Ditarik ke dalam oleh Shania, Yerin mengeluh, “Shan, aku tidak bisa pulang malam. Besok aku masih kerja. Lagi pula, kalau besok sampai aku masih bau alkohol dan rokok, mau ditaruh mana mukaku sebagai guru?”
Shania memutar bola matanya. “Yer, kita udah 25 tahun. Sekali-kali ke tempat begini nggak masalah kali. Lagian, kalau takut bau, ya mandi, keramas. Selesai ‘kan masalahnya? Tenang aja deh, orang-orang yang aku undang juga cuma teman dekat dan teman kantor, kok!”
Shania adalah seorang kepala divisi keuangan di sebuah perusahaan. Cantik, ceria dan pintar. Wanita mandiri dengan latar belakang keluarga yang bagus. Dengan sikap keras kepalanya dan kebiasaannya dituruti banyak orang, Shania pun tidak terbiasa menerima penolakan. Jadi, Yerin pun yakin percuma mencoba meyakinkan Shania.
“Ya sudah,” ucap Yerin seraya mengikuti langkah Shania yang masuk.
“He he, gitu dong!” ucap Shania seraya memeluk Yerin. Lalu, dia menjulurkan tangannya. “Mana kadoku!? Jangan bilang kamu lupa bawa?” tagihnya dengan ekspresi yang menurut Yerin menggemaskan.
“Ini, Nona Besar. Tidak mungkin aku lupa,” ucap Yerin seraya mengeluarkan sebuah kotak kado kecil dan memberikannya pada Shania. “Bukan hal spesial. Jujur saja, aku lupa malam ini adalah pesta ulang tahunmu,” ucapnya, membuat Shania terkekeh geli.
“Sudah kuduga!” serunya, tapi lanjut memeluk kotak kecil itu. “Tapi yang terpenting bagiku adalah kedatanganmu.”
Setelah berbicara satu-dua patah kata lagi, Shania mengajak Yerin ke bangku yang terisi beberapa orang. Di sana, Yerin mematung saat melihat seorang pria tampan yang sangat dia kenali.
“Kenapa Tama di sini?” tanya Yerin dengan kewaspadaan meningkat.
Tama, dia adalah pria yang pernah menjadi mantan kekasih Yerin semasa kuliah dulu. Karena sebuah perselingkuhan, Yerin putus dengannya … dengan cara yang tidak baik pula.
Tanpa sedikit pun merasa bersalah, Shania berkata dengan santai, “Oh, ayolah Yerin. Kalian sudah putus lama! Bahkan aku sudah nggak ingat kejadian lama itu. Anggap saja dia kenalan lama, oke?”
Tidak menunggu balas Yerin, Shania langsung berucap lantang ke arah kumpulan Tama. “Hai guys. Ini temanku. Namanya Yerin. Anak belasteran. Cantik dan masih…” Shania menatap Yerin, “...jomblo.” Kalimatnya diakhiri dengan tawa.
Yerin tersenyum canggung dan membalas sapaan sejumlah teman-teman Shania yang lain. Akan tetapi, tempat duduk yang kosong hanya ada di sebelah Tama.
Merasa ragu, Shania pun langsung mendorong Yerin. “Sudah, kamu duduk di sana saja!”
Mau tidak mau, Yerin pun mengambil kursi kosong di samping Tama. Dia merasa canggung, dan berpikir untuk menyibukkan diri dengan ponselnya.
Akan tetapi, baru saja ingin mengeluarkan ponsel, suara seseorang terdengar bertanya, “Masih jadi guru di SMA Garuda?”
Itu Tama.
“Sudah pindah,” jawab Yerin singkat.
“Ke mana?”
“Gallaxy.”
Walau Yerin sudah sejutek itu, Tama rupanya belum menyerah. Tatapannya terus mengikuti Yerin, seolah setiap gerak gadis itu menahannya untuk berpaling.
“Kamu tidak minum?” tanyanya sambil mengangkat gelas.
Yerin menggeleng pelan. “Tidak.”
Ada jeda hening sebelum Tama kembali berbicara, sepertinya sadar Yerin sungguh tidak ingin berbincangn dengannya. “Yerin, aku minta maaf untuk yang dulu. Aku tidak pernah berniat menyakitimu, jadi … bisakah kita paling tidak menjadi teman sekarang?”
Yerin mengepalkan tangannya, berusaha tetap tenang. Dia mencoba memahami mengapa Shania masih berhubungan dengan Tama, hingga teringat bahwa keduanya memang bekerja di perusahaan yang sama.
Beberapa tahun lalu, alasan Yerin putus dengan Tama adalah perselingkuhan. Namun yang tidak diketahui banyak orang—perselingkuhan itu terjadi antara Tama dan Shania sendiri.
Karena itulah, kini Yerin harus menahan amarahnya. Betapa kurang ajar Shania, berani mempertemukannya lagi dengan Tama setelah semua yang pernah terjadi!
Namun, karena Shania sudah meminta maaf dan hubungan mereka kembali membaik, ditambah hari ini adalah hari ulang tahun Shania, Yerin merasa tidak baik baginya untuk berbuat onar karena masalah pribadi.
Jadi, dia berkata, “Hanya untuk malam ini.”
Seketika, pancaran mata Tama pun bersinar, tampak senang. “Tentu saja!” Dia meraih sebuah gelas berisi alkohol dan memberikannya pada Yerin. “Satu gelas?”
Yerin menatap minuman itu, lalu menghela napas. Satu gelas tidak akan membunuhnya, dan dengan situasi canggungnya akibat keberadaan Tama, Yerin memang memerlukannya.
Jadi, dia meraih gelas itu dan mulai meminumnya.
“Bagaimana? Enak, bukan?” tanya Tama dengan senyum lebar.
Yerin mengangguk pelan. “Hmm.”
Selagi meminum minumannya, Yerin merasakan seseorang seperti sedang memerhatikannya. Jadi, dia menoleh ke samping, dan berakhir tersedak!
“Uhuk!”
“Yerin, kamu nggak apa-apa?” Tama meraih tisu. “Ini.”
Gegas, Yerin mengelap mulutnya, tapi … matanya diam-diam kembali menatap ke satu arah itu, pada seorang pria yang sedari tadi menatapnya tajam.
Arsen, kakak murid yang baru dia ceramahi beberapa waktu lalu!
Melihat Yerin, sudut bibir Arsen terangkat, sedikit meremehkan. Ekspresi pria itu seakan mengatakan, “Kamu guru, tapi kamu ke sini? Hebat sekali.”
Di saat itu, Tama kembali bicara, “Kenapa? Ada yang mengganggumu?”
Yerin menggeleng. Dia langsung menepis tangan Tama yang berusaha membantunya, lalu berkata, “Aku ke toilet.”
Selagi Yerin melalui kerumunan yang ramai, dia mulai merasakan sejumlah hal yang janggal. Kepalanya terasa berat, pandangannya sedikit berkunang. Tidak hanya itu, tubuhnya mulai panas, dan keringat dingin merembes di pelipis.
Yerin pun memutuskan menyandarkan tubuh ke dinding lorong. Matanya terpejam rapat, dan dia mencoba menstabilkan napas. Namun, sensasi berputar itu semakin kuat.
Kenapa bisa seperti ini?
Apakah ini karena dia terlalu stres setelah bertemu seorang wali murid?
Tapi, tidak masuk akal. Pun Yerin merasa sedikit malu memperlihatkan sisinya yang ini di depan pria yang baru dia ceramahi tentang tanggung jawab, tapi … dia tidak sestres itu hingga berakhir seperti ini!
“Sial…” bisiknya lirih, mengambil satu kesimpulan.
Ini pasti dari minumannya!
Tepat saat tubuh Yerin hampir merosot jatuh, sebuah tangan kuat tiba-tiba menangkapnya.
Yerin menoleh cepat dan terperangah. “Kamu—”
“Akh!” Eve menyipitkan mata. Memegangi kepalanya yang terasa berat. Ketika ia menatap sekitar ia berada di ruang tamu Apartemennya. Keras… Punggungnya terasa remuk. Juga dengan tubuhnya yang menggigil. Eve mengernyit—melihat tubuhnya yang terbungkus oleh jas hitam kebesaran. Mengingat kembali kejadian tadi malam… “Shitt..” Eve bangkit dari lantai yang keras nan dingin ini. Semalaman tidur di lantai, membuat tubuhnya terasa dipukuli. Berjalan sempoyongan, Eve mengambil air minum. Setelah minum air putih—untuk sejenak ia duduk di pinggir pantry. “Apa yang aku lakukan tadi malam?” tanya Eve mengingat kembali. Menyusuri danau, mencari kalung dan cincin yang sudah dilempar oleh Nicholas lalu… “Bertemu dengan Bastian.” Eve menghela napas pelan. “Meski tawarannya menggoda, aku tidak boleh menerimanya.” “Harga diri nomor satu!” mengangkat tangannya dengan semangat. “Ya seperti itu!” menepuk dadanya sebentar. “Bagus, Eve. jangan termakan rayuan mantan.” Satu jam k
“Kau gila,” balas Eve seketika. Ia mengibaskan tangan Bastian. Sialnya setelah terlepas, justru pinggangnya ditarik oleh pria itu. “Daripada kau mempertaruhkan nyawamu untuk kalung yang tidak seberapa harganya. Lebih baik kau memberikan tubuhmu padaku.” Eve menyipitkan mata. “Minggir,” balasnya. “Kau membuatku kesal.” Bastian menghela napas pelan. tapi kedua tangannya masih memeluk pinggang Eve. “Sangat sulit mencari kalung di sana—” menunjuk Danau. “Kau tidak tahu kalau banyak binatang yang ada di Danau? Ada ular bahkan ada binatang lainnya.” “Kau masih beruntung belum bertemu dengan mereka,” lanjutnya. Eve mengerjap—mendadak akal sehatnya kembali ke dalam kepalanya. Ia menggeleng pelan. “Kau pasti berbohong.” “Mana ada aku berbohong. Lihat saja ke sana, Danau itu terlihat menyeramkan. Kau pernah melihat orang sehat masuk ke dalam sana? tidak ‘kan? jangankan malam, siang saja tidak ada!” Eve menyipitkan mata. ia mendorong Bastian. “Minggir,” ucapnya.
“Sepertinya ada yang turun ke danau. Mencari ikan?” tanya seseorang yang sedang menyetir. Bastian yang awalnya sibuk dengan ipadnya kini mendongak. Mendengar sopirnya bergumam. Ia mengikuti arah pandang sopirnya. Melihat ke arah bawah—di sana ada seorang wanita yang sedang turun ke danau. “Sekalian berenang mungkin,” timpal Bastian. Saat ini mobil sedang melewati jembatan. Bastian mengernyit pelan ketika melihat satu mobil yang terparkir di depan taman yang langsung terhubung dengan danau. Bastian bahkan hapal plat mobil siapa itu. “Tunggu..” mengernyit. Ia mengingat perkataan Brayson di klub. Jangan mencari masalah dengan Eve. Eve sedang sedih, takutnya bunuh diri. Bastian melotot. “Berhenti, pak.” Untuk itulah ia segera berlari ke dalam taman. Sampai menemukan seorang wanita yang saat ini sedang berada di dalam danau. Menyenteri air danau yang gelap. “EVE!” teriak Bastian. ia mendekat pada bangku yang terisi oleh sampah. Ada satu lembar yang menarik perha
Eve menatap cincin dan kalung yang sudah berada di dalam danau. Sayang sekali, uang dibuang. “Pergi dari sini, apa yang kau tunggu?” tanya Eve. “Baik. aku akan pergi.” Nicholas menatap Eve sekali sebelum benar-benar pergi. “Ambil kalung itu dan jual saja. aku yakin kau membutuhkan uang.” “Pergi!” usir Eve yang sudah kehabisan kesabaran. Nicholas akhirnya pergi. Bersama bodyguard. Yang entah apa fungsinya. Nyatanya, Nicholas lebih menakutkan daripada penjahat lainnya. Siapa juga yang berani melukai psikopat sepertinya. Eve mengambil duduk kembali di bangku. Membuka kaleng birnya lagi. meminumnya sekali teguk. “Aaah….” Desahannya setelah merasakan kesegaran dari bir. Eve menatap ke depan. Danau yang sebenarnya tidak terlalu dalam. Danau yang bersih juga. “Apa aku ambil saja kalung dan cincinnya?” tanya Eve. “Tidak-tidak…” menggeleng pelan. “Aku pasti sudah mabuk!” menepuk kepalanya sendiri. Ia memakan kembali snacknya. Mengayunkan kakinya pelan. Eve mem
Eve mengambil lembar tagihan rumah sakit yang harus ia bayar. Ia baru membayar setengahnya saja. Masih kurang…. Gajinya juga semakin berkurang setelah mendapatkan jadwal sedikit. Eve berjalan keluar dari rumah sakit. Pergi ke tempat di mana tidak ada orang. Tempat kesukaannya mungkin? Sebuah taman yang terletak di bawah jembatan. Dari tempatnya duduk—ia bisa melihat jembatan yang terisi oleh banyak kendaraan. Jembatan yang memiliki lampu begitu indah. Eve mengambil satu kaleng birnya. Meminumnya perlahan. Menatap lembar yang berada di tangannya. Semuanya berantakan. perusahaan ayahnya hampir bangkrut. Sekarang, rumah mereka sedang dalam dijual. Belum menemukan pembeli yang cocok saja. Dalam sekejap dunianya berubah. Eve menatap bulan yang bersinar dengan terang. Eve menghembuskan napasnya pelan. Menyugar rambutnya sebentar. “Tidak aku sangka aku bertemu denganmu di sini,” ucapan seseoran gyang langsung membuat Eve menoleh ke belakang. “
Hingar bingar lampu. Suara bising musik yang bergema. Satu pria yang sedang duduk santai di lantai atas. Sesekali menatap ke bawah, di mana orang-orang sedang mengayunkan tubuh. Menikmati musik yang sedang diputar oleh DJ berpakaian minim itu. “Kau sudah mabuk?” tanya Brayson yang baru saja datang. Menatap Bastian yang sudah bersandar dengan santai. Tangan yang membawa minuman berakohol. “Tidak…” Bastian mengambil satu batang rokoknya. “Akhir-akhir ini tidak ada yang menyenangkan. Semuanya membosankan.” “Bagaimana dengan kabar adik Eve?” tanya Bastian. “Kenapa kau ingin tahu?” tanya Brayson dengan curiga. “Bagaimanapun dia itu muridku. Grey juga salah satu pemain berbakat. Jika kehilangannya, aku sama saja kehilangan calon pemain masa depan.” Brayson menyugar rambutnya. “Sejujurnya..” “Semuanya berantakan. Nicholas ternyata bajingan. Aku sungguh tidak menyangka jika pria itu brengsek. Aku kira aku sudah lama mengenalnya dan aku kira dia baik.” “Tapi ternyata