Cakra memperhatikan jam tangan dengan tali dari kulit berwarna coklat. Bentuk jamnya bulat. Angka 12, 3 dan 9 cukup besar dan satu bulatan kecil menunjukkan detik. Bingkainya terbuat dari platinum.
Rolex Perpetual 1908 adalah warisan turun temurun dari kakek. Bukan hanya karena jam itu harganya mahal tetapi sejarahnya. Kakeknya, Cakra mewarisi jam ini kepada ayahnya dan kembali diwariskan kepada Zayden. Kening Zayden berkerut. Matanya menyipit kemudian melotot. “It can’t be!” Ia berbisik. Zayden yang kini bernama Cakra berdiri. Berjalan cepat ke kamar mandi kemudian berkaca, melihat pantulan bayangannya di cermin oval yang menempel di dinding. Decakan kecil terdengar dari bibir Cakra. Ia lupa siapa nama oma buyutnya. Tetapi yang pasti opa buyutnya bernama… “Cakra!” ucapnya pelan dengan nada terkejut. Dibasuhnya wajah dengan saat wajah Arabella terlintas. Lagi-lagi Cakra menyadari sesuatu. Cukup lama Cakra memikirkan kemungkinan itu. Jika dilihat, memang Arabella dan Anne cukup mirip. Hanya saja Anne adalah versi bule dan judes Arabella. Sayangnya ia tidak tahu jawaban dari satu pertanyaan. “Kalau aku gak berhasil membuat Anne jatuh cinta, apa masa depan kami akan berubah? Apa aku benar-benar sudah meninggal makanya aku bisa masuk ke tubuh opa buyut?” gumam Cakra. “Aku hanya akan menawarkanmu sekali. Kalau kau tidak ke segera ke meja makan, aku tidak akan peduli meski kau kelaparan.” Suara Anne mengagetkan Cakra yang sedang melamun. Wangi melati dan parfum yang Anne pakai menyeruak ke hidung Cakra sehingga tanpa sadari, ia memperhatikan istrinya itu. “Aku akan mencongkel matamu jika kau terus melihatku seperti itu. Apa kau tidak pernah belajar sopan santun, hah?” hardik Anne. Ia berbalik masuk, meninggalkan Cakra sambil mengumpat dalam bahasa Belanda. Cakra memperhatikan punggung Anne yang berjalan menjauh. Mencari cara bagaimana menaklukkan macan betina seperti Anne. “Kau sepertinya hobi membuat orang menunggu layaknya orang penting. Sayangnya bukan!” Makan malam Pieter nyaris habis tanda kalau Cakra sudah benar-benar terlambat. “Sisa waktumu di rumah ini hanya tinggal satu minggu. Setelah itu, kau harus menceraikan Anne dan angkat kaki dari sini.” Suara kursi didorong terdengar. Pieter meninggalkan ruang makan. Suara kursi yang didorong, kembali terdengar. Kini, giliran Asih yang menyelesaikan makan malamnya. “Anne, mama harap kau melakukan hal yang benar. Jangan mencoreng muka papa!” Asih menyusul suami masuk ke dalam kamar. Meja makan diramaikan oleh suara garpu dan pisau yang saling beradu. Sedang sepasang suami istri menikmati makan malam mereka tanpa ada perbincangan. Sampai menjelang tidur, akhirnya Cakra bertanya, “Mijn lief, apa yang kau inginkan untuk hadiah ulang tahunmu?” Cakra duduk di sisi ranjang yang kosong. Menunggu jawaban Anne. “Aku ingin dua permata yang tak ternilai, satu tak terlihat, yang lainnya tak terpisahkan.” Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Anne memberikan jawaban. Gadis itu memiringkan tubuhnya. Memunggungi Cakra dan menarik selimutnya hingga dada. *** Meski belum tahu apa yang akan ia lakukan pada ladang warisan orang tuanya, Cakra tetap pergi ke tempat itu. Namun, sebelum ke ladang ia mampir ke sebuah toko jam tua di pasar. De Tijdreiziger, nama toko jam pilihan Cakra. Cling. Cling Lonceng berbunyi ketika Cakra mendorong pintunya. Sebuah etalase kaca panjang terpasang di tengah ruangan. Membelah ruangan itu menjadi dua. Bagian penjual di bagian dalam sedang bagian luar khusus pembeli. Jam-jam klasik terpajang di rak serta etalase kaca. Toko itu sangat ramai dengan denting suara dari jarum detik jam yang masih berfungsi dengan baik. Pemilik sekaligus penjaga toko adalah seorang pria paruh baya. Pipa cerutu terjepit di antara kedua bibirnya sedang tangannya sibuk membongkar sebuah jam tangan. “Ada yang bisa aku bantu, Anak muda?” Ia melirik Cakra dari kacamata bulatnya. Cakra mengeluarkan jam tangan dari kantong uang yang menggantung di pinggang. Meletakkannya di atas etalase kaca. Mengijinkan si pemilik toko melihat jam tangannya. Jam tangan Cakra rupanya lebih menarik daripada jam yang sedang ia kerjakan. Pria itu meletakkan jam tangan dan pipa cerutunya. Membetulkan posisi kacamata yang sedikit melorot. Mata Frans terpana melihat jam tangan yang ada di atas etalasenya bak menemukan harta karun. “Cantik sekali,” serunya penuh kekaguman. Dengan hati-hati Frans mengangkat jam tangan Cakra. Memperhatikan dengan seksama setiap senti bagian jam itu. “D-Dia berfungsi dengan baik.” Frans memperhatikan ketiga jarum jam Cakra. Ia menempelkan tali jam yang terbuat dari kulit ke hidung mancungnya. Mencium wanginya aroma kulit. “Dari mana kau mendapatkan barang ini, Anak muda? Ini bukan jam yang bisa kau temukan di sembarang tempat.” “Itu milikku.” Frans mendongak melihat Cakra. Matanya memindai pria pribumi berusia 25 tahun itu dengan tatapan penuh selidik. “Kau? Ini milikmu?” Melihat anggukan kepala Cakra, Frans melanjutkan. “Sebaiknya kau mengaku, Anak muda. Jika tidak, aku akan memanggil polisi. Aku yakin kau mencurinya.” “T-Tidak, Tuan. Jangan.” Cakra menoleh ke belakang. Memastikan tidak ada polisi yang datang. Ia tidak mau berurusan dengan polisi. Bisa-bisa ia gagal memberikan hadiah ulang tahun untuk Anne. “S-Sebenarnya jam itu milik —” Haruskah Cakra mengaku kalau jam itu berasal dari masa depan?Lepaskan dia.”Suara Raden Panji terdengar tegas, penuh wibawa. Ia mengibaskan tangan, memberi isyarat pada anak buahnya untuk mundur. Seketika, para pengawal yang tadi menahan Cakra melepaskan cengkeraman mereka, membiarkan lelaki itu jatuh tersungkur ke lantai dengan napas terengah.Aiden menatap Raden Panji dengan sorot mata tajam, nyaris menembus ke dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. “Apa begini kelakuan seorang Bupati?” tanyanya dengan nada dingin, penuh sindiran yang menusuk.Raden Panji tetap berdiri tegak, tetapi ada ketegangan tipis yang melintas di wajahnya. “Aku hanya menjalankan tugas,” balasnya, suaranya sedikit bergetar, entah karena amarah atau sesuatu yang lain.Cakra yang masih tersungkur, mencoba bangkit dengan sisa tenaganya. Tangannya terangkat, menyeka darah yang mengalir dari sudut bibirnya. Napasnya berat, tubuhnya sedikit bergetar karena perlakuan kasar yang baru saja ia terima. Namun, tatapanny
“Siapa Anda? Jangan ikut campur dalam urusan ini!” Raden Panji melayangkan tatapan tajam penuh kuasa kepada pria asing yang baru saja datang. Tanpa membuang waktu, ia memberi isyarat pada anak buahnya untuk melanjutkan pekerjaan mereka—memukuli Cakra hingga pria itu jera.Cakra yang sudah terhuyung nyaris tersungkur kembali merasakan hantaman keras di perutnya. Ia meringis, darah merembes dari sudut bibirnya, tetapi matanya tetap menyala penuh perlawanan. Anne menjerit histeris, berusaha meronta dari cengkeraman yang menahannya.Saat itulah langkah kaki terdengar di ambang pintu. Tuan Edgar memasuki ruangan dengan tenang, wajahnya tak menunjukkan ekspresi berlebihan, tetapi kehadirannya langsung menarik perhatian.Melihat pria Belanda itu, Bimo segera melangkah mendekat. Dengan senyum penuh hormat, ia menjabat tangan Tuan Edgar. “Tuan ada di Soerabaja?” tanyanya heran, suaranya berusaha terdengar akrab.Raden Panji menoleh, matanya menyipit, mencoba menilai siapa tamu baru ini. Bimo,
Raden Panji menyeringai tipis, matanya tetap tertuju pada Anne. "Tentu saja aku ingat siapa kau, Nona Anne," ujarnya, suaranya penuh misteri. "Tapi ini bukan saat yang tepat untuk membicarakannya. Aku masih punya urusan yang lebih mendesak."Anne terdiam. Harapan yang sempat menyala di matanya meredup seketika. Ia melangkah mundur dengan ragu sebelum akhirnya kembali duduk di kursinya. Bahunya sedikit merosot, tetapi ia berusaha tetap tenang.Cakra yang sejak tadi memperhatikannya semakin dibuat bingung. Hubungan seperti apa yang dimiliki Anne dengan Raden Panji? Mengapa sikapnya begitu kaku di hadapan pria itu? Keningnya berkerut, berbagai pertanyaan berkecamuk di kepalanya. Namun, sebelum ia sempat membuka mulut untuk bertanya, suara Raden Panji kembali mengisi ruangan.Seorang anak buahnya melangkah masuk, wajahnya menunjukkan ekspresi enggan. Ia membungkuk hormat sebelum melaporkan hasil pencarian mereka. "Kami sudah menggeledah seluruh ruangan di rumah ini, Raden," lapornya. "Tap
Cakra hendak melangkah mendatangi Bimo, tetapi tiba-tiba sebuah tangan kekar mencengkeram lengannya, menahannya di tempat."Kau sebaiknya berpikir dua kali sebelum melakukan hal bodoh," suara berat anak buah Tuan Tong berbisik di telinganya. Cakra menoleh, menatap pria itu tajam, tetapi genggaman di lengannya semakin kuat, seolah memperingatkan."Pria itu dekat dengan Bupati," lanjut pria itu dengan nada rendah namun penuh tekanan. "Dan kau tahu, di sini, Bupati seperti raja. Dia bisa melakukan apa saja."Cakra menghela napas panjang, mencoba meredam gejolak di dadanya. Ia tahu situasinya tidak menguntungkan. Mau tidak mau, ia harus bermain cerdik, bukan gegabah.Namun, rupanya kehadirannya tak luput dari perhatian. Dari kejauhan, Bimo melirik ke arahnya dengan senyum miring penuh kemenangan. Dengan langkah santai, pria itu berjalan menghampiri Cakra, seolah menikmati momen ini."Kukira kau sudah pulang dengan tangan kosong," sindir Bimo. "Atau kau masih berharap bisa menyaingiku?"“A
"Semalam, pasar terbakar. Tidak ada satu pun yang tersisa," ujar orang kepercayaan Tuan Tong dengan nada serius. "Bahkan, tiga nyawa melayang akibat peristiwa itu."Cakra mengerutkan kening, hatinya terusik oleh kabar tersebut. Ia menajamkan pendengarannya, memastikan dirinya tidak terlewat satu kata pun."Apa pendapat Tuan mengenai kejadian ini?" lanjut orang kepercayaan itu.Terdengar suara Tuan Tong menghela napas panjang sebelum akhirnya menjawab, suaranya tetap tenang meskipun mengandung ketegasan yang tak terbantahkan. "Aku sudah bisa menebak siapa dalang di balik kebakaran tersebut."Orang kepercayaannya tampak terkejut. "Siapa yang Tuan maksud?"Tuan Tong tidak langsung menjawab. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih dalam. "Aku dengar Bupati baru saja menerima tamu dari jauh. Ada banyak hal penting yang kami bahas malam itu."Cakra menyipitkan mata. Pernyataan itu seolah mengarah pada sesuatu yang lebih besar."Menariknya," lanjut Tuan Ton
Senja mulai turun ketika Bimo duduk santai di pendopo rumah seorang bupati, ditemani oleh Raden Panji dan seorang pelayan yang setia berdiri di belakangnya. Angin sore berembus lembut, membawa aroma teh melati yang baru saja dituangkan ke dalam cangkir porselen.Bimo menyesap tehnya dengan perlahan, menikmati rasa hangat yang menyentuh lidahnya sebelum akhirnya membuka pembicaraan. “Aku sedang mencari tanah yang cukup luas,” ujarnya santai, seolah-olah itu bukan urusan besar.Raden Panji mengangkat alis, matanya berbinar penuh antusias. “Hmm... pekerjaan besar, ya?” katanya sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi kayu jati. “Kau memang selalu punya ambisi tinggi, Bimo.”Bimo tersenyum tipis, tapi ia menggeleng pelan. “Belum pasti,” sahutnya, suaranya tetap tenang. “Justru itu sebabnya aku datang ke sini. Aku butuh tanah dengan lokasi strategis, tapi harga tetap rendah. Semakin murah kita mendapatkannya, semakin besar keuntungan yang bisa kita kantongi.”Raden Panji terkekeh kecil. Ia me