Home / Romansa / Perishable / 4. PERASAAN YANG TAK BIASA

Share

4. PERASAAN YANG TAK BIASA

last update Last Updated: 2025-08-08 21:46:41

Merza keluar dari kafe tanpa menoleh kebelakang lagi. Jika ditanya apakah dia marah, maka jawabannya adalah iya. Bagaimana tidak? Sudah beberapa kali dia mengirim pesan dan menelepon Regan, namun bukannya membalas dia malah pergi bersama sepupu tirinya itu.

Merza tahu sekarang, dia ingat jika perempuan bernama Lyora itu adalah gadis yang pernah dia lihat bersama Regan di Kafe dekat taman satu tahun yang lalu. Waktu itu Merza berpikir jika dia adalah pacar atau teman dekat Regan, tapi ternyata tidak.

Namun walaupun dia adalah sepupu tiri, Merza tetap tidak tenang. Bisa saja 'kan, mereka saling suka? Apalagi saat melihat mereka cukup dekat, dan pastinya sudah kenal lama.

Gadis berkaus putih yang dilapisi kemeja flanel itu tengah melangkah pelan menuju halte bis di depan sana.

Dia tidak tahu apa tujuannya setelah ini. Pulang ke rumah? Percuma saja karena disana dia juga sendiri. Menelpon Ghea dan meminta gadis itu menemaninya? Itu tidak mungkin karena dia sedang pergi ke luar kota.

Sedangkan dibelakang, tepatnya di depan Moon Coffee. Seorang cowok yang duduk di atas motor hitam itu sudah mengikuti pergerakkan Merza dari dia bertemu Regan dan Lyora di dalam kafe sampai dia berjalan tanpa tujuan seperti itu.

Arlen tidak tahu mengapa sampai sekarang gadis itu belum berubah. Masih saja bodoh. Katanya dia mencintai Regan, tapi mengapa dia diam saja saat Regan berduaan dengan gadis lain?

Dia beralih melepas helmnya, lalu turun dari motor dan berjalan mengikuti langkah Merza dari belakang. Lihat, dia bahkan tidak sadar jika ada seseorang yang mengikutinya. Bagaimana jika dia ingin berniat jahat, apa Merza tetap tidak menyadari?

Gadis itu tiba-tiba menghentikan langkah. Dia terlihat menundukkan kepala dan mengusap pipinya.

Nangis?

Arlen tetap berada selangkah di belakang Merza, melihat pergerakkan gadis itu yang masih menundukkan kepalanya. Terlihat menyedihkan sekaligus bodoh.

Seharusnya Arlen tidak ingin menampakkan wajah, namun melihat sebuah kendaraan roda dua yang melaju kencang di belakangnya, dia pun terpaksa menarik tangan Merza agar gadis itu sedikit menjauh dari pinggiran jalan.

Seperti dugaannya tadi, Merza diam dan menantapnya bingung.

"Lo, lo ngikutin gue ya?" terka Merza langsung sembari mengikis jarak.

"Gue nggak kayak lo yang kurang kerjaan. Pulang sana, lo udah kayak orang yang punya tujuan hidup," jawaban Arlen itu membuat Merza menekuk wajahnya. Yah, walaupun ada benarnya juga karena dia tidak punya tujuan.

Arlen sudah ingin berbalik untuk kembali ke motornya, namun tangan Merza lebih dulu menarik ujung kaus yang dia kenakan.

"Hmm... Lo mau kemana?" Merza bertanya, dengan nada sok akrab. Sedikit aneh karena dulu dia takut pada Arlen, namun kini mengapa rasa takut itu hilang begitu saja?

"Tujuan gue bukan urusan lo."

Merza mencebik, dia beralih mengangkat wajah menatap awan yang mulai menggelap. Lalu kemudian kembali melihat Arlen.

"Ck, cuma nanya doang. Mau ujan nih, boleh nebeng nggak?" ucap Merza dengan sedikit senyuman simpul agar cowok itu mengiyakan.

"Kenapa nggak minta cowok lo aja? Luka di muka gue belum sembuh, gue males ada luka baru."

Mengingat Regan membuat Merza bertambah malas. Matanya melirik ke arah Moon Coffee, lalu kemudian berdecih sinis.

"Jadi lo beneran nggak mau nih, nganterin gue pulang? Yaudah deh gue pulang sendiri aja," kata Merza disertai nada merajuk. Tidak Regan, Arlen pun juga ikut menyebalkan. Mengapa cowok-cowok seperti itu?

Arlen menghela napas pelan, dia menyetop taksi yang kebetulan melintas. Lalu membukakan pintu penumpang.

"Masuk."

"Gue?"

"Mau lo siapa lagi?" balas Arlen ketus.

Merza tersenyum lebar, "Hehe makasih yaa, btw boleh minjem duit nggak? Soalnya uang gue nggak cukup," Merza bertanya sembari memperlihatkan cenggirannya. Ada alasan mengapa dia meminta Arlen untuk mengantarnya pulang, karena uang di sakunya tidak cukup untuk membayar taksi.

Arlen menatapnya malas, menyesal mengapa menghampiri cewek ini dan menyebabkan uangnya berkurang. Dia merogoh saku celananya lalu memberikan selembar uang berwarna merah pada Merza, dan saat itu pula tangan gadis itu mendarat untuk mengacak rambutnya.

"Hehe makasih Arlen!" serunya lalu masuk ke dalam taksi.

Arlen diam menatap taksi itu yang perlahan mulai menjauh. Kepingan kenangan lama perlahan hadir dalam memorinya. Tindakkan itu, tindakkan dimana dulu Merza sering mengacak rambutnya jika dia merasa senang, dan senyuman manis yang menghiasi wajahnya, membuatnya diam dan menyesali satu hal.

Bahwa ternyata perasaan itu masih ada.

****

Malam harinya Merza memaksakan diri untuk mengerjakan tugas kuliah yang sudah bertumpuk-tumpuk. Namun ternyata itu hanya bertahan sepuluh menit karena kasur empuk yang dilapisi sprei mickey mouse itu lebih menggoda daripada  buku-buku tebalnya.

Dia menatap langit-langit kamar, lalu kemudian memiringkan tubuh untuk meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas.

"Sepi banget hp gue. Punya pacar tapi rasa jomlo. Sebenernya gue ini punya pacar nggak sih?" monolognya sembari menatap angka notif di salah satu aplikasi chating yang dia punya. Hanya ada beberapa notif, dan itupun berasal dari grup kelas.

Jari lentiknya beralih men-scroll layar hingga tiba di room chat-nya bersama Regan. Melihat bacaan online, dia pun dengan segera menelpon cowok itu.

Deringan pertama, tak ada jawaban.

Deringan kedua juga begitu.

Merza berdeca kesal, dia mengirim spam chat pada Regan.

Regina

Woy Regan! Kuping lo budek apa hp lo kentank?! gue nelpon kaga lo angkattt

Gue lagi marah ya sama lo

Udah tadi telpon gue nggak diangkat, sekarang jugaa?

Lo lagi ngapain sih?!

Gue marah beneran ya ini

Dih, awas lo yaaa!!!

Merza meletak kasar benda pipih itu di sampingnya. Dia mengeram kesal, bisa-bisanya Regan hanya membaca tanpa mambalas pesannya. Lihat saja nanti, jika mereka bertemu dia tidak akan mau berbicara dengan Regan. Dia akan diam sampai berminggu-minggu bahkan bulan ataupun tahun. Biarpun cowok itu meminta maaf atau memberinya bunga lagi, dia tetap akan diam. Agar dia tahu betapa marahnya Merza saat ini.

Ponsel yang bergetar Merza ambil cepat lalu mengeser tombol hijau tanpa melihat nama si penelepon.

"Apa?! Lo siapa?! Gue lagi kesel ini! Jadi jangan nelpon-nelpon! Paham lo?!"

Ada jeda beberapa detik hingga membuat Merza menjauhkan benda pipih itu dari telinga.

"Iya paham."

Sontak saja matanya membulat kala mendengar suara itu, dia spontan duduk lalu melihat nama id caller si penelepon.

"Regan? Lo--," Merza mengatupkan bibirnya saat dia sadar nada suaranya terdengar gembira. Dasar, mengapa tubuhnya masih belum bisa diajak berkerja sama?

"Gue di bawah, cepet turun."

"Ha? Ngapain? Males ah, gue lagi mager buat ketemu sama lo. Mending lo pulang aja deh!"

"Yaudah."

"Eh, beneran pulang?"

"Lo yang minta, kan?"

"Ish, dasar! Nggak peka banget sih lo jadi cowok!"

"Lo mau apa? Tinggal buka pintu. Gue tunggu," ucap Regan lalu mengakhiri panggilan.

"Cih, udah gue bilang nggak mau ketemu," Merza berdecak, namun sedetik kemudian dia tersenyum lebar seraya melompat dari tempat tidur dan langsung turun ke bawah.

Setelah sampai di depan pintu utama, dia lantas membukanya dan tampaklah Regan yang tengah bersandar di dinding sembari menatap ponsel.

"Ngapain lo ke sini?" tanya Merza dengan suara yang tak bersahabat.

Regan memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. "Mau ketemu lo."

"Buat apa? Tumben banget, biasanya kan lo pura-pura sibuk!"

Regan melangkah mendekat dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku jaketnya, lalu kembali menyandarkan sebelah bahu di dinding.

"Jadi lo nggak suka gue dateng? Mau gue pulang?"

Merza mengedipkan matanya berkali-kali, dia mengalihkan wajah, melihat Regan dengan jarak yang bisa dibilang dekat itu membuat jantungnya semakin bermasalah.

"Ya kalau lo mau pulang ya pulang aja, nggak ada yang ngelarang."

"Bener?"

"Iyalah."

"Liat gue kalo gitu. Ngapain lo ngeliat patung? Lebih ganteng itu daripada gue?"

Merza yang memang tengah menatap patung air mancur di halaman rumahnya menjadi beralih melihat Regan.

"Walaupun dia nggak ganteng, tapi dia nggak pernah bikin gue kesel!"

Regan mengangguk. "Kenapa nggak pacaran sama patung aja?"

Kepalan tangan Merza kini sudah terbentuk sempurna, wajahnya memerah dan pastinya bukan karena salah tingkah.

"Lo tuh ya! Tujuan lo ke sini emang mau bikin gue tambah kesel?!"

"Nggak, karena kangen."

Perempuan yang mengenakan kaus pink itu menahan bibirnya agar tidak tersenyum. Dasar Regan, mengapa selalu mengubah-ubah perasaanya? Merza kan jadi tidak marah beneran.

"Ganti baju gih, gue tunggu."

"Mau ngapain emang?"

"Mau jalan."

"Lo bisa jalan sama Lyora, nggak usah sama gue. Kayak tadi, berduaan di kafe!" balas Merza ketus dengan penekanan diakhir kalimat.

Regan tersenyum tipis menanggapi, tangan kanannya terangkat mengusap puncak kepala gadis itu.

"Nggak usah cemburu. Pacar gue cuma satu."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perishable   49. MALAM SEUSAI HUJAN

    "Happy birthday!" seru Ghea dengan tawa gembira kala seorang lelaki yang ia tunggu datang tergesa-gesa dengan wajah khawatir.Aland menghela napas kasar, dia mengacak asal rambutnya yang basah karena keringatnya sendiri. Sedangkan di depannya Ghea masih saja tersenyum seraya berjalan mendekat bersama kue dengan lilin yang menyala di atasnya."Ghe.., nggak lucu," ucap Aland sedikit kesal. Dia hampir menabrak orang dijalan akibat memacu motor dengan kecepatan tinggi karena Ghea mengatakan jika ada lelaki yang mengikutinya sejak tadi. Alhasil, Aland bergegas datang ke rooftop sekolah Ghea. Tapi ternyata semua hanya skenario yang Ghea buat sendiri karena ini adalah hari ulang tahunnya.Gadis dengan t-shirt putih dan rok cokelat selutut itu lant

  • Perishable   48. MELEWATI BATAS

    Arlen mengusap wajahnya mengingat percakapan itu. Tanpa dia minta pun, Arlen akan tetap menjaga Merza, walau itu dari kejauhan. Tapi percayalah, Arlen ikut bahagia melihat betapa senangnya Merza kala berada di dekat Regan.Namun sayang, dikemudian hari lelaki itu akan menyakitinya."Ini udah malem, bahaya kalau lo pulang sendiri. Lagian jam segini taksi juga jarang lewat," ucap Arlen menjawab perkataan Merza tadi.Merza memalingkan wajah ke samping, menatap lampu jalanan dari dinding kaca disampingnya. Benar juga, bisa-bisa dia akan bertemu om-om genit jika berdiri lama dipinggir jalan."Yaudah, deh. Tapi gue nggak ngerepotin lo, kan?"Arlen menggeleng.

  • Perishable   47. PESAN UNTUK MENJAGA

    Pukul 00.15 WIBEntah apa yang berada di pikirannya hingga memilih untuk membawa gadis yang benar-benar ingin dia hindari itu ke Apartemen. Biasanya Gio tidak peduli dengan siapapun, bahkan harus meninggalkan seorang wanita di tempat seperti itu pun dia tak peduli.Tapi kini mengapa berbanding terbalik?Bahkan kini Gio mengambil makanan kesukaannya untuk dia berikan pada gadis itu, seperti roti, susu strawberry dan juga minuman penghilang pengar yang sering ia konsumsi jika minum terlalu banyak.Setelah meletakan makanan itu di atas sofa, dan menempelkan note kecil di sana, dia pun beralih mendekati Grace yang masih tertidur lalu menarik selimutnya untuk menutupi tubuh gadis itu hingga sebatas dada.

  • Perishable   46. MAAF DAN TERIMA KASIH

    Seusai sarapan pagi, Regan tetap berada di restoran hotel menunggu Davin yang beberapa menit lalu masih terlelap. Dia mendengus pelan, padahal semalam Regan sudah mengatakan jika mereka akan pergi pukul 9. Namun nyatanya perkataannya itu tak diindahkan.Kamar mereka berbeda, karena Regan tidak ingin tidur dengan suara dengkuran Davin yang amat menganggu. Maka dari itu dia tidak tahu jika nyatanya Davin belum bangun juga.Regan kembali mengirim pesan ke nomor Davin, dan tak lama kemudian cowok itu membalas jika dia akan turun menuju restoran. Setelah membaca pesan itu, jari Regan beralih membukaroom chat-nya bersama Merza. Awalnya dia ingin mengirim pesan saja, namun yang terjadi dia malah menelepon gadis itu.Namun sudah beberapa detik berlalu, tak ada tan

  • Perishable   45. MENIT TERAKHIR

    Suara bising yang berasal daridance floor, asap vape dan rokok yang bergumpal menjadi satu diudara, sudah cukup menjelaskan tempat dimana gadis itu berada.Tangannya meraih sebotolwine, lalu menuangkannya ke dalam gelas kecil dan menenggaknya hingga habis. Tidak tahu sudah gelas ke berapa, Grace tidak peduli. Pikirannya berkecamuk memikirkan tentang seorang lelaki bernama Daniel Liodan A, itu.Siapa dia sebenarnya? Mengapa identitasnya tidak bisa ditemukan?Grace sudah berusaha mencari tahu, dia bahkan meminta orang kepercayaan di keluarganya untuk menyelidiki kasus tersebut, tapi tetap saja, hasilnya nihil.Semua informasi mengenai dirinya tidak dapat ditemukan. Seolah dia hidup dengan

  • Perishable   44. DATANG ATAU MATI?

    Ruangan kotor dan cahaya lampu yang redup adalah hal pertama kali yang Viola lihat serta ia membuka mata. Merasa aneh dengan kedua tangannya, gadis itu pun mencoba menggerakkan tangannya yang terikat, ia meronta-ronta dan berteriak minta tolong. Namun tak ada suara yang terdengar kecuali suara serangga dimalam hari.Dia seolah berada dirumah yang terletak ditengah hutan.Viola mulai mengingat kejadian terakhir sebelum dia berakhir ditempat ini. Dalam ingatannya dia pergi ke taman belakang kampus karena Andien memintanya ke sana, namun nyatanya Andien tidak mengatakan itu. Lalu tak lama kemudian seseorang memukul kepalanya dari arah belakang hingga dia terjatuh dan tak sadarkan diri.Viola menghela napas panjang, peluh mulai membasahi dahinya. Tubuhnya terasa lemas tak be

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status