LOGINShakira menarik napas panjang sebelum akhirnya membuka map hitam itu. Matanya membeku seketika dengan tangan sedikit bergetar.
Di dalamnya, tersusun rapi beberapa lembar dokumen legal dan di bagian atas jelas tertulis kalimat : SURAT PERMOHONAN GUGATAN CERAI.
Shakira mendongak menatap Luis dengan wajah terkejut. “Ini…” suaranya tercekat, “Dokumen perceraian?”
Luis menyandarkan tubuhnya ke kursi, mengamati setiap reaksi Shakira dengan tenang, nyaris seperti predator yang baru saja menjebak mangsanya. “Ya. Itu adalah jalan keluar untukmu. Sekaligus jalan buntu untuk Ben Danardjanto. Dan bagian dari jebakan yang udah aku siapin.”
Shakira berpikir cepat dan bisa meraba kemana arah permainan Luis. Lalu ia kembali menatapnya.
“Tunggu apa lagi? Bukannya perceraian ini yang kamu mau?”
“Kenapa aku harus menandatanganinya sekarang?” tanya Shakira, meski ia sudah bisa menebak jawabannya.
Luis tersenyum tipis, senyum yang sama sekali tidak hangat. “Karena ini salah satu cara yang bisa bikin Ben jatuh. Kalau orang-orang tahu dia selingkuh, sementara statusmu bukan lagi istrinya, otomatis semua tuduhan bakal mengarah ke dia. Karier, reputasi, dan bisnisnya bakal goyah. Lalu aku tinggal masukin isu negatif lainnya lalu dia bakal hancur total.”
David maju setengah langkah lalu mengulurkan bolpoin, “Anda hanya perlu menandatangani surat ini, Bu Shakira. Sisanya biar saya yang urus. Tidak akan ada yang mencurigai apa pun. Nama Anda akan tetap bersih.”
Shakira menatap dokumen itu lagi. Dia memang sudah lama menginginkan perpisahan dengan Ben. Dia merasa terbelenggu dengan statusnya yang masih menjadi istri Ben. Sedangkan lelaki itu telah memilih menikahi kekasihnya diam-diam.
Meski secuil cinta itu masih ada untuk Ben, tapi hatinya berteriak. Pikirannya dipenuhi wajah Beliza yang masih kecil, yang tidak tahu apa-apa tentang perang kotor orang dewasa.
Tanpa banyak berdebat, Shakira mengambil bolpoin itu lalu menandatanginya. Kelegaan itu muncul meski tak banyak.
Shakira menutup dokumen itu dan menyerahkannya pada David. Lalu ia menatap Luis.
“Aku udah lama pengen pisah dari Ben. Tapi kalau kamu mempermudahnya, aku berterima kasih, Luis.”
“Pak Luis,” Luis mengingatkan, “Kita lagi di kantor dan kamu harus mulai belajar hormat ke aku.”
Shakira menatap sejenak kedua mata Luis yang tajam namun penuh pesona itu. Lalu bayangan malam panas mereka yang tidak akan pernah Luis ingat, kembali menari-nari di dalam otak Shakira.
“Terima kasih banyak, Pak Luis.”
Kemudian Luis mencondongkan tubuh, menatap Shakira tajam. “Kamu selalu punya pilihan, Ra. Tapi percayalah, ini satu-satunya jalan biar kamu bisa bertahan. Biar anakmu juga tetap bisa hidup nyaman dan aman.”
Shakira tahu sejak menerima apartemen itu, sejak menerima pekerjaan ini, hidupnya sudah berada di genggaman Luis Hartadi.
“Ben pasti akan nyari saya lagi ketika surat permohonan cerai itu didaftarkan.”
“Sopirmu punya keahlian sebagai bodyguard, Ra. Kamu nggak usah khawatir.”
Shakira kembali menaikkan pandangannya karena terkejut dengan ucapan Luis. Dia pikir sopir yang mengantarnya hanyalah seorang sopir biasa.
Luis menyandarkan punggungnya di kursi dengan David tetap setia berdiri di sebelahnya. Tatapannya tidak lepas dari wajah Shakira setelah menandatangani dokumen perceraian itu.
“Siapapun yang bekerja untukku, harus totalitas karena aku pun ngasih imbalan yang nggak main-main. Paham?”
Shakira menghirup nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan.
“Iya, Pak Luis. Saya paham.”
Kemudian Luis memberi kode melalui tangannya pada David, agar menaruh sesuatu di atas meja.
“Rekam, Vid. Kita mulai.”
David kemudian mengeluarkan sebuah ponsel khusus dan menekan aplikasi rekaman di meja. Membuat Shakira bertanya-tanya.
“Masalah permohonan ceraimu dan keselamatanmu, nggak perlu khawatir,” Suara Luis rendah, tapi mengandung tekanan yang sulit diabaikan. “Sekarang, aku mau kita masuk ke rencana pertama.”
Shakira akhirnya paham jika percakapannya dengan Luis ternyata direkam sebagai bukti untuk menjatuhkan Ben.
“Gosip perselingkuhan Ben … sama perempuan bernama Ifana. Apa itu benar?”
Shakira spontan menegang dan mengingat apa yang terjadi beberapa bulan lalu sebelum dia meninggalkan rumah Ben.
Kepalanya lantas mengangguk, “Itu benar.”
Alis Luis terangkat sedikit. “Wow, ceritain, Ra.”
Shakira menghela napas panjang, seolah harus menggali kembali luka lama yang berusaha ia kubur.
“Ifana, perempuan yang udaha lama dicintai Ben, bahkan sebelum saya datang ke dalam hidupnya. Mereka sempat dekat, tapi kemudian putus waktu Ifana milih pergi ke luar negeri untuk lanjutin studinya.”
Luis mendengarkan tanpa menyela, hanya sesekali mengetukkan jarinya ke meja.
“Dua tahun kemudian, Ifana kembali,” lanjut Shakira lirih. “Dan hal pertama yang dia lakuin adalah nyari Ben. Dia datang, minta balikan. Dan Ben…” Shakira menelan ludah, menahan getir, “Dia akhirnya milih Ifana.”
Kepala Luis mengangguk paham, “Kenapa kamu nggak diceraikan aja waktu itu? Apa karena ada anak?”
Shakira tidak langsung menjawab, dia berpikir sejenak sebelum kembali menjawab, “Dia pengen semua terlihat natural.”
“Maksudnya?” Tanya Luis dengan mata menyipit.
Pandangan Shakira menerawang dengan menatap ponsel yang merekam percakapan mereka, “Dia … udah nyiapin skenario perpisahan kalau kami udah nggak satu prinsip.”
Luis mengangkat kedua alisnya, “Aku pikir karena anak.”
Kepala Shakira menggeleng pelan. Karena ada hal lain yang lebih dalam yang tidak akan dia ungkap pada Luis.
“Lanjutin, Ra.”
Shakira kembali menghirup nafas dalam-dalam dan menghelanya.
“Dia bakal bikin keadaan seolah-olah kami nggak bisa bersama lebih jauh lagi. Saya disuruh hapus foto-fotonya di media sosial saya pelan-pelan.”
“Dan yang bikin saya terkejut, mereka udah nikah dua minggu sebelum akhirnya saya mutusin kabur dari rumah.”
Suasana di ruangan Luis hening sejenak. Luis sedikit terkejut saat menatap Shakira bercerita.
“Tapi sepandai apapun tupai melompat, akhirnya hubungan Ben sama Ifana tercium media. Dia udah wanti-wanti saya buat bilang kalau Ifana itu sepupu saya yang tinggal di rumah Ben.”
Pandangan Shakira kembali menerawang ke masa lalu.
“Malam harinya, dia pulang sambil bawa Ifana ke rumah. Bilangnya, mulai malam itu Ifana bakal tinggal di rumah itu.”
Luis sedikit melebarkan kedua matanya, “Satu atap bertiga?”
Shakira mengangguk, “Dia sempat nyuruh saya ngadepin wartawan untuk nepis kabar negatif itu besok paginya. Tapi … saya mutusin kabur saat masih pagi buta. Saya nggak mau ngikutin permainannya.”
“Tapi sekarang justru masuk dalam permainanku?”
Shakira terdiam dan mengangguk, “Karena anda yang maksa dan saya nggak ada pilihan, Pak Luis.”Tawa Luis terdengar mengejek namun Shakira kebal dengan itu semua.
“Ben Danardjanto bukan cuma pengecut, tapi juga pria yang hidup di dua dunia. Nyimpan kamu sebagai bayangan, tapi hatinya buat wanita lain. Dan hebatnya, sampai sekarang Ben rapi banget nutupin gossip perselingkuhannya. Kayaknya dia nunggu kamu untuk ditumbalin, Ra.”
Kepala Shakira mengangguk, “Saya tahu, dia pasti nyari saya, Pak Luis. Demi kepentingannya.”
“Kamu nggak pernah labrak Ifana?”
Kepala Shakira menggeleng.
“Yang bikin aku heran, kenapa kamu seolah nggak ada perlawanan ke pelakor yang ngambil kebahagiaan rumah tangga kalian? Memangnya, pernikahan kalian itu kayak apa?”
:-0
Luis mencoba keras untuk mengingat malam itu.Ia memejamkan mata, memaksakan memorinya bekerja. Yang ia ingat hanya nafsu yang mendominasi, alkohol yang mengalir deras, dan kesenangan.Ia ingat jika menyuruh David untuk memanggil seorang perempuan panggilan mahal dan terawat.‘Tapi kenapa jadi Shakira? Ya Tuhan, aku meniduri Shakira, dan aku melupakannya.’ Batin Luis.Luis kembali menghubungi David dan langsung diangkat.“Iya, Pak? Ada yang bisa dibantu?”“Aku ingin kamu selidiki semua tentang hotel tempat Shakira bekerja dan kapan dia dipecat. Dan cari tahu persis apa yang terjadi pada malam itu di kamar hotelku. Jangan sampai ada yang luput.”“Lalu cari tahu siapa Devano. Aku mau informasi lengkap!”“Siap, Pak. Saya akan bergerak sekarang,” jawab David.Luis mengakhiri panggilan dan duduk di kursinya, kepalanya pusing.****Keesokan paginya, Luis sarapan sendiri. Kemudian Bu Ningsih muncul di ruang makan, wajahnya tampak lelah dan cemas.“Pagi, Den Mas,” sapa Bu Ningsih.“Pagi, Bu N
Luis masuk ke ruang tamu yang kacau balau itu.Amarahnya memuncak melihat Shakira dalam kondisi mengenaskan, mabuk dan dikelilingi pecahan kaca. Namun, ia tahu amarah tidak akan menyelesaikan apa-apa.Ia menatap Bu Ningsih yang terlihat putus asa. Beberapa asisten rumah tangga yang lain mulai muncul di ujung koridor, terbangun oleh keributan itu.“Bu Ningsih, dan kalian semua,” perintah Luis dengan suara rendah namun tajam, menunjukkan otoritasnya. “Kembali ke kamar kalian. Ini bukan urusan kalian. Aku yang akan urus ini. Jangan ada yang tanya, dan jangan ada yang bicara soal ini ke siapa pun.”Bu Ningsih ragu, tetapi melihat tatapan tegas Luis, ia mengangguk patuh. Ia dan para ART segera membersihkan pecahan dekanter itu lalu meninggalkan ruangan, membersihkan diri dari kekacauan itu.Kini hanya Luis sendirian yang menghadapi Shakira.Shakira, yang kesadarannya sudah sangat terganggu oleh alkohol, menatap Luis yang memakai jubah tidur berwarna biru gelap. Matanya tidak fokus.Dia bing
“Oke. Aku keluar. Tapi ingat, kamu nggak bisa keluar dari rumah ini tanpa izinku, Shakira,” ujar Luis dingin.“Persetan, Luis! Kamu nggak ada hak ngurung aku!”Luis tidak peduli dengan ucapan Shakira kemudian berjalan menuju pintu, lalu menutupnya dan kembali ke kamar.Shakira resmi terkurung dan menjadi tahanan sementara di dalam rumah Luis.Kini amarahnya memudar, berganti rasa lelah dan keputusasaan yang baru. Ia merosot kembali ke ranjang, menangis tersedu-sedu. Ia tahu, Luis tidak akan melepaskannya begitu saja.Setelah Luis pergi, ruangan itu hanya menyisakan isak tangis Shakira dan suara Bu Ningsih yang bergerak membersihkan pecahan mangkuk di lantai. Bu Ningsih tidak menyalahkan Luis, ia tahu Luis melakukan itu karena peduli, dengan caranya yang keras.Setelah ruangan bersih, Bu Ningsih kembali ke sisi ranjang, membawa mangkuk bubur hangat yang baru dan segelas teh panas yang baru diantarkan seorang asisten rumah tangga.“Non, sudah ya. Jangan siksa diri Non,” bujuk Bu Ningsih
Mobil melaju kencang, meninggalkan kompleks pemakaman. Luis mendekap tubuh Shakira di pelukannya. Ia mengguncang bahu Shakira dengan lembut, berusaha membangunkannya.“Ra! Bangun! Shakira!”Ia menepuk-nepuk pipi Shakira yang pucat, tetapi Shakira tetap diam, matanya terpejam rapat. Bibirnya yang semula bergetar karena amarah kini menjadi garis lurus yang dingin.Rasa takut menjalar di hati Luis. Setelah Belliza pergi, ia tidak boleh kehilangan Shakira juga.“Vid, hubungi Dokter Adrian sekarang! Bilang ini darurat! Sekarang!” perintah Luis tegas.“Baik, Pak.”Luis kembali fokus pada Shakira. Ia membuka jasnya dan menyelimuti Shakira, mencoba menghangatkan tubuhnya. Ia menempelkan telinganya ke dada Shakira, memastikan detak jantung wanita itu masih ada.“Bertahan, Ra.”Selama perjalanan pulang, Luis mendekap Shakira erat-erat, tidak melepaskannya barang sedetik pun, memohon dalam hati agar wanita itu tetap hidup.Setibanya di rumah, Luis segera membaringkan Shakira yang begitu lemah di
Bu Ningsih tersentak. Ia menoleh dan memberi hormat singkat pada putra tertua majikannya. Matanya masih sembap karena menangis.“Selamat malam, Den Mas,” jawab Bu Ningsih.“Gimana kondisi Shakira?” tanya Luis, tidak berani menanyakan hal lain.Bu Ningsih menggeleng sedih. “Nona hancur, Den Mas. Dia menyalahkan Den Mas atas kematian putrinya.”Luis mengangguk paham.“Den Mas, apa benar Den Mas yang mengurus pemakaman Belliza?” tanya Bu Ningsih berbisik, agar Shakira tidak mendengarnya.Luis mengangkat kepalanya. “Iya. Aku yang mengurusnya. Aku mau Belliza dapat pemakaman yang terbaik. Tolong, jangan bilang Shakira.”“Terima kasih, Den Mas. Tapi, ada yang harus Den Mas tahu, Nona tidak mau bertemu Den Mas sama sekali. Dia bilang, setelah ini, dia akan pergi dari kehidupan Den Mas.”Luis kembali mengangguk dan merasakan keputusasaan Shakira.“Untuk saat ini, aku nggak akan membiarkan dia sendirian. Aku akan mengurus perceraian kami, tapi nggak sekarang.”Alasan tidak mau membiarkan Shakir
“Bu Ning, Belliza akan kita makamkan di mana? Aku nggak punya tempat tinggal. Selama ini kami tinggal di rumah Den Mas.”Air mata Shakira kembali merembes membasahi pipi.“Aku cuma mau Belliza tenang di peristirahatan terakhirnya,” pinta Shakira dengan suara lemah dan serak.Bu Ningsih menghela napas panjang, menahan tangisnya.“Sama, Non. Bu Ning juga bingung. Kita nggak punya rumah di sini. Kita sama-sama tinggal di rumah Den Mas.”Shakira menggigit bibirnya, keputusasaan kembali menghantamnya.Dalam situasi seperti ini, tidak tidak mungkin kembali pada kedua orang tuanya. Ia telah memutuskan hubungan dengan keluarga Paralio demi menjaga nama baik kedua orang tuanya.Mereka benar-benar tidak punya siapa-siapa di kota metropolitan ini.Shakira teringat masa-masa sulitnya saat Belliza masih bayi, saat mereka harus hidup dari upah kecil Shakira. Mereka benar-benar sendirian.“Lalu, kita akan kuburkan dia di mana, Bu Ning?” tanya Shakira lalu tangisnya pecah kembali.Membayangkan Belliza







