Share

Tumbal Pertama

Author: M. Haz Bey
last update Last Updated: 2025-09-11 15:44:54

Aku terduduk lemas di tanah berumput basah, tubuh gemetar tanpa bisa kukendalikan. Nafasku memburu, bercampur dengan isak yang kutahan di tenggorokan. Mataku tak lepas dari sumur tua di hadapanku—airnya yang gelap sudah kembali tenang, seakan tak pernah menyeret Andi ke dalam. Namun, di permukaan, boneka kain itu masih terapung. Mulut sobeknya membentuk senyum dingin yang menusuk.

“Andi…” bisikku lirih, serak. “Kenapa harus kamu…”

Aku ingin menjerit, tapi tak ada suara keluar. Hanya dada yang sesak dan tubuhku yang semakin lemah. Suasana malam makin mencekam. Angin dingin berembus, membawa bau amis yang menusuk hidung. Gamelan samar terdengar lagi dari arah belakang rumah—pelog sumbang, seperti dimainkan oleh tangan-tangan yang patah.

Aku berusaha berdiri, tapi lututku goyah. Dalam kepalaku, bayangan wajah Andi saat ditarik ke sumur terus terputar. Tangannya meraih, suaranya memanggil, dan aku… gagal menyelamatkannya. Rasa bersalah mencengkram dadaku, lebih berat daripada ketakutan itu sendiri.

Lalu, aku mendengar sesuatu. Suara langkah kaki. Seretan basah, berirama pelan.

Aku menoleh.

Andi.

Tubuhnya muncul dari balik pepohonan di dekat sumur. Basah kuyup, pakaiannya meneteskan air hitam. Wajahnya pucat pasi, seolah semua darah sudah habis tersedot. Matanya kosong, tanpa cahaya. Dari mulutnya keluar bisikan patah-patah:

“Bayar… bayar… bayar…”

Aku terhuyung mundur, jantungku hampir pecah. “Tidak… bukan kamu…”

Namun sosok itu terus mendekat. Setiap langkahnya meninggalkan jejak lumpur di tanah kering. Ada aroma busuk bercampur amis menyebar, membuat perutku mual. Ia menunduk, tangan terulur seolah hendak meraih wajahku.

“Andi?” suaraku tercekat, antara harapan dan ngeri. “Kamu… masih hidup?”

Tidak ada jawaban. Hanya gumaman yang makin jelas.

“Bayar… bayar… bayar…”

Aku tahu. Itu bukan lagi sahabatku. Rumah ini sudah mengambil jiwanya, hanya meninggalkan tubuh kosong yang dikendalikan sesuatu.

Aku berbalik, berlari sekuat tenaga menuju rumah. Gerbang bambu yang sore tadi tampak rapuh kini menjulang tinggi, batang-batangnya saling mengikat seperti tembok. Tidak ada jalan keluar. Aku tak punya pilihan selain kembali masuk ke dalam rumah itu.

Begitu kakiku melewati ambang pintu, daun pintu tertutup keras dengan sendirinya. “BRAKK!” Suaranya menggema di seluruh ruangan.

Gelap menyelimuti. Semua lilin padam, hanya tersisa cahaya samar dari bulan yang masuk lewat celah jendela. Nafasku tersengal, telingaku dipenuhi suara bisikan yang datang dari segala arah.

“Rakha… giliranmu sebentar lagi…”

Aku memejamkan mata, menutup telinga dengan kedua tangan, tapi bisikan itu tetap menusuk kepalaku. Suara mereka seakan berasal dari dinding, lantai, bahkan dari dalam dadaku sendiri.

Aku berlari menyusuri lorong panjang yang terasa lebih sempit daripada sebelumnya. Setiap langkah, lantai kayu berderit, seperti ada yang bergerak tepat di bawahku.

Tiba-tiba, semua pintu kamar di sisi lorong terbuka bersamaan. Dari dalamnya, siluet-siluet hitam berdiri. Mereka tidak bergerak, hanya menatap. Puluhan pasang mata kosong mengikuti langkahku.

Aku hampir kehilangan akal. Ingin berbalik, tapi aku tahu Andi—atau makhluk yang menyerupainya—masih mengejarku dari luar. Maka aku terus berlari, menuju ruang tamu.

Di sana, lilin-lilin yang tadi sempat padam kembali menyala sendiri. Api mereka menari, tapi bukan karena angin. Ada sesuatu yang bernafas di sekitarnya.

Di meja, aku melihat cangkir yang pecah kemarin kini utuh kembali. Uap panas mengepul, sendok berputar di dalamnya. Tidak, kali ini bukan sendok. Jari pucat yang panjang menjulur keluar dari cairan, mengaduk pelan. Darah menetes ke meja, menghitamkan taplak.

Aku mundur dengan panik, hampir terjatuh.

“Rakha…”

Aku terdiam. Itu suara Andi lagi, tapi lebih dekat. Aku menoleh ke arah tangga. Di sana ia berdiri, tubuhnya kaku, wajah pucatnya menatapku kosong. Namun suaranya terdengar dari segala arah.

“Kenapa… kamu… tidak… ikut… aku?”

Aku mundur. “Kamu bukan Andi…”

Dia tersenyum aneh, lalu mulai menaiki tangga dengan gerakan kaku, setiap langkahnya terdengar seperti kayu retak. “Ikut… ke bawah… sumur… masih lapar…”

Aku berlari ke kamar depan, menutup pintunya rapat, dan mendorong lemari untuk menghalangi. Nafasku memburu, dadaku naik turun cepat. Namun, ketenangan hanya bertahan sebentar.

Pintu mulai bergetar.

Duk! Duk! Duk!

“Buka, Rakha… aku ibumu…”

Aku terpaku. Itu suara Ibu. Suara lembut, hangat, sama persis seperti yang kurindukan. Suara yang sudah lama tak kudengar.

Air mataku mengalir. “Tidak… tidak mungkin…”

“Rakha… sayang, buka pintunya. Kamu sendirian, kan? Biar Ibu temani…”

Suaranya semakin jelas, semakin meyakinkan. Jantungku sakit mendengarnya. Bagian dari diriku ingin percaya, ingin membuka pintu itu dan berlari ke pelukannya.

Tapi aku mengguncang kepalaku keras-keras. “Bukan! Itu bukan Ibu! Jangan coba-coba!”

Pintu semakin keras digedor. Lemari berguncang, seakan ada ratusan tangan yang mendorong dari luar. Suara itu berubah, dari lembut menjadi penuh amarah.

“BUKA, RAKHA! KAU SUDAH DIPANGGIL!”

Aku menutup telinga, berlutut di lantai. “Pergi… pergi…”

Tiba-tiba lilin di kamar padam. Gelap total.

Aku mendengar napas berat tepat di telingaku. Pelan, teratur, bukan milikku.

Dengan gemetar, aku membuka mata. Di pojok kamar, ada sesuatu.

Sebuah wajah pucat melayang di udara. Tanpa tubuh. Matanya hitam legam, mulutnya sobek sampai telinga, menampakkan gigi tajam berlumur darah. Wajah itu tersenyum padaku.

Aku menjerit, tubuhku gemetar tak terkendali. Wajah itu melayang cepat ke arahku. Aku panik, meraih kursi dan melemparkannya. Kursi menghantam wajah itu, tapi tubuhnya lenyap menjadi kabut, lalu muncul lagi tepat di belakangku.

“Rakha…” bisiknya di telingaku.

Aku berlari ke jendela, menghantam kaca dengan tubuhku hingga pecah. Pecahan kaca melukai tanganku, darah mengucur, tapi aku tak peduli. Aku melompat keluar, jatuh ke tanah dingin halaman belakang.

Udara malam menusuk, tapi lebih baik daripada terjebak di kamar itu.

Aku berlari ke arah sumur lagi. Nafasku tercekat ketika melihat boneka kain itu kini tidak lagi terapung, melainkan duduk di bibir sumur. Tangan kecilnya yang basah menggantung, seolah menunggu.

Dan di belakangku, langkah seretan itu kembali terdengar.

Andi—atau apapun dirinya sekarang—sedang mendekat lagi.

Aku ingin lari, tapi rumah ini bagai labirin. Ke mana pun aku pergi, selalu kembali ke titik yang sama: sumur tua ini.

Aku menatap sumur dengan ngeri. Airnya bergolak, tangan-tangan pucat kembali muncul dari dalam, melambai-lambai, mengundang.

“Aku tidak akan ikut!” teriakku, mencoba melawan.

Tapi suara itu menggema, kali ini lebih banyak, lebih kuat.

“Rakha… waktumu sudah tiba…”

Aku jatuh berlutut, tubuhku gemetar. Dari kejauhan, gamelan kembali berbunyi, kali ini pelan tapi teratur. Seperti musik kemenangan.

Dan di saat itu aku sadar—tumbal pertama hanyalah permulaan. Rumah ini haus, dan aku… aku mungkin tumbal berikutnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perjanjian Gaib Untuk Kekayaan   Keanehan

    “Aku… atur pintu!”Angin melambat. Suara-suara yang tadi banyak surut ke tepi, seperti air yang menolak menggenang. Boneka kain menoleh padaku—aku bersumpah ia kecewa—lalu ia duduk. Bayangan di tanah menyusut, menyisakan garis tipis pada tepi genteng.Prawira menghela napas. “Bagus. Tahap angin selesai.”Namun sebelum kami sempat turun, pintu rumah depan terbuka. Seorang perempuan muda masuk begitu saja, langkahnya cepat. Rambutnya tersisir rapi, wajahnya dingin, tapi mata—mata itu—kosong. Ia naik tangga ke atap tanpa memedulikan larangan. Sinta hendak menghalangi, namun perempuan itu menyibakkan tangan Sinta seperti menyibak kain. Aku terpana; ada tenaga dingin di gerakannya, bukan tenaga otot.“Siapa kamu?” tanya Prawira, suaranya tenang lagi, tapi matanya bersiaga.Perempuan itu berdiri di hadapanku, terlalu dekat. Parfum murah bercampur bau lembap. Bibirnya bergerak, tapi yang keluar bukan suaranya. “Kunci,” katanya—kata itu terdengar dari perut, bukan dari tenggorokan. “Ikut.”Ak

  • Perjanjian Gaib Untuk Kekayaan   Penyangga

    Malam setelah kami kembali dari makam Ki Jana, aku tidak tidur. Dengung di dada tidak lagi datang sebagai dua ketukan ragu, melainkan langkah-langkah kecil yang mondar-mandir, seperti sesuatu yang gelisah mencari celah. Aku duduk di lantai kamar kos baru—sementara—yang kubooking untuk tiga malam ke depan. Kos lama masih digaris polisi; warga menyalakan dupa, menabur garam, dan berdoa agar “kebakaran” semacam itu tidak terulang. Di koridor kos baru, suara televisi tetangga memutar sinetron, butiran tawa kaleng memantul di dinding tipis.Sinta mengirim pesan: “Besok pagi ada orang yang bisa kita temui. Namanya Pak Prawira. Penyintas. Dulu pernah bantu tetanggaku soal gangguan.”Pagi menjelang, aku bertemu Sinta di gang pasar. Ia membawa termos kecil, menyodorkan padaku. “Wedang jahe. Kau masih pucat.”Aku menghirup hangatnya, mengangguk. “Terima kasih.”Kami berjalan menembus gang yang makin sempit, melewati pintu-pintu kayu yang dicat hijau pudar. Di ujung gang itu ada rumah dengan hal

  • Perjanjian Gaib Untuk Kekayaan   Jejak yang Terkubur

    Sehari setelah aku cukup kuat untuk berjalan, aku keluar dari rumah sakit. Sinta yang menemaniku membawa kantong plastik berisi obat, sementara aku berjalan pelan dengan langkah tertatih. Setiap orang yang kami lewati menatapku aneh—mungkin karena perban di dadaku, mungkin karena berita tentang kebakaran kos sudah menyebar. Aku mendengar bisik-bisik lirih: “Itu anak yang selamat…” atau “Katanya ada yang aneh malam itu.”Aku menunduk, tidak peduli. Yang lebih berat dari tatapan mereka adalah dengung rendah yang masih sesekali muncul dari dadaku. Dua ketukan… kadang tiga… seakan-akan ada sesuatu yang mulai belajar berbicara dengan bahasa tulangku sendiri.Sinta menggenggam lenganku. “Kau yakin sudah cukup kuat keluar?”Aku mengangguk. “Kalau aku diam di rumah sakit, aku hanya akan jadi tontonan. Kita harus cari tahu apa yang sebenarnya kakekku lakukan dulu. Semua ini tidak akan berhenti kalau kita tidak tahu asalnya.”Kami berhenti di sebuah warung kopi pinggir jalan. Aku butuh duduk, d

  • Perjanjian Gaib Untuk Kekayaan   Kesaksian yang Terbelah

    Aku membuka mata dengan susah payah, cahaya putih menyengat retina. Udara berbau obat antiseptik menusuk hidungku. Mesin di samping ranjang berbunyi ritmis, menandai detak jantungku. Untuk sesaat aku berpikir aku sudah mati dan ini adalah ruang tunggu menuju akhirat.Tapi suara seseorang memanggilku.“Rakha…”Aku menoleh pelan. Sinta duduk di kursi dekat ranjang. Wajahnya lelah, mata sembab, rambut acak-acakan. Begitu ia melihatku sadar, ia langsung berdiri, menatapku penuh lega.“Kau bangun juga,” katanya pelan. Suaranya serak, tapi penuh harapan.Aku mencoba bicara, tapi tenggorokanku kering. “Di… mana… ini?”“Rumah sakit kota,” jawabnya cepat. “Kau pingsan setelah… setelah malam itu.”Aku menutup mata, mencoba menahan ingatan. Malam itu. Bayangan besar, boneka terbakar, darahku, jeritan Wira. Aku gemetar. “Yang lain… selamat?”Wajah Sinta menegang. Ia menunduk, menatap lantai. “Beberapa. Tapi tidak semuanya.”Aku menunggu, hatiku berdegup kencang.“Wira… dia meninggal.” Suaranya pe

  • Perjanjian Gaib Untuk Kekayaan   Malam Kos Berdarah

    Malam itu, aku tahu sesuatu akan terjadi. Sejak sore, tanda di dadaku berdenyut lebih kencang dari biasanya, seolah gong dipukul berulang-ulang dari dalam tulang. Nafasku terasa berat, langkahku limbung. Aku duduk di ranjang kamar kos, memandang jendela yang tertutup tirai. Di luar, suara kota terdengar biasa: motor melintas, anak-anak berteriak, radio tetangga memutar lagu dangdut. Tapi di dalam kamar, udara menebal, pekat, seperti ada dinding lain yang menutup rapat.Aku mencoba menggambar lingkaran dengan kapur di lantai, menyiapkan mangkuk air untuk menampung darah. Sudah tiga malam berturut-turut aku melakukan ini, dan selalu berhasil menahan bayangan agar tetap di dalam. Tapi malam ini berbeda. Tanda di dadaku menolak tenang. Setiap kali aku mencoba menggoreskan keris ke kulit untuk meneteskan darah, bilahnya terasa panas, bukan dingin. Seakan-akan benda itu menolak.Jam dinding berdentang dua belas kali.Dinginnya langsung menusuk.Bayangan gelap muncul di pojok ruangan, kali i

  • Perjanjian Gaib Untuk Kekayaan   Bayangan Kota

    Kota menyambutku dengan hiruk-pikuk yang asing, tapi anehnya menenangkan. Jalanan ramai, pedagang berteriak, klakson bersahutan, dan aroma gorengan bercampur asap knalpot memenuhi udara. Semua ini mungkin biasa bagi orang lain, tapi bagiku, setelah malam-malam di rumah kakek, keramaian seperti ini terasa seperti pelukan. Aku duduk di bangku terminal, memandang orang-orang berlalu-lalang. Anak kecil berlari mengejar balon, remaja bercanda sambil membawa tas sekolah, ibu-ibu menawar harga sayur. Dunia seakan berkata, “Kau masih hidup, Rakha. Kau masih bagian dari kami.”Namun aku tahu, hidupku tidak akan pernah benar-benar sama. Di dada, tanda hitam samar yang kutulis dengan darahku berdenyut pelan, seolah mengingatkanku: aku membawa sesuatu. Sesuatu yang tidak bisa kuletakkan begitu saja.Aku mencari tempat untuk tinggal. Tidak mungkin aku kembali ke losmen kecil tempat boneka itu muncul. Aku berjalan ke arah barat kota, ke kawasan yang lebih sepi. Akhirnya kutemukan rumah kos tua, dua

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status