Aku terduduk lemas di tanah berumput basah, tubuh gemetar tanpa bisa kukendalikan. Nafasku memburu, bercampur dengan isak yang kutahan di tenggorokan. Mataku tak lepas dari sumur tua di hadapanku—airnya yang gelap sudah kembali tenang, seakan tak pernah menyeret Andi ke dalam. Namun, di permukaan, boneka kain itu masih terapung. Mulut sobeknya membentuk senyum dingin yang menusuk.
“Andi…” bisikku lirih, serak. “Kenapa harus kamu…”
Aku ingin menjerit, tapi tak ada suara keluar. Hanya dada yang sesak dan tubuhku yang semakin lemah. Suasana malam makin mencekam. Angin dingin berembus, membawa bau amis yang menusuk hidung. Gamelan samar terdengar lagi dari arah belakang rumah—pelog sumbang, seperti dimainkan oleh tangan-tangan yang patah.
Aku berusaha berdiri, tapi lututku goyah. Dalam kepalaku, bayangan wajah Andi saat ditarik ke sumur terus terputar. Tangannya meraih, suaranya memanggil, dan aku… gagal menyelamatkannya. Rasa bersalah mencengkram dadaku, lebih berat daripada ketakutan itu sendiri.
Lalu, aku mendengar sesuatu. Suara langkah kaki. Seretan basah, berirama pelan.
Aku menoleh.
Andi.
Tubuhnya muncul dari balik pepohonan di dekat sumur. Basah kuyup, pakaiannya meneteskan air hitam. Wajahnya pucat pasi, seolah semua darah sudah habis tersedot. Matanya kosong, tanpa cahaya. Dari mulutnya keluar bisikan patah-patah:
“Bayar… bayar… bayar…”
Aku terhuyung mundur, jantungku hampir pecah. “Tidak… bukan kamu…”
Namun sosok itu terus mendekat. Setiap langkahnya meninggalkan jejak lumpur di tanah kering. Ada aroma busuk bercampur amis menyebar, membuat perutku mual. Ia menunduk, tangan terulur seolah hendak meraih wajahku.
“Andi?” suaraku tercekat, antara harapan dan ngeri. “Kamu… masih hidup?”
Tidak ada jawaban. Hanya gumaman yang makin jelas.
“Bayar… bayar… bayar…”
Aku tahu. Itu bukan lagi sahabatku. Rumah ini sudah mengambil jiwanya, hanya meninggalkan tubuh kosong yang dikendalikan sesuatu.
Aku berbalik, berlari sekuat tenaga menuju rumah. Gerbang bambu yang sore tadi tampak rapuh kini menjulang tinggi, batang-batangnya saling mengikat seperti tembok. Tidak ada jalan keluar. Aku tak punya pilihan selain kembali masuk ke dalam rumah itu.
Begitu kakiku melewati ambang pintu, daun pintu tertutup keras dengan sendirinya. “BRAKK!” Suaranya menggema di seluruh ruangan.
Gelap menyelimuti. Semua lilin padam, hanya tersisa cahaya samar dari bulan yang masuk lewat celah jendela. Nafasku tersengal, telingaku dipenuhi suara bisikan yang datang dari segala arah.
“Rakha… giliranmu sebentar lagi…”
Aku memejamkan mata, menutup telinga dengan kedua tangan, tapi bisikan itu tetap menusuk kepalaku. Suara mereka seakan berasal dari dinding, lantai, bahkan dari dalam dadaku sendiri.
Aku berlari menyusuri lorong panjang yang terasa lebih sempit daripada sebelumnya. Setiap langkah, lantai kayu berderit, seperti ada yang bergerak tepat di bawahku.
Tiba-tiba, semua pintu kamar di sisi lorong terbuka bersamaan. Dari dalamnya, siluet-siluet hitam berdiri. Mereka tidak bergerak, hanya menatap. Puluhan pasang mata kosong mengikuti langkahku.
Aku hampir kehilangan akal. Ingin berbalik, tapi aku tahu Andi—atau makhluk yang menyerupainya—masih mengejarku dari luar. Maka aku terus berlari, menuju ruang tamu.
Di sana, lilin-lilin yang tadi sempat padam kembali menyala sendiri. Api mereka menari, tapi bukan karena angin. Ada sesuatu yang bernafas di sekitarnya.
Di meja, aku melihat cangkir yang pecah kemarin kini utuh kembali. Uap panas mengepul, sendok berputar di dalamnya. Tidak, kali ini bukan sendok. Jari pucat yang panjang menjulur keluar dari cairan, mengaduk pelan. Darah menetes ke meja, menghitamkan taplak.
Aku mundur dengan panik, hampir terjatuh.
“Rakha…”
Aku terdiam. Itu suara Andi lagi, tapi lebih dekat. Aku menoleh ke arah tangga. Di sana ia berdiri, tubuhnya kaku, wajah pucatnya menatapku kosong. Namun suaranya terdengar dari segala arah.
“Kenapa… kamu… tidak… ikut… aku?”
Aku mundur. “Kamu bukan Andi…”
Dia tersenyum aneh, lalu mulai menaiki tangga dengan gerakan kaku, setiap langkahnya terdengar seperti kayu retak. “Ikut… ke bawah… sumur… masih lapar…”
Aku berlari ke kamar depan, menutup pintunya rapat, dan mendorong lemari untuk menghalangi. Nafasku memburu, dadaku naik turun cepat. Namun, ketenangan hanya bertahan sebentar.
Pintu mulai bergetar.
Duk! Duk! Duk!
“Buka, Rakha… aku ibumu…”
Aku terpaku. Itu suara Ibu. Suara lembut, hangat, sama persis seperti yang kurindukan. Suara yang sudah lama tak kudengar.
Air mataku mengalir. “Tidak… tidak mungkin…”
“Rakha… sayang, buka pintunya. Kamu sendirian, kan? Biar Ibu temani…”
Suaranya semakin jelas, semakin meyakinkan. Jantungku sakit mendengarnya. Bagian dari diriku ingin percaya, ingin membuka pintu itu dan berlari ke pelukannya.
Tapi aku mengguncang kepalaku keras-keras. “Bukan! Itu bukan Ibu! Jangan coba-coba!”
Pintu semakin keras digedor. Lemari berguncang, seakan ada ratusan tangan yang mendorong dari luar. Suara itu berubah, dari lembut menjadi penuh amarah.
“BUKA, RAKHA! KAU SUDAH DIPANGGIL!”
Aku menutup telinga, berlutut di lantai. “Pergi… pergi…”
Tiba-tiba lilin di kamar padam. Gelap total.
Aku mendengar napas berat tepat di telingaku. Pelan, teratur, bukan milikku.
Dengan gemetar, aku membuka mata. Di pojok kamar, ada sesuatu.
Sebuah wajah pucat melayang di udara. Tanpa tubuh. Matanya hitam legam, mulutnya sobek sampai telinga, menampakkan gigi tajam berlumur darah. Wajah itu tersenyum padaku.
Aku menjerit, tubuhku gemetar tak terkendali. Wajah itu melayang cepat ke arahku. Aku panik, meraih kursi dan melemparkannya. Kursi menghantam wajah itu, tapi tubuhnya lenyap menjadi kabut, lalu muncul lagi tepat di belakangku.
“Rakha…” bisiknya di telingaku.
Aku berlari ke jendela, menghantam kaca dengan tubuhku hingga pecah. Pecahan kaca melukai tanganku, darah mengucur, tapi aku tak peduli. Aku melompat keluar, jatuh ke tanah dingin halaman belakang.
Udara malam menusuk, tapi lebih baik daripada terjebak di kamar itu.
Aku berlari ke arah sumur lagi. Nafasku tercekat ketika melihat boneka kain itu kini tidak lagi terapung, melainkan duduk di bibir sumur. Tangan kecilnya yang basah menggantung, seolah menunggu.
Dan di belakangku, langkah seretan itu kembali terdengar.
Andi—atau apapun dirinya sekarang—sedang mendekat lagi.
Aku ingin lari, tapi rumah ini bagai labirin. Ke mana pun aku pergi, selalu kembali ke titik yang sama: sumur tua ini.
Aku menatap sumur dengan ngeri. Airnya bergolak, tangan-tangan pucat kembali muncul dari dalam, melambai-lambai, mengundang.
“Aku tidak akan ikut!” teriakku, mencoba melawan.
Tapi suara itu menggema, kali ini lebih banyak, lebih kuat.
“Rakha… waktumu sudah tiba…”
Aku jatuh berlutut, tubuhku gemetar. Dari kejauhan, gamelan kembali berbunyi, kali ini pelan tapi teratur. Seperti musik kemenangan.
Dan di saat itu aku sadar—tumbal pertama hanyalah permulaan. Rumah ini haus, dan aku… aku mungkin tumbal berikutnya.
Aku masih berlutut di depan sumur, napasku tersengal. Udara malam menusuk tulang, tapi tubuhku dipenuhi keringat dingin. Boneka kain itu kini duduk di bibir sumur, kepalanya miring ke samping seperti anak kecil yang sedang bermain. Matanya yang terbuat dari kancing hitam menatapku tanpa berkedip, sementara senyum sobeknya semakin lebar.“Andi…” suaraku parau. “Apa yang mereka lakukan padamu…”Namun aku tahu, itu bukan lagi Andi. Tidak ada yang bisa mengembalikan sahabatku. Yang tersisa hanyalah tubuh kosong yang dikendalikan kutukan rumah ini.Dari arah rumah, pintu depan terbuka pelan. Engselnya berdecit panjang, diikuti suara langkah menyeret yang semakin mendekat. Aku tidak perlu menoleh untuk tahu—Andi, atau sosok yang menyerupainya, sedang datang ke arahku.Aku bangkit tergesa, berlari ke arah kebun belakang. Pohon-pohon bambu bergoyang keras meski angin tidak berhembus. Suara bisikan mengikuti setiap langkahku.“Rakha… jangan lari… giliranmu…”Aku menutup telinga, tapi bisikan i
Aku terduduk lemas di tanah berumput basah, tubuh gemetar tanpa bisa kukendalikan. Nafasku memburu, bercampur dengan isak yang kutahan di tenggorokan. Mataku tak lepas dari sumur tua di hadapanku—airnya yang gelap sudah kembali tenang, seakan tak pernah menyeret Andi ke dalam. Namun, di permukaan, boneka kain itu masih terapung. Mulut sobeknya membentuk senyum dingin yang menusuk.“Andi…” bisikku lirih, serak. “Kenapa harus kamu…”Aku ingin menjerit, tapi tak ada suara keluar. Hanya dada yang sesak dan tubuhku yang semakin lemah. Suasana malam makin mencekam. Angin dingin berembus, membawa bau amis yang menusuk hidung. Gamelan samar terdengar lagi dari arah belakang rumah—pelog sumbang, seperti dimainkan oleh tangan-tangan yang patah.Aku berusaha berdiri, tapi lututku goyah. Dalam kepalaku, bayangan wajah Andi saat ditarik ke sumur terus terputar. Tangannya meraih, suaranya memanggil, dan aku… gagal menyelamatkannya. Rasa bersalah mencengkram dadaku, lebih berat daripada ketakutan it
Andi menatap sekeliling rumah dengan mata berbinar, seolah-olah sedang berkunjung ke museum tua, bukan ke sarang kutukan. Ia menepuk bahuku dengan tawa lepas.“Rak, gila. Rumah kakekmu keren banget! Kayak rumah di film-film horor. Pantes kamu kelihatan pucat, pasti tiap malam kebayang pocong, ya?”Aku hanya menelan ludah. Ingin sekali aku berteriak padanya untuk pergi, tapi entah kenapa lidahku kelu. Seolah rumah ini tidak mengizinkan kata “keluar” terucap dari mulutku.“Andi, dengar aku,” kataku pelan. “Kamu tidak boleh bermalam di sini. Ada sesuatu—”“Yaelah,” potongnya. “Gue udah booking penginapan di desa, kok. Tenang aja. Cuma mampir sebentar. Paling sejam dua jam.”Aku ingin lega, tapi rumah ini seakan tahu. Dari arah lorong timur, terdengar suara kriiit… kriiit… kayu yang bergeser. Jejak kaki basah muncul lagi di lantai, merayap pelan mendekat.Andi memicingkan mata. “Eh, ini apaan? Kamu sengaja bikin efek biar gue takut, ya?”Aku memegang lengannya. “Bukan aku. Itu… bukan aku.
Kabut belum juga hilang meski pagi sudah lama datang. Dari jendela kamar, aku hanya melihat warna abu-abu yang menutup kebun belakang. Udara di dalam rumah pengap, berbau tanah basah bercampur anyir besi. Seolah-olah rumah ini menghirup darah malam dan menghembuskannya kembali di pagi hari.Aku duduk di lantai, punggung bersandar ke ranjang. Seluruh tubuh masih lemas setelah kejadian semalam. Sosok Pak Lurah yang wajahnya berubah rata terus menghantui pikiranku. Apakah benar dia yang asli sempat datang? Ataukah sejak awal hanya jelmaan rumah ini?Aku berusaha menenangkan diri dengan membaca surat kakek sekali lagi. Tulisan tangannya, kasar dan bergetar, seperti ditulis dalam keadaan tergesa. “Jangan menjawab… jangan membuka… jangan bercermin…” Tiga larangan. Dan entah kenapa, makin aku membacanya, makin terasa seperti undangan.Aku harus keluar, pikirku. Kalau tidak, aku akan gila.Di warung kopi, beberapa warga menatapku dengan cara yang sama: cepat, waspada, lalu menunduk. Seolah-ol
Malam turun dengan cara yang aneh. Langit di luar seharusnya masih menyisakan cahaya jingga, tapi rumah ini menelannya lebih cepat. Jam dinding di ruang tamu masih terhenti di pukul 19.45, padahal ponselku jelas menunjukkan lewat pukul delapan. Seakan-akan, waktu di dalam rumah ini berjalan dengan aturan sendiri, dan aku hanyalah tamu yang tersesat di dalamnya.Aku sedang duduk di kursi jati tua, berusaha membaca surat kakek sekali lagi, ketika suara ketukan keras terdengar dari pintu depan. Duk! Duk! Duk! Tiga kali, cepat, mendesak.Aku merinding. Ketukan itu terdengar seperti seseorang yang panik, bukan sekadar tamu yang ingin berkunjung.Aku berdiri perlahan. “Siapa?” tanyaku dengan suara yang kupaksakan tegas.Tidak ada jawaban.Ketukan berhenti sejenak, lalu sebuah suara berat menyusul dari luar. Suara seorang pria tua, serak, tapi jelas:“Buka, Nak. Ini Pak Lurah. Ada hal penting yang harus kau tahu.”Aku tertegun. Pak Lurah. Nama itu sempat disebut Bu Murni siang tadi. Katanya,
Senter di tanganku meredup. Aku menutup mata sejenak, dan ketika kubuka, sosok itu sudah tidak ada. Hanya masih ada jejak air di anak tangga pertama sampai ketiga, menghilang di tangga keempat seakan ditelan kayu.Aku mundur ke meja kerja, mengais tas ransel, mencari korek dan lilin kecil yang selalu kubawa. Satu percikan, sumbu menyala, dan ruangan berubah: cahaya lilin membikin bayangan bergerak lebih hidup, lebih licik. Aku meletakkan lilin di dekat amplop surat, lalu menatap lagi potret kakek. Gelap di matanya kini tampak seperti lubang yang dalam, satu lubang bagiku untuk jatuh.“Kau menulis jangan menjawab panggilan dari lorong timur,” kataku, pura-pura berani. “Kalau ada yang memanggil dari sana, apa yang terjadi kalau kujawab?”Rumah bertenang. Lalu, seolah menjawab ucapanku, dari lorong sebelah kanan—lorong timur—ada sesuatu yang menyeret pelan di lantai, seperti karung berisi pasir. Tidak keras. Tidak kasar. Nyaris lembut. Tetapi cukup untuk menggurat kulit hatiku dengan kuk