Ada dua pasang mata pria yang sangat dekat dengan wajah Reihan. Yang satu sudah mempunyai anak dan yang satu lagi masih bertahan pada tahap berbapacaran yang sudah berjalan selama 5 tahun.âJauhkan sedikit wajah kalian dariku!â Reihan berdecak sebal. Dua temannya memilki tingkah yang sungguh ajaib. Bagaimana tidak, setelah Reihan mengatakan bahwa dia tau harus berbuat apa, kedua pria itu pun langsung mendekat bahkan sangat dekat di depan wajah Reihan.âCepat katakan!â seru Alio.âAku pernah dengar, katanya gadis itu tidak mempunyai rumah. Aku curiga dia adalah pasien rumah sakit jiwa,â jelas Reihan.Kedua temannya langsung melongo mendengar penjelasan Reihan. âGadis secantik itu tidak mungkin dari rumah sakit jiwa,â tutur Alio yang diangguki oleh Andreas.âGelagatnya aneh dan kenapa fotonya tersebar di sosial media? Apa menurut kalian hal itu tidak aneh?â tanyanya.Terlepas dari Anna yang terlihat sangat aneh, ada yang lebih membuat pria muda itu khawatir. Dia mengaku iba dengan Anna
Panas terik yang sangat menyengat, menyirami kepala tiga pria yang sedang berlari sekuat tenaga. Mereka bertiga sedang berusaha mengejar seseorang yang sempat bertemu dengan dua dari tiga pria tampan tersebut.âJangan mengejar, sepertinya gadis itu ketakutan!â teriak Reihan dari kejauhan. Dia tertinggal jauh karena hanya terpaksa ikut berlari bersama sahabat konyolnya tersebut.Anna, ya, memang Anna. Gadis itu hanya berjalan-jalan sebentar. Namun, musibah menghampirinya lagi. âAda urusan apa mereka denganku?â tanya Anna. Napasnya tersengal dan terasa sangat pendek. Keringat bercucuran membahasahi pelipis gadis itu.Karena teriakan Reihan tak kunjung didengar, Reihan memutuskan untuk lari lebih cepat. âBerhenti berlari!â teriaknya. Reihan yang sempat melihat foto Anna terpampang di feed instagram merasa gadis itu sedang berada dalam bahaya.Aneh, memang aneh. Ketiga pria yang sedang berlari memiliki motivasi dan tujuan yang sama. Mereka sama-sama ingin menjelajah waktu. Mereka ingin me
Denting jarum jam berbunyi mengikuti irama detak jantung Anna. Namun, detaknya lima kali lebih cepat dari biasanya. Tubuh gadis itu meremang, bulu kuduknya berdiri. Sosok putih itu semakin dekat. Anna berjalan mundur, hatinya merapalkan doa agar Tuhan menyelamatkan hidupnya.Lutut Anna gemetar, dia tidak sanggup melangkah barang seinci pun. Kakinya terpaku di lantai seakan inti bumi menariknya dengan magnet super.âJangan sakiti aku!â Suara Anna terdengar lirih.Sosok tersebut tidak bersuara, Anna dibuat semakin merasakan hawa yang sangat mencekam. Hingga akhirnya, cahaya pun datang, cahaya itu berasal dari salah satu lampu yang persis tergantung di atas kepala Anna.âHei, kenapa kamu menangis?â tanya sosok putih tersebut. Pria berjas putih alias seragam Dokter memang sedang melaksanakan tugas piketnya. Anna mengusap air mata yang entah kepan mengalir. Rasa takutnya sukses membuat wajah gadis itu begitu lembab dan sedikit merah.Dengan tubuh yang masih gemetar, Anna menjawab, âMaaf,
Alio bersorak bagaikan mendapat durian runtuh. Pria itu senang bukan kepalang, membuat kedua sahabatnya berbingung ria. âDia, dia yang kutemui kemarin, ternyata benar dugaanku!â pekiknya.Andreas berhenti menghisap batang rokoknya. Dia bergegas menghampiri Alio guna mencari tahu apa yang telah membuat sahabatnya tersebut begitu senang. Namun, berbeda dengan Andreas, Reihan lebih memilih bersantai di atas sofa. Tubuhnya dibaringkan dan kemudian memejamkan mata, tanpa pergerakan apapun lagi.âLihat gadis ini! Dia adalah gadis yang aku ceritakan padamu,â jelas Alio. âDan lihat kalungnya, kalung ini yang aku maksud,â tambah Alio lagi.Andreas memperhatikan kalung yang dipakai gadis itu dengan seksama. Memang dia akui, bahwa kalung tersebut tidak ada bedanya dengan benda kuno yang sempat dilihatnya di dalam buku.Andreas mengangguk. âBenar, kalung itu mirip sekali!ââJangan terlalu cepat menyimpulkan. Di zaman sekarang begitu banyak barang KW yang dibuat sangat mirip,â timpal Reihan, pria
Dorr!Satu tembakan melayang ke langit. Suaranya menggelegar menyapu udara. Tangan keriput sang nenek memegang erat pistol berukuran kecil yang entah dari mana dia dapatkan.Mata samentha, melirik cucunya tajam. âSekali kau melangkah, maka peluru ini akan menembus kepalamu!â Reihan tersenyum miring. Dia berdiri tegap seakan tak ada sama sekali ketakutan di dalam hatinya. Kedua tangannya dilebarkan, dengan yakin dia berkata, âSilahkan! Tembak saja aku, lagipula itulah yang aku inginkan selama ini.âMendengar ucapan sang cucu, tubuh Samentha melemah. Perlahan tangan keriput yang menodongkan pistol kepada cucunya sendiri, diturunkan dan menyimpan kembali benda ilegal tersebut.âPimpinlah perusahaan ayahmu!â Satu kalimat yang sangat menusuk ke ulu hati Reihan. Mata tajam yang awalnya menantang, kini berkaca-kaca, namun tetap terlihat sangat tegar. âUntuk apa? Apa Nenek bisa memberikan alasannya?â Datar, begitulah nada pria itu bertanya kepada sang nenek.âApa perlu alasan untuk memimpi
Suasana apa ini? Kenapa sangat terasa membosankan. Bagaimana tidak, di bawah terik matahari yang sangat menyengat, Anna berdiri dengan keringat yang bercucuran. Berulang kali gadis malang itu menyeka kulitnya yang basah. Badannya juga sudah terasa sangat lengket karena tidak mandi selama dua hari. Sementara itu, Reihan yang berdiri tak jauh di depan Anna, hanya fokus dengan lawan bicaranya dari balik telpon. âKamu serius?â Ekspresi pria itu terlihat sangat tegang. Bahkan dia tidak menghiraukan teriknya udara siang dan suara-suara yang mencuat di jalanan yang ramai. âTidak mungkin hilang secara misterius, pasti dimaling orang,â ujar Reihan yakin. âOke, aku akan ke sana, tunggu aku!â Reihan langsung menutup panggilan telepon sepihak, lalu bergegas pergi begitu saja. Dia melupakan Anna, gadis yang sedari tadi setia menunggunya di bawah terik matahari. âReihan!â Anna berteriak. Dia berlari mengejar pria yang awalnya mengajak gadis itu ke suatu tempat. Tapi, malah berakhir meni
âApa?â Mata bulat gadis itu membelalak. Anna bagai disambar petir yang menggelegar. Pria kurus itu meminta kalungnya sebagai bayaran atas apa yang telah Anna makan.Bibir Anna bergetar, dia gelagapan memandang ke sembarang arah, agar tidak bertatapan dengan pria yang berdiri hampir sempurna sejajar dengan dirinya.âHei gadis muda! Kenapa kamu diam saja. Cepat berikan kalungnya. Jangan pura-pura miskin!â oceh pria itu. Tangannya menengadah di depan Anna.Anna menatap telapak tangan pria itu. Matanya sayu, dengan terbata dia berkata, âMaaf Pak, saya tidak bisa memberikan yang ini. Ini adalah hadiah dari ibu saya.ââSialan! Sekarang kau mau apa, hah?â Wajah pria itu berubah merah. Matanya menatap Anna tajam.Anna berjalan mundur beberapa langkah. Lututnya gemetaran, tubuhnya terasa ditimpa timah tembaga.âMau kemana kau?â Pria itu berjalan maju mendekati Anna.âTolong! Siapa saja tolong aku!â teriak Anna getir. Pria di depannya semakin menatap gadis itu bringas, hingga akhirnya seseoran
Alio membuka buku yang cukup tebal. Dia membalik halaman demi halaman, guna mencari apa yang dia ingin ketahui. Sementara itu, Andreas, yang sudah lama bersahabat dengan dirinya, hanya berdiri sembari menguap berulang kali. âMau berapa lama lagi aku harus menunggumu membalik-balik buku itu?â tanya Andreas jengah.Alio berdecak, âSabar sebentar! Ini sudah yang ke-21 kali kamu menanyakan hal yang sama.ââCepat sedikit! Aku ada janji dengan pacarku,â ujarnya acuh.Aku salah memintamu ke sini, seharusnya aku menghubungi Reihan,â jengah pria yang sudah beristri tersebut.âJangan berharap banyak pada bocah ingusan itu, untung kita adalah seorang pria gagah,â ucap Andreas asal.âAku tidak setuju dengan pernyataanmu, aku lebih suka Reihan karena dia lebih cerdas,â jawab Alio, namun pandangannya tidak teralihkan dari buku yang sedari tadi masih dibalik-baliknya.âTerserah!â Andreas memutar mata malas. Karena Alio tak kunjung selesai dengan kegiatannya. Andreas yang sedari tadi hanya berdiri,
âTolong!â Suara Anna tercekat. Dunia apa ini? Di sini, semua terasa menyakitkan. Sejak tubuh gadis malang itu menginjakkan kaki di dunia yang penuh polusi itu, jeritan kepedihan terus mengikuti Anna. Sekarang apalagi? Belum cukupkah Tuhan memberikan cobaan? Padahal, Anna tidak berniat mengganggu hidup siapa pun. Hidup memang tidak adil! âNenek, hentikan!â Reihan berlari tergopoh menghampiri sang nenek yang semakin menggila. Kebenciannya terhadap perempuan telah membuat Samentha gelap mata. Leher Anna memerah, bagaimana tidak, meski sudah tua dan renta, tangan keriputnya masih terasa sangat kuat. Cekikan itu berlangsung lama, hingga akhirnya Reihan datang dan berhasil melepaskan Anna dari cengkraman sang nenek. lebih baik aku keluar dari sini, monolog Anna dalam hati. Di tengah napas yang masih tersengal, Anna berkata, âReihan, aku mau keluar!â seru Anna yakin. Reihan menoleh, âAku tidak pernah berniat menahanmu di sini, tapi tidak sekarang.â âBiarkan dia pergi, Amor! Su