Rajendra keluar dari rumah. Saat di halaman, ia berpapasan dengan Tama dan Surapati yang sedang mengawasi para prajurit berlatih. Tama, yang melihat Rajendra berjalan sendiri, segera mendekat."Yang Mulia, Anda mau ke mana?" tanya Tama, raut wajahnya penuh rasa hormat dan sedikit penasaran. "apakah ada hal penting yang harus diakukan?"Rajendra tersenyum. "Aku akan pergi ke tempat Asmaran. Aku ada keperluan dengannya. Kalian lanjutkan saja latihan.""Baik, Yang Mulia," jawab Tama.Namun, Rajendra mengangkat tangannya, seolah teringat sesuatu. "Eh, Tama, tunggu sebentar. Bawa beberapa roti untuk diberikan kepada Asmaran dan anak buahnya. Mereka bekerja keras, aku ingin memberikan sedikit apresiasi kepada mereka."Tama mengangguk sigap. "Baik, Yang Mulia. Saya akan mengambilnya sekarang."Ia pun bergegas masuk ke dalam dapur, mengambil beberapa roti yang sudah jadi. Setelah itu, ia kembali dengan membawa keranjang berisi roti hangat."Apakah saya bisa ikut denganmu, Yang Mulia," kata Ta
Ranjani, yang mendengar ide suaminya untuk membuat logo, mengangguk dengan senyum. "Baik, Yang Mulia. Aku akan membuatnya." LSetelah itu, ia pun bergegas masuk ke dalam kamar, diikuti oleh Kirana.Di dalam kamar, Ranjani duduk di atas tikar, di depannya terhampar beberapa lembar kulit daluang yang sudah dipotong-potong rapi. Tinta hijau terang dari Aji diletakkan di sampingnya, bersama dengan pena bambu berujung runcing.Ranjani memejamkan mata, membiarkan pikirannya berkelana. Apa yang bisa melambangkan keadilan, kemakmuran, dan harapan? Apa yang bisa menjadi simbol dari Kerajaan Angkara yang baru lahir?Setelah beberapa saat, matanya terbuka. Ia mengambil pena bambu itu, mencelupkannya ke dalam tinta, lalu mulai menggambar.Tangannya bergerak dengan lincah dan penuh kelembutan, menciptakan sebuah logo sederhana namun penuh makna: tangan terbuka yang melambangkan kemakmuran dan keterbukaan, dengan biji gandum di tengahnya yang melambangkan harapan dan kehidupan.Ini adalah logo yang
Semua orang di ruangan itu menahan napas, menunggu keputusan yang akan dibuat oleh Rajendra. Setelah hening yang terasa abadi, Rajendra membuka matanya, menatap semua orang dengan mata yang penuh tekad, namun di sana juga ada kesedihan yang mendalam."Aku mempertimbangkannya, Paman Surapati. Aku telah menimbang semua rencana, semua risiko, dan semua kemungkinan," ucap Rajendra. “Namun, aku tidak bisa mengambil risiko sebesar ini. Rencana Asmaran memang sangat cerdas, tapi kita tidak bisa menyerang mereka sekarang. Itu sama saja membuka kuburan untuk diri kita sendiri,” lanjutnya.Wajah-wajah para prajurit muda yang penuh semangat seketika berubah. Dipa dan Guntur yang tadi berapi-api kini tampak kecewa.Kepala Desa Arwan dan Surapati justru menghela napas lega, meskipun mereka tahu keputusan ini juga tidak mudah. Mereka semua tahu betul bahwa menolak saran Asmaran berarti menunda penyelamatan Ayana, namun tidak ada yang bisa melawan. Keputusan seorang pemimpin adalah mutlak."Kita ti
Semua prajurit yang hadir, termasuk Tama dan Guntur, menatap Asmaran dengan mata berbinar. Rencana itu terdengar berani, cerdik, dan memberikan harapan di tengah keputusasaan."Aku setuju dengan Asmaran!" seru Tama, suaranya dipenuhi semangat. "ini adalah rencana yang paling masuk akal! Kita tidak akan menghadapi mereka satu per satu, tapi kita akan menyerang mereka saat mereka tidak siap. Kita bisa menggunakan ranjau besi Asmaran untuk melumpuhkan mereka, lalu kita serang dari jarak jauh dengan repeating crossbow dan juga tombak!""Benar!" Guntur mengangguk setuju. "daripada menunggu mereka menyerang kita lagi, lebih baik kita yang menyerang duluan! Kita tunjukkan pada Raja Wicaksana bahwa kita bukan domba yang siap disembelih!"Namun, Surapati tidak setuju. Wajahnya tetap serius, matanya memancarkan keraguan. Ia telah menjalani hidup yang panjang, melihat banyak pertempuran, dan ia tahu betul risiko dari setiap tindakan."Itu sangat berbahaya," kata Surapati, suaranya tenang namun m
Tama mendekat, menepuk bahu Kepala Desa dengan ramah. Lalu dia berkata, "Sudahlah, Kepala Desa. Lebih baik kita masuk saja. Nanti di dalam juga akan tahu apa yang akan dibahas."Tama kemudian beralih ke Asmaran. "Benar, Asmaran. Mari kita masuk. Semuanya sudah menunggu di dalam."Arwan menganggukkan kepalanya sambil berkata, "Ya, benar. Mari kita masuk. Aku juga sudah tidak sabar ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi."Asmaran juga mengangguk setuju. "Baiklah. Mari kita masuk."Mereka berdua pun masuk ke dalam rumah utama, diikuti oleh semua prajurit yang telah berkumpul.Suasana di dalam rumah terasa hening dan penuh ketegangan, seperti udara sebelum badai datang. Semua orang duduk mengelilingi sudut ruang tengah, membentuk sebuah lingkaran yang seolah menjadi benteng terakhir mereka. Rajendra duduk di tengah, di sebelahnya ada Surapati, wajah mereka berdua serius dan penuh kewaspadaan.Sementara Ranjani dan Kirana berada di dalam kamar, diperintahkan untuk tetap berada di sana.Raj
Dipa, yang menyadari tatapan tajam pria itu, mengangkat kepalanya dan menatapnya dengan raut wajah yang polos. Ia memaksakan sebuah senyum tipis di bibirnya, senyum seorang warga desa yang ramah."Ada apa? Apakah Anda butuh sesuatu? Apakah Anda mau beli roti? Maaf, kami belum buka. Roti-roti ini baru saja diolah. Kalau Anda mau, tunggu di depan saja. Nanti jika sudah matang, kami akan bawa ke depan,” kata Dipa dengan tenang.Prajurit itu menelan ludah, keraguannya semakin menjadi-jadi. Ketenangan Dipa, aroma lezat yang tercium, dan pemandangan Kirana yang begitu ramah membuatnya merasa bodoh. Ia tahu betapa terampilnya penyusup yang ia kejar semalam, dan orang di hadapannya ini tidak tampak seperti prajurit yang cekatan.Jati kemudian datang dari ruangan lain, membawa dua potong roti yang baru saja dikeluarkan dari oven. Aromanya lebih kuat dan lebih lezat, membuat perut prajurit itu bergejolak.Jati menyerahkan kedua roti itu kepada prajurit tersebut dengan senyum hangat. "Ambillah,