"Za! Mama sama Papa berangkat duluan ya! Sarapannya jangan lupa dimakan!" seru Mamanya yang kini sudah menghilang di balik pintu utama. Merza yang tadinya menuruni anak tangga dengan senyum mengembang pun perlahan memudar kala mendengar itu.
Dia menghela napas berat, dia pikir mereka bisa makan bersama pagi ini. Tidak ingin terlalu memikirkan itu, Merza pun memilih untuk melangkah mendekati pantry lalu melihat ada beberapa potongan sandwich dan segelas susu putih yang berada di atasnya.
Merza tidak langsung memakannya, melainkan mengambil kotak bekal lalu memasukkan sandwich itu kedalam. Ia tersenyum, sudah bisa ditebak, kan itu untuk siapa?
Setelah semuanya selesai gadis yang mengenakan jumpsuit rok dilapisi kaus polos itu berjalan keluar rumah untuk mengeluarkan mobil merahnya dari dalam garasi.
Ia masuk kedalam mobil dan beralih mengecek ponselnya. Tidak berharap ada pesan dari Regan, karena cowok itu juga hampir tidak pernah mengiriminya pesan di pagi hari. Dan biarkan saja Merza yang memulainya, lagipula dia juga sudah terbiasa.
Regina
Pagiii Regan!
Gue mau otw kampus nih, lo di mana?
Merza memandang layar ponselnya menunggu balasan dari Regan karena cowok itu baru saja membaca pesannya.
Tapi..sudah beberapa menit berlalu tak kunjung ada balasan. Merza menghela napas pelan, dia pun kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas. Mungkin saja Regan lagi dijalan maka dari itu dia tidak bisa membalas pesan Merza.
Cewek itu mengangguk membenarkan asumsinya barusan. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Merza pun langsung menjalankan mobilnya menuju kampus.
****
Setiap pergi ke kampus, hanya ada satu alasannya mengapa sangat bersemangat untuk datang. Tidak peduli seterik apa sang surya pada hari itu, atau sekiller apa dosen yang akan mengajar di kelasnya, karena selagi dia dapat bertemu Regan, semua itu tidak berarti apapun.
Sama seperti pagi ini, setelah memarkirkan mobilnya di parkiran khusus mobil, dia pun berniat untuk menghampiri parkiran khusus motor, tempat di mana Regan biasa memarkirkan motornya. Namun langkahnya mendadak terhenti karena sebuah mobil hitam baru saja melintas di depannya dan berhenti tak jauh dari tempatnya berdiri kini.
Merza tahu itu mobil siapa, maka dari itu dia berjalan mendekat, tanpa memudarkan senyumannya.
"Regan! Tumben banget lo bawa--," ucapannya terputus karena Regan turun tidak sendirian. Ada Lyora yang terlihat tengah merapikan rambutnya. Cewek itu menoleh ke arah Merza, lalu menyapanya dengan seulas senyum singkat.
"Hai, lo...temennya Regan, kan? Yang kemarin ketemu di kafe?"
Merza terdiam sebentar. Dia melihat ke arah Regan sebentar, dia pikir cowok itu akan menyela dengan mengatakan,
"Dia pacar gue."
Namun ternyata tidak. Mungkin di sini hanya dia yang terlalu banyak berharap. Hanya dia yang terlalu bodoh.
Mengabaikan perih perasaannya, dia kembali memperlihatkan senyum, sembari mengangguk pelan.
"Iya, gue temennya Regan," jawabnya dengan nada pelan.
"Ada perlu apa?" kali ini Regan yang bersuara. Dan yang bikin Merza menatapnya lekat adalah, mengapa wajahnya sedingin itu saat melihat Merza?
"Ah? Gu-gue..,"
"Kalau nggak penting. Nggak usah temui gue."
Merza tak bisa menjawab itu. Karena perkataan Regan barusan membuat dirinya tak mampu untuk berkutik.
Regan melihat Merza sekilas, lalu tanpa mengatakan apapun lagi dia berlalu dari sana dan diikuti Lyora yang berjalan disampingnya.
Merza membalikkan tubuh, melihat kedua orang itu dengan luka yang perlahan hadir. Setetes air matanya luruh tanpa aba-aba, menandakan bahwa perasaannya amat terluka karena ini.
Tangannya kemudian terangkat mengusap pipinya yang basah. Dia perlahan berjalan menunduk menuju kelas. Kotak bekal yang ingin dia berikan pada Regan pun masih tetap berada di tangannya.
Dia sama sekali tidak mengerti, mengapa sikap Regan bisa seperti itu? Padahal kemarin mereka baik-baik saja.
Duk!
Akibat menunduk dan tidak memerhatikan jalan, Merza malah menabrak seseorang yang berdiri di depannya. Dia lantas mengusap dahi seraya mengangkat wajah.
"Kenapa lo?" tanya orang itu. Dan Merza hanya menggeleng sebagai jawaban.
Arlen tersenyum sinis, sebenarnya tidak perlu bertanya karena dia sudah tahu apa yang membuat Merza seperti ini.
"Udah gue bilang, dia itu brengsek," ucap Arlen, membuat Merza yang tadinya tengah menatap objek lain menjadi berpaling melihatnya.
Cowok berjaket hitam itu kembali tersenyum miring, dia sudah bersiap untuk melanjutkan langkah, namun tertahan karena Merza menahan tangannya.
"Arlen."
"Mau bolos bareng gue?"
****
Danau adalah pilihan yang tepat bagi Merza untuk menenangkan diri. Selain sunyi, udara yang bertiup disekitar sini juga sejuk. Ditambah lagi di depan matanya kini ada hamparan danau luas dan pepohonan rindang di sekelilingnya. Ini sudah cukup menenangkan perasaannya yang tak karuan.
"Lo bilang Regan itu brengsek. Lo udah kenal dia dari lama?" Merza bertanya pada Arlen. Karena jujur, dia penasaran mengapa Arlen terus mengangap Regan seburuk itu.
"Dari sikapnya udah keliatan. Nggak mesti harus kenal lama buat tau gimana sikap seseorang."
"Tapi Regan itu nggak brengsek," balas Merza tidak terima.
Arlen meneguk minuman kaleng lemonade-nya. Ia tersenyum miring sembari menoleh ke arah Merza. "Lo bisa bilang itu sekarang."
"Maksud lo?"
"Lo tinggal ikutin apa yang pernah gue bilang. Jauhi dia."
Merza mendengus, sesulit itukah untuk menjelaskannya lebih detail? Merza sama sekali tidak paham apa yang Arlen maksud.
"Dia ngelakuin hal apa sampe-sampe gue harus ngejauhi dia? Dia nggak seburuk yang lo bilang, dan dia nggak kayak lo, yang suka--,"
"Yang suka apa?"
Bibir Merza mengatup. Dia mengalihkan wajah enggan melihat Arlen lagi.
"Lo denger, gue memang nggak baik. Tapi setidaknya tangan kotor gue ini nggak pernah bunuh orang."
****
Ketidakhadiran Merza yang tanpa kabar itu membuat Ghea mencarinya kemana-mana. Tadi Merza sendiri yang mengatakan jika dia akan datang ke kampus. Namun setelah mata kuliah selesai pun, cewek itu tidak menampakkan batang hidungnya.
"Kemana sih, dia? Di telpon nggak diangkat-angkat," decak Ghea dengan jari yang mengetikkan pesan untuk keempat kalinya ke nomor Merza. Dan itu pun sama saja, tidak mendapat balasan.
Ghea mengedarkan pandangan ke sekitar, mencari keberadaan Merza karena siapa tahu saja dia sudah berada di sekitar sini. Namun bukan Merza dia lihat, melainkan sosok itu. Dan tanpa menunggu lama lagi, dia berlari kecil menghampiri.
"Regan!"
Merasa namanya dipanggil Regan berhenti melangkah. Davin yang berjalan disampingnya juga melakukan hal yang sama.
"Lo tau nggak Merza di mana?"
"Nggak."
Balasan Regan yang cepat itu membuat Ghea dan Davin menatapnya aneh.
"Oh, yaudah deh. Gue pikir lo tau. Tapi nanti kalo dia ada kabar, kasih tau gue ya?"
"Hm."
Setelah menjawab itu Regan berlalu pergi dari sana menuju coffee shop. Sedangkan Davin yang berjalan di sampingnya tampak ingin bertanya sesuatu, namun saat melihat ekspresi wajah dingin Regan, dia pun mengurungkan niat.
Sesampainya di coffee shop yang Regan lakukan adalah menyibukkan dirinya dengan game. Tidak seperti biasa, karena cowok itu tidak terlalu suka bermain game.
"Lo ada masalah apa, sih? Lagi berantem ya lo sama Merza?" Davin akhirnya bertanya juga karena dia tidak bisa menahan rasa penasarannya. Tapi tampaknya Regan masih betah untuk diam. Karena perhatiannya tidak teralihkan sama sekali.
Sebenarnya, ini sangat menganggu bagi Regan. Pikirannya terlalu penuh untuk memikirkan ucapan orang itu kemarin malam.
Flashback on
Saat Regan telah mengantar Merza pulang, dia segera pulang ke rumah. Namun ditengah perjalanan dia harus menghentikan motor karena dering ponsel yang terus-terusan berbunyi.
"Hm, apa?"
"Gan, lo dengerin gue baik-baik."
Perkataan teman lamanya itu membuat Regan mengerutkan dahi bingung.
"Lo harus hati-hati sekarang."
"Kenapa?"
Ada jeda beberapa detik sebelum temannya menjawab.
"Dia masih hidup." jawaban itu berhasil membuat tangan Regan terkepal hingga mecetak jelas urat-urat tangannya, disertai rahang yang mengeras dan tatapan tajam membunuh.
Semilir angin yang berhembus kencang membuat tirai kamar bewarna abu-abu itu tertiup hingga menganggu kosentrasi Merza yang tengah mengerjakan tugas. Gadis berpiyama tidur itu pun beranjak dari tempatnya lalu menutup pintu yang mengarah ke balkon, lalu kembali ke meja belajarnya.Matanya melirik jam digital yang terletak di atas meja, dan mendengus karena sudah malam kedua orangtuanya belum juga pulang.Dia mendengus, meraih ponsel lalu mengetikkan pesan pada Mamanya.Mom❤MaaMama sama Papa kapan pulang?Setelah pesan terkirim Merza kembali meletak ponselnya di atas meja, lalu menutup laptop menyudahi acara nugasnya.Kakinya terangkat ke atas kursi, memeluk kedua lututnya lalu menelusupkan wajahnya di sana. Dia kini tengah menahan rasa lapar, akibat bahan makanan serta mi instan yang tak terlihat lagi di dapurnya."Merza!"Kepala Merza sontak mendongak, melihat sekelilingnya. Lalu kemudian tersenyum hambar, tidak mungkin Kak Melva memanggilnya. Dia selalu berhalusinasi jika seorang d
Kini gadis berambut kucir kuda itu terlihat diam tanpa bisa berkata-kata. Kedua matanya pun tampak setia melihat orang itu dan enggan untuk berkedip."Denger nggak lo apa yang gue bilang?" Arlen, sosok lelaki yang berbicara padanya itu kembali mengulang pertanyaan. Karena tampaknya si lawan bicara tidak mendengarkan.Merza tersadar dan menggelengkan kepala pelan, "Ah? Lo..lo bilang apa tadi?" balasnya disertai wajah bingung. Namun detik berikutnya dia mengalihkan pandangan, melihat Regan yang berjalan melewatinya. Cowok itu bahkan tidak menoleh sedikitpun ke arah Merza.Arlen mendengkus, entah menapa dia merasa kesal karena Merza masih menatap Regan dengan pandangan seperti itu. Terlihat bodoh.Dia beralih menarik t
Tangan putih yang dibalut jam tangan hitam polos itu meraih sebuah bingkai foto berukuran sedang yang selalu terletak di atas nakas kamarnya sejak lima tahun yang lalu. Dia mengulas senyum tipis kala melihat seseorang dalam foto itu. Rambut sebahu yang indah, senyum manis menawan, serta tatapan penuh binar yang tak bisa Merza lupakan hingga kini."Kakak cantik banget, Merza jadi iri," gumamnya seraya terkekeh hambar. Seharusnya Merza tidak meletakkan barang-barang peninggalan Kakaknya di sini, agar dia tidak mengingat jika sosok wanita tangguh itu telah tiada."Kakak tau nggak, Merza punya sahabat yang sifatnya mirip banget sama Kakak. Namanya Bella, dia kuat, dia tangguh, dia adalah orang kedua yang Merza kagumi setelah Kakak," ucap Merza lirih dengan mata yang berkaca-kaca.
"Hm, ayo kita pacaran."Mata Lyora sontak membulat sempurna kala mendengar itu. Ini terlalu tiba-tiba dan dia sedikit tidak menyangka. Bahkan tadinya dia berpikir jika Regan akan menolaknya karena perlakuan cowok itu tidak memperlihatkan jika dia menaruh perasaan pada Lyora.Tapi tidak masalah, jika Regan tidak menyukainya, itu akan berlaku untuk saat ini. Karena setelahnya dia akan berusaha agar Regan membalas perasaannya. Dengan cara apapun.Dia tertawa kecil merespon perkataan Regan tadi, "Lo..lo serius?"Regan menganggukkan kepala singkat, "Hm, tapi gue mau nanya satu hal sama lo.""Apa?" tanya Lyora dengan masih mempertahankan wajah berserinya.
Langkah kaki itu terdengar jelas didalam sebuah bangunan tua berlantai dua. Tempat yang gelap, namun dipenuhi oleh lukisan-lukisan aneh. Tidak banyak yang tahu tempat ini, karena letaknya sangat tersebunyi. Bahkan mereka yang akan memasukinya harus melalui jalanan kecil ditengah hutan."Akhirnya lo dateng juga."Tangan itu terkepal sempurna beserta tatapan tajam yang dia arahkan pada sosok lelaki berambut gondrong di depannya."Mana dia?"Cowok berjaket hitam dengan logo tengkorak di belakangnya itu tersenyum sinis. Tanpa bertanya pun dia tahu apa yang di maksud lawan bicaranya."Lo nggak perlu tau dia ada di mana."Re
"Za! Mama sama Papa berangkat duluan ya! Sarapannya jangan lupa dimakan!" seru Mamanya yang kini sudah menghilang di balik pintu utama. Merza yang tadinya menuruni anak tangga dengan senyum mengembang pun perlahan memudar kala mendengar itu.Dia menghela napas berat, dia pikir mereka bisa makan bersama pagi ini. Tidak ingin terlalu memikirkan itu, Merza pun memilih untuk melangkah mendekati pantry lalu melihat ada beberapa potongan sandwich dan segelas susu putih yang berada di atasnya.Merza tidak langsung memakannya, melainkan mengambil kotak bekal lalu memasukkan sandwich itu kedalam. Ia tersenyum, sudah bisa ditebak, kan itu untuk siapa?Setelah semuanya selesai gadis yang mengenakan jumpsuit rok dilapisi kaus polos itu berjalan keluar rumah untuk mengeluarkan mobil