Share

Tamparan Keras Sepuluh Kali

“Itu baru dua tamparan. Masih butuh beberapa tamparan lagi sampai aku puas,” kata Adit.

Dia lalu melancarkan tamparan lagi ke pipi kirinya Joni, tapi dengan cepat tangannya ditahan oleh Bob.

“Keparat! Berani-beraninyna kamu menampar Bos Joni!” hardik Bob.

“Hey, apa maksudnya ini, Botak? Kamu mau mengingkari janjimu sendiri, hah?!” kata Adit, memelototi Bob lalu Joni.

“Lepaskan dia, Bob!” perintah Joni.

“Tapi, Bos…”

“Aku bilang lepaskan dia! Aku kalah bertaruh. Aku harus membiarkan dia menamparku. Itu bagian dari kesepakatan.”

Bob tampak enggan melakukannya, tetapi dia tak punya pilihan sebab itu perintah langsung dari Joni.

Joni sendiri kini sudah kembali berdiri tegak, menatap Adit dengan kesal.

Meski otaknya mesum, Joni bukan tipe orang yang akan mengingkari janji. Tadi dia dan Adit telah bersepakat. Kini, dia harus menerima konsekuensi dari kekalahannya.

Adit tersenyum meledek ke arah Joni, memutar-mutar sedikit tangan kanannya, bersiap kembali menampar Joni.

Dan dia pun menampar berkali-kali tanpa jeda. Total ada sepuluh tamparan yang dia berikan.

Joni sempat terhuyung-huyung sebelum akhirnya berdiri tegak lagi. Ujung bibirnya terluka. Dia mengusap-usap pipi kirinya yang memar sambil meringis kesakitan.

“Sekarang pergilah!” usir Adit.

Joni menatap Adit penuh dendam. Begitu juga Bob. Mereka tak akan pernah melupakan momen tak terduga ini.

“Kita akan bertemu lagi,” kata Joni, balik badan dan pergi, disusul oleh Bob.

Adit tak menanggapinya, hanya meminta mereka menjauh dengan gerakan tangan.

Beberapa saat kemudian, Adit menghela napas. Tangan kanannya yang dia gunakan untuk menampar Joni tadi kini gemetar. Tubuh Adit Winarta rupanya tak sekuat tubuh Alvin Sanders.

‘Tapi paling tidak, sistem canggih itu sudah terintegrasi ke tubuh baruku ini. Ini baru awal dari semuanya,’ pikir Adit, sambil mengibas-ngibaskan tangannya itu.

Mendapati Joni dan pengawalnya itu pergi, Julia dan Diana, yang selama beberapa saat sebelumnya hanya diam di tempatnya masing-masing, saling menatap satu sama lain dengan bingung, lalu menghampiri Adit.

“Adit, apa yang sebenarnya terjadi? Barusan itu kamu benar-benar mentransfer 20 juta ke rekeningnya Pak Joni?” tanya Julia.

“Iya, Ma,” jawab Adit, masih sambil mengibas-ngibaskan tangannya yang kanan.

“Tapi dari mana kamu punya uang 20 juta?” tanya Diana.

“Oh, soal itu… tadi aku… meminjamnya dari teman lamaku. Tapi tenang saja. Dia tak memintaku mengembalikannya segera kok,” jawab Adit.

Tentu saja dia berbohong. Teman lama? Saat ini sudah tak ada lagi teman lamanya Adit Winarta yang bisa dihubungi olehnya, apalagi untuk dipinjami uang 20 juta.

Dia berkata seperti itu sekadar untuk membuat semua ini terdengar masuk akal.

“Serius kamu, Adit? Awas saja kalau sampai teman lamamu itu tiba-tiba datang menagih dan meneror kita seperti Joni dan pengawalnya itu!” Julia menatap Adit curiga.

“Tenang saja, Ma. Dia tak akan melakukan itu,” kata Adit.

Malas memperpanjang adu omongan dengan ibu mertuanya, Adit memilih untuk melengos ke arah mobil, lanjut mencucinya.

“Kamu bersiap-siaplah, Sayangku. Ini sebentar lagi selesai,” katanya kemudian, tanpa menatap Diana.

Julia dan Diana kembali saling menatap satu sama lain, bertanya-tanya apa yang terjadi pada Adit.

Bukan saja Adit tiba-tiba punya nyali untuk menantang Joni, dia pun tampak peduli pada situasi sulit mereka berdua.

Ini sungguh tidak biasa.

“Ya sudah aku siap-siap dulu,” kata Diana akhirnya, masuk ke rumah.

Sementara itu Julia masih berdiri di tempatnya, mengamati Adit yang tampak aneh itu sambil berkacak pinggang.

Tak lama setelah Diana berangkat, Adit kembali ke kamarnya.

Sejak sekitar tujuh bulan yang lalu, dia menempati kamar yang terpisah dengan kamar istrinya.

Dulu kamar ini sempat ditempati ART. Tapi sejak mereka tak sanggup lagi membayar ART, kamar itu dijadikan gudang untuk menyimpan kardus-kardus.

Adit kemudian menempatinya sebab Julia tak sudi pria tanpa pekerjaan sepertinya tidur sekamar dengan putrinya.

Kamar ini sebenarnya agak pengap karena tak ada ventilasi, tapi Adit sudah terbiasa.

Duduk bersila di kasurnya yang keras, Adit menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan.

Dia ingin tahu sudah sejauh mana sistem canggih itu terintegrasi dengan tubuh barunya ini.

[Ting!]

Layar hologram itu kembali muncul. Adit membuka mata, membaca apa-apa yang tertulis di situ.

[Sistem berhasil diaktifkan. Proses penyesuaian dengan tubuh baru sudah 72%. Sejumlah fitur sudah bisa digunakan oleh user.]

[Pilih ‘Open’ untuk melihat fitur-fitur yang sudah siap.]

Adit mengatakan ‘Open’ dalam hati, dan layar berganti. Kini muncul sebuah persegi 6x6 dengan beberapa kotak terisi gambar kunci.

Itu adalah fitur-fitur yang belum siap digunakan. Ada 20 jumlahnya.

Berkata dalam hati, Adit meminta si sistem membuka fitur ‘Physical Strength’.

Layar pun berganti lagi. Kali ini muncul sosok dirinya dalam wujud avatar yang berputar-putar seperti dalam game.

Adit memeriksa statistiknya dan menangguk-angguk. Dia lantas meminta si sistem untuk memindahkan poin kekuatan fisik yang tersedia di situ ke dalam dirinya.

Sekejap kemudian, dia merasa tubuhnya seperti dialiri listrik. Rasanya sakit dan ngilu, hingga dia memejamkan mata dan mendesis.

Tapi setelah itu, dia merasa sangat segar. Dan bukan hanya itu, otot-otot lengan dan dadanya pun mulai terbentuk.

Adit turun dari kasur, menanggalkan kaus oblongnya, lalu berdiri di depan cermin.

“Lumayan lah. Setidaknya sekarang tubuh baruku ini jelas bentuknya,” ucap Adit, tersenyum tipis.

Lalu tiba-tiba tampilan di layar hologram berganti sendiri. Adit refleks menatapnya.

[Misi pertama.]

[User harus makan siang mewah di salah satu restoran ternama di pusat kota. Minimal transaksi 100 juta.]

[Hadiah: sebuah kalung berlian murni senilai dua triliun rupiah.]

[Hukuman: tidak ada.]

[Deadline: hari ini pukul 14:00.]

Segera setelah Adit selesai membacanya, layar hologram itu lenyap.

Adit terdiam sebentar, mencoba mengingat sesuatu. Lalu dia tersenyum lebar.

Lusa adalah hari ulang tahun Nenek Fiona, pemimpin Keluarga Purwatama.

Semua anggota Keluarga Purwatama wajib menghadiri pesta ulang tahun yang pastinya akan sangat mewah itu.

Tahun lalu, saat mereka bertiga hadir di pesta, Keluarga Purwatama mencemooh dan mengolok-olok mereka sampai-sampai mereka pulang lebih dulu.

Siapa lagi kalau bukan Adit yang jadi sasaran olok-olok dan cemoohan itu.

Kali ini, Adit bisa membungkam mereka semua. Tapi untuk itu dia harus mendapatkan dulu kalung berlian murni senilai dua triliun rupiah itu.

Rencananya adalah, dia akan menjadikan kalung berlian tersebut sebagai kado ulang tahun untuk Nenek Fiona dari dirinya, Julia, dan Diana.

Tiba-tiba saja, Adit merasa bersemangat. Dia pun kembali berpakaian dan langsung menuju ke pusat kota.

Di The Divine Candle, salah satu restoran internasional termewah dan terpopuler di pusat Kota Parsha.

Adit baru saja memasuki restoran dan kini sedang dipandu seorang pelayan berseragam khusus ke salah satu meja.

Si pelayan, meski sebisa mungkin besikap profesional, terlihat bahwa sebenarnya dia malas melakukannya.

Orang-orang yang memasuki The Divine Candle biasanya berpenampilan elegan dan beraroma wangi, sedangkan Adit hanya mengenakan celana jeans dan kaus oblong biasa, dan sepertinya dia tak menyemprotkan parfum ke tubuhnya.

Jujur saja dia heran kenapa orang seperti ini dibiarkan memasuki area restoran oleh satpam di luar. Nanti setelah memberi arahan profesional kepada Adit, dia akan mengeluhkan hal ini kepada Kepala Pelayan.

“Di buku menu ini tertera hidangan-hidangan yang bisa Tuan pilih. Kalau Tuan sudah menentukan pilihan, silakan tekan bel di meja ini untuk memanggil saya,” kata si pelayan, mengangguk lantas mundur dan balik badan.

Raut mukanya langsung berubah saat dia membelakangi Adit. Menurutnya, sebutan yang tepat untuk orang seperti Adit bukanlah ‘Tuan’ melainkan ‘Gelandangan’.

Tanpa sadar dia mempercepat langkahnya, saking inginnya dia mengeluhkan hal ini kepada Kepala Pelayan.

Tetapi tiba-tiba langkahnya terhenti dan menoleh ke belakang. Adit memanggilnya sambil menunjuk-nunjuk ke buku menu.

Dengan senyum dan gestur profesional, pelayan itu menghampiri Adit di mejanya.

“Anda sudah menentukan apa saja yang mau Anda pesan, Tuan?” tanyanya.

“Iya. Aku mau pesan ini, ini, ini, ini, ini, ini, ini, dan ini,” kata Adit, menunjuk beberapa menu dengan harga yang fantastis.

Mata si pelayan membesar. Semula dia pikir Adit hanya akan memesan satu-dua menu saja, itu pun yang paling murah yang ada di buku menu.

Tapi baru saja dia memesan delapan hidangan dari buku menu, yang jika ditotal harganya mencapai 200 juta rupiah.

Apakah orang ini sedang mempermainkannya? Bagaimana mungkin dia bisa membayarnya?

“Tuan, apakah benar Anda mau memesan semua yang Anda tunjuk barusan?” si pelayan bertanya.

“Iya, benar. Kenapa memangnya? Ada yang sedang tak tersedia, ya?” Adit balik bertanya.

Plok! Plok! Plok!

Tiba-tiba terdengar bunyi tepuk tangan.

Adit dan si pelayan menoleh ke arah sumber bunyi, mendapati seorang pria dengan setelan necis berjalan ke arah mereka.

Bersama pria itu ada seorang wanita dengan gaun mewah berwarna merah gelap.

“Wah wah, mimpi apa aku semalam, sampai-sampai sekarang ini aku melihatmu di sini, Adit Winarta!” kata pria itu.

Dia adalah Erkan Suryaprasta, anak salah satu orang terkaya di Kota Parsha, pria yang hingga detik ini masih saja mengejar-ngejar Diana.

“Anda mengenal Tuan ini, Tuan Erkan?” tanya si pelayan.

Erkan terkekeh, memberi Adit tatapan menghina, lalu menjawab, “Oh, tentu. Tentu saja aku mengenalnya. Dia ini menantu sampah Keluarga Pratama.”

Si pelayan tampak terkejut. Dia menatap Adit, tapi kali ini tak lagi mempertahankan sikap profesionalnya.

“Mau apa dia di sini? Makan?” tanya Erkan.

“Benar, Tuan,” jawab si pelayan.

“Aduh aduh aduh… Sebaiknya kalian usir saja orang seperti dia ini. Dari yang kudengar, sudah hampir dua tahun ini dia menganggur. Aku khawatir dia bahkan tak sanggup membayar menu termurah yang kalian miliki,” hasut Erkan.

Adit mendengus. Mulanya dia hendak mengabaikan ocehan-ocehan Erkan dan fokus pada misinya. Tapi, seperti selalu terjadi, Erkan melampaui batas.

“Pelayan, cepat bawakan makanan-makanan dan minuman-minuman yang kupesan! Kalau perlu aku bayar sekarang!” kata Adit.

Giliran Erkan yang mendengus. Dia melepaskan tangan si wanita cantik yang bersamanya, melangkah maju ke mejanya Adit.

Brakk!

Erkan menggebrak meja yang ditempati Adit, menatap Adit dengan tatapan memusuhi.

“Pelayan, singkirkan orang ini dari meja ini! Aku ingin meja ini dan meja-meja di sekitarnya dikosongkan!” kata Erkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status