“Aku sudah menjelajahi banyak waktu, Anak muda. Aku tahu jam ini tidak berasal dari sini.”
Rahang Cakra terbuka. Kepalanya mendadak kosong untuk beberapa detik saking terkejutnya mendapati ada orang lain yang juga berpindah dimensi waktu seperti dirinya. “Jam ini tidak dijual di Kepulauan Melayu.” Tatapan tajam Frans membuat Cakra semakin grogi. “Katakan padaku, dari waktu mana kau berasal, Anak muda?” Frans menunduk. Melihat Cakra dari bingkai kacamata bulatnya. Tatapan Cakra belum berpindah dari Frans yang sejak tadi bicara sambil memeriksa jam tangannya. Ia mencari kebenaran atas ucapan pria paruh baya itu. Cakra menggigit bagian dalam bibirnya. Berpikir keras. Jawab yang ia siapkan sudah diujung lidah. Hanya tinggal mengucapkannya saja. Namun, Acara memilih jawaban lain karena tidak ingin dianggap gila. Tetapi yang terpenting dia belum percaya kepada Frans. “Aku hanya ingin menjual jam ini. Anda tidak perlu tahu asalnya dari mana,” jawabnya. Frans meletakkan jam Cakra di atas etalase. Ia membetulkan kacamatanya yang terus melorot saat ia menunduk. Ia memperhatikan Cakra dengan tatapan menyelidik. “Tidak bisa seperti itu, Tuan Muda. Aku tau asal setiap barang yang aku jual. Aku tidak menerima barang curian.” Tangan pria yang rambutnya sudah memutih menyilang di depan dada. Frans dalam mode serius. Cakra menggaruk alis. Ia maju satu langkah sampai menabrak etalase. Cakra berbisik, “K-Kalau aku katakan aku berasal dari masa depan. Apa kau percaya?” Pun begitu dengan Frans, ia ikut maju sampai tubuhnya menyentuh etalase. Ia mendengarkan dengan serius. Matanya membelalak sesaat lalu bibirnya melengkung. “Dari tahun berapa?” Frans bisa menangkap kalau Cakra bingung dengan pertanyaannya. Ia lalu mengulangi, “Kau berasal dari tahun berapa?” Kini giliran Cakra yang melotot. Melihat Frans dengan tatapan aneh dan tidak percaya. “Anda percaya? Anda percaya kalau saya dari masa depan?” Frans hanya mengangguk. Ia lebih tertarik dengan jawaban Cakra. “Tahun 2024. Jam itu warisan turun temurun” Cakra akhirnya menceritakan apa yang ia ingat baik di masa sekarang maupun masa depannya. “Sudah berapa lama anda terjebak di masa lalu?” tanya Cakra penasaran setelah mengetahui kalau Frans ternyata sama sepertinya. Tidak berasal dari zaman ini. Frans mengedikkan pundaknya enggan menjawab pertanyaan Cakra. Sambil menggosok jam tangan Cakra ia berkata, “Apapun yang ingin kau ubah, kau harus ingat satu hal, Anak muda. Tidak semua hal dapat diubah.” “2500 gulden.” Frans memberikan beberapa lembar uang kertas kepada Cakra. “Gunakan dengan bijak,” pesannya. Tepat saat Cakra menyimpan lembaran uang Gulden di kantong uangnya, bel pintu toko kembali berbunyi. Seseorang membuka pintu. “Wah… wah…. Lihat siapa yang ada di sini?” Bimo Tjandra melepaskan topi fendoranya. Jika dilihat-lihat, cara Bimo berpakaian mirip seperti orang-orang Belanda. Padahal wajah pria itu sangat khas pribumi. “Apa yang kau lakukan di sini, Petani Singkong? Toko ini tidak cocok untuk rakyat jelata sepertimu.” Bimo bersandar pada etalase. Satu tangannya berada di atas etalase sambil membersihkan topi. “Bukan urusanmu!” Cakra akan segera pergi, tetapi langkah tertahan oleh kata-kata Bimo. “Kau mencari hadiah untuk, Anne?” Bimo memperhatikan Cakra. “Mana kantong belanjaan mu? Petani singkong sepertimu tidak akan bisa membeli barang-barang Tuan Weltz.” Tangan Bimo mengetuk-ngetuk kaca etalase. “Barang-barang di sini semua berasal dari luar Melayu. Edisi terbatas. Terlalu mahal untukmu yang hanya memiliki beberapa sen dalam kantong itu” Mata Bimo langsung terpikat pada jam bertali kulit berwarna coklat. Jam tangan sama yang baru saja Frans Weltz beli dari Cakra. Ia mengangkat tinggi jam tangan agar terkena sinar matahari. Diperhatikannya detail jam itu dengan seksama. Matanya tam berhenti memuji jam tangan itu. “Aku mau ini. Warnanya cocok dengan jas yang kemarin aku jahit.” Cakra melirik jam tangan yang baru saja ia tukar dengan 2500 Gulden. Ia berganti melihat Frans yang pada saat yang sama juga menatap Cakra. Bertanya lewat tatapan mata. “Jam itu tidak dijual, Tuan Tjandra.” Frans mengulurkan tangan, meminta jam itu dikembalikan. “Aku bisa membayarnya. Aku tidak seperti dia Tuan Weltz. Kantongku penuh dengan lembaran Gulden. Aku baru saja berhasil menjual tanah kepada seorang pengusaha sutera di Batavia.” Frans menjelaskan dengan bangga. Ia memakai jam di pergelangan tangannya. Diputarnya tangan agar bisa melihat jam yang melingkar di tangannya dari segala arah. “Maafkan saya, Tuan Tjandra. Jam ini sangat istimewa. Saya tidak menjualnya.” Sekali lagi, dengan gestur Frans Weltz meminta jam tangannya. Tidak ingin lebih dipermalukan, Bimo melepaskan jam tangan dan mengembalikan benda itu kepada Frans. Ia kemudian meminta Frans mengeluarkan koleksi termahalnya. “Aku ingin memberikan hadiah terbaik untuk calon istriku, Tuan Waltz,” sindir Bimo. Frans menuruti perintah Bimo. Setelah menyimpan jam tangan Cakra, ia mengeluarkan satu per satu koleksi mahalnya. Jam tangan wanita berjejer di etalase. Semua model klasik. Edisi terbatas yang hanya diproduksi beberapa buah. “Hadiah terbaik tidak harus mahal, Tuan Tjandra.” Frans membalas dan tentu saja, ucapannya itu tidak dimaksudkan untuk Bimo melainkan Cakra. “Aku tahu, tapi mahal menunjukkan kualitas dan posisi. Selain itu, aku ingin si petani singkong itu sadar dengan posisinya.” Bimo mengeluarkan uangnya dari kantong uang yang tergantung di balik jas. Uang yang lebih banyak dari milik Cakra. Meletakkan di atas etalase sambil menyeringai dan mengejek Cakra lewat tatapan matanya. Bel pintu berbunyi. Cakra meninggalkan toko jam Frans. Malas mendengarkan ocehan Bimo. Tempat selanjutnya yang ia datangi adalah ladang singkongnya. Cakra sengaja jalan memutar. Melewati daerah yang banyak dihuni orang Belanda. Rumah-rumah mereka lebih besar daripada rumah penduduk asli. Bergaya arsitektur campuran. Perpaduan gaya kolonial dan ukiran khas lokal. Di ujung jalan, Cakra berbelok. Perbedaan langsung terasa. Di bagian ini lebih banyak penduduk lokal. Rumah mereka lebih kecil, sisa tanah biasanya digunakan untuk kebun. Tanah di daerah ini seperti memang tidak begitu bersahabat. Cakra memperhatikan hanya beberapa jenis pohon yang bisa tumbuh. “Tidak, Tuan. Jangan ambil tanah ini. Ini satu-satunya milik saya.” Beberapa meter di depan Cakra, seorang wanita paruh baya berlutut di bawah kaki seorang pria berkulit putih dan berambut pirang. Pipi wanita itu basah oleh air matanya. Mengiba dan mohon agar tanahnya tidak diambil alih. “Tidak bisa! Saya sudah membayar tanah ini.” Pria itu memerintahkan anak buahnya untuk mengeluarkan barang-barang dari rumah. Mereka membuang perabot seperti membuang sampah. Tangis bayi dan seorang gadis kecil membuat suasana semakin panas. Penduduk lain hanya menonton tanpa berani membantu. “Berhenti!” Cakra berteriak. Ia berlari menghampiri anak buah kompeni Belanda itu. Mencegah mereka membuang perabot si wanita. “Menghalangi eksekusi adalah perbuatan melanggar hukum, Inlander! Minggir!” Seorang eksekutor mendorong Cakra hingga tersungkur. “Bawa dia! Masukkan dia ke penjara!” Pria lain berteriak, memberi perintah. Si pria dengan rambut pirang berdiri tegak dengan wajah terangkat tidak peduli sama sekali dengan keributan yang sedang terjadi. “T-Tunggu, Tuan. Saya dengar anda sedang mencari tanah untuk membuka toko kain. Apa itu benar?” Cakra sengaja menggunakan bahasa Belanda pada kalimat terakhirnya. Saat ia ikut menonton tadi, beberapa penduduk berbisik. Cakra sedikit banyak mendapat informasi tentang apa yang sedang terjadi. “Toko anda pasti merugi jika buka di daerah ini. S-Saya bisa carikan tanah lain. Saya jamin, tempatnya strategis dan pasti mendatangkan untung untuk toko anda. Bagaimana?” Sekali lagi Cakra menggunakan bahasa asing. Cakra mendapatkan perhatian dari si rambut pirang. “Kau hanya rakyat bodoh. Mana tahu tentang tanah!” Pria itu tidak langsung percaya. “Daerah ini hanya berisi warga pribumi. Tidak akan ada yang membeli kain-kain mahal anda jika anda membuka toko di sini.” Pria itu kini mendengarkan dengan serius. “Dua hari! Beri saya dua hari untuk untuk mencarikan tanah lain untuk anda.” Cakra menunggu jawaban si rambut pirang dengan wajah tegang.Lepaskan dia.”Suara Raden Panji terdengar tegas, penuh wibawa. Ia mengibaskan tangan, memberi isyarat pada anak buahnya untuk mundur. Seketika, para pengawal yang tadi menahan Cakra melepaskan cengkeraman mereka, membiarkan lelaki itu jatuh tersungkur ke lantai dengan napas terengah.Aiden menatap Raden Panji dengan sorot mata tajam, nyaris menembus ke dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. “Apa begini kelakuan seorang Bupati?” tanyanya dengan nada dingin, penuh sindiran yang menusuk.Raden Panji tetap berdiri tegak, tetapi ada ketegangan tipis yang melintas di wajahnya. “Aku hanya menjalankan tugas,” balasnya, suaranya sedikit bergetar, entah karena amarah atau sesuatu yang lain.Cakra yang masih tersungkur, mencoba bangkit dengan sisa tenaganya. Tangannya terangkat, menyeka darah yang mengalir dari sudut bibirnya. Napasnya berat, tubuhnya sedikit bergetar karena perlakuan kasar yang baru saja ia terima. Namun, tatapanny
“Siapa Anda? Jangan ikut campur dalam urusan ini!” Raden Panji melayangkan tatapan tajam penuh kuasa kepada pria asing yang baru saja datang. Tanpa membuang waktu, ia memberi isyarat pada anak buahnya untuk melanjutkan pekerjaan mereka—memukuli Cakra hingga pria itu jera.Cakra yang sudah terhuyung nyaris tersungkur kembali merasakan hantaman keras di perutnya. Ia meringis, darah merembes dari sudut bibirnya, tetapi matanya tetap menyala penuh perlawanan. Anne menjerit histeris, berusaha meronta dari cengkeraman yang menahannya.Saat itulah langkah kaki terdengar di ambang pintu. Tuan Edgar memasuki ruangan dengan tenang, wajahnya tak menunjukkan ekspresi berlebihan, tetapi kehadirannya langsung menarik perhatian.Melihat pria Belanda itu, Bimo segera melangkah mendekat. Dengan senyum penuh hormat, ia menjabat tangan Tuan Edgar. “Tuan ada di Soerabaja?” tanyanya heran, suaranya berusaha terdengar akrab.Raden Panji menoleh, matanya menyipit, mencoba menilai siapa tamu baru ini. Bimo,
Raden Panji menyeringai tipis, matanya tetap tertuju pada Anne. "Tentu saja aku ingat siapa kau, Nona Anne," ujarnya, suaranya penuh misteri. "Tapi ini bukan saat yang tepat untuk membicarakannya. Aku masih punya urusan yang lebih mendesak."Anne terdiam. Harapan yang sempat menyala di matanya meredup seketika. Ia melangkah mundur dengan ragu sebelum akhirnya kembali duduk di kursinya. Bahunya sedikit merosot, tetapi ia berusaha tetap tenang.Cakra yang sejak tadi memperhatikannya semakin dibuat bingung. Hubungan seperti apa yang dimiliki Anne dengan Raden Panji? Mengapa sikapnya begitu kaku di hadapan pria itu? Keningnya berkerut, berbagai pertanyaan berkecamuk di kepalanya. Namun, sebelum ia sempat membuka mulut untuk bertanya, suara Raden Panji kembali mengisi ruangan.Seorang anak buahnya melangkah masuk, wajahnya menunjukkan ekspresi enggan. Ia membungkuk hormat sebelum melaporkan hasil pencarian mereka. "Kami sudah menggeledah seluruh ruangan di rumah ini, Raden," lapornya. "Tap
Cakra hendak melangkah mendatangi Bimo, tetapi tiba-tiba sebuah tangan kekar mencengkeram lengannya, menahannya di tempat."Kau sebaiknya berpikir dua kali sebelum melakukan hal bodoh," suara berat anak buah Tuan Tong berbisik di telinganya. Cakra menoleh, menatap pria itu tajam, tetapi genggaman di lengannya semakin kuat, seolah memperingatkan."Pria itu dekat dengan Bupati," lanjut pria itu dengan nada rendah namun penuh tekanan. "Dan kau tahu, di sini, Bupati seperti raja. Dia bisa melakukan apa saja."Cakra menghela napas panjang, mencoba meredam gejolak di dadanya. Ia tahu situasinya tidak menguntungkan. Mau tidak mau, ia harus bermain cerdik, bukan gegabah.Namun, rupanya kehadirannya tak luput dari perhatian. Dari kejauhan, Bimo melirik ke arahnya dengan senyum miring penuh kemenangan. Dengan langkah santai, pria itu berjalan menghampiri Cakra, seolah menikmati momen ini."Kukira kau sudah pulang dengan tangan kosong," sindir Bimo. "Atau kau masih berharap bisa menyaingiku?"“A
"Semalam, pasar terbakar. Tidak ada satu pun yang tersisa," ujar orang kepercayaan Tuan Tong dengan nada serius. "Bahkan, tiga nyawa melayang akibat peristiwa itu."Cakra mengerutkan kening, hatinya terusik oleh kabar tersebut. Ia menajamkan pendengarannya, memastikan dirinya tidak terlewat satu kata pun."Apa pendapat Tuan mengenai kejadian ini?" lanjut orang kepercayaan itu.Terdengar suara Tuan Tong menghela napas panjang sebelum akhirnya menjawab, suaranya tetap tenang meskipun mengandung ketegasan yang tak terbantahkan. "Aku sudah bisa menebak siapa dalang di balik kebakaran tersebut."Orang kepercayaannya tampak terkejut. "Siapa yang Tuan maksud?"Tuan Tong tidak langsung menjawab. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih dalam. "Aku dengar Bupati baru saja menerima tamu dari jauh. Ada banyak hal penting yang kami bahas malam itu."Cakra menyipitkan mata. Pernyataan itu seolah mengarah pada sesuatu yang lebih besar."Menariknya," lanjut Tuan Ton
Senja mulai turun ketika Bimo duduk santai di pendopo rumah seorang bupati, ditemani oleh Raden Panji dan seorang pelayan yang setia berdiri di belakangnya. Angin sore berembus lembut, membawa aroma teh melati yang baru saja dituangkan ke dalam cangkir porselen.Bimo menyesap tehnya dengan perlahan, menikmati rasa hangat yang menyentuh lidahnya sebelum akhirnya membuka pembicaraan. “Aku sedang mencari tanah yang cukup luas,” ujarnya santai, seolah-olah itu bukan urusan besar.Raden Panji mengangkat alis, matanya berbinar penuh antusias. “Hmm... pekerjaan besar, ya?” katanya sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi kayu jati. “Kau memang selalu punya ambisi tinggi, Bimo.”Bimo tersenyum tipis, tapi ia menggeleng pelan. “Belum pasti,” sahutnya, suaranya tetap tenang. “Justru itu sebabnya aku datang ke sini. Aku butuh tanah dengan lokasi strategis, tapi harga tetap rendah. Semakin murah kita mendapatkannya, semakin besar keuntungan yang bisa kita kantongi.”Raden Panji terkekeh kecil. Ia me