Mata Laras terbuka, ia merasakan tubuhnya begitu ringan. Ketika dia melihat di sekitarnya, ada banyak tumpukan rak buku berjejer dengan rapi. Dan ruangan ini begitu sunyi, sampai dia bisa mendengar suara sekecil apapun di sana.
Di mana ini? Apa aku sudah mati?Laras mengelilingkan pandangannya, dia merasa tidak asing dengan ruangan ini. Ruangan ini sama persis seperti ruang perpustakaan ketika dia masih duduk di SMA.Menoleh ke sisi kanannya, dia melihat jendela yang bening menembus sebuah pemandangan yang sangat indah.“Ini… “ Laras terperanjat, dia melihat sebuah lapangan berwarna hijau yang menyegarkan di bawah sana. Ada beberapa anak laki-laki yang sedang berlari-larian mengejar bola.“Ini kan sekolahku? Kenapa aku ada di sini?”Laras melihat dirinya sendiri. Rok abu-abu dengan kemeja putih. Ada sebuah nama tertulis di dada kanannya, Larasati.Laras terpekik tertahan. Hampir saja dia menjerit seperti orang gila. Ia segera mencari cermin. Ia langsung pergi ke arah pintu masuk perpustakaan, di sana biasanya ada cermin panjang yang memiliki tulisan “sudah rapikah kamu hari ini?”Di sana Laras hampir tak percaya melihat dirinya begitu muda dan cantik. Wajah tanpa jerawat dan keriput. Dan lihat tangannya yang begitu mulus, lalu pinggang yang ramping.“Astaga itu aku!” ujarnya terkejut.Murid-murid yang ada di sana menoleh ke arahnya kemudian menertawakannya. Laras paham mengapa mereka melirik ke arahnya dengan tatapan heran.“Larasati, kalo kamu nggak niat baca buku keluar ya. Kamu sering banget ke sini cuma buat numpang tidur.”Laras menoleh ke arah suara, dia adalah penunggu perpustakaan. Dinda yang cerewet tapi juga baik.“Ssst! Sst!”Laras menoleh ke arah suara lagi. Widuri sudah membawa buku yang dia cari.“Yuk, aku udah nemuin buku ini,” kata Widuri.Laras mengangguk tanpa sadar, lalu keluar dari perpustakaan bersama dengan Widuri.“Jadi gimana Ras?” tanya Widuri.“Apanya yang gimana?”“Pilih Edwin apa Adhi?”Laras menghentikan langkah kakinya. Widuri yang sibuk dengan buku yang ada di tangannya tidak menyadari jika temannya masih ada beberapa langkah di belakangnya.“Ras?” Widuri melihat ke belakang. “Ngapain sih, mau masuk nih!”Kaki Laras kembali melangkah maju, berjalan beriringan dengan Widuri. Dia diam saja tidak menjawab apa-apa pertanyaan dari Widuri, karena temannya itu juga tidak menuntut jawaban darinya. Seakan hanya iseng ingin bertanya.Laras ingat siapa Edwin. Dia adalah lelaki yang menyukainya. Dia sama seperti Adhi, umurnya dua puluh tahun ketika dirinya masih enam belas tahun. Mereka berdua sama-sama kuliah tapi menjadi rival ketika memperebutkan cinta dari Laras.Edwin ganteng, dia pintar. Tapi Edwin meninggal ketika lelaki itu berumur 27 tahun karena kecelakaan bersama dengan kekasihnya. Padahal mereka berdua akan menikah pada bulan depannya.Laras tak dapat menahan rasa sedihnya waktu itu. Mengingat Edwin begitu baik kepadanya saat masih muda.Adhi yang masih tidak menyukai Edwin melarang Laras untuk datang di pemakaman Edwin. Entah karena cemburu atau alasan apapun itu. Dan Laras menyesalinya sekarang.“Ras. Kamu kenapa sih, mau ke mana?” tanya Widuri yang melihat Laras terus berjalan.Laras mendongak melihat kelas 2-4 di depannya. Dia harusnya masuk di kelas 2-3 sekarang.“Oh ya lupa,” kata Laras dengan canggung. Ia mengikuti Widuri masuk ke kelas dan duduk di sebelahnya.Masalah tempat duduk dia tak bingung, karena selama tiga tahun di SMA dia selalu duduk dengan Widuri.“Rasanya gimana Ras, disukai banyak cowok?” tanya Widuri. Dia sudah bosan dengan bukunya, jadi memasukkanya ke dalam tas.“Rasanya? Nggak tau,” jawab Laras.Jika dulu dia merasakan rasa bangga dan jumawa, kini Laras malah merasa jika hal tersebut sama sekali tidak dapat dia banggakan. Apalagi jika ujung-ujungnya dia memilih orang yang salah yaitu Adhi.“Kak Tian, kakak kelas kita tadi nyariin pas kamu ngiler di perpus,” kata Widuri.Tian? Lelaki itu… Laras tidak tahu bagaimana kabar Tian ketika mereka sudah tidak bersekolah lagi. Terakhir dia hanya mendengar jika Tian menikah dan pindah ke luar pulau. Hanya itu. Tak ada hal yang aneh terjadi pada Tian.“Oh gitu.”“Oh ya, Ras. Aku tadi pagi dapet boneka dari Yoga,” kata Widuri dengan senang.“YOGA?!”Widuri mengangguk. “Iya Yoga, kenapa sih, kok kayak syok gitu denger nama Yoga. Dia.. . nggak mungkin suka sama kamu, kan?”Laras menggeleng. Tidak, Yoga tidak menyukai Laras. Hanya saja Yoga adalah cowok yang akan menjadi suami Widuri. Mereka berdua memang memiliki hubungan yang berkelok-kelok. Putus nyambung karena Widuri sering memutuskannya karena sifat Yoga yang tempramental. Tetapi, Widuri terpaksa menikah dengan Yoga karena tepat satu bulan setelah lulus, Widuri mengatakan pada Laras bahwa dia hamil anak Yoga.Widuri tidak dapat menggugurkan kandungannya, jadi dia menikah dengan Yoga. Dan penderitaan Widuri pun berawal dari sana. Widuri harus mengalami kekerasaan dalam rumah tangga karena sifat Yoga yang sama sekali tidak pernah berubah.Pernah suatu hari Widuri mengatakan pada Laras bahwa Yoga akan berubah jika sudah memiliki anak. Namun, hal itu sama sekali tak terbukti.Yoga masih suka kasar pada Widuri. Dia sering pulang dengan mabuk dan yang tak kalah menyeramkan adalah Yoga sering bermain dengan wanita penghibur.Dan dalam rumah tangga Widuri, Widuri lah yang bekerja banting tulang untuk menghidupi Yoga dan anaknya.“Wid, kamu suka banget ya sama Yoga?” tanya Laras.Meski sudah tahu jawabannya, Laras tetap ingin bertanya pada Widuri. Jika bisa, dia ingin membuat Widuri putus dengan Yoga dan tidak menjalin hubungan lebih jauh. Hanya saja… jika Widuri tidak menikah dengan Yoga. Lalu bagaimana dengan nasib Junior? Anak Widuri yang sangat dia sayangi hasil dari hubungannya dengan Yoga?“Suka banget! Dia bilang mau nikah sama aku, Ras!” ujarnya dengan girang. Karena tak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya nanti.Laras tak bisa menyembunyikan ekspresi ibanya pada Widuri, karena tahu apa yang terjadi dengan sahabatnya itu.“Masih kelas dua SMA, kenapa bahas nikah sih, Wid?”“Ah kamu sih banyak yang suka Ras, jadi pasti nggak bakalan kaget kalo bilang ada yang mau nikahin kamu. Tapi kalo aku kan beda, Ras.”“Tapi Wid, kalo misalnya kamu bisa dapet yang lebih baik dari Yoga, gimana?”Widuri tak langsung menjawab. Dia menimbang-nimbang jawabannya begitu lama.“Aku bakalan cariin cowok yang lebih ganteng dari Yoga, aku janji Wid!”Widuri menoleh lalu terkekeh. “Serius?”Laras mengangguk. “Adhi boleh? Dia kan kaya tuh, ganteng juga. Gak cocok sama kamu yang juga anak orang kaya,” katanya.“Jangan Adhi,” sambar Laras. Karena Adhi adalah bukan pilihan yang baik. Itu sama saja keluar dari kandang macan dan masuk ke kandang singa.“Tuh kan? Kamu aja nggak bolehin.”“Jangan Adhi. Siapa kek, ada kakak kelas yang kamu suka? Aku bantu kamu dapetin dia,” kata Laras meyakinkan.Widuri berpikir sebentar. Kemudian menggeleng.“Nggak ah, Yoga yang terbaik.”Tahun 2007 – Hari Pertama Laras di SMAMatahari siang menyengat, membakar lapangan sekolah yang luas. Sekelompok siswa baru berdiri berjejer di tengah lapangan, wajah mereka memerah karena malu dan kepanasan. Mereka dihukum karena datang terlambat di hari pertama sekolah.Di antara mereka, seorang gadis berdiri dengan kepala tegak, meskipun keringat menetes di pelipisnya. Rambut hitam panjangnya dikuncir kuda, seragam putih abu-abunya sedikit kusut karena terburu-buru.Laras. Di tangga lantai dua gedung sekolah, seorang siswa kelas dua menyandarkan tubuhnya ke pagar besi, memperhatikan pemandangan di bawah dengan senyum tipis.Tian.Ia menyilangkan tangan di dadanya, matanya terpaku pada sosok gadis yang berdiri paling tegak di tengah lapangan. Ia tidak tahu kenapa, tapi ada sesuatu pada gadis itu yang membuatnya tidak bisa mengalihkan pandangan.“Oi, kamu senyum-senyum sendiri kenapa?” suara Dani, teman sekelasnya, memecah lamunannya.Tian tetap tidak menjawab, masih memandangi gadi
Laras berdiri di depan cermin besar, menatap pantulan dirinya dalam balutan kebaya putih yang sederhana namun elegan. Rambutnya disanggul rapi, dihiasi selipan melati kecil yang harum. Wajahnya terlihat tenang, tetapi hatinya berdebar kencang.Hari ini adalah hari pernikahannya.Ia mengangkat tangannya, meraba dadanya yang bergetar pelan. Setelah semua yang terjadi, setelah luka dan kehilangan, ia akhirnya menemukan seseorang yang tidak hanya mencintainya tetapi juga menerimanya apa adanya.“Laras.”Ia menoleh dan melihat Abi berdiri di ambang pintu, mengenakan setelan formal yang membuatnya terlihat lebih dewasa dari usianya.“Ibu sudah siap?” tanyanya lembut.Laras tersenyum, melangkah mendekat, lalu membetulkan kerah kemeja putranya. “Ibu siap.”Abi menatapnya lama, lalu mengangguk kecil. “Ayo.”Laras mengulurkan tangannya, dan Abi menggenggamnya erat, mengantarnya keluar menuju halaman belakang vila kecil yang mereka sewa untuk acara ini.Pernikahan ini bukan pesta besar dengan ra
Adhi duduk di kursi terdakwa dengan tubuh kaku, tangannya terkepal di atas meja. Wajahnya tampak lebih tirus dari sebelumnya, dengan lingkaran hitam di bawah matanya, pertanda malam-malam tanpa tidur yang ia lalui selama sidang berlangsung. Hari ini, putusan akan dijatuhkan.Ruangan sidang dipenuhi oleh pengunjung. Beberapa adalah wartawan yang siap mengabadikan momen kejatuhan seorang pria yang dulu begitu berkuasa. Sebagian lagi adalah orang-orang yang mengenal Adhi dan ingin melihat akhirnya.Di barisan kursi pengunjung, Laras duduk dengan punggung tegak. Ia mencoba tampak tenang, tetapi jemarinya yang saling meremas menunjukkan kegelisahannya. Di sebelahnya, Tian duduk dengan ekspresi profesional, tetapi tatapan matanya penuh kewaspadaan. Di sisi lain, Abi duduk dengan bahu tegap, tatapannya lurus ke depan. Ia tidak menghindar dari kenyataan.Hakim mengetukkan palunya, membuat seluruh ruangan terdiam.“Berdasarkan bukti yang telah diajukan serta kesaksian yang diberikan, pengadila
Bab 30. Adhi yang Puas, Lalu MurkaAdhi duduk di ruangannya, menyesap kopi dengan santai sambil membaca berita tentang kebakaran rumah Laras. Senyum penuh kepuasan terukir di wajahnya."Laras, lihatlah... Kamu kehilangan segalanya. Sekarang, kamu pasti menyesal meninggalkan aku," pikirnya puas.Baginya, ini adalah balasan atas semua rasa sakit dan penghinaan yang telah Laras berikan padanya. Kehilangan rumah akan membuatnya terpuruk, dan pada akhirnya, Laras akan kembali padanya dengan wajah penuh penyesalan.Namun, kebanggaan itu lenyap seketika ketika sekretarisnya masuk dengan wajah ragu.“Tuan… Saya baru saja mendengar kabar bahwa… Bu Laras tidak mencari rumah lain.”Adhi mengangkat alis. “Apa maksudmu?”Sekretarisnya menelan ludah sebelum menjawab, “Dia tinggal di rumahnya Pak Tian.”Cangkir di tangan Adhi langsung hancur di genggamannya. Kopi panas tumpah ke meja, tapi ia tak peduli.“Apa?” suaranya terdengar berbahaya.Sekretaris itu mundur sedikit, takut dengan ekspresi penuh
Enam Bulan KemudianRestoran kecil di sudut kota itu dipenuhi cahaya lampu yang hangat, menciptakan suasana nyaman di tengah udara malam yang mulai mendingin. Di salah satu meja dekat jendela, tiga orang duduk bersama—Abi, Laras, dan Tian.Abi menyendok makanannya dengan santai, sesekali melirik ke arah ibunya dan Tian yang duduk di seberangnya. Laras tampak lebih tenang dibanding beberapa bulan lalu, sementara Tian terlihat nyaman berada di sana, meskipun tetap menjaga sikapnya.Setelah beberapa suapan, Abi meletakkan sendoknya dan menatap ibunya dengan ekspresi serius.“Bu,” panggilnya, suaranya tenang tapi penuh makna.Laras menoleh. “Ya?”Abi menghela napas pelan sebelum melanjutkan, “Aku nggak masalah kalau Ibu mau menikah lagi.”Laras terkejut. “Abi…”“Aku tahu,” Abi tersenyum tipis. “Aku tahu Ibu nggak pernah bahagia sama Ayah. Jadi kalau sekarang ada kesempatan buat Ibu bahagia, aku nggak akan menahan Ibu.”Laras terdiam, menatap putranya dengan mata berkaca-kaca. Hatinya ters
Satu minggu kemudian. Tempat Rehabilitasi Remaja, Sore HariTian melangkah memasuki area rehabilitasi dengan perasaan campur aduk. Bangunan sederhana dengan halaman luas itu dikelilingi pagar tinggi, tapi suasana di dalamnya terasa lebih tenang dibandingkan penjara. Udara sore yang sejuk tidak bisa meredakan ketegangan dalam dadanya.Di taman belakang, di bawah pohon rindang, Tian akhirnya menemukan Abi duduk di bangku kayu. Pemuda itu mengenakan kaus putih polos dengan jaket tipis, rambutnya sedikit berantakan, dan matanya menatap kosong ke kejauhan.Tian menarik napas panjang sebelum berjalan mendekat. “Abi…” panggilnya pelan.Abi menoleh, ekspresinya datar, tapi sorot matanya menyiratkan ketegangan. “Ngapain ke sini?”Tian mengusap tengkuknya, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku mau minta maaf.”Abi mendengus kecil. “Buat apa? Kamu nggak salah apa-apa.”Tian menghela napas. “Aku… juga baru tahu kalau kamu anakku beberapa waktu yang lalu. Waktu aku bertemu ibumu di biro huku