Share

bab 2

Di sisi lain, Pak Bima duduk bersimpuh di hadapan keluarga Wijaya Kusumo.

Ayah kandung dari Rama dan Jaya itu harus dapat bantuan sagu untuk mengisi kembali balabba miliknya.

Sebuah tempat yang terbuat dari anyaman daun sagu untuk menyimpan sagu.

"Jangan begitu pak Bima, saya akan membantu Anda. Tolong jangan bersimpuh di hadapan saya..."

Pak Wijaya memapah pak Bima agar berdiri.

"Terima kasih pak Wijaya, saya tidak akan melupakan jasa anda..."ucap Pak Bima dengan linangan air mata.

"Bibi..!" Pak Wijaya memanggil pelayannya dan mengintruksikan untuk mengisi balabba milik pak Bima dengan sagu.

"Tolong isi hingga penuh..."pesannya lagi.

"Baik ndoro..." Pelayan itu sontak pergi ke tempat penyimpanan milik kelurga Wijaya.

"Pak Bima ini keluarga kerajaan, tolong lain kali jangan bersimpuh di depan saya...saya hanya seorang pedagang," jelas Pak Wijaya merendah. Beliau adalah warga paling kaya yang pekerjaannya seorang pedagang. Meskipun begitu, beliau tidak pernah memandang hina keluarga Pak Bima.

Menurutnya meski semiskin apapun. Keluarga kerajaan tetap keluarga kerajaan yang harus dihormati. Pak Wijaya adalah pedagang yang memiliki pemahaman religius yang kuat. Sehingga tidak mudah baginya memandang rendah orang lain. Meski hidup dalam kekayaan.

"Itu hanya status pak Wijaya, pada dasarnya keluarga saya hanyalah orang yg terasingkan..." jelas Pak Bima lagi.

Pak Wijaya menggeleng, hidup dalam kemiskinan membuat siapapun kehilangan kepercayaan dirinya. Ia pernah dimasa itu, hanya saja hidup mulai memihak padanya ketika ia berdagang. Jadi tidak mudah memandang remeh seseorang jika dirimu pernah merasakan pahitnya hidup.

"Jangan berkecil hati Pak Bima, jika ada kemauan dan usaha. Semua tidak akan sia-sia..." Pak Wijaya menyemangati kembali Pak Bima.

Melihat itu, Pak Bima hanya mengangguk meski ia sadar bahwa hidup belum berpihak padanya.

Semua keluarga kerajaan meremehkannya, padahal Bima adipati termasuk pelajar yang berbakat.

Keluarganya jauh dari kata korup sehingga banyak keluarga kerajaan yang tidak menyukainya.

***

Saat ini pak Bima membawa balabba miliknya memasuki rumah, ia menghapus air mata yang masih menggenangi pelupuk matanya. Ia tak boleh memperlihatkan sosoknya yang lemah kepada keluarganya.

Ketika memasuki rumah, Pak Bima mendengar suara tertawa dan senda gurau keluarganya di kamar Rama.

Rumah ini memiliki 2 kamar, 1 ruang tamu kecil dan dapur. Kamar yang biasanya dipakai Rama adalah kamarnya dan Jaya. Namun karna Rama sakit, agar tidak menular, Jaya diminta untuk tidur diruang tamu.

Adat di desa jika ada yang sakit, para warga harus menjenguk dan mengantar sandang pangan untuk si sakit. Namun tidak berlaku untuk penyakit menular. Para warga tidak berani menjenguk, ada yang memandang iba, hina dan acuh pada keluarga Adipati.

Tidak ada yang salah karna di masa lampau, penyakit flu belum ada obatnya dan mudah menular. Berbeda dengan Rama yg memiliki pengetahuan masa modern. Mudah baginya meminta sistem onshop untuk belanja obat.

"Nduk..." Pak Bima masuk keruangan dimana semua keluarganya berkumpul.

Ibu Sri terperanjat. Wanita itu langsung menuntun suaminya untuk duduk di dekat Rama. "Rama sudah sembuh pak..." katanya.

Pak Bima sontak menoleh bingung dan memandang ke arah Rama dan istrinya secara bergantian.

Mana mungkin penyakit itu mudah sembuhnya, kan?

"Bener pak, sudah tidak mampet lagi kok hidungnya...tenggorokan juga sudah tidak sakit." Kini Rama berbicara membuat Bima terbelalak.

"Bagaimana bisa?" tanya pria tua itu kebingungan.

"Para dewa menjawab doa kita pak..."jawab Jaya yang dibalas anggukan ibu Sri.

Rama tidak paham dengan sistem agama dimasa ini, yang ia tau di masa ini warganya percaya dengan para dewa. Dan Rama hanya mengikuti alurnya.

"Benar pak, Rama sudah sembuh..."jelas Rama lagi.

Bapak menyentuh dahi Rama yang sudah tidak terasa panas. Bahkan hidungnya sudah terlihat bersih. Pak Bima langsung menyebut puji syukur pada Dewa.

Rama hanya percaya Tuhan, jadi dia juga bersyukur pada Tuhan karna kesempatan kedua yang sudah diberikan padanya. Rama benar-benar bersyukur dan berjanji akan menjalani hidup dengan lebih baik lagi.

"Ibu, ini ada bantuan sagu dari pak Wijaya...tolong ibu masak agar Rama bisa makan." Kata pak Bima sembari menyerahkan balabba pada istrinya.

Ibu Sri memandang haru dan menerima balabba itu. Kemudian langsung memasak sagu kedapur.

Sagu adalah masakan pokok di jaman ini. Bisa makan sagu saja sudah membuat warga teramat bersyukur kepada Dewa.

"Pak, aku akan ke kebun, untuk memetik beberapa sayuran..."pamit Jaya.

"Hati-hati nak..."kata pak Bima.

Pak Bima menyenggol kotak kue brownies di atas dipan, tidak jauh dari Rama. Pak Bima menoleh kebingungan saat memandang kotak kue yang terlihat asing baginya.

Rama terlihat tenang meski didalam hatinya ia panik akan menjelaskan apa pada pak Bima.

"Apa ini nduk?" tanya pak Bima masih memegangi dan memandangi kue brownies.

"Aaa...Itu tadi saat bapak keluar ada seseorang yang mengantarkan ini dan bilang kalo ini dari barat," jelas Rama memutar otak.

"Dari barat?" Bapak masih kebingungan.

"Siapa yg mengantarkan ini, apa utusan kerajaan?" tanya bapak lagi.

"Sepertinya betul pak..."jawab Rama asal.

"Aneh sekali barang ini, apa ini bisa dimakan?"

"Sepertinya bisa dimakan pak, aku pernah melihat pejabat memakan itu," jelas Rama berbohong.

Bapak membuka kue brownies, bahkan kotak kue tersebut membuat pak Bima terkagum-kagum. Karna kualitas kertas yang sangat bagus. Kemudian membuka kotak kue dan mengambil sedikit kue brownies untuk dicicipi.

"WAAAHH... APA INI?! " seru pak Bima takjub. Rasa yang luar biasa manis, pahit, gurih dan nikmat menjadi satu. Belum pernah ia merasakan makanan lezat seperti ini.

"Bu... Ibu..."

Pak Bima memanggil istrinya.

Ibu Sri yang mendengar suara pak Bima, datang tergopoh-gopoh. "Ada apa Pak?"

"Ini, coba di icip..."

Pak Bima mengambil lagi kue brownies dan menyuapi istrinya. Mata ibu Sri langsung takjub merasakan hal luar biasa di mulutnya. Apa yang ia makan langsung meleleh dengan lembut.

"Apa ini pak?"

"Tidak tau bu, ini apa Rama?"

"Namanya Brownies bu, pak," jelas Rama, merasa lucu melihat sikap Ibu dan Bapaknya yang takjub pada rasa brownies.

"Bow... Bownis?" kata ibu dan bapak serempak.

Rama mengangguk setuju, meskipun salah penyebutan, nama itu lebih cocok untuk orang jaman sekarang.

"Ibu-Bapak! GAWAT!!"

Kini Jaya yang datang tergesa-gesa, namun menghentikan perkataannya ketika melihat kue brownies ditangan ibu dan bapaknya.

"Eh...kalian sedang makan apa?" tanyanya mendekat.

Tanpa basa-basi, Ibu menyuapi Jaya sepotong kecil brownies. Jaya merasa takjub dan minta lagi disuapin

"Pelan-pelan kak makannya," kata Rama mengingatkan, ia tau makan brownies terlalu cepat bisa membuat keseleg nantinya.

Jaya mengangguk dan meminum air yang ditawari ibu. "Makanan apa ini? "

"Bownies..." jawab ibu.

"Bownies? Dari mana?"

"Masalah gawat apa tadi kak?" tanya Rama mengalihkan pertanyaan Jaya.

Dia khawatir kakaknya itu menyadari kebohongannya.

Untungnya, Jaya terperdaya. Kakak Rama itu langsung mengubah duduknya.

"Pak, tanaman cabai kita terserang hama!" jelas Jaya.

Bapak yang mendengar itu langsung berdiri. "Ayo kita ke kebun..."kata Bapak langsung mengajak Jaya.

Mendengar kata kebun Rama tertarik untuk ikut. "Pak, bang Jaya,aku ikut!"

Sayangnya, Ibu Sri langsung menghalanginya.

"Nduk... Kamu masih perlu istirahat"

"Ibu...aku hanya ikut melihat, aku tidak akan menggerakkan tubuhku." Kata Rama, namun sorot wajah didepannya masih terlihat khawatir. "Aku bosan dirumah bu..."

"Bosan?" Ibu Sri terlihat tidak mengerti.

"Aku harus membawa tubuh ini bergerak bu, agar tubuhku tidak kaku," jelas Rama buru-buru.

Ibu Sri tersenyum mengiyakan. "Jangan terlalu lelah Nduk..."

Rama mengangguk, dan bangun dari duduknya.

"Kamu duduk di pedati (gerobak) saja nanti Ram..."kata Jaya.

Rama kembali mengangguk, mengikuti Jaya dan pak Bima.

Dia tak sabar untuk berkebun! CIta-citanya sejak dulu!

***

Kini Rama duduk di pedati (gerobak) jaman dulu dengan 2 roda disisi kiri dan kanan, jarang ada warga yang memiliki pedati. Keluarga Adipati memiliki pedati karna ini harta satu-satunya yang dimiliki mereka sebagai keluarga kerajaan.

Pak Bima mulai mengangkat pedati dan Jaya mendorong dari belakang. Mereka mulai menelusuri jalan menuju kebun cabai yg tidak terlalu jauh jaraknya dari rumah.

Hanya berjarak 500 meter dari jalan utama desa mekarsari.

Mereka pun mulai melewati beberapa perkebunan milik warga lainnya yang tidak jauh berbeda, semua terkena serangan hama. Entah kebun siapa yang mulai terkena hama, itu pasti akan menular ke kebun lainnya.

"Hama apa yang menyerang kebun cabai kita bang?" tanya Rama.

"Aku rasa ini adalah hama kutu, para pekebun lain bilang ada pelajar yang mengatakan ini hama kutu," jelas Jaya.

Rama merenung. Pada zaman dulu, industri pertanian belum terlalu terkenal. Sehingga yang berkebun kebanyakan hanya rakyat pedesaan. Mereka hanya mampu berkebun sederhana, memakai alat tradisional bahkan pengetahuan tentang memberantas hama pun masih kurang memadai.

"Kutunya berwarna putih?" tanya Rama lagi.

Jaya mengangguk sebelum  menatapnya heran, "Bagaimana kamu bisa tau dik?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status