“Wait.” Eve baru saja keluar dari kamarnya. Kamar yang digunakannya dengan Bastian untuk memadu kasih. Tapi ketika ia membuka pintu, Meta tepat berada di hadapannya. “Kak Eve?” tanya Meta. Berdiri di depan pintu kamar. Begitupun dengan Eve. mereka saling berhadapan. Dan ternyata, kamar mereka berhadapan. “Kau tidur dengan—” Eve menyipitkan mata. “Jangan bilang Ernando?” Meta tersenyum pelan. kemudian terkekeh. “Kak Eve mendapat panggilan dari rumah sakit?” tanya Meta. “Ya. Aku akan ke rumah sakit sekarang. Kau juga?” tanya Eve. Meta mengangguk. “Tunggu. Di mana Sheril?” tanya Eve. “Dia pulang bersama Brayson,” balasnya. “Oke.” Eve mengangguk. “Kalau begitu ayo kita ke rumah sakit.” Akhirnya mereka pergi ke rumah sakit bersama. Meninggalkan dua pria yang sekarang mulai bangun tanpa kehadiran mereka. Satu kamar terisi oleh pria telanjang dengan tatto panah di lengan. Tangannya yang berusaha mencari tubuh wanita di sebelahnya, tapi kosong. Ernando membuk
21++ Memejamkan mata—menikmati ciuman yang begitu intens. Sampai—Ernando melepaskan ciuman mereka. Menatap Meta yang tengah menunduk sekedar mengambil napas. “Aku tidak bisa membiarkanmu pulang.” Ernando menangkup pipi Meta. Mengusapnya perlahan. “Kau ingin pulang malam ini?” Meta mengangkat kepalanya. mata mereka saling memandang. Saling memancarkan gairah yang sama. Namun, Meta tersenyum miring. Kedua tangannya terangkat mengalun di leher Ernando. “Jika kau bersih, aku tidak akan pulang.” Ernando tersenyum mendengar ucapan Meta. “Perlu aku tunjukkan tes medisku?” tanya Ernando. “Aku tidak sembarangan berhubungan, cantik. aku juga menjaga diriku.” “Kalau begitu—” tangan lentiknya mengusap dada Ernando. “Aku tidak akan pulang.” Ernando kembali menarik pinggang Meta. Menciumnya dengan lebih intens. “Kita harus berpindah tempat,” bisiknya di sela-sela ciuman mereka yang sulit untuk terputus. Ernando melupakan bahwa ia harus mengawasi klub-nya. Tapi dirinya ma
Menatap sekitar. Sheril mengernyit—kenapa kak Eve tidak kunjung kembali. “Kenapa mereka tidak kunjung kembali? Mereka baik-baik saja?” tanyanya pada Brayson. Brayson menoleh—bangku Eve dan Bastian yang kosong. “Biarkan saja. Mereka pasti…” Brayson mengernyit. Tentu saja tahu apa yang dilakukan mereka berdua. “Mereka pasti baik-baik saja.” Brayson mengangguk meyakinkan pada Sheril. “Tadi kak Eve terlihat pusing. Aku hanya takut dia tiba-tiba sakit atau pingsan?” “Dia pasti baik-baik saja,” balas Brayson. “Kalau Eve sedang bersama Bastian, kau tidak perlu menghawatirkannya. Bastian adalah orang yang paling mengerti Eve.” Brayson mengambil gelas—mengisinya dengan alkohol. “Mau minum lagi?” tawarnya pada Sheril. “Tidak!” Sheril menggeleng. “Aku tadi sudah minum banyak.” Brayson mengerjap. awalnya ingin minum bersama tapi karena Sheril menolak ia juga tidak jadi minum. Melihat gerak gerik Sheril yang canggung. Mengusap lengan pelan. mengembungkan pipinya dan
21++ Mengambil pengaman yang berada di nakas. Segera memasangnya pada miliknya yang sudah tidak sabar masuk ke dalam milik wanita. Wanita yang saat ini tidak beradaya di bawahnya. Eve meneguk ludahnya kasar saat Bastian tengah memastikan pengaman itu terpasang dengan sempurna. “Bukankah kau suka ini?” Bastian mengambil tangan Eve. mengarahkan pada perutnya yang memiliki pahatan sempurna. Meski sedang kacau dan kesal. Tetap saja, tubuh Bastian di hadapannya. Tidak bisa diacuhkan begitu saja. Tubuh pria itu menggoda, seksi dan terbentuk dengan sempurna. Bagaimana bisa Eve tidak memandanginya apalagi tidak menyentuhnya. Jemari lentiknya menyentuh perut pria itu. “fuck me,” ucap Eve tidak sabar. Bastian menunduk—memangut bibir Eve. Dengan penyatuan mereka yang dimulai. “Ahh!” Eve memejamkan mata—mengalunkan tangannya di punggung pria itu. Goresan-goresan di punggung Bastian masih terlihat dengan jelas. Semua jejak di tubuh Bastian tentu saja berasal dari jemar
Menarik dagu Eve ke atas. Memberikan kecupan lembut dan berubah menjadi ciuman yang intens. Eve mendongak—ciuman ini membakar dirinya. Alkohol yang sebagain mengendalikan dirinya. Mengalunkan tangannya di leher Bastian. Membalas setiap ciuman pria itu di bibirnya. Tidak ada penolakan ataupun tamparan agar pria ini pergi dari hadapannya. Justru gairah yang sedang terpacu ini membuat tubuh mereka semakin menempel. Bastian menarik pinggang Eve. “Kau masih berpikir aku harus pergi?” tanyanya ketika pangutan mereka terlepas. Bastian menyatukan dahi mereka. Matanya yang tajam menatap Eve. Eve yang semula menunduk tidak berani bertatapan dengan pria itu, perlahan mendongak. “Tidak.” Eve mengusap helaian rambut Bastian pelan. Lalu, ia mencium bibir pria itu lebih dulu. Tangannya menarik kerah leher Bastian. “Jangan pergi.” mencengkramnya sangat kuat. “Kau mencekikku, Eve—” Bastian menarik tangan Eve terlepas dari kerah lehernya. “Kau marah padaku?” “Ya.” Eve meng
Eve pergi ke kamar mandi. Duduk di dalam toilet—menyugar rambutnya. Menutup wajahnya dengan telapak tangannya. Sampai terdengar hisakan kecil yang keluar dari bibirnya. Air matanya mulai turun. membasahi pipinya yang memerah—bibirnya bergetar. Namun tidak sanggup mengeluarkan kata. Suara isakannya tertahan—sekuat tenaga berusaha agar tidak mengeluarkan suara. Brak! Pintu yang dibuka secara paksa. “Apa yang kau lakukan?” Bastian menatap Eve yang duduk di atas toilet. Eve membuka telapak tangannya—mendongak. Dengan wajah yang sudah basah. Make up yang luntur. “Eve,” panggil Bastian. “Ayo pulang.” Eve bangkit—menepis tangan Bastian yang berusaha menarik tangannya. Berjalan keluar dari toilet dalam diam—mengacuhkan Bastian yang berada di hadapannya. “Eve!” panggil Bastian lebih keras. Kali ini Eve berhenti. Bukan karena panggilan pria itu, melainkan pintu toilet yang tidak bisa dibuka. Terkunci, pasti pria itu yang menguncinya. Terpaksa Eve berhenti dan memutar