Berjalan menaiki tangga. Akhirnya ia sampai juga di Apartemen. Yerin masuk ke dalam. Ia menyalakan lampu—ia bertanya-tanya ke mana ibunya pergi.
Yerin memastikan memang tidak ada orang di rumahnya. “Mama ke mana?” tanyanya pada diri sendiri. Ia memeriksa ponselnya—tidak ada pesan dari ibunya. “Palingan ngerumpi di toko depan.” Ia pergi ke kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas kasurnya yang tidak seberapa besar itu. Ia menatap langit-langit kamarnya. Kejadian tadi membuatnya sangat syok. Ia bisa saja langsung menendang aset pria itu saat berani menciumnya. “Harusnya aku tendang langsung aja.” Yerin mencak-mencak di atas kasurnya. “Aaaaaa,” teriaknya. Ia berhenti saat melihat sebuah surat yang tergeletak di atas nakas samping. “Apa itu.” Yerin mengambilnya. Tertulis jika itu dari ibunya. “Untuk Yerin. Yerin Mama pergi dulu ke Korea menyusul ayah kamu. Mama rindu Papa kamu. Katanya dia ingin bertemu Mama juga tapi tidak punya uang. Yasudah Mama yang ke sana. Mama minta maaf, ya.” Yerin meremas kertas itu dengan kasar. Tak lama sebuah notifikasi masuk di ponselnya. Sebuah pinjaman online yang mengkonfirmasi jika uang yang dipinjam sudah diterima. Yerin segera memeriksanya. “AAAAAA,” teriaknya lagi. Yerin bahkan menjatuhkan ponselnya ke bawah. ‘Sejumlah 200 juta atas nama Yerin Anindya sudah diterima. Untuk pembayarannya bisa dicicil perbulan dengan bunga sebesar 3 persen. Bunga bisa bertambah saat pembayaran jatuh tempo atau terlambat.” Yerin yang putus asa segera menelepon ibunya. Namun sayang—satupun panggilannya tidak ada yang diterima. Duduk dengan pandangan kosong. Plak plak Yerin menampar dirinya sendiri. “Mimpi. Bangun! Ayo bangun!” Yerin ingin mati saja. Bagaimana bisa ibunya meminjam di pinjol sebesar 200 juta atas nama dirinya. Uang itu pasti akan diberikan pada ayahnya. TING TING TING TING Bunyi bel Apartemennya. Yerin menyugar rambutnya frustasi. Ia memasang senyumnya kemudian keluar. “MAU KAMU APA? TERIAK-TERIAK TIDAK JELAS. GANGGU TETANGGA TAHU GAK?!” Kemarahan yang berasal dari tetangga samping. ~~ Seperti keruntuhan bom atom. Seluruh hidup Yerin terasa hancur dan tidak tersisa. Gajinya yang tidak seberapa hanya mampu memenuhi kebutuhannya. 200 juta? Dicicil saja rasanya sangat tidak mungkin. Meskipun seperti itu—Yerin akan tetap mengajar dengan wajah yang happy kiyowo seperti tidak terjadi apapun. Kebetulan juga hari ini ia berangkat siang. Ia berjalan di sepanjang koridor banyak siswa-siswi yang menyapanya. “Bastian,” panggil Yerin. Bastian sama sekali tidak menggubris panggilan Yerin. Laki-laki itu nampak acuh. Bahkan yang semula duduk di depan kelas kini berjalan pergi. Yerin menghela nafas. Sampai kapan kesalahpahaman ini akan terjadi. Ia berjalan ke ruangannya. “Apa aku menerima ajakan menikah pria itu saja?” lirihnya. Yerin merogoh ponselnya yang berdering. Panggilan dari temannya. “Halo kena—” “Yerin temenku yang cantik jelita. Pokoknya nanti kau harus datang ke pesta ulang tahun gue. Oke tidak ada penolakan. Titik.” Langsung dimatikan begitu saja. Tidak ada persiapan apapun. Alhasil Yerin berangkat hanya menggunakan pakaian seadanya. Sesampainya di depan sebuah klub. Yerin mengernyit—ia kira pesta ulang tahun Shania diadakan di sebuah restoran. Ia menghela nafas. Ia berbalik—namun ada sebuah tangan yang menariknya. “Mau ke mana?” tanya Shania menyeret Yerin. “Pokoknya kau tidak boleh kabur lagi. Ulang tahun aku yang kemarin aja kau tidak datang. Padahal aku udah undang kau jauh-jauh hari. Sekarang mau kabur?”Mulut Arsen itu kotor. Sekotor genangan air got. Tidak ada filter sama sekali. Bisa-bisanya meminta hal seperti itu pada Yerin. Namun untungnya, Yerin bisa mengatasi hal itu. Jawaban yang Yerin berikan cukup memuaskan Arsen. ‘Aku akan melakukannya saat aku siap’ itulah jawabannya. Dan sekarang…. Inilah mereka bertiga yang duduk di ruang makan. Dengan sedikit canggung—tanpa suara sedikitpun. Hanya ada keheningan kosong yang seolah sedang mencekik. Hawa yang dingin kalah dingin dengan suasana mereka bertiga. “Bastian mau makan apa?” tanya Yerin. Ia mengambil piring dan mengambilkan Bastian nasi. “Kata bibi kamu suka ayam. Tadi ibu masak ayamnya sendiri.” Mengambil lauk untuk Bastian. “Ini makanlah.” Menaruh piring yang sudah penuh dengan nasi dan lauk di depan Bastian. “Ehem!” Suara deheman itu membuat Yerin menoleh. Lupa kalau suaminya itu belum mengambil makanan. “Sa..yang.” Yerin tersenyum. “Mau makan apa?” Arsen menunjuk lauk ayam dengan angkuh. Yerin mengam
“APA—” ucapan Arsen terputus. Yerin memegang tangan Arsen. Menggenggamnya dengan mesra. Lalu menatap seorang laki-laki yang berada di belakang Arsen. Tidak jauh dari tempat mereka berdiri bersama. “Bastian,” panggilnya. “Ibu sudah menyiapkan makan malam. Kita makan malam bersama ya?” tanyanya. Bastian mengabaikan ucapan Yerin dan berjalan melewati mereka. “Bastian!” panggil Yerin sekali lagi. Bastian berhenti—namun tidak membalikkan tubuhnya. “Nanti turun ke bawah, ya. Kita makan bersama!” ucapnya sekali lagi. Tidak menjawab lagi. Kali ini Bastian berjalan menaiki tangga tanpa menoleh sedikitpun. Laki-laki itu tidak memberi reaksi apapun. Arsen menoleh ke bawah. melihat tangannya yang digenggam tangan mungil Yerin. “Sepertinya kau nyaman menggenggam tanganku seperti menggenggam 'milikku'.” Yerin segera melepaskan genggaman tangannya pada tangan Arsen. “Tidak bisakah kau bicara biasa saja?” “Tidak.” Arsen dengan wajah yang meledek. “Aku tidak mau kita berdebat
“Kau gila?!” Yerin mendorong dada Arsen sekuat tenaga. Sehingga dirinya bisa terlepas dari pelukan pria itu. Yerin memeluk dadanya—karena resleting yang sudah diturunkan membuat gaun itu longgar. Jika Yerin tidak memeluk gaun itu—sudah pasti akan melorot. Arsen berkacak pinggang. “Semakin lama kau tidak sopan. Ke mana kesopananmu?” tanyanya. “Kau berani bertanya sopan atau tidak?!” Yerin menunjuk Arsen. “Mana yang tidak sopan aku memanggilmu lebih santai. Atau kau yang lancang membuka resleting gaunku?” tanyanya. “Aku hanya membantumu,” ucap Arsen dengan wajah polos tanpa merasa bersalah. Arsen tiba-tiba tertawa. Membuat Yerin mengernyit keheranan. Ada apa? Ia meningkatkan kewaspadaannya. Pria ini sungguh berbahaya. “Lihat wajahmu.” Arsen menunjuk Yerin dengan dagunya. “Wajahmu merah sampai ke telinga. Kau begitu malu…” “Aku bahkan sudah melihat seluruh tubuhmu.” Arsen menyipitkan mata. mengangkat tangannya seolah sedang menerawang tubuh Yerin. “Aku sudah menyentuh
Wedding day. Pernikahan dilaksanakan. Semuanya bersifat tertutup. Yerin menggunakan gaun panjang berwarna putih dengan tudung di kepala. Riasan sederhana namun anggun. Yerin berjalan perlahan menuju altar yang sudah ada Arsen. Keputusan mereka untuk menikah secara kontrak sudah mutlak. Persyaratan yang diajukan Yerin pada Arsen disanggupi. Sentuhan fisik yang tidak diinginkan Yerin. Dirubah menjadi sentuhan fisik akan terjadi jika kedua belah pihak setuju dan akan dilakukan untuk membuat orang-orang sekitar mereka yakin. Yerin memandang Arsen yang tengah mengulurkan tangan. Pria itu tampan. Yerin tidak bisa menampiknya. Arsen nampak tampan dan gagah saat menggunakan setelan dan kemeja berwaran putih. Setelah itu mereka mengucapkan janji pernikahan di depan seorang pendeta. Hingga saatnya mereka untuk berciuman. “Lakukan pelan-pelan…” lirih Yerin. Ada beberapa orang yang hadir di pernikahan mereka. Hanya keluarga Arsen dan ibu Yerin. “Siapa kau berani menyuruhku
[Besok adalah jatuh tempo dari cicilan anda yang pertama sebesar Rp. 5.000.00 -,]Yerin melempar ponselnya ke sembarang arah. Hutang sebanyak itu. Bahkan direkeningnya saja saat ini hanya tersisa 700 ribu untuk keperluan hidupnya satu bulan. Yerin mengacak rambutnya frustasi. Menggigit jarinya, Yerin benar-benar kebingungan. Ia susah tidur, tidak nafsu makan dan tidak bisa berkonsentrasi karena hutang sialan ini. Ia pernah mendengar jika menunggak sehari saja akan diteror. Tidak hanya dirinya, tapi semua kontak yang ada di ponselnya. Yerin tidak bisa membiarkan hal itu, namanya sebagai Guru dipertaruhkan! Maka dari itu—ia akan menerima tawaran pria itu. Arsen! Pria menyebalkan itu!Memberanikan diri datang langsung ke Skyline Company. Yerin bertekad akan menemui Arsen dan menerima tawaran itu. Sudah berada di kantor Skyline Company. Yerin langsung diarahkan oleh satu orang untuk menaiki lift menuju ruangan Arsen. [Yerin aku tidak menemukan daftar nama kelas 2-1. Apa ada padamu
Cahaya yang menembus mengenai tubuh perempuan. Yerin membuka matanya perlahan. Pertama yang ia lihat adalah langit kamar, namun bukan kamarnya. Ia berhenti sejenak—kembali menutup mata. Barangkali ia bermimpi. Kemudian membuka mata lagi. Tidak, ia tidak sedang bermimpi. “Aku di mana?” lirihnya. Yerin melebarkan matanya. Mengenai tadi malam—samar-samar ia mulai mengingatnya. Reflek membuka selimut. Benar—tubuhnya dalam keadaan telanjang. Ia memang melakukannya dengan Arsen malam tadi. “Sudah?” suara seseorang. Yerin menoleh. Arsen sedang duduk di sofa. Dengan salah satu kaki terangkat. Gerakan tangan yang menghisap rokok. Arsen memandang Yerin dengan mata elangnya. “APA YANG KAU LAKUKAN PADAKU?” teriak Yerin histeris. Arsen memutar bola matanya malas. “Bukan aku. Tapi kita. Kau yang memintanya. Kau meminta bantuan, kau menggodaku lebih dulu, aku tidak pernah memaksamu. Kau bahkan—” “Cukup!” Yerin melotot dengan wajah yang memerah menahan malu. Yerin melilitkan semakin melilitka