Home / Zaman Kuno / Perjalanan Waktu Sang Raja Properti / Harus Mencari Calon Suami Baru

Share

Harus Mencari Calon Suami Baru

Author: MasAhong
last update Last Updated: 2025-01-13 20:02:45

“Hajar dia!” Pria Belanda bernama Benjamins memberi perintah.

Dengan mudah anak buah Benjamins melakukan perintah itu. Kedua tangan Cakra sejak tadi sudah dipegang. Pukulan demi pukulan Cakra terima tanpa bisa membalas. Mengaduh pun percuma karena algojo Tuan Benjamins dengan brutal memukulnya seperti sedang bermain dengan samsak tinju.

“Berhenti!” Benjamins mengibaskan tangan setelah puas melihat Cakra dipukuli. Meminta anak buahnya menyingkir.

“Dua hari!” serunya dalam bahasa Belanda. “Jika kau gagal, kau harus mengganti semua kerugianku dengan nyawamu!”

Para pribumi yang menonton adegan itu bergidik ngeri mendengar ancaman tuan Benjamins. Mereka tahu pria berkulit putih itu selalu serius dengan ucapannya.

Warga pribumi saling berbisik. Sebagian besar meledek Cakra karena kebodohannya menantang tuan Benjamins sedang beberapa orang kasihan dengan pria yatim piatu itu.

Cakra masuk ke rumah dengan berjingkat. Seperti maling. Ia melebarkan pintu kamar Anne cukup untuknya mengintip ke dalam. Aman! Anne tidak ada di dalam.

Hal pertama yang Cakra lakukan setibanya di kamar adalah mencari tempat untuk menyimpan 1000 Gulden miliknya. Sedang 1500 lagi akan ia berikan kepada Anne.

Ia mungkin bukan berasal dari zaman ini. Cakra juga tidak tahu bagaimana suami di zaman ini memperlakukan istrinya. Yang pasti dan selalu menjadi prinsipnya, ia tidak pernah menelantarkan wanita yang ia nikahi.

Ia tetap memberikan uang bulanan Arabella walau sedang berhubungan dengan Cindy.

Dada Cakra berdenyut—terasa lebih sakit dari semua luka di wajahnya saat mengingat bagaimana ia mengkhianati Arabella.

Jika ia sudah menemukan cara untuk kembali ke tahun asalnya. Bertemu lagi dengan wanita yang begitu setia mendampinginya, Cakra akan berlutut. Memohon agar Arabella kembali kepadanya.

Dari luar kamar, diam-diam Anne memperhatikan tingkah mencurigakan Cakra. Salah sendiri tidak menutup pintu.

Anne menduga kalau Cakra sedang mencari sesuatu. Mencuri. Jika itu benar, ia akan menghajar suaminya itu dengan sapu dan tidak akan segan menyerahkan pria itu kepada polisi.

Tangan Anne sudah siap. Ia memegang sapu. Tangannya terangkat. Dengan hati-hati ia masuk agar bisa menangkap basah si pencuri yang berstatus suami.

“Apa yang kau lakuk—” Tangan terangkat Anne berhenti di udara. Melihat wajah babak belur suaminya, Anne batal memukul Cakra.

Anne menurunkan tangan. Memperhatikan dengan seksama luka di wajah Cakra. Melihat pakaian Cakra kotor terkena tanah, ia meminta pria itu untuk membuka pakaiannya. Sementara ia mengambil kotak obat di dapur.

“Apa yang terjadi padamu? Kenapa belum dibuka?” Anne menunjuk pada pakaian Cakra yang masih menempel di badan.

Kemeja lusuh yang warna sudah tidak lagi putih. Suspender coklat yang sudah robek di beberapa bagian tidak benar-benar bermanfaat untuk menahan celana bahan Cakra yang agak kebesaran.

“B-Buat apa buka baju segala?” Cakra menolak dengan wajah gugup. Pikirnya wanita barat seperti Anne pasti punya kehidupan bebas. Zayden yang dulu mungkin tidak akan menolak malah merasa permintaan Anne sebagai sebuah undangan. Tetapi ia sudah berjanji akan setia kepada Arabella. Ia tidak akan melakukan kesalahan yang sama untuk kesekian kalinya.

“Jangan berpikir macam-macam!” Anne sengaja menekan kencang kasa yang sudah dilumuri obat pada luka di pelipis Cakra.

“Kau ini seperti baru dihakimi massa. Aku hanya mau memeriksa lukamu.”

“Apa yang kau curi?” tuduh Anne sambil menunggu Cakra membuka kancing bajunya.

“Saya tidak mencuri apapun, Nona.”

Memar di pundak Cakra sudah membiru. Dengan hati-hati ia menurunkan lengan baju agar Anne lebih mudah mengobati pundaknya.

“Lalu apa yang membuatmu jadi seperti ini? Kau mengganggu istri orang?” Tuduhan Anne semakin ngelantur saja.

“Bukan. Aku hanya menolong wanita yang diusir dari rumahnya sendiri oleh tuan Benjamins.” Cakra menjawab dengan eteng. Ia menaikkan lengan baju. Mengaitkan kacing-kacing kemeja.

Mendengar nama tuan Benjamins disebut, Anne melotot. Ia menarik lengan Cakra agar pria itu melihat ke arahnya.

“Tuan Benjamis yang menghajarmu sampai seperti ini? Kenapa kau mencari masalah dengan pria itu, hah? Apa kau tidak tahu siapa dia? Kenapa kau ini bodoh sekali?” Anne terus menggerutu. Memarahi Cakra seperti anak kecil yang baru saja ketahuan mencuri permen.

“Secara teknis, anak buahnya yang memukulku. Dan, yah, aku tidak kenal siapa tuan Benjamins tetapi dia berbuat tidak adil kepada seorang wanita.”

Anne berdiri dari duduknya. Berjalan bolak balik bagai setrika. Ia sibuk menggigit kuku ibu jarinya. Masih menggerutu sesekali memaki Cakra.

“Memang siapa tuan Benjamins?” Pertanyaan Cakra berhasil membuat Anne berhenti berjalan. Lagi-lagi gadis itu menghadiahi Cakra dengan tatapan tajam.

“Kau ini tidak tahu atau pura-pura bodoh, hah?” pekik Anne menahan kekesalannya. Ternyata ia benar-benar menikahi pria polos.

Melihat Cakra yang hanya diam menunggu penjelasan Anne, wanita itu melanjutkan. “Tuan Benjamins itu pengusaha sukses. Dia punya banyak koneksi di pemerintahan. Tidak ada yang berani menyentuh pria itu.”

“Tanah yang kau maksud tadi pasti salah satu tanah yang dijual oleh Bimo,” kata Anne lagi.

“Tamat sudah riwayatmu. Sepertinya aku harus mencari calon suami baru. Jika tidak, papa dan mama pasti akan memaksaku menikah dengan Bimo,” kata Anne santai. Membuat mencari suami baru terdengar mengganti pakaian.

Anne hendak pergi, tapi Cakra memegang tangan wanita itu. Menahan istrinya tetap di kamar.

“Kalau Bimo? Apa pekerjaan Bimo? Entah kenapa aku merasa pernah melihat wajahnya.”

“Tentu saja kau pernah melihatnya! Kau ini benar-benar polos atau terlampau bodoh, hah?” ejek Anne.

Cakra diam, menunggu Anne menyelesaikan kalimatnya.

“Bimo itu seorang perantara.” Tangan Anne terangkat membuat kode tanda kutip.

“Penghubung antara orang Netherland dan inlander. Dia mencarikan apapun yang kami butuhkan. Barang, rumah, tanah, wanita. Apapun!”

Cakra ber-O tanpa suara. Hanya bibirnya membentuk huruf o. “Makelar,” gumam Cakra dalam hati.

Sekali lagi Cakra menahan Anne yang akan pergi. Ia mengeluarkan uang dari kantong uang dan memberikan separuhnya untuk Anne.

“Apa ini?” tanya Anne heran. Bukan karena tidak pernah melihat uang banyak tapi heran kenapa Cakra memberikan uang itu.

“Uang.” Cakra menjawab polos. “Di zaman saya, sudah jadi kewajiban suami memberikan nafkah untuk istrinya.”

“Zamanmu?” Alis Anne berkerut. “Memangnya kau tidak berasal dari zaman ini?”

Ups!

Cakra mengumpat dalam hati. Ia keceplosan. Digaruknya alis yang tidak gatal. Apa yang harus ia katakan kepada Anne?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perjalanan Waktu Sang Raja Properti   Tanah Bermasalah

    Lepaskan dia.”Suara Raden Panji terdengar tegas, penuh wibawa. Ia mengibaskan tangan, memberi isyarat pada anak buahnya untuk mundur. Seketika, para pengawal yang tadi menahan Cakra melepaskan cengkeraman mereka, membiarkan lelaki itu jatuh tersungkur ke lantai dengan napas terengah.Aiden menatap Raden Panji dengan sorot mata tajam, nyaris menembus ke dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. “Apa begini kelakuan seorang Bupati?” tanyanya dengan nada dingin, penuh sindiran yang menusuk.Raden Panji tetap berdiri tegak, tetapi ada ketegangan tipis yang melintas di wajahnya. “Aku hanya menjalankan tugas,” balasnya, suaranya sedikit bergetar, entah karena amarah atau sesuatu yang lain.Cakra yang masih tersungkur, mencoba bangkit dengan sisa tenaganya. Tangannya terangkat, menyeka darah yang mengalir dari sudut bibirnya. Napasnya berat, tubuhnya sedikit bergetar karena perlakuan kasar yang baru saja ia terima. Namun, tatapanny

  • Perjalanan Waktu Sang Raja Properti   Tuan Jaksa

    “Siapa Anda? Jangan ikut campur dalam urusan ini!” Raden Panji melayangkan tatapan tajam penuh kuasa kepada pria asing yang baru saja datang. Tanpa membuang waktu, ia memberi isyarat pada anak buahnya untuk melanjutkan pekerjaan mereka—memukuli Cakra hingga pria itu jera.Cakra yang sudah terhuyung nyaris tersungkur kembali merasakan hantaman keras di perutnya. Ia meringis, darah merembes dari sudut bibirnya, tetapi matanya tetap menyala penuh perlawanan. Anne menjerit histeris, berusaha meronta dari cengkeraman yang menahannya.Saat itulah langkah kaki terdengar di ambang pintu. Tuan Edgar memasuki ruangan dengan tenang, wajahnya tak menunjukkan ekspresi berlebihan, tetapi kehadirannya langsung menarik perhatian.Melihat pria Belanda itu, Bimo segera melangkah mendekat. Dengan senyum penuh hormat, ia menjabat tangan Tuan Edgar. “Tuan ada di Soerabaja?” tanyanya heran, suaranya berusaha terdengar akrab.Raden Panji menoleh, matanya menyipit, mencoba menilai siapa tamu baru ini. Bimo,

  • Perjalanan Waktu Sang Raja Properti   Bukti Opium!

    Raden Panji menyeringai tipis, matanya tetap tertuju pada Anne. "Tentu saja aku ingat siapa kau, Nona Anne," ujarnya, suaranya penuh misteri. "Tapi ini bukan saat yang tepat untuk membicarakannya. Aku masih punya urusan yang lebih mendesak."Anne terdiam. Harapan yang sempat menyala di matanya meredup seketika. Ia melangkah mundur dengan ragu sebelum akhirnya kembali duduk di kursinya. Bahunya sedikit merosot, tetapi ia berusaha tetap tenang.Cakra yang sejak tadi memperhatikannya semakin dibuat bingung. Hubungan seperti apa yang dimiliki Anne dengan Raden Panji? Mengapa sikapnya begitu kaku di hadapan pria itu? Keningnya berkerut, berbagai pertanyaan berkecamuk di kepalanya. Namun, sebelum ia sempat membuka mulut untuk bertanya, suara Raden Panji kembali mengisi ruangan.Seorang anak buahnya melangkah masuk, wajahnya menunjukkan ekspresi enggan. Ia membungkuk hormat sebelum melaporkan hasil pencarian mereka. "Kami sudah menggeledah seluruh ruangan di rumah ini, Raden," lapornya. "Tap

  • Perjalanan Waktu Sang Raja Properti   Penggerebekan

    Cakra hendak melangkah mendatangi Bimo, tetapi tiba-tiba sebuah tangan kekar mencengkeram lengannya, menahannya di tempat."Kau sebaiknya berpikir dua kali sebelum melakukan hal bodoh," suara berat anak buah Tuan Tong berbisik di telinganya. Cakra menoleh, menatap pria itu tajam, tetapi genggaman di lengannya semakin kuat, seolah memperingatkan."Pria itu dekat dengan Bupati," lanjut pria itu dengan nada rendah namun penuh tekanan. "Dan kau tahu, di sini, Bupati seperti raja. Dia bisa melakukan apa saja."Cakra menghela napas panjang, mencoba meredam gejolak di dadanya. Ia tahu situasinya tidak menguntungkan. Mau tidak mau, ia harus bermain cerdik, bukan gegabah.Namun, rupanya kehadirannya tak luput dari perhatian. Dari kejauhan, Bimo melirik ke arahnya dengan senyum miring penuh kemenangan. Dengan langkah santai, pria itu berjalan menghampiri Cakra, seolah menikmati momen ini."Kukira kau sudah pulang dengan tangan kosong," sindir Bimo. "Atau kau masih berharap bisa menyaingiku?"“A

  • Perjalanan Waktu Sang Raja Properti   Pasar Terbakar

    "Semalam, pasar terbakar. Tidak ada satu pun yang tersisa," ujar orang kepercayaan Tuan Tong dengan nada serius. "Bahkan, tiga nyawa melayang akibat peristiwa itu."Cakra mengerutkan kening, hatinya terusik oleh kabar tersebut. Ia menajamkan pendengarannya, memastikan dirinya tidak terlewat satu kata pun."Apa pendapat Tuan mengenai kejadian ini?" lanjut orang kepercayaan itu.Terdengar suara Tuan Tong menghela napas panjang sebelum akhirnya menjawab, suaranya tetap tenang meskipun mengandung ketegasan yang tak terbantahkan. "Aku sudah bisa menebak siapa dalang di balik kebakaran tersebut."Orang kepercayaannya tampak terkejut. "Siapa yang Tuan maksud?"Tuan Tong tidak langsung menjawab. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih dalam. "Aku dengar Bupati baru saja menerima tamu dari jauh. Ada banyak hal penting yang kami bahas malam itu."Cakra menyipitkan mata. Pernyataan itu seolah mengarah pada sesuatu yang lebih besar."Menariknya," lanjut Tuan Ton

  • Perjalanan Waktu Sang Raja Properti   Penderitaan Tiada Akhir

    Senja mulai turun ketika Bimo duduk santai di pendopo rumah seorang bupati, ditemani oleh Raden Panji dan seorang pelayan yang setia berdiri di belakangnya. Angin sore berembus lembut, membawa aroma teh melati yang baru saja dituangkan ke dalam cangkir porselen.Bimo menyesap tehnya dengan perlahan, menikmati rasa hangat yang menyentuh lidahnya sebelum akhirnya membuka pembicaraan. “Aku sedang mencari tanah yang cukup luas,” ujarnya santai, seolah-olah itu bukan urusan besar.Raden Panji mengangkat alis, matanya berbinar penuh antusias. “Hmm... pekerjaan besar, ya?” katanya sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi kayu jati. “Kau memang selalu punya ambisi tinggi, Bimo.”Bimo tersenyum tipis, tapi ia menggeleng pelan. “Belum pasti,” sahutnya, suaranya tetap tenang. “Justru itu sebabnya aku datang ke sini. Aku butuh tanah dengan lokasi strategis, tapi harga tetap rendah. Semakin murah kita mendapatkannya, semakin besar keuntungan yang bisa kita kantongi.”Raden Panji terkekeh kecil. Ia me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status