Share

Part 7

“A- apa? B-bagaimana bisa?”

>> “Dia kabur,”

“L-lalu apa Tuan Dirgantara akan menuntut kita ke polisi?”

>> “Aku belum tahu,”

Adila hanya bisa menatap layar ponsel miliknya yang berubah menjadi gelap setelah sang penelepon memutuskan secara sepihak.

Wanita 56 tahun itu memijit pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut, memikirkan kemungkinan terburuk tentang apa yang ia lakukan pada Nana.

Ceklek ...

Seorang pria paruh baya 58 tahun yang masih berpakaian formal khas kantoran, mengernyitkan dahi mendapati Sang istri yang gelisah.

“Ada apa, La? Kenapa wajahmu terlihat kusut? Ada masalah?” tanya pria yang bernama Bisma Wijaya.

“Lebih dari masalah, Bis,” ucap Adila lesu. Kepalanya mulai berdenyut.

“Masalah apa lagi?” Bisma mendekat ke arah Adila dan duduk di samping wanita yang telah menjadi istrinya selama 20 tahun.

“Nana,”

“Nana?” beo Bisma.

Adila mengangguk.

“Kenapa lagi? Ah iya, kenapa sejak semalam aku tidak melihat anak itu di rumah?”

“Nana kabur,”

“APA?” seru Bisma dengan kencang. “K-kabur ke mana?”

“Dia kabur saat nemenin Ferdi di Black Marion Bar kemarin malam,”

“Ferdi?” Bisma mengingat nama yang begitu familiar di telinganya. “Ferdi Adinata, bukan?”

Adila mengangguk.

“Kenapa ...” seketika kedua bola mata Bisma melotot, “Kamu menjual Nana kepada Ferdi Adinata?”

“Iya,”

Wajah Bisma menjadi memerah karena amarah yang akan meledak. Pria paruh baya itu berniat memperistri Nana suatu hari nanti, tanpa sepengetahuan Adila. Tapi, kini ia harus di hadapkan dengan situasi berbeda. Nana telah dijual oleh Sang  istri kepada orang lain.

“Kamu kenapa, Bis?” Adila mengernyit mendapati raut muka Sang suami yang terlihat aneh.

“Aku baik-baik saja,” Bisma mengusap kasar wajahnya. “Lalu di mana Nana sekarang?”

“Di bawa Marvel Dirgantara,” ucap Adila lesu.

Jederrr ....

Ucapan Adila barusan membuat Bisma langsung berdiri dan membulatkan matanya.

“A-apa kamu bilang?”

Adila meneguk ludah mendapati wajah suaminya memerah.

“D-dia kabur waktu di kelab. L-lalu di bawa Marvel Dirgantara pergi,” Adila melirik Bisma yang kini mengeraskan rahangnya.

“B-bagaimana bisa sampai di bawa Marvel Dirgantara?”

“D-dia kabur saat ...saat Ferdi menciumnya. Hanya itu yang Ferdi katakan padaku,”

Bisma terduduk lemas di atas tempat tidur. Wajahnya seketika pias mendengar berita yang baru saja dengar.

Dirgantara Group adalah salah satu perusahaan terbesar di Ibu Kota. Dan memiliki kekuasaan di mana-mana. Berurusan dengan mereka sama saja cari mati, karena mereka akan membiasakan siapa saja yang mengajak ribut.

Bisma sendiri sudah berkali-kali ditolak oleh pimpinan Dirgantara yang tak lain adalah Aryo Dirgantara. Proposal yang diajukannya selalu ditolak.

“Sepertinya kita akan dapat masalah besar,”

Adila menegang mendengar ucapan Sang suami.

Atik yang tak sengaja mendengar pembicaraan Sang majikan segera mengurungkan niatnya untuk menanyakan keberadaan Nana. Ia memilih kembali ke dapur untuk memikirkan cara menemukan Nana.

Brugh ...

“Ah, Mang Adi,”

“Eneng ngapain terburu-buru jalannya. Nabrak Mamang kan jadinya?”

Atik memberikan isyarat diam dengan meletakkan jari tangannya di atas bibirnya dan menarik Mang Adi kembali ke dapur.

“Ada apa, Neng?” tanya Adi heran.

“Nana Mang,” Atik mulai berkaca-kaca.

“Neng Nana kenapa? Udah pulang?”

“Nana ....dijual sama Nyonya, Mang,” Atik mulai terisak.

“D-dijual? M-maksud kamu apa, Neng?”

Atik menceritakan apa yang ia dengar di depan pintu kamar sang majikan kepada Mang Adi. Pria paruh baya yang sangat menyayangi Nana itu membulatkan matanya dan membeku.

“Mamang pernah dengar tentang Keluarga Dirgantara nggak? Yang aku dengar Nana di bawa salah satu keluarga mereka,”

“Dirgantara? Sepertinya nama itu nggak asing,” jawab Adi sambil berpikir.

“Trus bagaimana ini, Mang. Bagaimana kalau mereka macam-macam sama Nana?” wajah Atik sudah basah karena air mata yang tak berhenti mengalir.

“Nanti aku coba tanya Usman. Dia kan sering mengantar Tuan dan Nyonya pergi-pergi. Mungkin dia bisa cari informasi yang lebih akurat, kamu jangan nangis lagi ya,”

Atik mengangguk dan mencoba meredakan air matanya. Ia tak pernah berpikir jika sang majikan akan berbuat seperti ini kepada Nana. Kalau tahu begini, mendingan dulu ia bawa Nana pergi saja dari sini.

*

Nana merasa gelisah di atas tempat tidur sejak dua jam yang lalu. Sejak kejadian tadi pagi Marvel belum datang lagi. Nana tiba-tiba menjadi takut jika terjadi hal-hal buruk pada Marvel.

Waktu menunjukkan hampir tengah malam, namun Nana tidak bisa memejamkan matanya. Kemudian ia memutuskan untuk keluar menuju ruang menonton sekedar melihat siaran televisi agar ia mudah tertidur. Dan benar saja, tak lama kemudian Nana tertidur di sofa sambil memeluk remote televisi.

Pagi-pagi sekali Marvel membawa beberapa kotak makanan yang telah disiapkan oleh Rima Dirgantara untuk dibawa ke unit. Tadinya Rima bersikeras untuk ikut, tapi Marvel belum memperbolehkan.

Klik....

Marvel masuk ke dalam setelah pintu unit terbuka. Tapi langkah kakinya sempat terhenti saat mendengar bunyi televisi saat menuju dapur.

Langkah kaki Marvel menuntun dirinya untuk masuk ke ruang menonton. Di atas sofa Nana masih meringkuk dengan kedua tangan mungil yang terlihat di dada. Gumaman kecil keluar dari bibir mungilnya, membuat Marvel semakin mendekat.

Dada Marvel berdetak kencang saat melihat wajah polos Nana yang masih tertidur dalam jarak dekat.

‘Ini pasti nggak bener! Pikir Marvel dalam hati.’

Detakannya semakin kencang tatkala Nana melenguh dan mengerjapkan kedua matanya.

“Ahhhhhh....” pekik Nana yang langsung terduduk dengan nafas menurut dan memeluk dirinya sendiri.

“Hei, ini aku! Lihat,  aku Marvel,” ucap Marvel sambil menyentuh pundak Nana yang mana membuat Marvel merasakan desiran aneh.

“T-Tuan M-Marvel,” sapa Nana terbata.

Marvel mengulas senyum yang jarang sekali ia tunjukkan pada siapa pun. “Iya. Ini aku, Marvel. See,” ucap Marvel melembut.

Nana menoleh ke arah sekitar yang kini sudah terang karena sinar matahari masuk melalui celah korden yang menutup dinding kaca.

“M-Maaf Tuan, Nana bangun kesiangan,” ucap Nana takut.

Marvel terkekeh geli dan itu mampu membuat Nana terpana. Bagaimana tidak, seumur-umur Nana belum pernah melihat laki-laki tertawa saat bersamanya. Dan karena memang dia tak pernah dekat dengan laki-laki mana pun.

“Kenapa harus minta maaf?”

“S-seharusnya Nana tahu diri untuk bangun lebih pagi. T-tapi semalam Nana tidak bisa tidur,” kedua mata Nana bergerak gelisah. “T-Tuan, bagaimana dengan Nyonya kemarin? A-apakah Nyonya memarahi Tuan karena membawa Nana ke sini?” tanya Nana polos.

“Ha ha ha ....ya ampun, Na. Kamu kok lucu dan polos banget sih,” Marvel menggelengkan kepalanya.

‘Memang pertanyaan Nana ada yang salah? Pikir Nana.’

“Kenapa Tuan tertawa?” tanya Nana lagi yang sukses membuat Marvel terpingkal.

Marvel lupa kapan ia bisa tertawa seperti ini. Tapi pagi ini, hanya karena pertanyaan Nana yang menurutnya lucu dan menggemaskan, membuatnya tidak bisa menahan tawa.

“T-Tuan?”

“Kamu lucu banget sih, Na,” Marvel mencubit pelan hidung Nana tanpa sadar.

Wajah Nana memerah mendapat perlakuan itu dari Marvel. Ada getaran lain saat jemari Marvel bersentuhan dengan kulitnya.

“Cuci muka dulu, gih. Ada sesuatu yang  ingin aku omongin sama kamu,” titah Marvel yang diangguki Nana.

Selepas Nana masuk ke dalam kamar, Marvel duduk di sofa, tempat Nana tertidur. Pikirannya kembali mengingat usulan Sang Mama tentang pekerjaan untuk Nana.

Nana hanya mencuci muka dan menggosok gigi dan cepat keluar dari kamar. Sebenarnya tadi ia ingin mandi, tapi takut jika Marvel menunggunya terlalu lama, mengingat penampilan Marvel yang sudah rapi. Pasti laki-laki itu akan berangkat bekerja.

Nana melangkah keluar kamar menuju ruang menonton yang tampak sepi. Langkahnya kembali menuntun ke dapur saat mendengar suara umpatan Marvel yang kesusahan membuka kotak makan yang dibawanya.

“Biar Nana bantu, Tuan,”

Marvel menoleh ke arah Nana yang sudah lebih rapi. Rambutnya yang diikat dan bibirnya yang  berwarna merah muda bergerak-gerak membuat Marvel tertegun.

“T-Tuan,”

“Ya. Ah, kamu bisa membukanya,” Marvel mempersilahkan Nana membuka kotak makanannya.

“Sudah, Tuan,” Nana tersenyum.

Lagi-lagi senyum sederhana itu menghipnotis Marvel untuk beberapa detik.

‘Sial! Apa jadinya kalau dia setiap saat di sampingku? Gumam Marvel dalam hati.’

“Ayo duduk. Ada yang akan harus kita bicarakan setelah makan,” Nana mengangguk dan mengambil piring dan beberapa alat makan lainnya. Tak lupa ia menuang dua gelas air hangat untuknya dan Marvel.

Nana dengan telaten mengambilkan nasi dan beberapa lauk di atas piring dan memberikannya pada Marvel tanpa kesulitan. Lalu ia pun mengambil untuk dirinya sendiri dan mengambil tempat duduk tepat di depan Marvel.

Mereka makan dalam keheningan. Hanya ada bunyi yang ditimbulkan alat makan yang bersentuhan dengan piring.

Marvel yang lebih dulu selesai, menyilangkan kedua sendok dan garpu di atas piring, sebelum meneguk segelas air hangat yang Nana siapkan.

“Na, kamu duduk dulu,” pinta Marvel melihat Nana yang akan beranjak membawa piring ke dapur.

“Ada apa, Tuan?”

“Kamu sudah memikirkan pekerjaan untuk kamu,” ucap Marvel tanpa basa-basi.

“B-benarkah?” tanya Nana dengan mata berbinar.

‘Belum juga aku sebutkan pekerjaannya, tapi dia sesemangat itu? Gumam Marvel heran.’

“Benar,”

“Pekerjaan apa, Tuan?” Nana yang tampak antusias tak henti-hentinya mengembangkan senyumnya.

Marvel terpana melihat senyum Nana yang terlihat berbeda hingga ia menjadi melamun.

“T-Tuan?”

“Ya? Ah, maaf. Aku melamun,” ucap Marvel seraya menggaruk tekuknya yang tak gatal.

“Jadi ...pekerjaan apa yang Tuan berikan pada saya?” tanya Nana tak sabaran.

“Jadi asisten pribadiku!”

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status