" Arghh ... kau siapa?" Pria berbadan proposional yang bertelanjang dada, dibuat terkejut oleh kedatangan Anna.
Anna masih mencerna apa yang telah terjadi. Tiba-tiba perempuan berambut panjang itu berada di tempat ini. "Hei! Kamu siapa?" Karena tak ada jawaban dari gadis tersebut pria bernama Reihan itu kembali berteriak. Anna menatap Reihan dengan tatapan polos. "Maaf! Aku tidak tau kenapa bisa sampai di sini." "Kamu penguntit, ya?" Mendengar kata itu, raut wajah Anna berubah merah. Pipinya digembungkan membuat bibir kecilnya mengerucut lucu. "Aku, kan sudah bilang, aku tidak tahu kenapa sampai di tempat ini!" Reihan tertawa remeh, "Alasan klasik!" serunya. Reihan mendorong Anna dari ruang ganti berukuran sedang tersebut. "Cepat keluar dari sini, untung saja aku belum membuka celanaku!" Mata Anna membelalak, perkataan pria ini sungguh tidak enak didengar. "Aku juga tidak berminat melihat celanamu!" Anna pun keluar, semua mata tertuju pada dirinya. "Kenapa kalian melihatku seperti itu?" Dahi gadis itu mengekerut. "Kenapa kamu bisa di ruang ganti pria?" tanya seseorang yang berdiri lumayan dekat dari Anna. Mata pria itu melirik Anna yang berpakaian cukup aneh. Lumayan aneh jika dipakai ke sebuah Mall. "Aku tidak tahu, aku juga bingung!" ujarnya polos. Semua orang yang berada di sana sontak tertawa. "Konyol sekali wanita ini. Sebuah alasan klasik untuk mengelabui pria polos seperti kita," ujar salah seorang pria berbaju merah. Anna meremat jari-jarinya. Kenapa semua orang malah menertawakan padahal dia sudah berkata jujur? Tidak lama kemudian, Reihan keluar. "Ada apa ini?" tanyanya. Matanya menoleh pada Anna yang berdiri persis di sampingnya. "Kamu masih di sini?" Anna menengadah, pria di sampingnya ini begitu tinggi. "Tolong aku, mereka menertawakanku," ujarnya. Reihan terkekeh, "Aku tidak heran kenapa mereka semua tertawa," ujarnya tanpa rasa bersalah. Gigi Anna menggertak, ternyata pria itu juga sama. Sama-sama tidak punya perasaan. "Di mana jalan keluar dari sini?" tanya Anna kemudian. Reihan menghela napas. Tangan kanannya terangkat dan menunjuk pada ke arah ujung. "Di sana!" Anna mengangguk paham, lalu kemudian berjalan mengabaikan semua pandangan aneh orang-orang yang ada di dalam sana. ... Anna melirik setiap sudut tempat itu. Terlihat sangat megah dan mewah. "Tempat apa ini? Apa ini surga?" monolognya. Anna berkeliling, tanpa alas kaki, gadis itu berjalan sendirian membelah keramaian. Setiap Anna melihat benda baru, dia selalu menatap benda itu lama dan mengaguminya selama beberapa menit. Setelah beberapa jam berjalan, gadis itu pun berhenti karena sudah kehabisan tenaga. Anna duduk di salah satu kursi sembari memegangi perutnya yang keroncongan. "Aku lapar!" monolognya. Gadis itu merogoh semua bagian di bajunya. Berharap ada koin yang terselip untuk membeli sedikit makanan pengganjanl perut. Namun sayang, Anna tidak menemukan apa pun, karena pakaian yang dikenakannya tidak memiliki kantong sama sekali. "Apa di sini bisa menerima barter?" monolognya. Anna kembali berjalan, berharap menemukan koin yang bercecer di jalan. Kepala gadis itu menunduk guna memantau, kalau ada koin yang tergeletak. Anna berdecak sebal, dia tidak menemukan apa pun. Sementara, perutnya terasa makin keroncongan. Hingga tiba-tiba, mata gadis itu melihat sosok pria yang baru saja ditemuinya. "Pasti dia orang kaya!" serunya sumringah. Anna bergegas mengikuti pria itu, dan ... yap! Anna benar-benar bertindak sebagai penguntit. Merasa ada yang mengikuti, Reihan memutuskan untuk berbelok, dia mencari jalan pintas agar bisa memergoki perempuan itu dari belakang. "Ke mana perginya pria itu?" tanya Anna. Dia kehilangan jejaknya, padahal mata Anna tidak lepas dari pria tersebut, namun pergerakan Reihan lebih cepat dari tatapan gadis itu. "Pria yang mana?" Suara tegas mengejutkan Anna dari belakang. "Anggur!" Gadis itu sontak menutup telinganya. "Kenapa kamu mengikutiku?" Reihan berdiri berkacak pinggang. Pria itu mendengus. Anna berbalik, sepertinya dia mengenali suara itu. "Kamu?" tanyanya polos. "Ternyata benar dugaanku, kamu ini penguntit!" Anna menggeleng cepat, dia bukanlah penguntit, yang dituduhkan pria itu sama sekali tidak benar. "Aku bukan penguntit, aku hanya lapar!" serunya. "Aku lapar! Dan aku tidak punya koin,” mata gadis itu berkaca-kaca. “Pulang sana! Biar dapat makan,” seru Reihan datar. “Aku tidak punya rumah di zaman ini,” ujar Anna jujur. “Berhenti bohong padaku! Aku tidak suka perempuan yang suka berbohong.” Reihan berjalan keluar meninggalkan Anna yang sudah sangat kelaparan. "Kenapa kamu tidak memercayaiku, aku benar-benar lapar! Anna mendengus. Rasa laparnya membuat emosi gadis itu meningkat. Reihan membuang napas jengah. Sepertinya dia harus berurusan dengan gadis ini sekali lagi, sebelum benar-benar terbebas dan hidup bahagia selamanya. “Ya, sudah, mari ikut aku!” Duarr!!! Arghhhh!! Belum sempat Reihan dan Anna melangkah, suara ledakan yang sangat keras terdengar. Segerombolan orang berjas hitam berlari mendekat.“Pokoknya Anna harus ikut bersamaku!”“Tidak bisa! Aku yang pertama kali menolongnya. Akulah yang berhak memiliki Anna.”“Emangnya kau siapa? Aku adalah calon suaminya.”“Jangan menghayal! Akulah calon suami Anna!”Anna tertarik ke sana-kemari. Kedua tangannya terasa ingin lepas. Entah apa yang dipikirkan pria itu, hingga memperlakukan Anna sedemikian rupa.“Berhenti! Kenapa kalian malah menarikku. Bukannya kalian sedang membahas neneknya Reihan?”“Nenek Reihan? Siapa dia?” tanya Regal yang berdiri tak jauh dari Anna.Anna berdiri murung, kedua tangannya dipegangi dan tak ada yang menariknya sama sekali.Regal maju beberapa langkah, dia memerintahkan kedua perawat yang sedang memegangi Anna untuk melepaskannya. “Anna … siapa yang kamu maksud neneknya Reihan?” tanya Regal penuh kelembutan.Anna membelalak, kenapa tiba-tiba Regal ada di tempat ini juga? “Regal?” tanyanya.Regal mengangguk, dia sedikit merapikan seragamnya yang berwarna putih. “Iya, aku Regal,” ujarnya sembari mengangguk
Angin sepoi menyapu wajah Reihan, namun rasanya seperti ditampar bebatuan kecil. Begitu banyak fakta tak masuk akal yang harus dia terima dengan logika. “Kamu jangan asal bicara! Aku sangat mengenal sahabatku.”Ronald tertawa, wajahnya terlihat begitu tenang, tak ada raut kebohongan sama sekali. “Aku akan membongkar semuanya di sini, hingga akhirnya kamu akan tahu, dunia sekitarmu tak berjalan seperti yang kamu lihat.”Anna melongo, sebenarnya apa yang dimaksud oleh Ronald. Pria itu bahkan terlihat sangat membenci Reihan, padahal dia bekerja dengan Samentha yang notabennya adalah nenek dari Reihan. “Sebenarnya kamu ini mendukung siapa?” tanya Anna keheranan.Reihan dan Ronald menoleh pada Anna yang duduk tidak jauh dari mereka. “Aku tidak mendukung siapa-siapa, aku mendukung diriku sendiri.”“Lalu, kenapa kamu bekerja dengan neneknya Reihan?” tanya Anna kemudian. Matanya menatap Reihan sekilas, lalu berbalik melirik Ronald.
Suasana romantis kini langsung berubah dramatis. Pria yang berdiri tiba-tiba yang bertanggung jawab atas perubahan suasana itu. Reihan menolehkan kepala ke belakang. Matanya langsung nyalang kala wajah pria itu masuk retina matanya. “Dari mana kau tau kami ada di sini?” Rahang pria itu menggertak.“Jika aku tak tau, nenekmu mungkin tak akan mengangkatku jadi detektif untuk memata-mataimu, Amor!” Ronald menyeringai, alisnya dinaik-turunkan seakan mengejek pria itu.“Apa yang kau inginkan, hah?” Nada Reihan kian lantang. Sementara, Anna hanya melongo tak tahu harus membela siapa.“Aku ingin kau kembalikan kalung Anna. Aku tahu kembaran kalung Itu berada di tangan kembaran Andreas.” Deg!Jadi, yang dilihat oleh Reihan benar adanya. Tapi, itu bukanlah Andreas sang sahabat, melainkan kembarannya. “Dari mana kau tahu, ha? Kamu jangan coba-coba membohongiku!”Berbeda dengan Reihan yang terlihat sangat marah. Anna justru
Sudah beberapa minggu lebih Renata ditahan di kamar sendirian. Akhirnya, dia bisa membobol pintu menggunakan alat seadanya. Hingga, sekarang wanita itu berdiri di ambang pintu, mendengar fakta pahit yang keluar dari mulut Ronald.“Kenapa anakku menikah tanpa sepengetahuanku?” Manik indah Renata menoleh pada Samentha yang sedari tadi juga menatapnya.“Dari kapan kamu berdiri di sana?” tanyanya lembut. Dia berjalan perlahan menghampiri sang menantu dan langsung memeluknya erat.Renata menepis pelukan itu. “Sudah, Bu! Jangan berpura-pura baik. Ibu selalu mengekang anakku, kan? Aku mengetahuinya, Bu!” Perubahan apa yang sedang ditunjukkan Renata saat ini? Apa wanita itu sudah berangsur membaik? “Sayang! Kamu sudah sehat?” Manik Samentha berkaca-kaca, dia kembali memeluk mantu kesayangannya itu.Pelukan tersebut, kembali ditepis. Samentha bahkan hampir terjatuh karna terhuyung ke belakang lumayan kencang. Untung Ronald sigap menangkap tubuh n
Burung-burung berkicau, angin menggerakkan pohon rindang. Aroma tanah basah menyeruak di mana-mana. Kini, Anna, gadis itu tengah duduk di tengah gubuk tua beralaskan tanah. Entah ke mana pikiran pria itu. Sungguh gila, tak masuk logika.“Anna, ini kayu bakarnya!” Reihan berlari masuk ke dalam. Tangannya mengenggam ranting kayu basah. Anna menghela napas jengah, penampilan pria itu tak ubahnya seperti gombal. Tapi, apa? Dia hanya membawa lima ranting kayu, dan itu pun kayu yang basah. “Pakai logika kalau mau melakukan apa-apa, Rei!” Reihan melongo, dia menjatuhkan kayu bakar itu dan mendekati Anna dengan cara duduk di sampingnya. “Emang apa yang salah?” tanyanya dengan tatapan tak berdosa.Anna mendorong wajah sok polos Reihan menggunakan telunjuknya. “Menjauh sedikit!” Reihan terkekeh, dia sangat suka mendekatkan wajah pada gadis itu. “Maaf! Kalau dilihat lebih dekat, kamu lebih cantik!” Matanya mengerjap beberapa kali. Senyumnya begit
“Kalau kamu turun di sini, survey membuktikan seratus persen kamu akan tersesat!” Reihan tersenyum miring, dia sangat yakin Anna tidak akan turun di tempat ini. Tempat yang sangat jauh dari rumah Regal.Anna kalah telak, turun di tempat ini adalah pilihan yang salah. Dia akan kembali jadi gelandangan di jalan dan kelaparan. Dia menghela napas panjang, mau tidak mau Anna harus mengikuti pria ini sekali lagi. “Baiklah, kita mau ke mana?”Nah, kan, insting Reihan tidak pernah salah. Bibir tebal itu terangkat ke atas, jantungnya berdegup seakan menyanyikan lagu cinta. Manik indah itu tak hentinya menatap gadis yang duduk diam di sampingnya. Sambil tersenyum bibirnya mengucap, “Cantik!” gumamnya nyaris tak terdengar.“Awas, Rei!”Tiba-tiba, ada seorang nenek-nenek yang melintas di depan mobil Reihan. Reihan yang fokusnya bukan ke setir lagi pun terhentak dan menginjak rem mendadak.Untunglah tidak terjadi insiden yang