LOGINSuasana malam di sekitar danau buatan ini terlihat sepi. Padahal biasanya jika di waktu seperti ini tempat yang di hiasi oleh lampu berwarna warni dengan tanaman bunga di sekelilingnya itu terlihat ramai.
Di antara beberapa orang yang berada di sana terlihat seorang gadis yang tengah duduk di atas rerumputan. Seorang diri dan sekali mengusap lengannya akibat angin yang terasa menusuk kulit.
Tak lama kemudian seorang cowok berpostur tubuh tinggi dengan jaket denim yang melapisi tubuh atlentisnya itu datang sembari membawa dua kaleng minuman, setelah memberikan salah satunya pada Merza, dia duduk di samping gadis itu.
"Ngapain lo keluar malem-malem?"
Merza menoleh ke arah Regan, dia tersenyum, "Nggak ada sih, gue cuma suntuk di rumah mulu," jawabnya yang tidak seperti kenyataan.
"Suntuk di rumah harus banget duduk di pinggir jalan?" Regan bertanya lagi, ada nada sindiran dalam ucapannya, membuat Merza mendengus kecil.
"Kenapa kalo gue duduk di pinggir jalan? Gue 'kan cuma duduk, siapa tau aja ada cogan yang nyantol sama gue," balas Merza dengan sedikit menyombongkan diri diakhir kalimat.
"Coba aja besok. Kalo ada berarti matanya katarak."
Merza melebarkan matanya dan menoleh ke arah Regan. Dia menatap cowok itu kesal.
"Maksud lo gue jelek, gitu?"
"Lo ngerasa? Yaudah."
Wajah Merza semakin memerah, dia mengalihkan pandangan dan melipat kedua tangan di depan dada. Dia sudah kesal dengan kejadian tadi, dan ditambah lagi dengan ini.
"Marah?" Regan memiringkan sedikit kepalanya, melihat wajah Merza yang masam. Lalu detik berikutnya cowok itu terkekeh pelan, lucu melihatnya.
"Iya, gue marah! Kenapa? Nggak suka?" balas Merza ketus tanpa melihat Regan. Tadinya dia berpikir jika kehadirannya dapat membuat perasaan Merza sedikit tenang, tetapi ini malah sebaliknya.
"Kalo ngomong itu liat orangnya."
"Males! Lo ngeselin! Nyesel gue kenapa mau lo ajak ke sini!"
Regan tersenyum tipis, "Nyesel? Nggak percaya gue."
"Serah lo," tukas Merza dengan tetap mempertahankan posisinya tadi.
"Liat gue sini."
"Ogah."
"Liat dulu."
Merza mendengus keras, dengan terpaksa dia menoleh ke arah Regan yang juga tengah menatapnya. Terhitung sudah beberapa detik, tetapi cowok itu belum mengeluarkan suara selain tetap memandangi wajah Merza.
"Apa?"
"Lo cantik."
Raut kesalnya perlahan pudar berganti dengan rona merah di pipi mulusnya. Merza tidak ingin tersenyum karena dia ingin tetap terlihat kesal, tapi ternyata tubuhnya sangat sulit di ajak kerja sama.
"Cih, gue tau kali!"
Regan hanya tersenyum sekilas. Ada perasaan bersalah yang kian hadir didalam hatinya. Jika dia melihat wajah itu.
"Lo nggak papa?"
Alis Merza saling tertaut, dia terdiam sejenak. Kalau ada yang bertanya seperti itu, jawabannya jelas jika dia kenapa-napa. Mengetahui fakta bahwa sosok Ayah yang dia pikir adalah Ayah kandungnya, ternyata bukan.
"Tumben lo nanya gitu? Udah mulai suka sama gue?" Merza membalas dengan maksud candaan. Karena tidak mungkin jika hanya bertanya hal seperti itu, berarti Regan menyukainya. Itu tidak mungkin.
"Gue cuma nanya."
Merza tersenyum kecut, "Lo mau dengerin cerita gue nggak?"
Regan yang semula menatap kedepan perlahan memutar kepalanya. "Apa?"
Gadis itu mengubah posisi kakinya menjadi tertekuk. Dia melihat objek di depannya dengan pandangan kosong. Seolah sedang memikirkan sesuatu.
"Banyak orang yang bilang, kalau hidup gue sempurna. Gue hidup di keluarga kaya. Tapi mereka nggak pernah tau apa yang terjadi," Merza mengulas senyum pahit, membuka luka lamanya.
"Semenjak Kakak gue meninggal, keluarga gue mulai berubah. Mama lebih sibuk di butik, sedangkan Papa sibuk sama perusahaan. Sampe nggak punya waktu buat gue," dia menunduk sesaat, rasanya sulit sekali menceritakan hal ini. Tetapi entah mengapa, mengatakannya pada Regan membuat perasaannya sedikit lebih tenang.
Matanya beralih menatap cowok itu hingga pandangan mereka bertemu, "Gue selalu kesepian. Jadi lo mau, kan? Dengerin cerita gue terus, dan selalu ada di samping gue?"
Regan bungkam. Rahangnya mengeras namun dia harus bisa menetralkan perasaan. Bukannya dia benci pada Merza, tidak. Dia malah benci pada dirinya sendiri. Karena tidak mampu, dan terlalu pengecut.
"Lo nggak mau kalau suatu saat nanti bakal gue kecewain, kan?"
Merza diam. Menunggu apa yang di katakan cowok itu selanjutnya.
"Jadi jangan berharap apapun dari gue. Gue takut lo kecewa."
****
Pagi ini Merza bolos kuliah. Seperti biasa, hanya seorang diri berada di rumah besar itu. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain diam menatap langit-langit kamarnya. .
Mama dan Papanya juga sudah pergi setelah tadi berusaha membujuk Merza agar mau membuka pintu kamar. Tetapi dia tetap bersikeras. Untuk saat ini, dia tidak ingin bertemu kedua orangtuanya dulu.
Ada banyak hal yang menempel di pikiran Merza, dan salah satunya adalah ucapan Regan kemarin malam.
Merza yakin, dia tidak akan kecewa pada Regan. Dia sangat percaya pada cowok itu walaupun sikapnya tidak menjamin. Dia yakin, Regan tidak mungkin mengecewakannya.
Merza tidak berharap lebih. Dia hanya ingin Regan ada dan menemaninya. Agar dia tidak merasa kesepian lagi. Hanya itu. Apakah sulit? Merza tidak meminta Regan untuk membalas perasaannya karena dia sendiri yakin, jika itu terlalu mustahil.
Dia mengubah posisi menjadi duduk dan bersandar di kepala ranjang. Meraih ponselnya dan membuka aplikasi chatting. Tangannya bergerak mencari room chat-nya bersama Regan, lalu mengetikkan pesan ke nomor cowok itu.
Regina
Regannnn
Lo sibuk yaa?
Kalo nggak sibuk temenin gue yukk?
Lagi pengen beli makanan, gue laper:(
Setelah mengirim pesan itu Merza terus memandangi layar ponselnya walaupun sudah lima menit tak kunjung ada balasan.
"Lagi kuliah mungkin ya?" bibirnya menggumam.
Merasakan jika perutnya sudah tak bisa lagi diajak kompromi, Merza pun memilih untuk pergi sendiri saja membeli makanan.
****
Moon Coffee adalah tujuannya karena cita rasa makanan di tempat ini sangat cocok dengan lidahnya. Dia naik ke lantai dua dan duduk di sudut, persis disamping dinding kaca.
Melihat suasana Kafe ini membuatnya menjadi teringat akan seseorang. Seseorang yang dulunya bersedia ada jika dia tengah kesepian. Bersedia mendengar ceritanya walaupun itu sangat membosankan.
Namun kini mereka terpaksa berpisah, demi melanjutkan pendidikan masing-masing.
Tangannya terulur meraih benda pipih yang tergeletak di atas meja, melirik jam sekilas lalu menelepon seseorang.
"Halo?"
"Halo Bella! Hiks! gue rindu lo tau!"
"Lo tau nggak sih kalo gue kesepian karna nggak punya temen modelan kayak lo?"
Di negera yang berbeda Bella terkekeh pelan. Sudah beberapa tahun berlalu, dan ternyata sahabatnya ini masih belum berubah.
"Gue juga kangen sama lo. Kabar lo gimana?"
"Yaa gitu deh. Gue baik, kok. Lo sendiri gimana? Ah, nggak usah gue tanya lagi deh. Di sana kan udah ada Arkan, pasti happy, lah!" jawab Merza dengan decakkan diakhir kalimat. Namun hal itu juga membuatnya tertawa. Mengetahui jika gadis yang menemani masa akhir SMA nya itu sudah bahagia dengan kehidupannya sekarang.
"Iya, gue happy. Lo juga gitu dong, jangan kesel terus sama Regan."
Mimik wajah Merza berubah murung. Dia menompang dagu dengan sebelah tangan.
"Gimana nggak kesel, gue kirim pesan dari tadi nggak dibales-bales!" cibirnya.
"Mungkin aja dia lagi sibuk."
"Hmm ya mungkin aja. Btw lo lagi ngapain, Bell?"
"Gue lagi di rumah nih, nunggu Arkan jemput."
"Ck, orang tunangan mah beda ya! Ntar nikahan jangan lupa undang gue, undangannya vvvvip! Nggak mau tau!"
Bella tertawa mendengarnya, "Iya, ntar lo lagi yang duluan sebar undangan? Kalo gitu gue juga mau, vvvvvvip!"
Merza membalasnya dengan kekehan, tidak tahu sebar undangan apa yang penting ini mampu membuatnya tertawa.
"Yaudah deh, lo lanjut aja nunggunya. Gue nggak mau ntar jadi nyamuk online. Bye-bye! Nanti gue telpon lagi! Jaga diri lo baik-baik."
"Iya, lo juga yaa, kalo ada apa-apa cerita sama gue."
"Iyaa," setelah mengatakan itu, Merza mengakhiri panggilan.
Dia meletakkan ponsel ke tempat semula dan mulai menyantap hidangan makanannya dalam diam. Semua pengunjung datang berdua, bahkan ada yang lebih dari itu. Sedangkan yang duduk sendiri hanya dia.
Miris.
"Udah, Za. Lo juga udah terbiasa sendiri. Kenapa harus sedih coba?" ucapnya dalam hati, menguatkan diri sendiri.
Iya, benar. Dia harus bisa terlihat baik-baik saja karena masalah pasti akan berlalu. Hidup kan masih terus berlanjut. Jika memikirkan tentang ini terus, yang ada dia lupa akan tujuan hidup.
Oke, Merza tidak boleh bersedih. Itu ucapan untuknya sendiri.
Setelah menghabiskan makanannya, dia pun berdiri untuk pergi karena sudah hampir tiga jam dia berada di sana.
Namun hendak menuruni anak tangga, dia tak sengaja menabrak seseorang. Atau lebih tepatnya bukan dia, karena orang itu berjalan dengan melihat ke arah lain.
"So sorry, gue nggak sengaja," ucap gadis yang mengenakan dress diatas lutut itu. Merza menajamkan penglihatannya. Walaupun otaknya pas-pasan, tetapi ingatannya masih cukup bagus.
"Udah kelar?" suara yang sangat dia kenali itu membuat Merza menoleh ke arah cowok yang berdiri tepat di samping gadis tadi. Dia diam, menatap mereka bergantian.
"Hey, udah kok."
"Regan, dia siapa lo?" Merza bertanya langsung. Tak ingin membuang waktu untuk berbasa-basi.
"Lo kenal dia, Gan? Siapa lo? Kok nggak pernah cerita sih?" tanya cewek itu, dengan raut wajah yang sedikit kesal.
Merza berusaha bersikap tenang walau hatinya banyak dilanda oleh pertanyaan. Dan kini, rasa percayanya pada Regan perlahan mulai terkikis.
"Dia--,"
"Temen. Kita temen kampus," potong Merza saat Regan ingin menjawab.
Cewek itu menganggukkan kepalanya mengerti, "Oh, temen kampus. Kalo gitu kenalin, gue Lyora. Sepupu tirinya Regan."
Merza hanya menampilkan senyumnya. Ternyata benar, perasaan atas nama cinta itu amat sangat menyakitkan. Dia harus menyiapkan hati jika suatu saat nanti kecewa dan,
Ditinggalkan.
"Happy birthday!" seru Ghea dengan tawa gembira kala seorang lelaki yang ia tunggu datang tergesa-gesa dengan wajah khawatir.Aland menghela napas kasar, dia mengacak asal rambutnya yang basah karena keringatnya sendiri. Sedangkan di depannya Ghea masih saja tersenyum seraya berjalan mendekat bersama kue dengan lilin yang menyala di atasnya."Ghe.., nggak lucu," ucap Aland sedikit kesal. Dia hampir menabrak orang dijalan akibat memacu motor dengan kecepatan tinggi karena Ghea mengatakan jika ada lelaki yang mengikutinya sejak tadi. Alhasil, Aland bergegas datang ke rooftop sekolah Ghea. Tapi ternyata semua hanya skenario yang Ghea buat sendiri karena ini adalah hari ulang tahunnya.Gadis dengan t-shirt putih dan rok cokelat selutut itu lant
Arlen mengusap wajahnya mengingat percakapan itu. Tanpa dia minta pun, Arlen akan tetap menjaga Merza, walau itu dari kejauhan. Tapi percayalah, Arlen ikut bahagia melihat betapa senangnya Merza kala berada di dekat Regan.Namun sayang, dikemudian hari lelaki itu akan menyakitinya."Ini udah malem, bahaya kalau lo pulang sendiri. Lagian jam segini taksi juga jarang lewat," ucap Arlen menjawab perkataan Merza tadi.Merza memalingkan wajah ke samping, menatap lampu jalanan dari dinding kaca disampingnya. Benar juga, bisa-bisa dia akan bertemu om-om genit jika berdiri lama dipinggir jalan."Yaudah, deh. Tapi gue nggak ngerepotin lo, kan?"Arlen menggeleng.
Pukul 00.15 WIBEntah apa yang berada di pikirannya hingga memilih untuk membawa gadis yang benar-benar ingin dia hindari itu ke Apartemen. Biasanya Gio tidak peduli dengan siapapun, bahkan harus meninggalkan seorang wanita di tempat seperti itu pun dia tak peduli.Tapi kini mengapa berbanding terbalik?Bahkan kini Gio mengambil makanan kesukaannya untuk dia berikan pada gadis itu, seperti roti, susu strawberry dan juga minuman penghilang pengar yang sering ia konsumsi jika minum terlalu banyak.Setelah meletakan makanan itu di atas sofa, dan menempelkan note kecil di sana, dia pun beralih mendekati Grace yang masih tertidur lalu menarik selimutnya untuk menutupi tubuh gadis itu hingga sebatas dada.
Seusai sarapan pagi, Regan tetap berada di restoran hotel menunggu Davin yang beberapa menit lalu masih terlelap. Dia mendengus pelan, padahal semalam Regan sudah mengatakan jika mereka akan pergi pukul 9. Namun nyatanya perkataannya itu tak diindahkan.Kamar mereka berbeda, karena Regan tidak ingin tidur dengan suara dengkuran Davin yang amat menganggu. Maka dari itu dia tidak tahu jika nyatanya Davin belum bangun juga.Regan kembali mengirim pesan ke nomor Davin, dan tak lama kemudian cowok itu membalas jika dia akan turun menuju restoran. Setelah membaca pesan itu, jari Regan beralih membukaroom chat-nya bersama Merza. Awalnya dia ingin mengirim pesan saja, namun yang terjadi dia malah menelepon gadis itu.Namun sudah beberapa detik berlalu, tak ada tan
Suara bising yang berasal daridance floor, asap vape dan rokok yang bergumpal menjadi satu diudara, sudah cukup menjelaskan tempat dimana gadis itu berada.Tangannya meraih sebotolwine, lalu menuangkannya ke dalam gelas kecil dan menenggaknya hingga habis. Tidak tahu sudah gelas ke berapa, Grace tidak peduli. Pikirannya berkecamuk memikirkan tentang seorang lelaki bernama Daniel Liodan A, itu.Siapa dia sebenarnya? Mengapa identitasnya tidak bisa ditemukan?Grace sudah berusaha mencari tahu, dia bahkan meminta orang kepercayaan di keluarganya untuk menyelidiki kasus tersebut, tapi tetap saja, hasilnya nihil.Semua informasi mengenai dirinya tidak dapat ditemukan. Seolah dia hidup dengan
Ruangan kotor dan cahaya lampu yang redup adalah hal pertama kali yang Viola lihat serta ia membuka mata. Merasa aneh dengan kedua tangannya, gadis itu pun mencoba menggerakkan tangannya yang terikat, ia meronta-ronta dan berteriak minta tolong. Namun tak ada suara yang terdengar kecuali suara serangga dimalam hari.Dia seolah berada dirumah yang terletak ditengah hutan.Viola mulai mengingat kejadian terakhir sebelum dia berakhir ditempat ini. Dalam ingatannya dia pergi ke taman belakang kampus karena Andien memintanya ke sana, namun nyatanya Andien tidak mengatakan itu. Lalu tak lama kemudian seseorang memukul kepalanya dari arah belakang hingga dia terjatuh dan tak sadarkan diri.Viola menghela napas panjang, peluh mulai membasahi dahinya. Tubuhnya terasa lemas tak be







