Setelah nama Lyanna Raveheart merajai headline seluruh media, hidupnya berubah drastis. Ke mana pun ia melangkah, sorotan kamera dan suara teriakan wartawan menjadi makanan sehari-hari. Tak ada lagi kebebasan untuk sekadar berjalan-jalan santai atau duduk di taman tanpa pengawalan. Ia kini bukan hanya wanita biasa, tapi istri dari seorang pewaris Raveheart, nama yang punya bobot besar di dunia sosialita dan bisnis internasional.
Pagi itu, Lyanna berdiri di balkon kamar suite-nya yang menghadap langsung ke taman luas kediaman Raveheart. Rambutnya yang tergerai ditiup angin, dan matanya menatap jauh, kosong. “Oh Tuhan... Ternyata hidup seperti ini tak seindah yang aku bayangkan,” gumamnya lirih. “Selalu diburu awak media dan tak bisa bebas ke mana pun sangat menyiksaku…” Langkah kaki terdengar dari balik pintu. Lucian muncul dengan setelan santainya, kemeja putih yang hanya dikancing separuh dan segelas wine merah di tangan. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya tajam, mengamati Lyanna yang tampak resah. “Kau benar, Lyanna…” ucapnya sambil menghampiri dan menyodorkan gelas wine padanya. “Setelah kau menjadi istriku, kau tak bisa pergi sebebas dulu.” Lyanna menoleh menatapnya. Mata mereka bertemu dalam hening. Lucian meneguk winenya pelan, lalu berkata dengan suara yang dalam, “Dan karena itu, aku akan memberikan pengawalan padamu. Bukan hanya untuk keselamatanmu... tapi karena aku tahu dunia luar bisa sangat kejam, terutama terhadap seorang wanita yang mencuri pusat perhatian dari semua kalangan.” Lyanna tersenyum miris. “Terdengar seperti ancaman lembut.” Lucian tersenyum kecil, namun tak menjawab. Ia hanya memandangi wajah Lyanna dengan cara yang tak biasa ada rasa di balik tatapan dinginnya. Mungkin iba. Mungkin kagum. Atau mungkin, rasa yang lebih dalam mulai tumbuh perlahan. .......................................................... Malam itu terasa sunyi. Deru angin malam Los Angeles terdengar samar dari balik jendela kamar utama mansion Raveheart. Lampu kamar menyala temaram, menyorot siluet tubuh Lucian yang berdiri di dekat ranjang dengan kemeja putih setengah terbuka, memperlihatkan lekuk dadanya yang kekar. Di atas ranjang, Lyanna duduk memeluk lutut, mengenakan gaun tidur satin lembut warna gading yang Lucian pilihkan sendiri. Wajahnya memerah, gugup tapi tak lari. Ia tahu malam ini akan datang. Cepat atau lambat. Lucian perlahan mendekat. Tatapan matanya gelap, bukan hanya karena hasrat, tapi juga karena rasa ingin tahu yang menggerogoti. Ingin memahami wanita misterius yang kini sah menjadi istrinya. "Tak ada jalan kembali, Lyanna," bisiknya pelan, tangannya menyentuh pipi Lyanna, mengelus lembut. "Aku tahu..." suara Lyanna nyaris tak terdengar. Lucian menarik tubuh wanita itu ke dalam dekapannya. Ciuman pertama mendarat di kening, turun ke pelipis, lalu ke bibir Lyanna yang semula kaku, namun perlahan mulai merespons. Nafas mereka tersengal, suasana di antara keduanya membakar perlahan. Saat jemari Lucian mulai membuka tali gaun Lyanna, ia berhenti. Tangannya membeku. Mata Lyanna memejam, pasrah… dan dalam detik itulah Lucian menyadari sesuatu. Tubuh wanita itu menegang tak wajar. "Lyanna…" bisik Lucian, matanya menatap dalam. "Kau... belum pernah melakukannya?" Lyanna menggigit bibir bawahnya. Pelan, ia mengangguk. Lucian menegang. Matanya melebar, ekspresinya berubah dari penuh gairah menjadi bingung dan… terkesima. "Di zaman seperti ini… kau masih perawan?" gumamnya, lebih seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Sial... kau benar-benar seperti teka-teki yang tak bisa kutebak." Lyanna menunduk. "Kalau kau ingin pergi… aku tidak akan menahanmu." Lucian mendengus pelan. Ia mengusap rambut Lyanna, lalu berbalik dan menjatuhkan tubuhnya ke ranjang di samping wanita itu. "Tidak, aku tidak akan menyentuhmu malam ini," katanya dingin, namun terdengar berat. Lyanna terkejut menatapnya. Lucian menoleh. "Bukan karena aku tak menginginkanmu. Tapi karena aku tidak akan menyentuhmu… sampai kau benar-benar menginginkannya. Aku bukan monster, Lyanna." Dalam diam, Lyanna hanya bisa memandangi punggung Lucian yang kini membelakanginya. Ada haru yang mengendap di hatinya. Dan untuk pertama kalinya sejak mereka menikah, Lyanna merasa… sedikit aman di sisi pria itu. ............................................................ Pagi itu, suasana di mansion keluarga Raveheart terasa berbeda. Lucian tengah berada di ruang kerjanya, memandangi layar monitor yang dipenuhi artikel dan video tentang Lyanna yang menjadi sorotan publik. Sementara itu, Lyanna sedang duduk di taman belakang dengan koran di tangan, wajahnya tampak murung meski berita tentang dirinya tampak begitu glamor. "Sungguh lucu... baru beberapa minggu aku menjadi bagian dari keluarga ini, tapi rasanya hidupku sudah tak lagi milikku." Ucap Liana pelan. Tak jauh dari sana, seorang wanita tampak memperhatikan dari dalam mobil mewah yang terparkir di seberang pagar mansion. "Tunggu saja, Lyanna. Kau pikir dunia ini akan menerimamu begitu saja? Aku tidak akan membiarkan wanita tanpa asal-usul sepertimu menggantikan posisiku!" Ucap Selena dengan penuh kebencian. Selena mengeluarkan ponselnya, lalu menghubungi seseorang. "Pastikan kau dapatkan apa pun tentang masa lalu Lyanna. Aku yakin wanita itu menyimpan sesuatu. Dan jika tidak ada... kita akan buat seolah-olah ada." Suara tawanya yang licik terdengar pelan namun dingin. --- Lucian masuk ke kamar dan melihat Lyanna tengah diam di depan cermin. "Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Lucian "Apa aku terlihat seperti seseorang yang layak mendampingimu, Lucian? Publik bertanya siapa aku... mereka tak tahu apa pun tentang masa laluku." Gumam Lyanna. Lucian mendekat dan memegang bahunya dari belakang. "Biarkan mereka menebak. Aku tahu siapa kau sebenarnya, dan itu cukup." Namun saat mereka hendak menciptakan ruang untuk kedekatan baru, sebuah pesan masuk ke ponsel Lucian. Isinya sebuah foto Lyanna beberapa tahun lalu saat Lyanna mencari sahabat nya di sebuah klub malam. "Siapa yang mengirim ini...?" Lucian mendesis pelan. Lyanna terkejut, "Lucian... aku bisa jelaskan..." Lucian menatap tajam, "Siapa yang mencoba menyerangmu, Lyanna? Atau... ini memang bagian dari masa lalumu yang kau sembunyikan?" .......................................... Lyanna menatap layar ponselnya dengan tangan gemetar. Matanya membesar saat melihat sebuah artikel dengan judul mencolok: "Istri Pewaris Raveheart, Mantan Hostes Klub Malam?" Artikel itu disertai potongan video blur yang menampilkan sosok wanita dengan rambut menyerupai Lyanna tengah melayani tamu pria di sebuah lounge malam. "Apa-apaan ini..." bisik Lyanna, dadanya sesak oleh rasa panik. Di sisi lain ruangan, Lucian yang baru saja kembali dari kantor menghampirinya. Wajah tampannya mengeras saat melihat isi layar ponsel istrinya. Ia menariknya pelan, lalu membaca setiap baris dengan rahang mengeras. "Ini sampah," ucap Lucian tajam, membanting ponsel ke sofa. "Mereka mencoba menjatuhkanmu. Dan aku tahu siapa dalangnya." "Tapi Lucian... Bagaimana jika keluarga Raveheart mempercayai berita ini? Mereka bisa... " "...Mereka tidak berhak menilai perempuan yang kupilih dari berita sampah." Potong Lucian tajam. Tangannya meraih ponsel miliknya, cepat mengetikkan pesan. Tak butuh waktu lama, ia menelpon seseorang, nada suaranya dingin. "Marvin. Telusuri IP pengunggah video itu. Dan siapa pun yang menyebarkan fitnah ini, pastikan mereka tak bisa tidur nyenyak malam ini." Baru saja panggilan ditutup, seorang pelayan datang dengan langkah hati-hati. "Maaf mengganggu, Tuan Muda. Anda dan Nona Lyanna diminta menghadap Tuan Besar di ruang kerja sekarang juga." Lyanna langsung menunduk. Napasnya tercekat. Sementara Lucian hanya menghela napas pelan, menyisipkan tangannya ke pinggang Lyanna dan membisik pelan, "Aku di sini. Dan kita akan hadapi ini… bersama." --- Lyanna menggenggam jemarinya erat, mencoba menahan gemetar yang sejak tadi menyelimuti tubuhnya. Langkah kakinya berat saat ia mengikuti Lucian memasuki ruang kerja Tuan Besar Alaric Raveheart. Aroma kayu tua dan ketegasan begitu kuat di ruangan itu, membuat udara seolah berhenti berhembus. Tuan Besar Alaric duduk di balik meja kerja besar berukiran lambang Raveheart. Tatapan matanya tajam, menusuk langsung ke arah Lyanna yang berdiri setengah menunduk di samping Lucian. Sebuah tab disodorkan ke arah Lucian. “Lihatlah ini,” suara Alaric datar namun berisi bara yang tersulut. “Aku tak mengerti... darimana kau mendapatkan istrimu itu, Lucian?” Lyanna menelan ludah. Ia tahu apa yang akan keluar dari mulut pria itu berikutnya, tapi mendengarnya langsung tetap terasa seperti pisau yang menyayat kulitnya. “Aku memang memintamu menikah, bahkan kalau perlu dengan perjanjian kontrak. Tapi yang kuharapkan adalah wanita yang bisa menjaga kehormatan keluarga kita, bukan... seorang wanita yang bekerja sebagai hostes klub malam.” Perkataan itu menghantam Lyanna seperti badai. Nafasnya tercekat. Airmata menitik, tak tertahan lagi. Lucian mengepalkan tangan. Ia menatap Lyanna sejenak, melihat bagaimana wanita yang mulai ia kagumi itu nyaris runtuh karena satu tuduhan. “Dad,” suara Lucian terdengar tegas, berbeda dari biasanya. “Lyanna bukan seperti yang tertulis di artikel itu. Dia seorang perawat. Memang... dia tak memiliki pekerjaan tetap saat ini, tapi dia bukan wanita rendahan.” Alaric menyipitkan mata. “Dan bagaimana kau bisa yakin?” “Karena aku mengenalnya... dan aku sudah menyuruh Marvin menyelidiki dalangnya. Akan segera terbukti kalau ini semua rekayasa.” Lyanna menatap Lucian dengan mata berkaca-kaca. Ia tak menyangka pria itu begitu cepat membelanya—meski hubungan mereka awalnya hanyalah kontrak. Alaric terdiam sejenak. Lalu ia menoleh pada Lyanna. “Kau bisa membantah apa pun... tapi ingat, nama keluarga ini tidak bisa ternoda. Sekali saja kau terbukti mempermalukan keluarga ini, maka kontrak atau tidak, kau akan langsung kuusir dari rumah ini.” Lyanna menunduk dalam. “Saya mengerti, Tuan.” Setelah mereka keluar dari ruangan itu, Lucian meraih tangan Lyanna. “Aku janji, semua ini akan segera selesai. Kau gak sendirian, Lyanna.” Lyanna hanya mengangguk, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia masih kuat berdiri—dan bahwa fitnah ini tak akan menghancurkannya. _"Bersambung"_Hari ini adalah jadwal fitting busana untuk pesta anniversary ayah dan ibu Lucian, Alaric Raveheart dan Marie Raveheart, yang akan digelar lusa. Ruangan butik dipenuhi cahaya hangat, dan aroma parfum lembut menyelimuti udara. Lucian berjalan di sisi Lyanna, menatap setiap gerakannya dengan perhatian. Saat Lyanna mencoba membenarkan lipatan gaunnya, Lucian mencondongkan tubuh, mengusap lembut lipatan kain dengan jarinya. “Biarkan aku bantu,” ujarnya, suaranya hangat. “Kamu akan terlihat sempurna nanti.” Lyanna tersenyum, sedikit tersipu. “Lucian… kamu selalu terlalu perhatian.” “Kalau itu membuatmu nyaman, aku akan tetap begitu,” jawabnya sambil menunduk, matanya menatap Lyanna dengan lembut. Di sudut ruangan, terdengar bisik-bisik di antara karyawan butik. “Ternyata Tuan Muda Raveheart sangat romantis ya,” bisik seorang karyawan. “Kau benar… beruntung sekali Nyonya Muda Lyanna,” jawab yang lain, sambil tersenyum kecil. Para pengawal yang berdiri di dekat pintu pun tak
Langit Los Angeles diselimuti awan kelabu, seperti mewakili kegelisahan yang memenuhi benak Lyanna. Sepulang dari pertemuan dengan Alaric, ia mengurung diri di kamar. Ia tak bicara apa pun selama makan malam. Bahkan saat Lucian menawarkan duduk di balkon bersamanya, ia hanya menggeleng pelan. Namun malam belum benar-benar berakhir. Pukul dua belas malam, Lucian membuka pintu kamar Lyanna tanpa mengetuk. Wajahnya masih dibayangi emosi yang belum selesai sejak siang tadi. “Kau tidak bisa terus menghindar seperti ini, Lyanna,” ucapnya pelan tapi dalam. Lyanna berdiri di sisi tempat tidur, masih mengenakan piyama satin tipis warna pucat. Rambutnya terurai, mata sembab karena menangis. “Aku lelah... Aku malu, Lucian. Bukan hanya karena tuduhan itu, tapi karena kau harus terus-menerus membelaku.” Lucian melangkah mendekat. “Kau pikir aku membelamu karena terpaksa?” Tatapannya menusuk. Lyanna tak menjawab. Nafasnya naik-turun. “Kalau aku tak peduli, aku tak akan berdiri di
Setelah nama Lyanna Raveheart merajai headline seluruh media, hidupnya berubah drastis. Ke mana pun ia melangkah, sorotan kamera dan suara teriakan wartawan menjadi makanan sehari-hari. Tak ada lagi kebebasan untuk sekadar berjalan-jalan santai atau duduk di taman tanpa pengawalan. Ia kini bukan hanya wanita biasa, tapi istri dari seorang pewaris Raveheart, nama yang punya bobot besar di dunia sosialita dan bisnis internasional. Pagi itu, Lyanna berdiri di balkon kamar suite-nya yang menghadap langsung ke taman luas kediaman Raveheart. Rambutnya yang tergerai ditiup angin, dan matanya menatap jauh, kosong. “Oh Tuhan... Ternyata hidup seperti ini tak seindah yang aku bayangkan,” gumamnya lirih. “Selalu diburu awak media dan tak bisa bebas ke mana pun sangat menyiksaku…” Langkah kaki terdengar dari balik pintu. Lucian muncul dengan setelan santainya, kemeja putih yang hanya dikancing separuh dan segelas wine merah di tangan. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya tajam, mengamati L
Sorotan kamera, judul utama koran, dan berita daring nyaris serempak menampilkan hal yang sama. Seorang wanita muda berdiri elegan di sisi pewaris tunggal Raveheart Group, Lucian Raveheart.> "Siapa Lyanna Raveheart, wanita misterius yang kini menjadi istri pewaris kerajaan bisnis Amerika?""Lyanna Raveheart: Dari bayangan gelap menuju sorotan panggung dunia elit!""Mantan tunangan Lucian angkat suara: ‘Siapa dia sebenarnya?’"Foto-foto malam gala menampilkan Lyanna dengan gaun warna emerald anggunnya, tersenyum lembut di samping Lucian yang mengenakan setelan jas hitam klasik. Pose mereka seolah menggambarkan pasangan sempurna yang dilahirkan untuk berada di dunia yang sama.Namun tak semua pihak menyambut kehadiran Lyanna dengan hangat.Di salah satu sudut apartemen mewah milik Selena Vallerine, mantan tunangan Lucian yang menghilang tanpa jejak dua bulan lalu, layar TV menyala dengan wajah Lyanna terpampang jelas. Tatapan Selena penuh bara. Bibirnya menyeringai kecut, dan jemarinya
Cahaya matahari pagi menyusup lembut melalui celah tirai apartemen mewah itu, membelai pelan wajah Lyanna yang tampak lelah. Ia sudah bangun lebih awal, mungkin karena canggung tidur di tempat asing atau karena pikirannya terlalu penuh untuk bisa beristirahat dengan tenang. Tapi ia mencoba bersikap biasa saja. Rambutnya dikuncir rendah, wajahnya tanpa riasan, dan apron lucu tergantung di pinggangnya saat ia menyiapkan sarapan sederhana di dapur terbuka.Lucian muncul dari koridor dengan kemeja santai abu-abu dan celana panjang gelap. Raut wajahnya datar, tapi matanya sempat melirik Lyanna yang sedang membalik telur dadar di atas pan."Aku tak tahu kau bisa masak," gumamnya sambil duduk di kursi tinggi bar dapur.Lyanna berusaha tersenyum, meskipun jelas matanya masih sembab."Aku tidak jago. Tapi ini sarapan biasa, bukan sesuatu yang sulit."Lucian tidak membalas. Ia hanya mengamati Lyanna, cukup lama hingga membuat gadis itu gugup dan hampir menjatuhkan sendok kayunya."Maaf soal sem
Restoran bintang lima yang berada di puncak gedung pencakar langit Los Angeles itu menyajikan panorama malam yang menakjubkan. Lampu kota berkelap-kelip, menciptakan latar sempurna untuk malam pertama mereka sebagai pasangan kontrak. Tapi bagi Lyanna, semuanya terasa seperti panggung dan dia hanyalah pemeran pengganti dalam drama hidup Lucian Raveheart.Dengan gugup, Lyanna menyesap air putih dari gelas kristal di depannya. Gaun hitam elegan yang diberikan oleh penata gaya Lucian membungkus tubuhnya dengan sempurna, membuatnya tampak seperti wanita kelas atas. Namun di dalam hati, ia tetaplah Lyanna si gadis yang selama ini bergelut dengan dua pekerjaan untuk menyambung hidup.“Berhenti terlihat seperti kau akan melarikan diri,” ucap Lucian tiba-tiba, suaranya tenang namun penuh tekanan.Lyanna menatap pria di hadapannya begitu dingin, begitu terkendali. Ia tak pernah membayangkan akan duduk semeja dengan pewaris tunggal Raveheart Corporation, apalagi sebagai ‘istri’ yang ia sewa untu