21++ Arsen meraba kancing piyama yang digunakan Yerin. Melepaskannya satu persatu… Memastikannya terbuka sampai ia menunduk—menenggelamkan wajahnya di dada istrinya itu. Arsen memangut buah dada Yerin dengan semangat. Rasanya sudah lama sekali tidak menyentuh benda kenyal ini. “Arsen…” lirih Yerin. “Milikmu sudah basah…” jemarinya yang mengusap milik Yerin di bawah sana. “Milikmu mencengkram jariku dengan erat..” bisik Arsen. “Kau sudah tidak sabar memakan milikku ‘kan?” Yerin memegang erat bahu Arsen. “Kau tidak menjawab?” Arsen mencium pipi kanan Yerin. “Iya..” balas Yerin susah payah. Arsen menekan jarinya semakin dalam. Melihat wajah Yerin yang begitu menggoda, membuatnya lebih bersemangat. Ada sedikit keringat di wajah Yerin. Dengan bibir yang terbuka. Mencoba menahan suara desahan yang ujung-ujungnya juga gagal untuk ditahan. Arsen tersenyum miring. Kecepatannya bertambah dan hal itu membuat Yerin terjatuh ke dalamn pelukannya. “Are u finish?” t
Pagi yang seharusnya cerah ini tidak jadi cerah karena ocehan Arsen. Arsen yang akan berangkat kerja mengomel. Mengomel karena tidak ingin berangkat. Tapi Yerin menyuruhnya agar berangkat saja daripada menunggunya di sini. Seperti kata-kata Arsen di awal. Jika Arsen membuang waktunya untuknya dan tidak bekerja, maka sama saja membuang ribuan dollar… Bagi Yerin, jangan sampai rugi. “Aku tidak akan memaafkanmu kalau guru itu datang.” Arsen dengan wajah masam. Tidak mau melihat Yerin yang sedang memasangkan dasi untuknya. “Tidak akan.” Yerin yang duduk di atas wastafel. Kamar mandi di ruangan ini begitu besar. Seperti di hotel. Tidak heran lagi, fasilitas vvip memang kelas atas. Tubuh Arsen tetap saja tinggi. untungnya pria itu mau sedikit menunduk agar Yerin bisa menyelesaikan tugasnya. “Jangan bolos bekerja hanya untuk menungguku di sini. kasihan uang-uangmu. Nanti kabur,” balas Yerin. “Bosnya itu aku. Aku yang mengatur uang. Kalau uangnya kabur ya tinggal ak
“Apa rencanamu setelah ini?” tanya Bastian. Aurel mengusap wajahnya yang basah. Ia bersandar pada tembok dengan hampir seluruh tubuhnya yang tenggelam. Aurel mendongak ke atas. Menatap langit yang bersih tanpa bintang. Namun cerah dan terlihat bulan. “Aku akan pergi ke luar negeri.” Aurel menenggelamkan dirinya sebentar. Kemudian muncul ke permukaan. Bastian yang tidak jauh darinya—hanya menatapnya lekat. “Kau sudah punya rencana ternyata…” lirih Bastian. “Tidak. Aku tidak punya rencana. Aku hanya akan pergi ke luar negeri dan memulai hidup baru di sana. Aku akan bekerja dan berusaha hidup lebih baik di sana.” “Ajak aku.” Bastian keluar dari kolam. Memilih untuk duduk dengan kaki yang tenggelam pada air. Aurel melengos sebentar. Dengan mata yang mengerjap pelan. Laki-laki itu hanya menggunakan celana pendek. “Lebih baik kau di sini. Ada dua kakak yang menyayangimu,” balas Aurel menunduk. Alasan kenapa Bastian sedikit nyaman bersama Aurel… Karena mungkin
Arsen tidak menjawab pertanyaan Yerin. Tapi Yerin yakin ada yang disembunyikan pria itu. Bibir mereka yang saling menyentuh. Arsen yang pertama menyatukan bibir mereka. Pria itu menunduk—menurunkan tubuhnya dan mencium bibir Yerin dengan lembut. Yerin yang tidak mampu menolaknya hanya bisa pasrah dan membalasnya. Dering telepon yang terdengar membuat Arsen terpaksa melepaskan ciuman mereka. “Angkat dulu.” Yerin menyipitkan mata. Arsen berdecak pelan sebelum mengangkatnya. Pria itu terlihat malas-malasan menerima telepon. Setelah itu… Yerin hanya memandang punggung Arsen yang menjauh. Setelah menerima telepon dari Edward, Arsen bilang akan keluar sebentar untuk mengurus pekerjaan. “Jangan lupa suruh bodyguard di rumah menjaga Aurel!” teriak Yerin sebelum Arsen benar-benar keluar. Arsen melirik Yerin sebentar. “Berhentilah mencemaskan orang lain!” omelnya sembari menutup pintu. Sepertinya Arsen tidak ingin membagi rahasia dengan Yerin. Antara tidak mau atau belum siap.
“Apa kau baik-baik saja?” Arsen melepaskan pelukannya. Menangkup wajah Yerin perlahan. “Apa ada yang sakit? Kenapa kau berteriak seperti itu?” Yerin menyentuh tangan Arsen yang berada di tangannya. “Aku—aku…” Arsen menunggu Yerin dengan sabar sampai mau membuka suara untuk menjawabnya. “Sebenarnya.” Yerin mendongak. “Aku harus segera melihat keadaan salah satu muridku yang kecelakaan.” “Kau sudah tahu?” tanya Arsen. “Apa?” Yerin yang kebingungan. Arsen melihat ponsel yang tergeletak di samping Yerin. langsung mengambilnya. Membuka obrolan di sana. Dan benar… Ada nomor yang tidak dikenal. Mengirim satu foto. “Aku yakin itu Ernando. Aku sering berpapasan dengannya di parkiran. Motornya sama persis—” Yerin memberitahu Arsen. “Aku yakin itu Ernando ditabrak—” Arsen terdiam—kemudian memasukkan ponsel Yerin ke dalam sakunya. “Pasti bukan kecelakaan biasa. Pasti Ernando ditabrak dengan sengaja,” imbuh Yerin. “Tenanglah.” Arsen mengambil duduk di samping ranjang Y
“Jadi di sini…” Arsen menyipitkan mata. “Kemungkinan besar mobil ini yang mengawasi kalian.” Arsen menunjuk satu mobil hitam yang langsung pergi setelah Willie dan Bastian masuk kembali masuk ke rumah sakit. Mereka berada di dalam ruangan cctv rumah sakit. Layar besar itu sedang menunjukkan rekaman di basement rumah sakit. “Kau tadi sangat dekat dengan mobil itu. kau tidak curiga sama sekali?” tanya Bastian pada Willie. “Kau tahu sendiri. Aku menahan takut saat berkeliling denganmu,” balas Willie. “Kenapa kau tidak pulang saja dengan mereka?” heran Bastian. “Mana bisa aku pulang? mereka semua berbeda arah denganku.” Bastian berdecak. “Kau memang penakut.” “Aku memang penakut,” Willie tidak membantah. “Aku takut ada orang gila yang menabrakku.” Terjadilah perdebatan itu. Arsen menatap keduanya dengan lelah. Mungkin inilah yang dirasakan Yerin saat dirinya dan Bastian selalu berdebat. Arsen berkacak pinggang. “Bagaimanapun,” ucapnya. “Kalian jangan ikut campur