Yerin berusaha menepis tangan Tama yang melingkari pinggangnya.
“Tama, ini semua ulahmu, bukan?!” geram Yerin selagi berusaha menstabilkan tubuhnya.
Tama justru semakin mendekat, matanya penuh obsesi. “Aku menginginkanmu, Yerin. Aku tidak pernah melupakanmu dan semua kenangan kita. Ya, aku akui aku sempat berselingkuh dengan Shania, tetapi percayalah, sejak dulu hanya kamu yang kucintai. Ini satu-satunya cara agar aku bisa memilikimu lagi.”
Yerin mendorongnya, namun tenaganya kalah jauh. Nafasnya terputus-putus. “Apa… yang kau masukkan ke dalam minumanku?”
Tama menyeringai, menahan tubuh Yerin yang meronta. Bibirnya merapat ke leher Yerin. “Apa lagi? Obat perangsang.”
“Bajingan!” Yerin memaki, air mata memanas di pelupuknya. Dia menggeliat, berusaha melawan, tetapi tangan Tama mulai menyusup ke balik bajunya. Tidak! Tidak! teriaknya dalam hati, bulir air mata akhirnya jatuh di pipinya.
BRAK!
Sebuah tinju menghantam wajah Tama, membuat pria itu terhuyung. Yerin terperangah, dan ketika matanya berusaha fokus, sosok yang berdiri di hadapannya membuat dadanya bergetar.
Arsen.
“Tidak kusangka ada pria serendah itu hingga memberikan obat untuk mendapatkan seorang wanita,” ucap pria itu dengan wajah dingin.
Tama menyeka sudut bibirnya yang berdarah. “Siapa kau?! Jangan ikut campur! Ini urusanku dengan wanitaku!”
Yerin berniat membalas ucapan Tama, tapi tubuhnya terlalu lemas hingga dia terjatuh.
Melihat hal itu, Arsen segera meraih dan menggendongnya. Pandangannya menajam, lalu dia bertanya kepada wanita itu, suaranya rendah. “Apa itu benar?”
Dengan sisa tenaga, Yerin menggeleng. “Tidak… aku… tidak ada hubungan dengannya.”
Arsen menatap lurus ke arah Tama. “Kau dengar sendiri ucapannya. Jadi…” matanya berkilat tajam, “…jangan pernah mengganggunya lagi.”
Dia berbalik, membawa Yerin pergi. Tama yang kalap berusaha menerjang, namun sekelompok pria berpakaian hitam segera menghadangnya.
Terkejut, Tama berteriak, “Apa-apaan ini?!”
“Singkirkan dia dari klub ini,” perintah Arsen datar pada para pengawalnya.
Beberapa detik kemudian, orang-orang itu menyeret Tama keluar, meninggalkannya mengumpat tak berdaya.
Sementara itu, di dalam pelukan Arsen, Yerin menggeliat resah. Tubuhnya panas, napasnya memburu hingga berhembus di leher pria itu.
Dengan suara lemah, dia berbisik, “Tolong… tolong aku….”
Tanpa sadar, bibir Yerin menyentuh kulitnya, menggigit pelan leher Arsen. Pria itu sontak tersentak, rahangnya menegang.
“Kenapa aku harus membantu wanita yang bahkan sudah menghina—”
Belum sempat ucapannya selesai, Yerin tiba-tiba meraih wajahnya dan mencium bibirnya. Ciuman itu panas, liar, membuat Arsen kehilangan kendali sesaat.
Dengan cepat, dia menurunkan Yerin, menghimpit tubuh rapuh itu ke tembok agar berhenti meronta. Napasnya berat, suaranya rendah menggeram.
“Hah….” Arsen melonggarkan dasinya, lalu melirik ke arah asistennya yang berdiri tak jauh. “Edward, siapkan satu kamar.”
“Akh!” Eve menyipitkan mata. Memegangi kepalanya yang terasa berat. Ketika ia menatap sekitar ia berada di ruang tamu Apartemennya. Keras… Punggungnya terasa remuk. Juga dengan tubuhnya yang menggigil. Eve mengernyit—melihat tubuhnya yang terbungkus oleh jas hitam kebesaran. Mengingat kembali kejadian tadi malam… “Shitt..” Eve bangkit dari lantai yang keras nan dingin ini. Semalaman tidur di lantai, membuat tubuhnya terasa dipukuli. Berjalan sempoyongan, Eve mengambil air minum. Setelah minum air putih—untuk sejenak ia duduk di pinggir pantry. “Apa yang aku lakukan tadi malam?” tanya Eve mengingat kembali. Menyusuri danau, mencari kalung dan cincin yang sudah dilempar oleh Nicholas lalu… “Bertemu dengan Bastian.” Eve menghela napas pelan. “Meski tawarannya menggoda, aku tidak boleh menerimanya.” “Harga diri nomor satu!” mengangkat tangannya dengan semangat. “Ya seperti itu!” menepuk dadanya sebentar. “Bagus, Eve. jangan termakan rayuan mantan.” Satu jam k
“Kau gila,” balas Eve seketika. Ia mengibaskan tangan Bastian. Sialnya setelah terlepas, justru pinggangnya ditarik oleh pria itu. “Daripada kau mempertaruhkan nyawamu untuk kalung yang tidak seberapa harganya. Lebih baik kau memberikan tubuhmu padaku.” Eve menyipitkan mata. “Minggir,” balasnya. “Kau membuatku kesal.” Bastian menghela napas pelan. tapi kedua tangannya masih memeluk pinggang Eve. “Sangat sulit mencari kalung di sana—” menunjuk Danau. “Kau tidak tahu kalau banyak binatang yang ada di Danau? Ada ular bahkan ada binatang lainnya.” “Kau masih beruntung belum bertemu dengan mereka,” lanjutnya. Eve mengerjap—mendadak akal sehatnya kembali ke dalam kepalanya. Ia menggeleng pelan. “Kau pasti berbohong.” “Mana ada aku berbohong. Lihat saja ke sana, Danau itu terlihat menyeramkan. Kau pernah melihat orang sehat masuk ke dalam sana? tidak ‘kan? jangankan malam, siang saja tidak ada!” Eve menyipitkan mata. ia mendorong Bastian. “Minggir,” ucapnya.
“Sepertinya ada yang turun ke danau. Mencari ikan?” tanya seseorang yang sedang menyetir. Bastian yang awalnya sibuk dengan ipadnya kini mendongak. Mendengar sopirnya bergumam. Ia mengikuti arah pandang sopirnya. Melihat ke arah bawah—di sana ada seorang wanita yang sedang turun ke danau. “Sekalian berenang mungkin,” timpal Bastian. Saat ini mobil sedang melewati jembatan. Bastian mengernyit pelan ketika melihat satu mobil yang terparkir di depan taman yang langsung terhubung dengan danau. Bastian bahkan hapal plat mobil siapa itu. “Tunggu..” mengernyit. Ia mengingat perkataan Brayson di klub. Jangan mencari masalah dengan Eve. Eve sedang sedih, takutnya bunuh diri. Bastian melotot. “Berhenti, pak.” Untuk itulah ia segera berlari ke dalam taman. Sampai menemukan seorang wanita yang saat ini sedang berada di dalam danau. Menyenteri air danau yang gelap. “EVE!” teriak Bastian. ia mendekat pada bangku yang terisi oleh sampah. Ada satu lembar yang menarik perha
Eve menatap cincin dan kalung yang sudah berada di dalam danau. Sayang sekali, uang dibuang. “Pergi dari sini, apa yang kau tunggu?” tanya Eve. “Baik. aku akan pergi.” Nicholas menatap Eve sekali sebelum benar-benar pergi. “Ambil kalung itu dan jual saja. aku yakin kau membutuhkan uang.” “Pergi!” usir Eve yang sudah kehabisan kesabaran. Nicholas akhirnya pergi. Bersama bodyguard. Yang entah apa fungsinya. Nyatanya, Nicholas lebih menakutkan daripada penjahat lainnya. Siapa juga yang berani melukai psikopat sepertinya. Eve mengambil duduk kembali di bangku. Membuka kaleng birnya lagi. meminumnya sekali teguk. “Aaah….” Desahannya setelah merasakan kesegaran dari bir. Eve menatap ke depan. Danau yang sebenarnya tidak terlalu dalam. Danau yang bersih juga. “Apa aku ambil saja kalung dan cincinnya?” tanya Eve. “Tidak-tidak…” menggeleng pelan. “Aku pasti sudah mabuk!” menepuk kepalanya sendiri. Ia memakan kembali snacknya. Mengayunkan kakinya pelan. Eve mem
Eve mengambil lembar tagihan rumah sakit yang harus ia bayar. Ia baru membayar setengahnya saja. Masih kurang…. Gajinya juga semakin berkurang setelah mendapatkan jadwal sedikit. Eve berjalan keluar dari rumah sakit. Pergi ke tempat di mana tidak ada orang. Tempat kesukaannya mungkin? Sebuah taman yang terletak di bawah jembatan. Dari tempatnya duduk—ia bisa melihat jembatan yang terisi oleh banyak kendaraan. Jembatan yang memiliki lampu begitu indah. Eve mengambil satu kaleng birnya. Meminumnya perlahan. Menatap lembar yang berada di tangannya. Semuanya berantakan. perusahaan ayahnya hampir bangkrut. Sekarang, rumah mereka sedang dalam dijual. Belum menemukan pembeli yang cocok saja. Dalam sekejap dunianya berubah. Eve menatap bulan yang bersinar dengan terang. Eve menghembuskan napasnya pelan. Menyugar rambutnya sebentar. “Tidak aku sangka aku bertemu denganmu di sini,” ucapan seseoran gyang langsung membuat Eve menoleh ke belakang. “
Hingar bingar lampu. Suara bising musik yang bergema. Satu pria yang sedang duduk santai di lantai atas. Sesekali menatap ke bawah, di mana orang-orang sedang mengayunkan tubuh. Menikmati musik yang sedang diputar oleh DJ berpakaian minim itu. “Kau sudah mabuk?” tanya Brayson yang baru saja datang. Menatap Bastian yang sudah bersandar dengan santai. Tangan yang membawa minuman berakohol. “Tidak…” Bastian mengambil satu batang rokoknya. “Akhir-akhir ini tidak ada yang menyenangkan. Semuanya membosankan.” “Bagaimana dengan kabar adik Eve?” tanya Bastian. “Kenapa kau ingin tahu?” tanya Brayson dengan curiga. “Bagaimanapun dia itu muridku. Grey juga salah satu pemain berbakat. Jika kehilangannya, aku sama saja kehilangan calon pemain masa depan.” Brayson menyugar rambutnya. “Sejujurnya..” “Semuanya berantakan. Nicholas ternyata bajingan. Aku sungguh tidak menyangka jika pria itu brengsek. Aku kira aku sudah lama mengenalnya dan aku kira dia baik.” “Tapi ternyata