“Ayo pulang Tuan Amor, ini perintah nenek.” seorang pria berbadan kekar membungkuk di depan Reihan yang dipanggilnya Amor.
Reihan berdecak, “Berhenti menakuti teman-temanku!” ucap Reihan sembari mengacak rambutnya kesal. “Kami tidak menakuti Tuan, kami hanya menjalankan perintah,” ucap pria tersebut. “Bilang ke nenek, aku tidak seperti keparat tua itu. Jadi, nenek tidak perlu mengekangku!” seru Reihan. Sementara itu, Anna yang berdiri sedikit jauh di belakang, hanya diam terpaku. Dia masih terkejut dan tidak pernah menyangka akan adanya peluru yang melayang di atas kepalanya. Suasana berubah menjadi mencekam. Semakin lama Reihan berdebat dengan pria berpakaian hitam tersebut, maka semakin berdegup jantung Anna. Anna benar-benar tidak tau apa yang sedang terjadi. Bukannya para pria berseragam serba gelap tersebut ingin membunuh mereka berdua? Tapi, kenapa Reihan tidak mencoba untuk berlari dan kabur untuk menyelamatkan diri? Sungguh aneh, Anna tidak dapat memprediksi tingkah laku orang-orang di zaman ini. “Tapi, Tuan, ini perintah. Tuan Amor harus pulang dan jangan bergaul dengan wanita!” ujar salah satu dari sekian banyak pria berbadan kekar yang berdiri di sana. Reihan mengusap wajah kasar. “Berhenti memanggilku dengan sebutan Amor! Aku tidak sudi menyandang nama itu!” teriaknya. “Dan kalian semua,” ujar Reihan. Dia berhenti sejenak sembari menunjuk semua pria tersebut. “Berhentilah menjadi budak nenek. Aku tau kalian butuh uang, maka bekerjalah denganku!” serunya yakin. Anna semakin dibuat bingung. Sebenarnya apa masalah Reihan dengan para pria berotot tersebut? Untung saja mereka berada di tempat yang cukup jauh dari keramaian. Jadi tidak terjadi kegaduhan ulah peluru yang sukses mengejutkan mereka berdua. Sementara mereka semua berdebat, rupanya para cacing di perut Anna pun sudah memulai perdebatan mereka. Anna memejamkan matanya. Dengan modal nekat, dia berteriak, “Behentilah berdebat di depanku!” teriaknya cukup keras. Semua orang menoleh kepada Anna termasuk Reihan. Mendengar adanya pemberontakan, para pria kekar itu bergegas maju menghampiri Anna, berniat untuk menangkapnya. Namun, Reihan berhasil menahan mereka semua. “Jangan!” serunya lantang. Sontak mereka yang awalnya berniat untuk maju, akhirnya mundur dan kembali ke tempat semula. “Baiklah! Aku akan pulang, tapi gadis ini akan ikut bersamaku,” ucap Reihan mantap. Semua pria di sana saling tatap. Tentu saja hal itu adalah sebuah pelanggaran dari peraturan yang telah ditetapkan oleh nenek untuk Reihan. “Kalian tenang saja, aku yang akan mengurus nenek. Aku pastikan kali ini kalian semua tidak akan mendapatkan murka nenek,” ucap Reihan. Namun, berbeda dengan Reihan yang akhirnya setuju untuk pulang. Anna yang tidak tau apa-apa, malah menarik tangan pria tersebut dan membawanya berlari. “Ayo lari!” seru Anna lantang. Merasa tangannya telah ditarik, Reihan pun reflek berlari. “Kenapa kamu menarikku?” tanya Reihan yang berlari di belakang gadis yang baru saja dia temui beberapa jam yang lalu. “Apa kamu ingin mati? Penjahat tadi ingin membunuh kita,” ucap Anna dengan napas yang terengah-engah. Reihan memutar mata malas. Dia berhenti berlari. Arghh! Bukk! Karena tindakan tiba-tiba dari Reihan, membuat Anna yang masih menariknya sambil berlari, tertarik ke belakang dan jatuh tepat di dada bidang pria itu. Punggung Anna terasa hangat ketika bersentuhan dengan dada pria yang ada di belakangnya saat ini. Beberapa saat kemudian Reihan mendorong Anna kasar, karena dadanya terasa perih ulah benturan yang baru saja terjadi. Anna berdecak kesal. “Apa tanganmu itu tidak bisa bertindak pelan-pelan?” tanya Anna. “Tidak bisa!” seru Reihan dengan wajah datar. “Kenapa kamu berhenti berlari?” tanya Anna lagi. “Kenapa aku harus ikut berlari bersamamu?” jawabnya singkat. “Apa kamu tidak takut denga pria berotot tadi?” tanya Anna polos. Reihan menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Dia berusaha menahan emosi agar tidak memaki gadis lugu yang berdiri di depannya ini. Dirasa emosinya sudah stabil, Reihan pun kembali berbicara. “Mereka itu adalah orang kepercayaan nenekku. Dan kamu sukses membuat mereka semua makin curiga padamu,” ucap Reihan. Reihan kembali menyambung ucapannya. Dia merubah posisi berdiri yang awalnya bertolak pinggang, menjadi memangku tangan di depan dada. “Padahal aku sudah berniat membawamu untuk makan di rumahku. Tapi, kamu menghancurkan semuanya.” Mata Anna mengerjap beberapa kali. Dia merasa sangat bodoh. Seharusnya dia tidak bertindak gegabah dan semua ini tidak akan pernah terjadi. “Maafkan aku, aku tidak tau,” ucap Anna pelan dengan kepala yang tertunduk sedih sekaligus malu. Tiba-tiba, perut Anna berbunyi cukup keras. Gadis itu terlihat pucat pasi dan seperti sangat kelaparan. Reihan melihat Anna yang sepertinya sangat lemah pun luluh. Dia mengesampingkan egonya dan mulai berbicara lembut kepada gadis tersebut. “Ayo kita makan!” ucap Reihan singkat. Dia berjalan terlebih dahulu meninggalkan Anna yang masih diam terpaku. Anna pun menurut dan mengikuti kemana langkah pria itu pergi. “Terimakasih!” ucap Anna pelan, namun masih terdengar oleh lawan bicaranya. Reihan hanya tersenyun miring. Dia terus berjalan menuju mobil hitam miliknya dan masuk ke dalam mobil tersebut. Anna juga ikut masuk. Walau pun dia belum mengetahui benda apa yang sedang di tumpanginya saat ini. Mobil pun melaju kencang membelah keramaian malam. … Kursi kayu bernuansa gold berderit seiring ayunan tubuh seorang perempuan tua yang sudah memiliki banyak uban di kepalanya. Tongkat hitam yang bersender tak jauh darinya, kini diambil lalu, ditancapkan ke lantai marmer dan wanita itu pun berdiri perlahan. “Mana cucu nakalku?” tanyanya dengan nada dingin. “Maaf nyonya, kami gagal membawanya pulang,” ucap seorang pria yang paling dipercaya di antara para bodyguard lainnya. Mendengar hal tersebut, tongkat kayu yang sedari tadi dipegang nenek tua itu pun melayang. Semua pria berusaha menghindar, walau ada beberapa yang terkena hantaman dari tongkat tersebut. “Kalian memang tidak becus! Menangkap anak satu saja tidak bisa!” serunya lantang. Mata nenek tua itu menyalang tajam. Bibirnya yang merah menukik ke bawah pertanda dia sangat marah. “Maaf nyonya, tadi kami hampir membawa tuan Amor pulang. Tapi, ada seorang gadis yang menariknya kabur,” jelas salah satu pria yang berbaris paling ujung. “Gadis?” Wajah perempuan tua itu semakin memerah. Emosinya kini berada di puncak kemarahan. “Beraninya dia melanggar peraturanku!” Tongkat kayu yang sudah dikembalikan ke tangannya, kini kembali melayang. Buk! Kepala seorang pria yang duduk paling belakang pun terbentur tongkat dan darah mengucur deras di dahinya. “Cepat bawa gadis itu ke hadapanku!” ucapnya lantang dan mengakhiri pertemuan dengan belasan pesuruh kepercayaannya. …. Sementara itu di sisi lain, Anna dan Reihan sudah selesai dengan acara makannya. Sekarang waktunya bagi Reihan untuk pergi dari gadis aneh tersebut. “Nah, sekarang adalah waktunya. Jangan pernah menampakkan diri lagi di hadapanku,” ucap Reihan datar. Anna mengangguk pelan. Mereka berdua pun berpisah di depan restoran. Arghhh! Belum jauh Reihan melangkah, teriakan Anna sukses membuat kaget pria tersebut. “Aku tidak mau!” teriak Anna.“Pokoknya Anna harus ikut bersamaku!”“Tidak bisa! Aku yang pertama kali menolongnya. Akulah yang berhak memiliki Anna.”“Emangnya kau siapa? Aku adalah calon suaminya.”“Jangan menghayal! Akulah calon suami Anna!”Anna tertarik ke sana-kemari. Kedua tangannya terasa ingin lepas. Entah apa yang dipikirkan pria itu, hingga memperlakukan Anna sedemikian rupa.“Berhenti! Kenapa kalian malah menarikku. Bukannya kalian sedang membahas neneknya Reihan?”“Nenek Reihan? Siapa dia?” tanya Regal yang berdiri tak jauh dari Anna.Anna berdiri murung, kedua tangannya dipegangi dan tak ada yang menariknya sama sekali.Regal maju beberapa langkah, dia memerintahkan kedua perawat yang sedang memegangi Anna untuk melepaskannya. “Anna … siapa yang kamu maksud neneknya Reihan?” tanya Regal penuh kelembutan.Anna membelalak, kenapa tiba-tiba Regal ada di tempat ini juga? “Regal?” tanyanya.Regal mengangguk, dia sedikit merapikan seragamnya yang berwarna putih. “Iya, aku Regal,” ujarnya sembari mengangguk
Angin sepoi menyapu wajah Reihan, namun rasanya seperti ditampar bebatuan kecil. Begitu banyak fakta tak masuk akal yang harus dia terima dengan logika. “Kamu jangan asal bicara! Aku sangat mengenal sahabatku.”Ronald tertawa, wajahnya terlihat begitu tenang, tak ada raut kebohongan sama sekali. “Aku akan membongkar semuanya di sini, hingga akhirnya kamu akan tahu, dunia sekitarmu tak berjalan seperti yang kamu lihat.”Anna melongo, sebenarnya apa yang dimaksud oleh Ronald. Pria itu bahkan terlihat sangat membenci Reihan, padahal dia bekerja dengan Samentha yang notabennya adalah nenek dari Reihan. “Sebenarnya kamu ini mendukung siapa?” tanya Anna keheranan.Reihan dan Ronald menoleh pada Anna yang duduk tidak jauh dari mereka. “Aku tidak mendukung siapa-siapa, aku mendukung diriku sendiri.”“Lalu, kenapa kamu bekerja dengan neneknya Reihan?” tanya Anna kemudian. Matanya menatap Reihan sekilas, lalu berbalik melirik Ronald.
Suasana romantis kini langsung berubah dramatis. Pria yang berdiri tiba-tiba yang bertanggung jawab atas perubahan suasana itu. Reihan menolehkan kepala ke belakang. Matanya langsung nyalang kala wajah pria itu masuk retina matanya. “Dari mana kau tau kami ada di sini?” Rahang pria itu menggertak.“Jika aku tak tau, nenekmu mungkin tak akan mengangkatku jadi detektif untuk memata-mataimu, Amor!” Ronald menyeringai, alisnya dinaik-turunkan seakan mengejek pria itu.“Apa yang kau inginkan, hah?” Nada Reihan kian lantang. Sementara, Anna hanya melongo tak tahu harus membela siapa.“Aku ingin kau kembalikan kalung Anna. Aku tahu kembaran kalung Itu berada di tangan kembaran Andreas.” Deg!Jadi, yang dilihat oleh Reihan benar adanya. Tapi, itu bukanlah Andreas sang sahabat, melainkan kembarannya. “Dari mana kau tahu, ha? Kamu jangan coba-coba membohongiku!”Berbeda dengan Reihan yang terlihat sangat marah. Anna justru
Sudah beberapa minggu lebih Renata ditahan di kamar sendirian. Akhirnya, dia bisa membobol pintu menggunakan alat seadanya. Hingga, sekarang wanita itu berdiri di ambang pintu, mendengar fakta pahit yang keluar dari mulut Ronald.“Kenapa anakku menikah tanpa sepengetahuanku?” Manik indah Renata menoleh pada Samentha yang sedari tadi juga menatapnya.“Dari kapan kamu berdiri di sana?” tanyanya lembut. Dia berjalan perlahan menghampiri sang menantu dan langsung memeluknya erat.Renata menepis pelukan itu. “Sudah, Bu! Jangan berpura-pura baik. Ibu selalu mengekang anakku, kan? Aku mengetahuinya, Bu!” Perubahan apa yang sedang ditunjukkan Renata saat ini? Apa wanita itu sudah berangsur membaik? “Sayang! Kamu sudah sehat?” Manik Samentha berkaca-kaca, dia kembali memeluk mantu kesayangannya itu.Pelukan tersebut, kembali ditepis. Samentha bahkan hampir terjatuh karna terhuyung ke belakang lumayan kencang. Untung Ronald sigap menangkap tubuh n
Burung-burung berkicau, angin menggerakkan pohon rindang. Aroma tanah basah menyeruak di mana-mana. Kini, Anna, gadis itu tengah duduk di tengah gubuk tua beralaskan tanah. Entah ke mana pikiran pria itu. Sungguh gila, tak masuk logika.“Anna, ini kayu bakarnya!” Reihan berlari masuk ke dalam. Tangannya mengenggam ranting kayu basah. Anna menghela napas jengah, penampilan pria itu tak ubahnya seperti gombal. Tapi, apa? Dia hanya membawa lima ranting kayu, dan itu pun kayu yang basah. “Pakai logika kalau mau melakukan apa-apa, Rei!” Reihan melongo, dia menjatuhkan kayu bakar itu dan mendekati Anna dengan cara duduk di sampingnya. “Emang apa yang salah?” tanyanya dengan tatapan tak berdosa.Anna mendorong wajah sok polos Reihan menggunakan telunjuknya. “Menjauh sedikit!” Reihan terkekeh, dia sangat suka mendekatkan wajah pada gadis itu. “Maaf! Kalau dilihat lebih dekat, kamu lebih cantik!” Matanya mengerjap beberapa kali. Senyumnya begit
“Kalau kamu turun di sini, survey membuktikan seratus persen kamu akan tersesat!” Reihan tersenyum miring, dia sangat yakin Anna tidak akan turun di tempat ini. Tempat yang sangat jauh dari rumah Regal.Anna kalah telak, turun di tempat ini adalah pilihan yang salah. Dia akan kembali jadi gelandangan di jalan dan kelaparan. Dia menghela napas panjang, mau tidak mau Anna harus mengikuti pria ini sekali lagi. “Baiklah, kita mau ke mana?”Nah, kan, insting Reihan tidak pernah salah. Bibir tebal itu terangkat ke atas, jantungnya berdegup seakan menyanyikan lagu cinta. Manik indah itu tak hentinya menatap gadis yang duduk diam di sampingnya. Sambil tersenyum bibirnya mengucap, “Cantik!” gumamnya nyaris tak terdengar.“Awas, Rei!”Tiba-tiba, ada seorang nenek-nenek yang melintas di depan mobil Reihan. Reihan yang fokusnya bukan ke setir lagi pun terhentak dan menginjak rem mendadak.Untunglah tidak terjadi insiden yang