“Yerin—aa.” Panggilan yang sudah lama ia tidak dengar. Yerinaaa.. Di mana hanya di korea yang bisa memanggilnya sepert itu. Seorang pria tersenyum menatap Yerin. nampaknya girang. “Benar. kau yerin.” Pria itu semakin tersenyum lebar. Pertemuan yang Yerin tidak duga ini membuatnya tidak senang. Meski sebenarnya ia dan Cha Woojin tidak ada masalah apa-apa. Tapi, bertemu dengan orang dari masa lalunya membuat Yerin sedikit aneh. “Ah…. Sudah lama tidak bertemu denganmu, Woojin.” Yerin mendongak—kemudian berdiri. Mengulurkan tangannya. Namun Woojin sempat tertegun dengan Yerin. Tapi setelah itu menjabat tangan Yerin. “Sudah lama sekali. Kau benar-benar seperti orang Amerika.” Yerin tersenyum canggung. “Aku orang Indonesia.” “Ah benar! orang tuamu dari Indonesia.” Woojin mengangguk. “Selama ini kau menghilang kau pergi ke sana? kau pergi setelah adikmu bunuh diri? kau bahkan memblokir semua kontak temanmu.” Yerin mengepalkan tangan. Senyum Woojin tidak tulus.
Dikit scene Edward dan Bu Jema. “Apa kamu sibuk? Aku mengganggu? Aku membawa makanan.” Jema datang ke kantor Edward bekerja. Wanita itu juga membawa makanan untuk Edward. Edward baru saja keluar kantor. Ia sangat senang melihat Jema ada di depan matanya. “Sedikit. Tapi tidak sesibuk itu.” Edward tersenyum dengan lebar. “Apa yang kamu bawa?” tanyanya. “Aku bawa sushi.” Jema mengangkat paper bag yang dibawanya. Beberapa pegawai wanita keluar. Mereka nampak menatap Edward dan Jema. Dari mereka terang-terangan menatap Jema remeh. Jema menatap dirinya sendiri. Tidak ada yang salah kok. Mungkin aneh karena dirinya masih menggunakan seragam dan juga… Apa dirinya tidak pantas di sini? Edward segera menarik lengan Jema. Mereka sampai ke parkiran. “Aku tidak akan datang lagi ke kantor kamu.” Jema menunduk. menaikkan kacamatanya. “Mungkin…” lirihnya. “Kita bisa bertemu di tempat lain.” Edward menunduk—menatap Jema yang murung. “Kenapa? Aku senang kamu ke sini.”
Arsen terdiam mendengar ucapan Yerin. Tatapannya lurus namun otaknya berisik. “Aku…” Yerin menoleh. menunggu Arsen berbicara. Namun bus yang mereka tumpangi hampir sampai di halte dekat hotel. Yerin segera memecet tombol pada bus. “Tunggu.” Mengajak Arsen untuk keluar dari bus. Mereka berjalan bersama di trotoar. Udara yang mulai dingin membuat Arsen membawa tangan Yerin ke dalam kantung coatnya. “Tadi kamu ingin bilang apa?” tanya Yerin. “Tidak..” Arsen menggeleng. “Tidak ada yang seru di hidupku. Aku hanya pergi bersekolah. Aku jarang berinteraksi dengan teman satu kelasku.” “Aku menghabiskan hampir seluruh hidupku dengan belajar dan bekerja.” Yerin mendongak. “Jadi kamu memang tidak pernah berkencan… kamu terlalu sibuk belajar dan bekerja?” “Mungkin.” “Mungkin?” tanya Yerin. “Kamu pernah dekat dengan perempuan lain?” Seperti seorang penyidik yang ingin tahu keterangan dari terdakwa. “Pernah.” Arsen tersenyum. “Tapi tidak penting, itu sudah lama sekali.”
Photobooth. Yerin sering melihat di media sosial banyak pasangan yang melakukannya. Apalagi tempat photobooth di sini sangat banyak. Hari ini mereka memilih untuk berjalan dan menaiki fasilitas umum. Yerin menarik Arsen menarik ke salah satu tempat photobooth. “Banyak remaja yang datang,” ucap Yerin. “Apakah kita terlalu tua untuk ini?” Arsen menyipitkan mata. “Tidak mungkin…” berjalan menatap cermin. “Aku masih muda..” Arsen menarik pinggang Yerin. “Kamu juga masih seperti anak SMP.” “Hei!” Yerin memukul bahu Arsen. “Mana ada.” Yerin mengambil satu bando besar berwarna merah. Memasangkannya di kepala Arsen. “Biar saja. kamu terlihat lucu!” Yerin tertawa. Arsen menatap dirinya. “Bukankah aneh?” lirihnya. Di kepalanya yang sudah ada bando strowberry. “Kamu pakai ini.” Arsen mengambil satu bando berwarna pink. Lalu kacamata. Setelah itu dipasangkan pada istrinya. “Aduh semakin cantik istriku.” Arsen mencubit pipi Yerin pelan. “Lucunya… jadi pengen makan.” Y
Setelah terbangun, Yerin menatap langit kamar. Entah ke mana perginya Arsen. Yerin menyibak selimut yang membungkus dirinya. Mengusap keningnya pelan. Yerin beranjak dari ranjang. “mau ke mana?” tanya Arsen datang. Dengan ponsel yang berada di telinga. Arsen segera mematikan sambungan teleponnya dan menghampiri Yerin. “Mau ke kamar mandi?” tanya Arsen berjongkok di hadapan Yerin. “Tidak. Aku mencari kamu.” Yerin melebarkan kedua tangannya. Arsen mendekat dan memeluk Yerin. “Bagaimana dengan tadi?” tanya Yerin. “Aku mengacaukannya.” “Tidak. Aku yang berbicara dengan mereka. semuanya sudah sesuai rencana.” Arsen mengusap punggung Yerin pelan. Yerin melepaskan pelukan mereka. “Bagaimana rencananya?” Arsen terdiam. Ragu untuk memberitahukannya. Takutnya Yerin menjadi lemah lagi. Arsen mengusapi helaian rambut Yerin ke belakang. Wajah istrinya yang pucat. “Aku harus tahu…” lirih Yerin. “Biar aku yang mengurusnya.” Arsen meyakinkan Yerin. “Tidak mau. Ak
Kata Arsen, yang akan ditemui adalah Polisi. Juga detektif swasta dari Korea dan anak buah Arsen yang bekerja di perusahaannya di sini. Bukannya Yerin tidak percaya pada polisi. Tapi kejadian dulu masih membekas. Polisi enggan meneruskan kasus adiknya karena kurang bukti. Polisi yang dilihatnya diam-diam makan malam bersama orang tua perundung adiknya. Yerin menghela nafas berkali-kali sebelum melangkah ke dalam sebuah restoran. Tangannya yang setia digenggam oleh Arsen. “Semua akan baik-baik saja.” Arsen mengecup puncak kepala Yerin dari samping. Yerin tersenyum dan mengangguk. Mereka sampai di sebuah lorong yang terdapat 3 pintu ruangan. Masuk ke dalam satu dari pintu itu. Di sana ada dua polisi, 4 orang lainnya entah… Satu orang memperkenalkan diri. “Saya penerjemah yang akan membantu berkomunikasi.” “Pak Kang Chul, Pak Kim Jinyoung adalah dua polisi yang akan membantu proses jalannya kasus.” Penerjemah itu menjelaskan. Jadi ada 6 orang yang ada di ruang