“Apa yang sebenarnya kau masukkan di minuman itu?” Yerin mendongak. Nafasnya memburu—yang pasti tubuhnya terasa panas. Ia tidak tahu—tapi seperti gejala obat perangsang yang pernah ia baca di novel dewasa.
“Aku menginginkanmu Yerin. Aku tidak pernah melupakanmu dan kenangan kita. Memang aku akui aku sempat berselingkuh dengan Shania. Namun percayalah jika aku hanya mencintaimu dari dulu. Ini adalah satu-satunya cara supaya aku mendapatkanmu lagi.” Tama menarik pinggang Yerin. PLAK “BRENGSEK!” teriak Yerin. Meskipun ia bisa berteriak dengan lantang, tidak dengan tubuhnya. Tubuhnya sangat menggila—hanya dengan bergesekan sesama kulit saja jantungnya terasa berdetak tidak karuan. “Aku akan menjadikanmu milikku malam ini.” Tama ingin mencium bibir Yerin yang merekah merah namu Yerin segera melengos. Hingga pria itu hanya bisa mencium pipi Yerin. Tama mencengkram dagu Yerin. DUGH Yerin menendang Tama. Saat ia berlari—sialnya ia justru terjatuh. Hingga membuat Tama menarik kakinya. Menyeretnya tanpa perasaan. “Lepaskan aku.” Tama berhenti. Ia berjongkok—kemudian tangannya dengan lancang menarik tali dress Yerin hingga sobek. “Jangan jual mahal!” PLAK Tamparan itu melayang di pipi Yerin. Ia tidak bisa mengontrol tubuhnya lagi. Sangat panas—seperti perempuan murahan. Tapi saat ini yang ia butuhnya hanyalah sentuhan hangat. “Bilang padaku kau ingin dipuaskan.” Jemari Tama menyentuh kaki jenjang Yerin. Yerin meraih apapun di sampingnya. Ia mengambil tasnya dan dilemparnya ke arah Tama. “Kau benar-benar mencari masalah denganku.” Tangan pria itu terangkat. Yerin memejamkan mata. Ia bersiap akan menerima konsekuensinya. Namun ia tidak menerima apapun. Justru saat matanya terbuka—ia mendapati Tama yang sudah tersungkur di lantai. “Pergi,” ucap dingin seorang pria yang berdiri menjulang di hadapan Yerin. “Kau siapa?” tantang Tama. Ia hendak meninju pria itu—namun kakinya lebih dulu ditendang. Alhasil ia berakhir kesakitan dan berlari kabur. “Pulang.” Pria itu menatap sinis Yerin. Kemudian berjalan—melewati Yerin yang masih duduk di lantai. “Tolong aku.” Yerin memejamkan mata. Pria itu berhenti. Kemudian membalikkan badan. “Apa aku harus menerima permintaan tolong dari wanita yang pernah menendangku?” tanya Arsen pada Yerin. kejadian di mana Yerin menendangnya sampai terjatuh masih terekam jelas di kepalanya. “Tolong aku,” lirih Yerin. Arsen menatap Yerin dengan tatapan tajamnya. Ia mengulurkan tangannya agar Yerin bisa berdiri. Namun yang dilakukan Yerin adalah memeluk kakinya. “Tolong aku,” lirih perempuan itu sekali lagi. Bagaimanapun Arsen adalah pria normal. Lirihan Yerin lebih seperti desahan wanita butuh belaian. Tubuhnya menegang. Ia jarang sekali langsung tergoda hanya dengan suara seperti ini. Arsen menggeram pelan, ada apa dengan dirinya. “Lepaskan aku.” Arsen mendorong Yerin menjauh darinya. Hal tersebut membuat Yerin terjatuh memeluk lantai. “Bangun.” Arsen masih menatap Yerin yang masih telungkup di lantai. “Panas,” ucap Yerin sangat pelan. Arsen akhirnya berjongkok. Mengamati wanita yang mengenakan dress berwarna hitam itu dengan seksama. Melihat tidak ada tanda-tanda Yerin akan bangun—membuatnya sedikit kawatir. Tidak lucu jika wanita itu mati. Bisa-bisa dirinya disalahkan. “Bangun.” Arsen mengangkat tubuh Yerin akan berdiri. “Kau harus pulang.” Yerin mendongak. Dengan mata sayunya ia menatap wajah tampan Arsen. Dari cahaya lampu tidak seberapa ini, ia bisa dengan jelas menatap ketampanan seorang Tuan Arsen. Jujur saja dengan posisi seperti ini, Arsen menahan dirinya. Apalagi ia sempat merasakan bibir merekah berwarna pink milik Yerin. Namun ia cukup sadar tidak mungkin melakukannya lagi. “Bantu aku.” Yerin memeluk leher Arsen. Deru nafasnya mengenai leher Arsen. “Panas.” “Apa yang bisa aku bantu?” tanya Arsen dengan senyum miring.“APA—” ucapan Arsen terputus. Yerin memegang tangan Arsen. Menggenggamnya dengan mesra. Lalu menatap seorang laki-laki yang berada di belakang Arsen. Tidak jauh dari tempat mereka berdiri bersama. “Bastian,” panggilnya. “Ibu sudah menyiapkan makan malam. Kita makan malam bersama ya?” tanyanya. Bastian mengabaikan ucapan Yerin dan berjalan melewati mereka. “Bastian!” panggil Yerin sekali lagi. Bastian berhenti—namun tidak membalikkan tubuhnya. “Nanti turun ke bawah, ya. Kita makan bersama!” ucapnya sekali lagi. Tidak menjawab lagi. Kali ini Bastian berjalan menaiki tangga tanpa menoleh sedikitpun. Laki-laki itu tidak memberi reaksi apapun. Arsen menoleh ke bawah. melihat tangannya yang digenggam tangan mungil Yerin. “Sepertinya kau nyaman menggenggam tanganku seperti menggenggam 'milikku'.” Yerin segera melepaskan genggaman tangannya pada tangan Arsen. “Tidak bisakah kau bicara biasa saja?” “Tidak.” Arsen dengan wajah yang meledek. “Aku tidak mau kita berdebat
“Kau gila?!” Yerin mendorong dada Arsen sekuat tenaga. Sehingga dirinya bisa terlepas dari pelukan pria itu. Yerin memeluk dadanya—karena resleting yang sudah diturunkan membuat gaun itu longgar. Jika Yerin tidak memeluk gaun itu—sudah pasti akan melorot. Arsen berkacak pinggang. “Semakin lama kau tidak sopan. Ke mana kesopananmu?” tanyanya. “Kau berani bertanya sopan atau tidak?!” Yerin menunjuk Arsen. “Mana yang tidak sopan aku memanggilmu lebih santai. Atau kau yang lancang membuka resleting gaunku?” tanyanya. “Aku hanya membantumu,” ucap Arsen dengan wajah polos tanpa merasa bersalah. Arsen tiba-tiba tertawa. Membuat Yerin mengernyit keheranan. Ada apa? Ia meningkatkan kewaspadaannya. Pria ini sungguh berbahaya. “Lihat wajahmu.” Arsen menunjuk Yerin dengan dagunya. “Wajahmu merah sampai ke telinga. Kau begitu malu…” “Aku bahkan sudah melihat seluruh tubuhmu.” Arsen menyipitkan mata. mengangkat tangannya seolah sedang menerawang tubuh Yerin. “Aku sudah menyentuh
Wedding day. Pernikahan dilaksanakan. Semuanya bersifat tertutup. Yerin menggunakan gaun panjang berwarna putih dengan tudung di kepala. Riasan sederhana namun anggun. Yerin berjalan perlahan menuju altar yang sudah ada Arsen. Keputusan mereka untuk menikah secara kontrak sudah mutlak. Persyaratan yang diajukan Yerin pada Arsen disanggupi. Sentuhan fisik yang tidak diinginkan Yerin. Dirubah menjadi sentuhan fisik akan terjadi jika kedua belah pihak setuju dan akan dilakukan untuk membuat orang-orang sekitar mereka yakin. Yerin memandang Arsen yang tengah mengulurkan tangan. Pria itu tampan. Yerin tidak bisa menampiknya. Arsen nampak tampan dan gagah saat menggunakan setelan dan kemeja berwaran putih. Setelah itu mereka mengucapkan janji pernikahan di depan seorang pendeta. Hingga saatnya mereka untuk berciuman. “Lakukan pelan-pelan…” lirih Yerin. Ada beberapa orang yang hadir di pernikahan mereka. Hanya keluarga Arsen dan ibu Yerin. “Siapa kau berani menyuruhku
[Besok adalah jatuh tempo dari cicilan anda yang pertama sebesar Rp. 5.000.00 -,]Yerin melempar ponselnya ke sembarang arah. Hutang sebanyak itu. Bahkan direkeningnya saja saat ini hanya tersisa 700 ribu untuk keperluan hidupnya satu bulan. Yerin mengacak rambutnya frustasi. Menggigit jarinya, Yerin benar-benar kebingungan. Ia susah tidur, tidak nafsu makan dan tidak bisa berkonsentrasi karena hutang sialan ini. Ia pernah mendengar jika menunggak sehari saja akan diteror. Tidak hanya dirinya, tapi semua kontak yang ada di ponselnya. Yerin tidak bisa membiarkan hal itu, namanya sebagai Guru dipertaruhkan! Maka dari itu—ia akan menerima tawaran pria itu. Arsen! Pria menyebalkan itu!Memberanikan diri datang langsung ke Skyline Company. Yerin bertekad akan menemui Arsen dan menerima tawaran itu. Sudah berada di kantor Skyline Company. Yerin langsung diarahkan oleh satu orang untuk menaiki lift menuju ruangan Arsen. [Yerin aku tidak menemukan daftar nama kelas 2-1. Apa ada padamu
Cahaya yang menembus mengenai tubuh perempuan. Yerin membuka matanya perlahan. Pertama yang ia lihat adalah langit kamar, namun bukan kamarnya. Ia berhenti sejenak—kembali menutup mata. Barangkali ia bermimpi. Kemudian membuka mata lagi. Tidak, ia tidak sedang bermimpi. “Aku di mana?” lirihnya. Yerin melebarkan matanya. Mengenai tadi malam—samar-samar ia mulai mengingatnya. Reflek membuka selimut. Benar—tubuhnya dalam keadaan telanjang. Ia memang melakukannya dengan Arsen malam tadi. “Sudah?” suara seseorang. Yerin menoleh. Arsen sedang duduk di sofa. Dengan salah satu kaki terangkat. Gerakan tangan yang menghisap rokok. Arsen memandang Yerin dengan mata elangnya. “APA YANG KAU LAKUKAN PADAKU?” teriak Yerin histeris. Arsen memutar bola matanya malas. “Bukan aku. Tapi kita. Kau yang memintanya. Kau meminta bantuan, kau menggodaku lebih dulu, aku tidak pernah memaksamu. Kau bahkan—” “Cukup!” Yerin melotot dengan wajah yang memerah menahan malu. Yerin melilitkan semakin melilitka
Yerin yang sudah kehilangan kendali akhirnya menempelkan bibirnya di atas bibir Arsen. Awalnya hanya menempelkannya—namun sekarang ia justru bergerak. Reaksi yang ditimbulkan tubuhnya sangat luar biasa. Bibir Yerin manis—Arsen mengakui hal itu. Ini adalah ciuman kedua mereka. Rasanya sangat manis. Apalagi Yerin yang memulai lebih dulu. “Jangan menyalahkanku setelah ini.” Arsen menarik pinggang Yerin. Membalas lebih intens permainan yang dimulai lebih dulu oleh wanita itu. Arsen menyudahi ciuman mereka. Ia menoleh ke belakang. Tepatnya Edward yang sedari tadi menjadi obat nyamuk mereka. “Pergi Edward.” “Baik sir.” Edward mengangguk. Namun sebelum pergi ia berpesan dulu pada Arsen. “Jangan lupa pengaman Sir.” Arsen kembali memangut bibir Yerin. Ia menggiring Yerin masuk ke sebuah kamar di klub. Menutup pintu dengan sekali dorongan. Ia menaikkan tubuh Yerin ke atas meja—dengan tidak sabar ia merobek pakaian yang dikenakan oleh wanita itu. Yerin pasrah sungguh. Ia tidak tahu apa