Share

Bab 11

Winda tersenyum masam dan berkata, “Iya, aku juga nggak nyangka.”

Dulu Jefri adalah sumber semua perasaan bahagia dan emosi serta kesedihannya. Winda tidak menyangka dia akan merasa sedih hanya karena satu kalimat Hengky.

Willy menatap Winda dengan tatapan dan ekspresi penuh arti. Melihat lelaki itu menatapnya, mendadak sebuah pemikiran terlintas di kepala Winda. “Hengky yang telepon kamu buat datang?”

Hengky sudah berpesan padanya untuk tidak memberi tahu perempuan itu. Dengan datar dia menjawab, “Bukan.”

Mata Winda berubah sedikit redup. Mungkin karena Bi Citra khawatir padanya dan menghubungi Willy. Dulu ketika dia sakit, lelaki ini yang memeriksanya juga. Semuanya hanya pemikirannya saja, dia yang terlalu berharap.

“Kamu jadi repot-repot ke sini. Aku nggak apa-apa, hanya sedikit masuk angin saja.”

Willy hanya melirik melihat wajah Winda yang pucat pasi dan berkata, “Aku sudah datang, biar aku periksa saja.”

“Terima kasih,” jawab Winda sambil menggeser tubuhnya dan membiarkan Willy serta Bi Citra masuk. Lelaki itu memeriksa keadaan Winda dan ternyata memang hanya demam biasa. Willy tertawa dan mengumpat Hengky dalam hati.

Hengky meneleponnya dan memaksanya dengan suara panik. Willy mengira sesuatu yang gawat telah terjadi. Ternyata hanya demam kecil biasa saja. Apakah Hengky pikir dirinya sangat tidak ada kerjaan dan banyak waktu luang?

“Hanya demam biasa, nggak ada sesuatu yang parah,” ujar Willy sambil mengeluarkan sebuah kantong dan berkata, “Ini obat yang sudah aku resepin. Diminum dua kali saja sudah cukup.”

Winda menerimanya dan mengucapkan terima kasih. Setelah keduanya berbincang sesaat, Willy bangkit dan pamit untuk pulang. Lelaki itu langsung menghubungi Hengky ketika dia sudah berada di dalam mobil.

Di ruang kerja CEO, sekretarisnya Hengky sedang melaporkan hasil rapat pada lelaki itu. Tiba-tiba ponsel milik lelaki itu berdering dan membuat sekretarisnya menghentikan ucapannya. Dia melirik sekilas pada Hengky yang sedang menunduk sambil membaca dokumen karena tidak tahu apakah dia harus lanjut berbicara atau tidak.

Hengky membubuhkan tanda tangan di lembar terakhir dan mengambil ponselnya untuk menerima panggilan telepon. Terdengar suara Willy yang berkata, “Kamu nggak peduli dengan istrimu? Telepon aku nggak langsung diangkat!”

Hengky melihat sekretarisnya dan memberikan tanda untuk keluar melalui lirikan matanya. Setelah itu dia bertanya, “Dia kenapa?”

“Kalau perhatian kenapa nggak pulang dan lihat sendiri?” balas Willy sambil menyunggingkan seulas senyum. Dengan nada yang sengaja dibuat berlebihan dia berkata, “Kamu nggak lihat kalau mata dia bengkak sekali. Aku pikir kamu yang sudah buat dia menderita.”

“Intinya!” sahut Hengky dengan kening berkerut.

“Intinya adalah aku merasa Winda nggak sama dengan yang dulu. Coba kamu pikirkan semangat dia demi Jefri dulu ….” Ucapan lelaki itu terhenti karena tersadar kalau dia baru saja salah berkata-kata. Dengan cepat Willy mengalihkan topik dan melanjutkan kembali ucapannya,

“Tadi dia tanya kamu yang minta aku datang? Aku blg bukan, tapi ekspresinya langsung terlihat kecewa. Jelas sekali kalau di hatinya ada kamu. Kenapa kamu nggak memanfaatkan kesempatan ini-“

“Kecewa?” ulang Hengky sambil terkekeh sinis. Kemudian dengan santai dia berkata, “Kamu nggak mengerti tentang Winda.”

Perempuan itu bisa melakukan apa pun demi Jefri. Dulu dia juga pernah melakukan hal yang sama demi Jefri dan Hengky memercayainya. Lalu setelah itu dia seperti orang bodoh yang dipermainkan oleh Winda. Hengky tidak akan mengulang kesalahan yang sama untuk yang kedua kalinya.

“Aku lihat dia nggak seperti sedang bohong,” ujar Willy dengan suara sedikit ragu.

Bagaimana pun perempuan itu seorang aktris dan kemampuannya bisa dikatakan lumayan bagus. Bisa saja perempuan itu memang sedang bersandiwara.

“Nggak penting, minta Pak Joni lepaskan orangnya,” kata Hengky dengan suara datar.

“Kamu sudah yakin?” tanya Willy memastikan.

“Iya.” Hengky bangkit berdiri dan berjalan ke depan jendela. Dia menatap pemandangan kota dengan sorot mata tak terbaca sambil berkata, “Aku kembalikan kebebasan yang dia inginkan.”

Willy membuka mulutnya dan mendadak tidak tahu harus berkata apa. Setelah itu sambungan telepon terputus.

Winda hanya merasa kepalanya berputar. Setelah minum obat, dia lanjut tidur lagi hingga sore. Perempuan itu terbangun karena deringan ponselnya. Winda mencari ponselnya dengan mata yang masih terpejam, dia meraba bawah bantal dan menekan tombol terima setelah menemukannya.

“Halo?” sapa Winda dengan suara serak. Matanya masih terpejam karena kantuk yang luar biasa hebat menyerangnya.

“Winda!”

Suara penuh emosi milik seorang lelaki terdengar dari seberang telepon. Rasa kantuk yang menyerang Winda beberapa saat tadi mendadak lenyap tak tersisa. Matanya langsung terbuka lebar.

Sampai mati pun Winda tidak akan lupa dengan suara itu. Tubuhnya bergetar dan tangan kanannya mencengkeram ponsel miliknya. Mata perempuan itu memancarkan sorot kebencian yang begitu kuat.

Jefri tidak merasakan ada yang tidak beres dengan Winda. Lelaki itu langsung menyemburkan amarahnya dengan berkata, “Winda, kenapa dulu aku nggak menyadari kalau kamu begitu licik dan nggak tahu malu? Aku nggak suka kamu ada hubungan dengan Luna. Dia begitu baik denganmu dan menganggapmu seperti kakak kandungnya sendiri!”

“Kenapa kamu justru melukai dia? Bahkan kamu mau mengusir dia dan Tante Clara dari rumah keluargamu. Kenapa kamu begitu picik?!”

Winda menarik napas dalam-dalam dan sebelah telapak tangannya terkepal erat hingga tubuhnya bergetar. Mendadak suasana sekitar berubah menjadi hening. Melihat Winda yang tidak ada reaksi membuat Jefri mengira perempuan itu menyadari kesalahannya dan tengah intropeksi diri. Nada bicaranya terdengar puas dan menang ketika berkata,

“Sekarang kamu pulang dan minta maaf sama Luna. Mohon sama dia untuk tetap tinggal dan minta Hengky minta maaf secara langsung sama aku! Aku akan memaksakan diri untuk berpikir kembali apakah mau memaafkanmu atau nggak. Kalau nggak, jangan harap ka-“

“Jangan mimpi!” potong Winda yang sudah tidak bisa menahan emosinya. Ucapan lelaki itu membuat dia merasa bahwa dirinya yang dulu sangat bodoh karena bisa menyukai lelaki seperti Jefri.

Winda tertawa dingin dan berkata, “Nggak ada yang berharap kamu maafin!”

Kalau saja Jefri ada di hadapannya, dia pasti akan melayangkan tamparan ke wajah lelaki itu.

“Ka-kamu bilang apa?” tanya Jefri yang terkejut dengan reaksi Winda.

“Aku bilang kamu pikir kamu siapa?! Jefri, kamu lupa kalau apa yang kamu miliki sekarang ini adalah pemberian aku! Tanpa aku, kamu pikir kamu itu siapa?!”

“Winda, kamu sudah gila?!” seru Jefri dengan penuh emosi. Kalimat Winda seperti sebuah tamparan telak di wajahnya dan membuatnya malu serta marah.

“Kenapa kamu berbicara seperti itu denganku? Aku perintahkan kamu untuk minta maaf sama aku sekarang! Kalau nggak, seumur hidup ini jangan harap aku akan melihatmu lagi dan jangan harap jadi kekasihku!”

Winda mendengus sinis mendengar ucapan lelaki itu. Dia yang berjuang hingga Jefri bisa menjadi seperti sekarang ini. Tanpa dirinya, lelaki itu kemungkinan hanya akan jadi peran pembantu saja. Dengan tidak tahu malunya Jefri merasa dia pantas mendapatkannya. Dasar lelaki tidak tahu malu!

“Tolong cari cermin dan lihat bentuk kamu sendiri. Memangnya kamu pantas jadi suami aku? Kamu masih berani memerintahku? Memangnya kamu berhak dan pantas?! Mau suami aku minta maaf sama kamu? Cih! Jangan mimpi kamu!”

Setelah itu Winda memutuskan sambungan telepon karena takut dia akan mual karena terlalu lama mendengar suara Jefri. Sedangkan Jefri terlihat luar biasa emosi karena Winda berani memutuskan sambungan teleponnya.

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status