"MAU KABUR KEMANA HAH?!"Kania dan bi Imas kaget setengah mati mendengar suara teriakan Cakra. Terlebih Kania yang rambutnya dijambak saat sedang ingin merangkak keluar. Sambil berteriak kesakitan, Kania mencoba melepaskan cengkeraman tangan Cakra pada rambut Kania. Bi Imas yang melihat itu pun refleks berusaha menolong Kania. Namun kekuatan laki laki berusia 38 tahun itu lebih kuat dibandingkan keduanya. "Mas, ampun mas. Mas, lepasin aku!!" Cakra tak menggubris jeritan Kania. Bahkan bi Imas pun didorong hingga jatuh oleh Cakra. Diseretnya Kania hingga ke kamar kurungan yang sebelumnya berhasil ia lalui. Penjaga yang tertidur masih tergeletak didepan kamarnya. Jerit tangis Kania menghiasi seluruh ruangan. Karena rumah mereka yang besar dan luas, ia yakin suaranya takkan terdengar oleh tetangga mereka."DIAM!!" Cakra membentak Kania sambil menampar kedua pipi Kania berulang kali. Entah setan mana yang merasuki tubuh Cakra yang membuat dirinya gelap mata. Sambil menahan sakit Kania ter
Suasana hati Cakra benar benar sedang buruk. Baru saja Kania berusaha kabur, ditambah Imas sang pembantu yang menolong Kania juga ikut kabur. Della yang melihat suaminya masih emosi mencoba meredakannya dengan memberikan segelas alkohol yang tersimpan mini bar yang baru. Dirumah Cakra sebelumnya tak ada mini bar maupun minuman beralkohol. Namun semenjak Cakra mengenal Della yang terbiasa hidup dengan dunia malam, Cakra jadi ketagihan mengkonsumsi minuman beralkohol. Mini bar ini pun keinginan Della. Ditambah lagi sekarang tak ada lagi kuasa Kania untuk melarang suaminya. Selain alkohol, Cakra juga jadi sering pergi ke klub malam. Meski saat ini ia sudah tak lagi pergi ke klub malam semenjak Della hamil."Minum dulu mas." Della membawa segelas wiski denga dua butir es batu untuk Cakra. Sembari memijit kepala Cakra dengan perlahan, Della berusah membuat Cakra nyaman."Udahlah mas ga usah dibawa pusing begitu. Santai aja." Ucapnya lagi. Sambil membuka kancing baju Cakra, Della mengusap p
Imas berlari menuju rumah orangtuanya begitu sampai di kampung kelahirannya dan anaknya. Meski lelah karena menempuh perjalanan selama tujuh jam. Begitu membuka pintu, ia mendapati orangtuanya sedang duduk bersantai di ruang tengah. Orangtua Imas begitu terkejut melihat kedatangan anak mereka tanpa pemberitahuan."Lho neng, kunaon balik teu ngabari? aya naon?" Ibu Imas terkejut mengapa Imas pulang tanpa mengabarkan. Raut wajahnya terlihat panik. Tak jauh berbeda dengan sang ayah."Ardi mana mi?" ucap Imas tak menjawab pertanyaan ibunya sambil menuju kamar sang anak."Kan Ardi ikut study tour. Waktu minggu kemarin telepon ummi udah ngomong kan sama kamu. Emangnya kenapa sih neng, kunaon? carita ka umi. Kamu tiba tiba balik ga ngomong dulu, kamu bikin umi sama abah khawatir. Memangnya ada apa? Kamu teh dipecat?" Berondongan pertanyaan keluar dari mulut ibunya.Mendengar jawaban sang ibu, Imas yang biasa dipanggil eneng oleh ibunya itu yakin ibunya tak tahu bahwa anaknya dijemput oleh ma
Kania terkulai lemah diatas tempat tidurnya. Sekujur tubuhnya masih dipenuhi luka serta lebam. Salah satu matanya bahkan berwarna merah darah dilapisan korneanya. Penampilannya sungguh tak karuan. Sejak kemarin ia hanya rebahan karena seluruh tubuhnya terasa luluh lantak. Untuk sekedar ke kamar mandi saja ia harus menahan sakit yang teramat pada kakinya.Cakra, si pelaku kekerasan, bersamanya didalam kamar sejak kemarin. Bagai pahlawan kesiangan, ia mengobati Kania dengan telaten. Menyuapinya makan, mengoleskan salep bahkan membantunya ke kamar mandi. Adanya Cakra bersamanya membuat perasaan Kania campur aduk. Ia membenci Cakra setengah mati, kesal bahkan penuh amarah. Namun sikapnya kali ini justru membuat amarah Kania jadi sedikit melunak. Cakra bahkan menemani Kania hingga tertidur meski ia tak tidur bersamanya semalam. Namun ketika Kania membuka mata pagi harinya, sosok Cakra kembali muncul dihadapannya dan lagi lagi bersikap baik padanya."Ini makan dulu habis itu minum obatnya."
Kania tak bisa tidur sejak semalam. Sepeninggalnya Cakra dari kamar Kania, ia terus memikirkan bagaimana ia akan menghadapi kenyataan hidupnya sebagai istri tua, istri yang dimadu. Kania mulai bimbang akan keputusannya. Apakah ia sanggup?Terdengar suara kunci yang dibuka dari pintu kamarnya. Memang meski ia telah menyetujui permintaan Cakra, namun sepertinya Cakra tetap waspada takut dirinya akan kembali kabur seperti kemarin. Dan Kania tak mempermasalahkan hal tersebut. Ia jadi terbiasa dengan keadaan yang seperti ini.Akan tetapi bukan wajah Cakra yang nampak seperti biasanya namun seorang wanita dengan perut yang sudah agak membuncit yang muncul kehadapan Kania. Della, istri kedua suaminya. Wanita yang berbagi hati suami dengan dirinya. Wanita sumber permasalahan rumah tangganya. Wanita yang merubah hidupnya menjadi seperti dineraka.Ingin rasanya Kania melompat dan menjambak rambut yang terurai pada wanita penggoda suaminya itu namun ia teringat akan persetujuannya semalam pada s
Kania merebahkan diri setelah berkutat dengan sejumlah pekerjaan rumah yang melelahkan. Tadi pagi setelah sarapan Cakra menjelaskan keadaan yang akan ia hadapi. Karena bi Imas kabur untuk sementara Kania yang akan mengurus seluruh pekerjaan rumah tangga sampai mereka dapat asisten rumah tangga yang baru. Entah mengapa Kania tak percaya penjelasan Della yang mengatakan sulitnya mencari pengganti Imas. Padahal banyak sekali penyalur asisten rumah tangga yang menawarkan jasa mereka. Ditambah harus ia juga yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga karena Cakra beralasan Della sedang hamil jadi tak bisa jika harus ikut membantu pekerjaan rumah.Selain itu kini kamar utama yang dulu ditempati Kania harus rela diberikan pada Della. Dengan alasan Della yang sedang hamil lebih membutuhkan kamar utama yang ukurannya lebih besar. Kania sempat menolak permintaam itu, bagaimanapun juga ini rumahnya dan kamar utama adalah miliknya namun bukan Della namanya jika ia tak bermulut manis mengiba pada Kani
"Mbak itu disitu masih kotor." Della menunjuk kearah kolong meja yang ada dihadapannya kepasa Kania. Sambil menahan emosi karena sejak tadi Della selalu saja menyuruh dirinya dengan seribu alasan. Dari memasak sarapan hingga membersihkan rumah, semua dilakukan Kania sedang Della bersantai santai saja. 'Sabar Kania, sabar' batin Kania sejak tadi.Sebenarnya Kania berencana untuk kabur dari rumah sejak dirinya tak lagi dikurung di kamar belakang namun Cakra memperkerjakan penjaga didepan rumahnya sebanyak 4 orang yang bergantian jaga tiap pagi dan malam hari. Ia berusaha mencari celah agar bisa pergi dan mencari bantuan. Saat Cakra melepaskannya dan berharap Kania menerima pernikahan suaminya dan Della, Kania hanya berpura pura saja. Begitupun saat ini dimana ia rela menjadi pembantu dirumahnya demi membuat Cakda dan Della lengah dan menjadikan keuntungan untuk Kania supaya bisa pergi dari sini.Namun sepertinya kesabaran Kania harus dipertebal lagi karena saat ini Della bertingkah bena
Kania sedang membersihkan dapur sehabis memasak untuk makan malam saat seorang pria paruh baya menghampiri dirinya. Dengan tatapan matanya yang terlihat memiliki niat tertentu ke arahnya membuat Kania risih. Selama menjadi istri Cakra, Kania berusaha menghindari sebisa mungkin interaksi dengan lawan jenis. Karena itu ia merasa terganggu saat ada seorang pria yang menatao dirinya dengan intens."Ada perlu apa?" Jengah ditatap sedemikian rupa membuat Kania memberanikan diri menegur lelaki bertubuh gempal tersebut. Yang ditanya hanya tersenyum dengan senyuman yang justru membuat Kania semakin terganggu. "Apa kau pekerja disini?" tanya pria paruh baya itu. "Bukan." Jawab Kania dengan tegas dan singkat kemudian ia segera buru buru pergi daripada terus meladeni pertanyaan pria tersebut.Namun Kania belum bisa bernafas lega karena Kania merasa pria tersebut mengikutinya. "Tunggu dulu, saya belum selesai bicara." ucap pria itu sambil terus mengikuti Kania. Melihat gelagat pria tersebut Kania