Mag-log in“Kita harus istirahat,” ucap Eve. “Kalian sudah terlalu lama tinggal di rumah sakit. Kalian harus pulang. Aku akan menjaga Grey.” Eve menatap kedua orang tuanya. Kasihan pada ibunya yang tidak pernah pulang. menemani dan merawat Grey selama di rumah sakit. “Aku akan meminta perawat agar memantau Grey,” ucap Bastian pada Eve. Eve mengangguk. “Tapi Mama tidak tega meninggalkan Grey,” ucap Mama yang menatap ruangan Grey. Ruangan yang memiliki tembok kaca, sehingga mereka bisa melihat keadaan Grey meski di luar ruangan. Di sanalah Grey terbaring dengan alat medis yang tertancap di tubuh. Eve sudah berbicara lebih banyak dengan dokter. Grey harus mendapatkan perawatan intensif. Jika keadaannya terus membaik, Grey bisa dipindahkan ke ruangan biasa. “Grey akan baik-baik saja, Ma.” Eve meyakinkan orang tuanya. meski dirinya sendiri juga berat meninggalkan Grey. Andrian merangkul istrinya dari samping. “Ayo pulang dan istirahat. Nanti kita ke sini lagi. percayakan saja pa
“Maaf.” Bastian memejamkan mata. memeluk tubuh Eve lebih erat. “Maaf aku baru datang. Bagaimana dengan Grey?” tanya Bastian. Eve mengangguk dan tersenyum. “Operasinya berjalan dengan lancar.” “Syukurlah.” Bastian menarik Eve ke dalam pelukannya kembali. Mengecup puncak Eve beberapa kali. Eve melepaskan pelukannya. “Mereka…” lirihnya menatap teman-temannya dan orang tuanya. Di sana.. Sheril dan Meta mengerjap menatap satu orang pria yang sedang tertidur di kursi. “Dia ketiduran karena kelelahan,” ucap Brayson sebelum mengguncang bahu Ernando. “Bangun,” ucapnya. Brayson tersenyum pada Sheril sebelum kembali berusaha membangunkan Ernando. Kenapa susah sekali dibangunkan. Brayson akhirnya mencubit pipi Ernando sangat keras. “Akh!” Ernando langsung bangun dengan teriakan karena kesakitan pipinya dicubit. Ernando mengerjap pelan—masih dengan posisi tiduran. Ia mengusap pipinya. Kemudian membuka matanya lebih lebar. Ia terhenti ketika melihat satu
Grey melakukan operasi transplantasi jantung. Eve beserta keluarganya menunggu dengan cemas. Ada teman-temannya juga, Brayson dan Ernando. Mereka berdua yang bisa datang untuk memberikan dukungan pada keluarga Eve. Eve menunduk—mengusap tangannya dengan cemas. Tidak bisa duduk dengan tenang sementara adiknya dioperasi di dalam ruangan. Eve yang sedari tadi mondar-mandir membuat Brayson ikut gelisah sendiri. “Duduklah.” Brayson menarik Eve agar duduk. “Aku tidak bisa.” “Setidaknya duduk, Eve.” Brayson mendudukkan Eve. “Kami semua akan semakin cemas kalau kau sebagai dokter juga cemas.” Helena menoleh. “Duduk di sini bersama Mama. Grey pasti baik-baik saja.” Ernando tidak berhenti menguap. Operasi dilakukan di pagi hari. Bukan di pagi buta. Tapi pagi buta untuknya saja. Semalaman di klub dan hanya tidur dua jam saja membuatnya masih begitu mengantuk. Ernando menggelengkan kepalanya. berusaha agar tetap terjaga meski matanya sangat berat dan berkahir memej
Pernikahan Willie di depan mata. Meski sedikit meragukan, tapi Willie bisa mempersiapkan pernikahan dengan baik. Undangannya pun sudah disebar. Eve datang ke sebuah butik untuk membeli dress. Bukan karena dirinya yang ingin, tapi Bastian. Sekali lagi karena pria itu yang ingin menyerasikan pakaian mereka saat datang ke pernikahan Willie. Eve mencoba dress yang pertama. Bastian menunggunya di depan dengan santai. Karena pria itu sudah selesai, hanya setelan kemeja dan jas. “Tara…” ucap Eve ketika tirai terbuka. Bastian menatap Eve dari atas hingga bawah. kemudian menyipitkan mata. “Terlalu terbuka. Kau nyaman menggunakannya?” “Nyaman-nyaman saja?” Eve mengedikkan bahu. meski belahan dadanya cukup rendah. Tapi masih oke. “Ganti,” ucap Bastian. Eve menyipitkan mata. “kenapa bertanya kalau menyuruhku ganti.” “Hanya bertanya saja.” Bastian mengangguk pelan. “Dasar.” Eve berdecak pelan. Tapi jika dibiarkan seperti ini. Eve akan mencoba lebih banyak dress. Dre
Bayangan Bastian adalah menonton film romantis sembari berpegangan tangan. Atau mungkin bisa sesekali ciuman. Tapi… Pilihan Eve adalah film horor. “Kau tidak masalah?” tanya Eve. “Terakhir kali kita menonton film horor. Kau menangis.” sembari tertawa. “Aku tidak pernah menangis,” ucap Bastian menggeleng. “Hanya sedikit takut. Tapi sekarang tidak takut lagi.” Sudah membeli tiket dan popcorn. Eve menggandeng lengan Bastian. “Nanti kalau kau menangis lagi—” “Aku tidak menangis.” Bastian melotot. “Sungguh, aku kaget sekali karena hantunya tiba-tiba muncul. Lalu—saat aku mendongak ada debu yang masuk ke mataku. Jadinya aku..” Eve memutar bola matanya malas. “Sudah akui saja kalau menangis. Aku melihatmu dengan jelas mengusap pipi.” Eve melepaskan gandengannya. Lalu mempraktekkan bagaimana Bastian mengusap air matanya. Bastian memejamkan mata. Pasrah, tidak bisa membantah karena ternyata Eve sangat mengingat kejadian itu. “Aku hanya sedikit takut,” ucap Bastian lag
“Kau tidak menggunakan jas dokter?” tanya Bastian. “Jadwalku nanti sore.” Eve menutup pintu ruangan adiknya. “kalau begitu ayo kita jalan-jalan.” Bastian meraih tangan Eve. menggenggamnya dengan sangat pas. Bastian menarik Eve begitu saja sehingga mereka berjalan bersama menjauh dari kamar Grey. “Kau tidak bekerja? kau sudah rapi seharusnya kau berangkat bekerja.” Eve yang kebingungan dengan Bastian. “Aku akan membatalkan semua jadwalku hari ini. kita harus pergi jalan-jalan dan menonton.” Bastian dengan semangat. Eve mengernyit—sampai mereka sudah berada di parkiran rumah sakit. Bastian membuka pintu untuk Eve. “Kau yakin?” “Ya. Aku yakin sekali.” Bastian mendorong Eve masuk perlahan. Dengan tangan yang berada di atas kepala Eve. melindungi kepala Eve agar tidak terpentok. Berbicara sebentar dengan sopirnya. Kemudian masuk dan duduk di bangku kemudi. “Hari ini kita harus menonton film. Kita sudah lama sekali tidak menonton. Ada banyak film yang tayang di bioskop.







