahu bahwa dia bisa benar-benar marah.
"Nggak! Gue masih kesel sama lo!"
"Yakin? Yaudah siniin bunganya, gue kasih ke cewek lain aja," Regan membalas, membuat Merza refleks memeluk bunga itu.
"Ya jangan!"
Regan menarik sudut bibirnya ke atas, tangannya terangkat mengacak rambut gadis itu. "Ayo pulang, biar gue anter.'
Ternyata Merza memang tidak bisa mempertahankan wajah kesalnya lama-lama. Karena bibirnya tak bisa jika tidak tersenyum.
Cowok itu menarik tangan Merza agar berjalan beriringan bersamanya. Perlakuan sederhana ini sudah cukup membuat Merza bahagia.
Nyatanya, dia tidak perlu diperlakukan dengan cara romantis, dengan kata-kata cinta, atau dengan pelukan hangat. Cukup dengan Regan berada di dekatnya, menggenggam tangannya, itu sudah membuatnya merasa dicintai.
"Gan, lo suka sama gue?" Merza bertanya, dan Regan lantas menoleh ke arahnya.
"Nggak papa kok, kalau lo nggak suka sama gue. Gue nggak akan maksa. Tapi gue minta satu, tolong jangan buat gue kecewa."
"Bisa, kan?"
Merza keluar dari kafe tanpa menoleh kebelakang lagi. Jika ditanya apakah dia marah, maka jawabannya adalah iya. Bagaimana tidak? Sudah beberapa kali dia mengirim pesan dan menelepon Regan, namun bukannya membalas dia malah pergi bersama sepupu tirinya itu.Merza tahu sekarang, dia ingat jika perempuan bernama Lyora itu adalah gadis yang pernah dia lihat bersama Regan di Kafe dekat taman satu tahun yang lalu. Waktu itu Merza berpikir jika dia adalah pacar atau teman dekat Regan, tapi ternyata tidak.Namun walaupun dia adalah sepupu tiri, Merza tetap tidak tenang. Bisa saja 'kan, mereka saling suka? Apalagi saat melihat mereka cukup dekat, dan pastinya sudah kenal lama.Gadis berkaus putih yang dilapisi kemeja flanel itu tengah melangkah pelan menuju halte bis di depan sana.Dia tidak tahu apa tujuannya setelah ini. Pulang ke rumah? Percuma saja karena disana dia juga sendiri. Menelpon Ghea dan meminta gadis itu menemaninya? Itu tidak mungkin karena dia sedang pergi ke luar kota.Sedan
Suasana malam di sekitar danau buatan ini terlihat sepi. Padahal biasanya jika di waktu seperti ini tempat yang di hiasi oleh lampu berwarna warni dengan tanaman bunga di sekelilingnya itu terlihat ramai.Di antara beberapa orang yang berada di sana terlihat seorang gadis yang tengah duduk di atas rerumputan. Seorang diri dan sekali mengusap lengannya akibat angin yang terasa menusuk kulit.Tak lama kemudian seorang cowok berpostur tubuh tinggi dengan jaket denim yang melapisi tubuh atlentisnya itu datang sembari membawa dua kaleng minuman, setelah memberikan salah satunya pada Merza, dia duduk di samping gadis itu."Ngapain lo keluar malem-malem?"Merza menoleh ke arah Regan, dia tersenyum, "Nggak ada sih, gue cuma suntuk di rumah mulu," jawabnya yang tidak seperti kenyataan."Suntuk di rumah harus banget duduk di pinggir jalan?" Regan bertanya lagi, ada nada sindiran dalam ucapannya, membuat Merza mendengus kecil."Kenapa kalo gue duduk di pinggir jalan? Gue 'kan cuma duduk, siapa t
"Nomor yang anda tuju, tidak dapat menerima panggilan...,"Merza menurunkan ponselnya, bibirnya berdecak kecil memandang layar persegi panjang itu."Kok nggak diangkat terus, sih?" gumamnya bingung. Langkah itu mulai berjalan dari parkiran menuju ruang kelas. Sejak kemarin malam dia mencoba menelpon dan mengirim pesan pada Regan, namun sampai kini cowok itu tak kunjung menjawabnya."Davin!" seru Merza sembari berlari kecil kala dia tak sengaja melihat Davin yang berjalan tak jauh dari tempatnya.Cowok itu mengangkat sebelah alisnya, "Apaan?""Lo tau nggak Regan di mana?" tanya Merza langsung."Mana gue tau, tanya emaknya gih," jawaban Davin barusan membuat Merza membulatkan sedikit bola matanya, apalagi setelah itu dia pergi begitu saja."Ck, ngeselin amat sih lo! Pantes aja jomlo!"****Seusai kelas pertamanya Merza memilih untuk mendatangi Coffee shop kampus seorang diri karena Ghea berhalangan hadir. Dia hanya memesan satu cup matcha latte dan kini tengah duduk sembari menunggu pes
Dentingan notifikasi yang masuk melalui ponsel yang berada di atas nakas itu membuat gadis yang telah tertidur sekitar satu jam lalu membuka sedikit matanya. Dia meraih benda itu lalu membaca pesan yang masuk.Mom : Za, Mama sama Papa nggak pulang malam ini, masih banyak kerjaan di kantor. Kamu hati-hati ya di rumah. Pintu jangan lupa di kunci.Merza mendengus, sudah biasa dia rumah seorang diri. Tetapi tetap saja, lama kelamaan dia merasa jenggah.Gadis itu meringsut turun dari ranjang, berjalan keluar kamar lalu menuruni anak tangga untuk menuju dapur. Membuka lemari makanan lalu mengeluarkan dua bungkus mi instan dari dalam sana dan langsung memasaknya.Namun baru saja dia menghidupkan kompor, dia teringat akan sesuatu. Bibirnya lantas tertarik ke atas, dia tahu apa yang akan dia lakukan setelah ini. Yaitu mengambil ponselnya dan menelpon seseorang."Halo Regan! Jalan yuk?" seru Merza semangat kala Regan menjawab teleponnya."Gue sibuk. Ngerjain tugas.""Ck, ntaran aja ngerjain tug
"Regan!""Woi!""Elah, kuping lo budeg, ya?!""REGANN!"Teriakan gadis yang kini tengah berada di area parkiran kampus itu mengundang perhatian beberapa mahasiswa yang kebetulan berada di sana.Merza menekuk wajahnya dengan mata memandang punggung seorang cowok yang berjalan tanpa menoleh ke arahnya itu .Dia yakin seratus persen jika suara yang dia keluarkan tadi sudah cukup kuat untuk didengar oleh pemilik telinga normal.Kesal karena diabaikan, dia pun berlari kecil mensejajarkan langkahnya pada cowok tinggi itu."Ck, pantesan aja nggak kedengeran," decak Merza kala melihat sepasang earphone yang menempel di telinga Regan.Tanpa mengatakan apapun Merza langsung mencabut benda itu hingga membuat Regan berhenti melangkah. Dia menoleh ke samping, memperlihatkan wajah Merza yang menatapnya kesal."Kenapa muka lo gitu?"Merza mendengkus keras, "Gue kesel sama lo! Dipanggil dari tadi juga."Regan mengambil alih earphone-nya yang berada di tangan Merza, lalu memasukkannya ke dalam saku ce
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comentarios